Kamis, 25 November 2021

UMMU JAMIL TIDAK MELIHAT NABI MUHAMMAD


 

Namanya Arwa (ada yang menyebut Auraa’), tapi orang-orang memanggilnya Ummu Jamil. Ayahnya bernama Harb bin Umayah, pemimpin dan tokoh bangsa Arab.

Ummu Jamil menikah dengan Abu Lahab, saudara Abdullah, ayah Nabi Muhammad. Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza. Dipanggil Abu Lahab, karena wajahnya yang kemerah-merahan seperti bara api. Lahab artinya bara api, gejolak api. Dengan demikian, Ummu Jamil termasuk bibi Nabi Muhammad, karena ia menikah dengan paman Nabi Muhammad.

 Sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, hubungan Abu Lahab dan Ummu Jamil dengan beliau dan keluarganya cukup dekat. Ketika Abu Lahab diberitahu oleh budaknya bahwa Aminah melahirkan anak laki-laki yang kemudian diberi nama Muhammad, ia sangat bergembira. Kegembiraan itu diwujudkan dengan membebaskan budaknya yang menyampaikan kabar tadi.

Ketika Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dan memiliki anak, Abu Lahab dan Ummu Jamil sempat berbesanan dengan Muhammad. Dua putri Muhammad yang bernama Ruqayah dan Ummu Kultsum, dinikahkan dengan putra-putra Abu Lahab dan Ummu Jamil, yakni Utbah dan Utaibah

 Sayangnya, hubungan baik tersebut di kemudian hari menjadi berbalik 180 derajat, tepatnya semenjak Muhammad diangkat sebagai nabi. Abu Lahab dan Ummu Jamil yang tadinya memiliki kasih sayang terhadap Muhammad dan keluarganya, menjadi sangat benci disebabkan risalah yang dibawakan oleh keponakannya itu. 

Pada awalnya, Nabi Muhammad berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Setelah tiga tahun, Allah kemudian memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar berdakwah secara terang-terangan. Nabi Muhammadpun mulai melaksanakan perintah-Nya.

Seperti dikatakan oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah mengundang Bani Hasyim. Dua kali beliau mengundang mereka. Pada pertemuan pertama Nabi Muhammad hanya diam, karena sebelum beliau berbicara, Abu Lahab sudah mengingatkan agar beliau tidak berbuat macam-macam. Pada pertemuan kedua, Nabi Muhammad berhasil menyampaikan dakwahnya, tapi Abu Lahab menentangnya. Sementara Abu Thalib berusaha melindungi tindakan Nabi Muhammad, tapi beliau tidak mau mengikuti seruan keponakannya yang sangat dicintai itu.

  Setelah Nabi Muhammad yakin bahwa pamannya yang bernama Abu Thalib akan melindungi, maka pada suatu hari beliau menuju Bukit Shafa. Dari atas bukit, Nabi Muhammad kemudian berseru.

“Yaa shabahaah!”[1])

Mendengar panggilan yang diucapkan berkali-kali, penduduk Makkah mendatangi tempat di mana suara itu berasal. Mereka bertanya-tanya siapa gerangan yang memanggil dan apa yang akan disampaikan?

 Ummu Jamil yang berada di rumah pun penasaran. Ia meminta kepada suaminya untuk mendatangi orang yang memanggil-manggil. Abu Lahabpun menuju ke Bukit Shafa, tempat Nabi Muhammad memanggil-manggil penduduk Makkah. Sesampainya di Bukit Shafa, Abu Lahab melihat orang-orang sedang mengerumuni Nabi Muhammad.

“Ada apa ya Muhammad?”, tanya orang-orang yang berkumpul di tempat tersebut.

 “Apa pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besok pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?”, kata Nabi Muhammad kepada orang-orang di hadapannya. Orang-orangpun menjawab “percaya”, karena selama ini mereka melihat Nabi Muhammad adalah orang yang jujur, tak pernah berbohong.

“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah sebagai pemberi peringatan akan datangnya azab yang sangat pedih”.

Mendengar kata-kata Nabi Muhammad, ada yang percaya, ada yang ragu-ragu, ada juga yang tidak percaya. Sementara Abu Lahab sangat marah mendengar ucapan keponakannya itu.

“Celakalah kamu Muhammad! Jadi hanya untuk ini kamu mengumpulkan kami di sini?”

Dengan menahan amarah, Abu Lahab kembali ke rumah. Ummu Jamil menyambut kedatangan suaminya dengan pertanyaan-pertanyaaan. Abu Lahab memberitahu istri apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Mendengar penuturan suami, Ummu Jamil naik darah. Ia tak mau keponakannya itu menjadi panutan, karena ia merasa suami dan dirinyalah yang pantas menjadi panutan.

Ummu Jamil sebenarnya berasal dari kalangan bangsawan yang dihormati. Namun sayang kelakuannya tidak sesuai dengan sebutannya. Ummu Jamil artinya ibu yang cantik. Akan tetapi fakta menunjukkan hatinya tak secantik sebutannya. Demikian pula suaminya, Abu Lahab. Semenjak saat itu ia menjadi sangat membenci Nabi Muhammad.

Bagi Ummu Jamil, tiada hari tanpa menyebarkan isu jahat dan menghasut orang-orang agar tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Dia juga memengaruhi suaminya agar menyebarkan kata-kata yang dapat mencegah orang menjadi pengikut Nabi Muhammad.

Guna mencelakai Nabi Muhammad, Ummu Jamil menyebarkan duri-duri di tempat yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad. Meskipun demikian, Nabi Muhammad tak pernah terkena duri-duri itu, karena Allah selalu melindunginya. Nabi Muhammad pun dihina dengan sebutan seorang fakir.

Kebencian Ummu Jamil terhadap Nabi Muhammad, tak hanya berhenti sampai di situ. Ummu Jamil juga memerintahkan kepada kedua anak laki-lakinya, Utbah dan Utaibah, agar menceraikan istri-istrinya, Ruqayah dan Ummu Kultsum, yang keduanya merupakan putri Nabi Muhammad.

Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan berkali-kali oleh pasangan suami istri itu menyebabkan Allah menurunkan Surat Al-Lahab.


تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّۗ - ١

مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ - ٢

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ - ٣

وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ - ٤

فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ - ٥

 Terjemahan:

1.    Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

2.   Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.

3.   Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.

4.   Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

5.    Yang di lehernya ada tali dari sabut.

Di sini, Allah telah memvonis sepasang suami istri tersebut masuk neraka. Padahal, saat ayat itu turun, mereka berdua masih hidup. Ayat 1-3 membicarakan Abu Lahab, sedangkan ayat 4-5 membahas Ummu Jamil.

Peribahasa Jawa menyebutkan, “Ciri wanci lelai ginawa mati”. Artinya, perbuatan jelek yang tidak akan pernah hilang kecuali yang bersangkutan telah mati. Begitulah gambaran Ummu Jamil dan suaminya. Perbuatan-perbuatan jahat itu terus-menerus mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad tanpa pernah merasa bersalah dan kemudian bertobat. Sebaliknya, mereka justru semakin menggila dalam usahanya menghalang-halangi dakwah Nabi Muhammad, dengan berbagai cara.  

Mendengar ada wahyu yang menyinggung dirinya dan suaminya, Ummu Jamil kebenciannya kepada Nabi Muhammad semakin memuncak. Ia mengira wahyu itu adalah syair karangan Nabi Muhammad.

Suatu ketika, Ummu Jamil mencari Nabi Muhammad karena kekesalannya. Ia merasa diejek sebagai hammaa latal hathab ‘pembawa kayu bakar’. Pengibaratan dalam Al-Qur’an ini didasarkan pada kebiasaan orang-orang Arab yang mengumpamakan orang yang suka menyebar fitnah dan mengadu domba dianggap sebagai pembawa kayu bakar. Di Indonesia, orang semacam ini biasa disebut sebagai tukang kompor. Artinya, ia suka mengompori orang-orang agar satu sama lain panas hatinya sehingga mereka tidak rukun, benci, atau berantem.

Pencariannya sampai di Ka’bah. Saat itu, Abu Bakar sedang duduk bersama Nabi Muhammad di dekat Ka’bah. Ketika bertemu Abu Bakar, berkatalah Ummu Jamil, “Wahai Abu Bakar, di mana temanmu itu. Saya dengar ia mengejekku. Seandainya ia berada di sini, maka akan kutimpuk mulutnya dengan batu ini”.

Setelah berkata demikian, Ummu Jamil kemudian pergi meninggalkan Abu Bakar. Dipandangnya Ummu Jamil dengan penuh keheranan oleh Abu Bakar. Setelah Ummu Jamil lenyap dari pandangan matanya, Abu Bakar yang sedang duduk bersama Nabi Muhammad lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dia tidak melihatmu berada di sini?”.

“Tidak! Dia tidak melihatku, karena ada malaikat yang selalu menutupiku sampai ia pergi dari sisiku”, jawab Nabi Muhammad.

Ummu Jamil betul-betul ditutup pandangan matanya agar tidak melihat Nabi Muhammad berada di dekatnya. Itulah sebabnya niat melempar batu kepada beliau tidak berhasil.

 

DAFTAR ACUAN

 

1.   Buku

 

Abdurrahman Umairah. 2009. Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ali Muthohar. 2000. Perempuan dalam Catatan Tuhan. Surabaya: Pustaka Progressif.

Al-Ustadz Afif Abdul Fattah Thabbarah. 2002. Tafsir Juz ‘Amma Lengkap & Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Al-Walidi an-Nisaburi. 2014. Asbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Amelia.

Asrifin An Nakhrawi. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.

Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.

Fuad Kauma. 2000. 50 Mukjizat Rasulullah. Jakarta: Gema Insani.

H.A.A. Dahlan dan M. Zaka Alfarisi. 2004. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Hamid bin Ahmad. 2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya: Amelia.  

Jabir Asysyaal. 1988. Al-Qur’an Bercerita Soal Wanita. Jakarta: Gema Insani Press.

K.H. Salim Bahraesy. 2002. Menyaksikan 35 Mukjizat Rasulullah SAW. Surabaya: Pustaka Progresif.

Martin Lings. 2018. Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Cetakan Ke-3. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Muhammad Chirzin. 2011. Buku Pintar Asbabun Nuzul, Mengerti Peristiwa dan Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Jakarta: Zaman.

Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2006. Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Jakarta: Robbani Press.

Said Yusuf Abu Aziz. 2005. Azab Allah bagi Orang-Orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia.

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. 2008. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ust. Labib MZ. 2003. 10 Orang Divonis Masuk Neraka. Surabaya: Bintang Usaha Jaya. 

Yanuar Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Yogyakarta: Diva Press. 

 

2. Internet

 

quran.kemenag.go.id/sura/111

 



[1]) Shabahaah adalah sebuah seruan untuk meminta tolong (Al-Walidi an-Nisaburi, 2014:727).

 

Tidak ada komentar :