Menyembah berhala termasuk salah satu perbuatan tercela, karena menyembah
berhala sama dengan menyekutukan Allah. Artinya, menganggap ada “Tuhan” lain
yang berhak disembah atau yang dapat dijadikan penolong selain Allah. Padahal,
Allah berkali-kali mengingatkan kita melalui kalam-Nya yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad, agar kita jangan sekali-kali menyembah sesuatu selain Allah. Jangan
sekali-kali kita membuat tandingan bagi Allah. Hanya Allah-lah yang berhak
disembah dan dijadikan penolong.
Menurut para ahli tafsir dan sejarawan, manusia yang pertama kali
menyembah berhala adalah kaum Nabi Nuh. Nabi Nuh adalah nabi ketiga setelah
Nabi Adam dan Nabi Idris yang merupakan nabi-nabi yang wajib diimani oleh umat
Islam. Berdasarkan silsilah, Nabi Nuh merupakan generasi[1])
kesepuluh atau keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, garis
nasab Nabi Nuh adalah Nuh bin Lamik bin Matwasyalah bin Khanukh (Idris) bin
Yarad bin Mahlayil bin Qanin bin Anwasy bin Syits bin Adam.
Allah mengutus Nabi Nuh dengan tujuan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, karena mereka telah sesat.
Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
perintah), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih”
(Al-Qur’an
Surat Nūh [71] ayat 1).
Dikatakan sesat, karena kaum Nabi Nuh bukannya menyembah Allah, melainkan menyembah berhala-berhala. Ada 5 (lima) berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh, yakni Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Nūh ayat 23.
Dan mereka berkata,
“Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan
pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwā’,
Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr” (Al-Qur’an Surat Nūh [71] ayat 23).
Tentang berapa usia Nabi Nuh dari lahir hingga wafat, dan pada usia berapa beliau diangkat sebagai nabi, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai hal ini. Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabūt ayat 14 menyebutkan demikian.
Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka
dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang
zalim (Al-Qur’an
Surat Al-‘Ankabūt [29] ayat 14).
Kalimat yang berarti “maka dia tinggal bersama mereka selama
seribu tahun kurang lima puluh tahun” sebagaimana tercantum pada kutipan di atas, ada yang
mengatakan bahwa 950 tahun itu adalah umur Nabi Nuh sejak lahir hingga wafat. namun ada juga yang
mengatakan bahwa 950 tahun itu adalah masa Nabi Nuh berdakwah.
Di antara mereka yang berpendapat
bahwa 950 tahun itu adalah usia Nabi Nuh dari lahir hingga wafat, ada yang menganggap
jika Nuh diangkat sebagai nabi pada usia 50 tahun, ada yang menyatakan pada
usia 350 tahun, dan ada juga yang berpendapat pada usia 480 tahun. Sementara di
antara mereka yang mengatakan bahwa 950 tahun itu masa Nabi Nuh berdakwah
adalah Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh Ustad Marwan Hadidi bin Musa dalam Hidayatul Insan bi
Tafsiril Qur'an[2]). Ibnu Abbas berkata, “Nuh diutus ketika berusia 40
tahun, dan beliau tinggal (berdakwah) di tengah kaumnya selama seribu tahun
kurang lima puluh, dan tinggal setelah banjir besar selama 60 tahun, sehingga
banyak jumlah manusia dan bertebaran (di mana-mana)”.
Lepas dari masalah berapa umur Nabi Nuh sejak lahir
hingga wafat, dan pada usia berapa beliau diangkat sebagai nabi, yang jelas
kaum Nabi Nuh lebih banyak yang mendustakannya daripada yang mau menerima
seruan Nabi Nuh. Mereka yang menolak seruan Nabi Nuh karena berangggapan bahwa
Nabi Nuh hanyalah manusia biasa seperti dirinya, dan para pengikutnya adalah
orang-orang yang dianggap hina oleh mereka. Selain itu, juga disebabkan mereka tidak
mau meninggalkan penyembahan terhadap Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr yang telah lama
menjadi bagian hidupnya daripada menyembah Allah seperti yang diserukan oleh
Nabi Nuh. Bahkan mereka menganggap Nabi Nuh-lah yang sesat karena mengajak
mereka agar menyembah Allah saja, sementara mereka terbiasa menyembah lima
berhala, yaitu Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.
Bagaimana kisahnya,
orang-orang pada zaman Nabi Nuh menjadi penyembah berhala?
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa jarak antara
Nabi Adam dengan Nabi Nuh adalah sepuluh abad, di mana semua orang pada masa itu
adalah memeluk Islam. Yang dimaksud memeluk Islam di sini tentunya adalah
memeluk agama yang lurus, yang mengesakan Allah. Seiring berjalannya waktu,
terjadilah perubahan. Orang-orang yang tadinya menyembah Allah, berubah menjadi
menyembah berhala. Penyebabnya, seperti dikatakan Ibnu Jarir dalam tafsirnya
yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam bukunya berjudul Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi), mereka yang namanya dijadikan
sebagai nama-nama berhala adalah kaum yang hidup antara Nabi Adam dan Nabi Nuh.
Mereka mempunyai pengikut setia yang selalu megikuti mereka. Setelah mereka
meninggal dunia, para pengikutnya itu mengatakan, “Seandainya kita gambar (buat
patung) mereka tentu kita akan senantiasa rindu beribadah, ketika kita ingat
kepada mereka”. Para pengikut itupun menggambar mereka. Setelah para pengikut
itu meninggal dunia dan disusul oleh generasi berikutnya, maka iblis datang
dengan melancarkan tipu-daya dan perangkapnya. Akhirnya, patung-patung itu
menjadi berhala sesembahan untuk meminta hujan dan sebagainya.
Senada dengan yang dikatakan Ibnu Jarir, Ath-Thabari sebagaimana dikutip
oleh Yanuardi Syukur dalam bukunya berjudul Kisah
Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar, menyebutkan
bahwa pada mulanya kaum yang berada antara Nabi Adam dan Nabi Nuh adalah orang
yang shaleh. Mereka juga memiliki pengikut patuh. Namun, ketika para nabi dan
orang-orang shaleh meninggal, para pengikut itu berkata, “Jika kita membuat gambar
mereka, tentunya kita akan lebih gemar beribadah kaena mengingat mereka”.
Akhirnya, mereka membuat gambar para nabi dan orang-orang shaleh tersebut. Setelah
pembuat gambar itu mati, datanglah kelompok lain yang telah dirasuki iblis seraya
berkata, “Mereka menyembah orang-orang shaleh tersebut dan minta diturunkan
hujan”. Lantas, setiap orang menyembah masing-masing berhala dan menjadikannya
sembahan khusus. Setelah beberapa kurun, untuk lebih meyakinkan lagi, mereka
pun menjadikan gambar-gambar tersebut sebagai patung berjasad untuk disembah.
Kemudian mereka menyembahnya dengan beragam cara penyembahan.
Sementara H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman dalam bukunya berjudul Para Pembangkang,
Kisah-Kisah Kaum Terdahulu yang Dibinasakan Allah mengatakan bahwa sebelum
Nabi Nuh dan kaumnya terlahir, ada kakek-kakek[3]) Nabi
Nuh yang shaleh, yakni: Wadd,
Suwā’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka merupakan orang-orang yang tetap
memelihara dan menjalankan perintah Allah sebagaimana ajaran yang dibawa oleh
nabi sebelumnya, Nabi Adam dan Nabi Idris. Setelah beberapa zaman menjalani
hidup, mereka akhirnya kembali ke pangkuan Ilahi. Sepeninggal mereka,
orang-orang berusaha mencari cara untuk menghormati dan memperingati
kakek-kakek Nabi Nuh yang shaleh tersebut. Muncullah ide untuk membuat
patung-patung yang identik dengan mereka. Pada masa itu, orang-orang yang
membuat patung masih berada dalam jalan kebenaran. Seiring dengan berjalannya
waktu, para pembuat patung itu meninggal. Lalu, datanglah generasi berikutnya, yakni
anak dan cucu para pembuat patung tersebut. Di tangan generasi cucu-cucu inilah
mulai timbul penyelewengan-penyelewengan. Diawali dengan munculnya berbagai
dongeng dan khurafat[4])
yang membelenggu akal manusia yang menyebutkan bahwa patung-patung itu memiliki
kekuatan khusus. Tentu, kondisi ini menjadi kesempatan empuk bagi iblis untuk
membisikkan kesesatan kepada mereka.
Itulah kisah awal-mula
berhala disembah orang.
Sesungguhnya Nabi Nuh
telah berulang kali mengingatkan kaumnya agar meninggalkan penyembahan terhadap
berhala dan hanya Allah yang wajib disembah, tapi mereka tidak menghiraukan apa
yang disampaikan oleh Nabi Musa. Ratusan tahun Nabi Nuh berdakwah di
tengah-tengah kaumnya, hanya beberapa orang saja yang mengikutinya. Bahkan
istri dan anaknya yang bernama Kan’an juga mendustakannya. Akhirnya, Nabi Nuh
berdoa kepada Allah untuk menolong dirinya karena kaumnya mendustakannya. Doa Nabi Nuh dikabulkan.
Ia disuruh membuat kapal atas perintah dan pengawasan Allah. Setelah pembuatan
kapal selesai. Nabi Nuh dan para pengikutnya beserta hewan-hewan (tiap hewan
sepasang, jantan dan betina), diperintahkan naik ke atas kapal. Sesudah
semuanya naik, maka Allah mengazab mereka yang mendustakan ayat-ayat-Nya dengan
banjir besar. Matilah mereka tenggelam di dalam air. Sementara Nabi Nuh dan
orang-orang yang beriman diselamatkan oleh Allah.
Ternyata, berhala kaum Nabi Nuh tersebut tersebar juga di kalangan orang Arab
yang dipusatkan di setiap kaum sebagaimana disebutkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari.
“Dari Ibnu Abbas RA
bahwasanya berhala-berhala yang dahulu diagungkan oleh kaum Nabi Nuh, di
kemudian hari tersebar di bangsa Arab. Wadd menjadi berhala untuk kaum Kalb di
Daumatul Jandal. Suwa' untuk Bani Hudzail. Yaquts untuk Murad dan Bani Ghuthaif
di Jauf tepatnya di Saba`. Adapun Ya'uq adalah untuk Bani Hamdan. Sedangkan
Nashr untuk Himyar keluarga Dzul Kala'. Itulah nama-nama orang shaleh dari kaum
Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaum itu untuk mendirikan
berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama orang-orang shaleh
itu. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum
disembah hingga mereka wafat, sesudah itu, setelah ilmu tiada, maka berhala-berhala
itu pun disembah”.
Mengapa berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh dapat disembah oleh
bangsa Arab sebelum Islam? Padahal jarak waktu antara kaum Nabi Nuh hidup
dengan bangsa Arab sebelum Islam sangatlah jauh hingga ribuan tahun. Mengenai hal
ini, Abu Muhammad Miftah dalam bukunya berjudul Kisah-Kisah Berhala Musyrikin Jahiliyyah menyebutkan bahwa ‘Amr bin
Luhai mempunyai pembantu dari bansa jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa
berhala-berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr
terpendam di wilayah Jeddah. ‘Amr bin Luhai kemudian pergi ke Jeddah dan
membongkarnya, lalu membawanya ke Tihamah. Ketika tiba musim haji, dia
menawarkan kepada berbagai kabilah, kemudian kabilah tadi membawa
berhala-berhala tersebut ke negerinya masing-masing. Berhala Wadd adalah milik
kabilah Kalb di daerah Jarasy di wilayah Daumatul Jandal di Negeri Syam yang
dekat dengan Irak. Suwā’ adalah berhala milik Hudzail bin Mudrikah di daerah
Ruhat yang termasuk wilayah Negeri Hijaz, dari arah pantai lebih dekat dengan
Makkah. Yaghuts adalah berhala milik Bani Ghuthaif dan Bani Murad yang terletak
di wilayah Jauf[5]) di Negeri Saba’. Ya’uq
adalah berhala milik kabilah Hamdan di daerah Khaiwan di Negeri Yaman. Adapun
Nasr adalah berhala milik keluarga Dzul Kala’ dari kabilah Himyar di Negeri
Himyar.
Daftar Acuan
1.
Buku
Abu Muhammad Miftah. 2016.
Kisah-Kisah Berhala Musyrikin Jahiliyyah.
Sleman – Yogyakarta: Hikmah Anak Sholih (HAS).
H. Muhammad Yusuf bin
Abdurrahman. 2013. Para Pembangkang, Kisah-Kisah Kaum Terdahulu yang
Dibinasakan Allah. Jogjakarta: Diva Press.
Ibnu Katsir.
2015. Qishashul Anbiya’ (Kisah Para
Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.
Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah
dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.
2. Internet
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/ini-berhala-pertama-yang-disembah-umat-manusia-2zW5w
https://kbbi.web.id/generasi
https://kbbi.web.id/khurafat
https://tafsirweb.com/7240-surat-al-ankabut-ayat-14.html
http://quran.bblm.go.id/
https://quran.kemenag.go.id/
[1]) Yang dimaksud dengan generasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya; angkatan; turunan; dan (2) masa orang-orang satu angkatan hidup. Nabi Adam dan Hawa adalah generasi pertama manusia di muka bumi. Sementara yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah anak cucu atau angkatan.
[2]) https://tafsirweb.com/7240-surat-al-ankabut-ayat-14.html
[3])
Yang dimaksud kakek-kakek di sini adalah generasi sebelum Nabi Nuh dan kaumnya.
[4]) Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan khurafat
dengan dongeng (ajaran dan sebagainya) yang tidak masuk akal; takhayul
[5])
Abu Muhammad Miftah menyebut Al-Jurf, tapi hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
menyebut Jauf, sehingga nama wilayahnya disesuaikan dengan yang tercantum dalam
hadits.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar