Nama Namrud memang tidak disebut dalam
Al-Qur’an. Akan tetapi para ahli tafsir dan sejarawan menyebutkan bahwa orang
yang mendebat Nabi Ibrahim tentang Tuhannya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 258 adalah Namrud.
Tidakkah kamu
memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah
memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang
Menghidupkan dan Mematikan”, dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan
mematikan”. Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah ia dari barat”. Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang zalim (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258).
Siapakah Namrud itu? Rizem
Aizid menyebutkan bahwa Namrud adalah keturunan Nabi Nuh kelima. Silsilahnya:
Namrud bin Kan’an bin Kush bin Ham bin Nuh[1]).
Ibunya bernama Semiramis yang kelak menikah dengan Namrud. Namrud
lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal setelah “berkumpul” dengan ibunya.
Semiramis merupakan perempuan cantik dan cerdik. Ia mengaku belum pernah
disentuh oleh laki-laki dengan tujuan agar anaknya dimuliakan dan diagungkan
penduduk. Ia juga mengatakan bahwa Namrud adalah anak suci. Pengakuannya itu menjadikan
Namrud dianggap sebagai anak Tuhan. Ketika Namrud menginjak dewasa, Semiramis
merasa iri dengan teman perempuannya. Kecemburuannya inilah yang menyebabkan ia
menikahi anaknya sendiri.
Di kemudian hari, Namrud menjadi raja di
Kerajaan Babilonia. Saat Namrud berkuasa, hampir semua rakyatnya menjadi
penyembah berhala. Menurut Rizem Aizid, sistem kepercayaan rakyat Babilonia saat
itu cukup unik. Mereka memiliki banyak “Tuhan” yang diwujudkan dalam berbagai
bentuk patung. “Tuhan-Tuhan” mereka ada di setiap kota, desa, dan
kampung-kampung. “Tuhan-Tuhan” yang berada di kota memiliki derajat dan
kekuasaan yang berbeda dengan “Tuhan-Tuhan” yang ada di desa dan
kampung-kampung. Artinya, kekuasaan ”Tuhan” yang ada di kampung lebih kecil
dibandingkan dengan kekuasaan “Tuhan” yang ada di kota. “Tuhan” yang paling
besar kekuasaannya adalah “Tuhan” yang berada di ibukota negara. Marduk[2])
adalah “Tuhan” yang paling besar dan menjadi panglimanya para “Tuhan”. Selain
menyembah berhala, rakyat Babilonia juga menyembah bintang-bintang,
planet-planet, matahari, dan bulan yang mereka sebut dengan nama Nanar sebagai
Dewa Bulan, Syamas sebagai Dewa Matahari, dan beberapa planet yang paling
dikenal oleh bangsa Babilonia, yaitu Bunga, Ester, dan Mars.
Sebagai raja yang otoriter, apa yang diinginkan harus
terlaksana. Oleh karena itu, ketika Raja Namrud memproklamasikan diri sebagai
“Tuhan” dan kemudian memerintahkan kepada rakyatnya agar bertuhan kepada
dirinya selain kepada berhala-berhala, maka rakyatpun harus tunduk. Semua perintahnya
harus dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi dilanggar.
Pada suatu ketika, demikian kata Maftan dan Ust.
Fatihuddin Abul Yasin, Raja Namrud bermimpi melihat seorang anak
laki-laki masuk ke dalam kamarnya, lalu merampas mahkota dan menghancurkannya.
Keesokan harinya, Raja Namrud memanggil tukang ramal dan tukang tenung untuk
menafsirkan arti mimpinya. Menurut tukang ramal, anak laki-laki dalam mimpi itu
kelak akan meruntuhkan kekuasaan sang raja. Tentu saja Raja Namrud murka. Tak
ingin tahta kerajaan jatuh ke tangan orang lain, secepatnya Raja Namrud memerintahkan
kepada para prajuritnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir.
Versi lain seperti disebutkan oleh Said Yusuf
Abu Azir, pada suatu malam Raja Namrud tertidur, kemudian ia bermimpi bahwa
satu bintang tiba-tiba turun dari langit, sehingga matahari sama sekali tidak
memancarkan cahayanya. Bangunlah ia dengan rasa kaget yang tak terhingga.
Kemudian ia memanggil para ahli sihir dan para ahli nujum untuk menakwilkan
mimpinya. Mereka berkata, “Pada tahun ini akan lahir seorang bayi laki-laki di
wilayah ini yang akan mengancam kekuasaanmu”. Raja Namrud kemudian
memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir pada tahun tersebut.
Berbeda dengan yang disebutkan oleh Maftan dan Ust.
Fatihuddin Abul Yasin serta Said Yusuf Abu Azir, Dewi Astuti dkk.
menyebutkan bahwa pada suatu waktu, Raja Namrud bermimpi telah lahir seorang
bayi laki-laki yang akan merampas tahtanya. Hal ini suatu pertanda bahwa
kekuasaan Raja Namrud akan runtuh, bahkan ia akan mati dalam keadaan
mengenaskan. Raja Namrud tidak mau hal ini terjadi. Ia memerintahkan untuk
membunuh semua bayi yang dilahirkan di Babilonia
Di wilayah kekuasaan Raja Namrud, hidup seorang
laki-laki yang dikenal sebagai pembuat patung, Azar namanya. Ia sering menjual
patung-patung buatannya kepada penduduk Babilonia. Patung-patung buatan Azar
kemudian dijadikan sebagai sembahan oleh sebagian penduduk Babilonia. Selain
sebagai pembuat patung, Azar juga menyembah patung buatannya. Dikarenakan
pekerjaannya itulah, Azar disukai oleh Namrud.
Azar memiliki istri yang sedang mengandung.
Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Ibrahim.
Tentang di mana Ibrahim dilahirkan, ada dua
pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa Ibrahim dilahirkan di
rumah, kemudian dibawa ke sebuah gua di hutan guna menyelamatkan nyawa Ibrahim
dari kaki tangan Raja Namrud yang mencari bayi yang baru dilahirkan untuk
dibunuh, meskipun tidak disebut secara terang-terangan lahir di rumah. Mereka
yang berpendapat seperti itu adalah Maftan, Ust. Fatihuddin Abul Yasin, dan Rizem
Aizid.
Namun ada juga yang mengatakan bahwa ibu Ibrahim melahirkan anaknya langsung di
gua supaya tidak ketahuan oleh kaki tangan Raja Namrud yang sewaktu-waktu dapat
mengakhiri hidup anaknya. Yang berpendapat seperti itu adalah Dewi Astuti dkk.
Sementara Said Yusuf Abu Azis mengatakan ketika kelahiran telah
dekat, ibu Ibrahim pergi dari wilayah tersebut dan melahirkan di sungai yang
kering, lalu ayahnya menyimpan bayi tersebut di dalam sardab (sebuah gua di bawah tanah).
Menurut riwayat, bayi tersebut
ditinggal di dalam gua sendirian. Seminggu kemudian, orang tua Ibrahim datang
ke gua tadi dan terkejut ketika didapati anaknya masih hidup. Bagaimana bisa?
Ternyata Allah-lah yang menjaga Ibrahim dari bahaya binatang buas. Allah pula
yang memberikan makanan kepada Ibrahim. Atas kuasa Allah, ketika Ibrahim yang
masih bayi itu menghisap jarinya, maka keluarlah susu. Ada yang mengatakan keluar
madu yang banyak mengadung gizi untuk makanan Ibrahim. Selanjutnya, orang tua
Ibrahim sesekali mengejuk Ibrahim dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Menurut Said Yusuf Abu Azis,
pertumbuhan dan perkembangan Ibrahim sangat cepat. Dalam jangka waktu satu
tahun, ia tampak seperti anak yang telah berusia tiga tahun. Tatkala Ibrahim
keluar dari gua beberapa waktu kemudian, orang menyangka ia telah dilahirkan
beberapa tahun yang lalu.
Di rumah orang tuanya, Ibrahim kecil selalu
melihat ayahnya memahat patung untuk dijual dan disembah oleh pembelinya. Azar,
ayah Ibrahim, juga menyembah patung buatan sendiri. Meskipun ayahnya seorang
pembuat dan penyembah patung, demikian juga lingkungan sekitarnya, tapi Allah
memberikan hidayah kepada Ibrahim untuk tidak ikut menyembah berhala. Ibrahim
bahkan menolak jika diajak menyembah berhala, karena ia tahu bahwa patung
hanyalah batu.
Setelah dianggap mampu membawa patung, ayahnya
menyuruh Ibrahim untuk menjual patung buatannya. Sebagai anak, ia tetap
melaksanakan perintah ayahnya. Namun bagaimana cara Ibrahim menawarkan
dagangannya? Ketika menjajakan patung buatan ayahnya, Ibrahim berkata, “Patung,
patung! Siapa mau beli patung yang tak berguna ini?”.
Sejak
kanak-kanak, Ibrahim telah memiliki kecerdasan dalam berpikir. Ibrahim heran,
mengapa orang-orang menyembah patung, padahal ia tahu, patung-patung yang
mereka sembah adalah buatan ayahnya. Patung-patung yang mereka sembah juga tak
memiliki kemampuan apa-apa. Patung-patung itu tak dapat berbicara, melihat,
mendengar, dan bahkan tak dapat menolong dirinya sendiri, apalagi menolong
orang. Ibrahim pun berusaha mencari Tuhan yang sejati. Kisah Ibrahim mencari
Tuhannya ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-An’ām ayat 75-82.
Ibrahim yang menganggap ayah dan
kaumnya sesat, berusaha mencari Tuhannya. Allahpun memperlihatkan kepada
Ibrahim tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di langit dan di bumi, agar dia
termasuk orang-orang yang yakin.
Ketika siang berganti malam, Ibrahim
melihat sebuah bintang di langit yang gelap. Ibrahim menganggap bintang adalah
Tuhan.
“Inilah Tuhanku”, kata Ibrahim.
Namun ketika bintang itu terbenam, Ibrahim
kecewa.
“Aku tidak suka pada yang terbenam”.
Suatu saat, Ibrahim melihat bulan
terbit. Ia pun girang, karena ia mengganggap itulah Tuhannya. Akan tetapi
ketika bulan itu terbenam, diapun kembali kecewa.
“Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”, katanya.
Ibrahim terus mencari Tuhannya. Sewaktu
dia melihat matahari terbit, dia menyangka bahwa matahari adalah Tuhannya.
“Inilah Tuhanku! Yang ini lebih besar”,
kata Ibrahim.
Tatkala matahari yang dikira Tuhan itu terbenam,
Ibrahim kembali kecewa. Ia lalu berkata kepada kaumnya.
“Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada yang
menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, mengikuti agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik”.
Ibrahim dibentak oleh kaumnya.
“Apakah kamu hendak membantahku tentang
Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut
pada malapetaka dari apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku
menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat
mengambil pelajaran?”, kata Ibrahim menjawab bantahan kaumnya.
“Bagaimana aku takut pada apa yang kamu
persekutukan dengan Allah, padahal kamu tidak takut dengan apa yang Allah
sendiri tidak menurunkan keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah
dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan dari malapetaka,
jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan
mereka mendapat petunjuk”, lanjut Ibrahim.
Menurut al-Razi sebagaimana dikutip
dalam https://tafsiralquran.id/,
Ibrahim telah mengenal Tuhannya sebelum kejadian tersebut dengan mengantongi
bukti empiris[3]).
Adapun bukti yang sahih sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya:
Dan (ingatlah) ketika
Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, ”Pantaskah engkau menjadikan
berhala-berhala itu sebagai ‘Tuhan’? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu
dalam kesesatan yang nyata” (Al-Qur’an
Surat Al-An’ām ayat 74).
Itulah proses pencarian Tuhan yang
dilakukan oleh Ibrahim. Setelah melalui berbagai cara dalam mencari Tuhannya,
akhirnya Ibrahim dapat menggunakan akal pikirannya untuk mencari kebenaran.
Tentu saja hal ini disertai dengan hidayah dari Allah, sehingga Ibrahim dapat menemukan
Tuhannya, yakni Allah. Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta
isinya, Tuhan yang tidak akan lenyap, bahkan Dialah yang akan melenyapkan alam
semesta beserta isinya.
Setelah Ibrahim menemukan Tuhannya, ia kemudian
menghadapkan diri kepada-Nya. Menurut Yanuar Arifin, Nabi Ibrahim yang sudah
berketetapan hendak memerangi syirik, ingin terlebih dulu mempertebal iman dan
keyakinannya dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana
Allah menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah
memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim. Diperintahkanlah ia menangkap empat
ekor burung, memperhatikan, dan meneliti burung-burung tersebut. Setelah itu,
burung-burung tersebut dipotong-potong, dan potongan-potongan burung-burung itu
diletakkan di atas puncak bukit dari empat bukit yang letaknya saling berjauhan
satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, Ibrahim diperintahkan untuk memanggil
burung-burung yang sudah dicincang-cincang tadi. Dengan izin Allah, datanglah
empat ekor burung yang sudah mati dipotong-potong tadi dalam keadaan hidup.
Nabi Ibrahim kemudian mengajak kaumnya
untuk meninggalkan penyembahan berhala dan beribadah hanya kepada Allah. Namun
sebelum mengajak kaumnya, Nabi Ibrahim terlebih dahulu mengajak keluarganya
untuk meninggalkan penyembahan berhala.
Meskipun ayahnya kafir dan sesat, tapi
Nabi Ibrahim tidak berlaku kasar terhadap ayahnya. Nabi Ibrahim menyeru ayahnya
dengan lembut dan sopan. Kelembutan dan kesopanan Nabi Ibrahim terhadap
ayahnya, dapat dilihat dari perkataannya yang tetap memanggil “Wahai, ayahku!”,
dan bukan “Wahai, Azar!”. Dialog antara anak dan ayahnya itu diabadikan dalam
Al-Qur’an Surat Maryam ayat 42-48.
“Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit
pun?”
“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai
kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”.
“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah
setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih”.
“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir
engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi
teman bagi setan”.
Meskipun diinggatkan dengan lembut dan
sopan oleh anaknya, Azar sama sekali tak menghiraukan seruan Nabi Ibrahim,
bahkan berkata kasar dan mengusirnya.
“Bencikah engkau kepada ‘Tuhan-Tuhanku’,
wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam. Tinggalkanlah
aku untuk waktu yang lama”.
Nabi Ibrahim harus menerima kenyataan bahwa
ayahnya menolak mentah-mentah ajakannya untuk beribadah hanya kepada Allah. Bahkan
jika ajakannya diteruskan, ia akan dirajam. Nabi Ibrahim pun diusir oleh
ayahnya sendiri. Meskipun demikian, Nabi Ibrahim masih tetap mendoakan ayahnya.
“Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia
sangat baik kepadaku”, kata Nabi Ibrahim.
“Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari
apa yang engkau sembah selain Allah. Aku akan berdoa kepada Tuhanku,
mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”, lanjut Nabi
Ibrahim.
Nabi Ibrahim memintakan ampunan untuk
ayahnya sebagaiman yang ia janjikan kepadanya. Namun setelah jelas bagi Nabi
Ibrahim bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka ia melepaskan diri dari ayahnya,
sebagaimana difirmankan oleh Allah.
Adapun permohonan ampunan
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji
yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh,
Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (Al-Qur’an Surat
At-Taubah ayat 114).
Kepada kaumnya, Nabi Ibrahim juga
selalu mengingatkan mereka agar meninggalkan penyembahan berhala dan mengajaknya
hanya untuk menyembah Allah.
“Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain
Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan”.
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah
selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu. Mintalah rezeki kepada
Allah. Sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan
dikembalikan. Jika kamu mendustakan, maka sungguh, umat sebelum kamu juga telah
mendustakan para utusan Allah. Kewajiban utusan Allah itu hanyalah menyampaikan
agama Allah dengan jelas”.
“Berjalanlah di muka bumi, dan
perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan makhluk, kemudian Allah membangkitkan
manusia sesudah mati kelak di akhirat. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu”.
“Allah mengazab siapa yang Dia kehendaki,
dan memberi rahmat kepada siapa yang Dia kehendaki pula. Hanya kepada-Nya kamu
akan dikembalikan”.
“Kamu sama sekali tidak dapat melepaskan
diri dari azab Allah baik di bumi maupun di langit, dan tidak ada pelindung dan
penolong bagimu selain Allah”.
"Orang-orang
yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, mereka berputus asa
dari rahmat-Ku, dan mereka itu akan mendapat azab yang pedih”.
Orang-orang kafir itu terdiam. Tak ada
jawaban sama sekali selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia!”.
“Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu
sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara
kamu dalam kehidupan di dunia, kemudian pada hari kiamat sebagian kamu akan
saling mengingkari dan saling mengutuk. Tempat kembalimu ialah neraka, dan sama
sekali tidak ada penolong bagimu”, kata Nabi Ibrahim.
Kabar tentang Nabi Ibrahim yang suka
menghina “Tuhan-Tuhan” mereka, terdengar sampai ke telinga Raja Namrud. Tentu
saja Raja Namrud marah, karena ia juga termasuk orang yang sesat. Meskipun
demikian, Nabi Ibrahim tetap melakukan dakwah.
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
menyembahnya?”, tanya Nabi Ibrahim.
“Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya”,
jawab orang-orang kafir.
“Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu
berada dalam kesesatan yang nyata”.
“Apakah engkau datang kepada kami membawa
kebenaran atau engkau main-main?, tanya mereka.
“Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan pemilik
langit dan bumi. Dialah yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang yang
dapat bersaksi atas itu. Demi Allah, aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya”.
Menurut suatu riwayat, penduduk
Babilonia setiap tahunnya memiliki tradisi keluar kota secara beramai-ramai
pada hari raya yang dianggap keramat. Tradisi tersebut dilakukan oleh raja dan
seluruh penduduk yang ada. Saat tradisi tersebut dilaksanakan, Ibrahim tidak
ikut. Alasannya, sedang kurang enak badan. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim
dimaklumi jika tidak ikut meramaikan tradisi tersebut.
Ketika kota sudah sepi, apa yang
dikatakan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya bahwa “Aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya”, betul-betul
dilaksanakan. Dengan diam-diam Nabi Ibrahim mendatangi berhala-berhala yang ada.
Setelah berada di dekat berhala, Nabi Ibrahim berkata kepada berhala-berhala
tersebut.
“Apakah kamu tidak makan? Mengapa kamu
tidak menjawab?”
Perkataan Nabi Ibrahim ini dimaksudkan
menanyakan pada berhala-berhala tersebut, “mengapa tidak makan”, padahal di
dekatnya banyak sesaji yang diperuntukkan baginya oleh kaum musyrik. Nabi
Ibrahim lalu menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya dengan
kapak. Ada satu berhala yang sengaja tidak dihancurkan oleh Nabi Ibrahim, yakni
berhala yang paling besar. Diletakkanlah kapak yang dipakai untuk menghancurkan
berhala-berhala yang ada, di bahu berhala yang paling besar.
Sewaktu penduduk kota beserta raja
kembali dari luar kota setelah selesai melaksanakan tradisi, mereka terkejut
begitu melihat keberadaan “Tuhan-Tuhan”-nya hancur berkeping-keping, kecuali
berhala yang paling besar. Penduduk kota marah. Tak kalah besar amarahnya dari
penduduk kota adalah Raja Namrud. Sebagai penguasa, ia merasa dihina
“Tuhan-Tuhan”-nya dihancurkan orang. Raja Namrudpun memerintahkan kepada para prajurit
dan rakyatnya untuk mencari siapa orang yang berani menghancurkan sembahannya.
“Siapakah yang telah berani menghancurkan
‘Tuhan-Tuhan’ kami? Sungguh, dia benar-benar orang yang zalim, karena lancang
melecehkan ‘Tuhan-Tuhan’ kita”, kata mereka kepada sebagian yang lain.
“Kami mendengar ada seorang pemuda yang
mencela berhala-berhala kita. Namanya Ibrahim”, kata yang lain.
“Kalau begitu, bawalah dia ke sini. Perlihatkan
kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan pengakuannya”, kata pemuka kaum
musyrikin.
Nabi Ibrahimpun dicari. Setelah
ditemukan, Nabi Ibrahim dijadikan tersangka dan dihadapkan kepada pemimpin
mereka. Penduduk merasa senang, karena sang penghancur berhala tentu akan
dihukum. Sebaliknya, Nabi Ibrahim tetap tenang menghadapi sidang pengadilan.
“Apakah engkau yang melakukan perbuatan ini
terhadap ‘Tuhan-Tuhan’ kami, wahai Ibrahim?”
Nabi Ibrahim berpura-pura
tidak mengaku jika dirinya yang merusak patung-patung tersebut.
“Sebenarnya patung besar itu yang
melakukannya. Tanyakanlah pada patung tersebut, jika ia dapat berbicara”, jawab
Nabi Ibrahim
Setelah
mendengar jawaban Nabi Ibrahim, mereka kembali pada kesadaran yang jernih
sesuai akal sehat dan nurani, bahwa patung-patung itu memangg tidak layak untuk
disembah. Pemimpin mereka pun berkata, “Sesungguhnya kamu sekalianlah yang
menzalimi diri sendiri, terus-menerus menyembah patung yang tidak bisa bicara,
tidak bisa membela diri, apalagi menyelamatkan manusia”.
Sambil menundukkan kepala, mereka
berkata kepada Nabi Ibrahim, “Engkau pasti tahu bahwa berhala-berhala itu tidak
dapat berbicara”.
Nabi Ibrahim mendapat peluang untuk
menunjukkan kebodohan mereka.
“Mengapa kamu menyembah selain Allah,
sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula
mendatangkan mudharat kepadamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain
Allah! Tidakkah kamu mengerti?”
Ketika mereka kalah dalam berdebat karena
argumentasinya terpatahkan oleh Nabi Ibrahim, mereka kemudian menggunakan kekuasaannya
untuk tetap menghukum Nabi Ibrahim.
“Bakarlah dia! Bantulah ‘Tuhan-Tuhan’-mu, jika
kamu benar-benar hendak menolong ‘Tuhan-Tuhan’-mu”.
Merekapun membuat bangunan untuk
membakar Nabi Ibrahim. Setelah api dinyalakan yang kian lama makin membesar,
lalu dilemparkanlah Nabi Ibrahim ke dalam api yang menyala-nyala. Menghadapi
hukuman tersebut, Nabi Ibrahim memanjatkan doa kepada Allah, “Hasbunallah wa ni’mal wakīl” (Cukuplah
Allah sebagai pelindung kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Penjagaan Allah mengalahkan segala perintah orang-orang
zalim.
Allah berfirman, “Hai api,
jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim”.
Api pun tunduk pada perintah
Allah. Sifat api yang panas, berubah menjadi dingin dan tidak membahayakan Nabi
Ibrahim sehingga dia dapat keluar dari api dalam keadaan selamat atas izin
Allah.
Setelah Ibrahim keluar dari
api dengan selamat tanpa terbakar sedikitpun, maka terjadilah perdebatan antara
Namrud dan Ibrahim sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 258 yang terjemahannya telah disebutkan di atas. Ini menurut pendapat Saddiy sebagaimana dikutip
oleh Ibnu Katsir. Sementara menurut riwayat Abdurrazaq yang juga dikutip oleh
Ibnu Katsir, perdebatan tersebut terjadi pada saat Namrud mengadakan jamuan
makan. Kisah perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, demikian.
Kala Nabi Ibrahim menyeru kepada Raja Namrud
agar beriman kepada Allah, ia menolak dan meminta bukti nyata mengenai
keberadaan Allah. Ketika Nabi Ibrahim mengatakan bahwa, “Tuhanku Mahakuasa
untuk menghidupkan dan mematikan”, dengan pongahnya Raja Namrud berkata, “Aku
juga dapat menghidupkan dan mematikan”. Raja Namrud kemudian menghadirkan dua
narapidana. Salah satu dari narapidana tersebut dibebaskan hidup, sedang yang
seorang lagi dipidana mati. Inilah yang dimaksud oleh Raja Namrud bahwa dirinya
dapat menghidupkan dan mematikan. Namun ketika Nabi Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka
terbitkanlah ia dari barat”, maka bingunglah Raja Namrud, karena ia tak mampu
menunjukkan sifat “Tuhan” yang Mahakuasa atas segalanya. Raja Namrud
benar-benar tersudut, kehabisan bahan bicara untuk menjawab perkataan Nabi
Ibrahim.
Menurut Siti Zainab Luxfiati, setelah terjadi
perdebatan, karena tak mau kalah dengan Nabi
Ibrahim, Raja Namrud kemudian menantangnya. Kata Raja Namrud, “Hai, Ibrahim!
Aku menantang Tuhanmu. Buktikan dia bisa berperang melawanku!”. Nabi Ibrahim
terkejut mendengar tantangan Raja Namrud. Beliau khawatir azab akan menimpa Raja
Namrud dan para pengikutnya. Ketika Raja Namrud telah siap dengan
pasukannya, tiba-tiba tampak awan hitam menggantung di langit. Ternyata itu
adalah pasukan nyamuk yang jumlahnya sangat banyak. Nyamuk-nyamuk tersebut
menyerang Raja Namrud dan pasukannya. Pasukan Raja Namrud mati bergelimpangan
karena lemah tak berdaya digigit nyamuk. Sementara Raja Namrud yang berusaha
menyelamatkan diri, dikejar oleh seekor nyamuk. Raja Namrud berhasil dikejar,
dan nyamuk tersebut masuk ke hidung Raja Namrud, lalu menggigitnya. Raja Namrud
berteriak kesakitan. Kepalanya serasa mau pecah. Sekujur tubuhnya terasa sakit.
Akhirnya raja sombong tersebut mati tak kuasa melawan seekor nyamuk.
Berbeda dengan yang dikatakan oleh Siti Zainab
Luxfiati, Ibnu Katsir yang mengutip pendapat Zaid bin Aslam mengatakan bahwa
Allah mengirimkan kepada raja sombong itu, malaikat yang menyuruhnya beriman
kepada Allah, tetapi ia menolaknya. Lalu malaikat itu mengajaknya untuk yang
kedua kalinya, hingga ketiga kalinya, tetapi ia tetap menolaknya. Kemudian malaikat
itu berkata, “Kumpulkan semua yang dapat engkau kumpulkan, dan akupun akan
mengumpulkan bala-tentaraku”. Raja Namrud mengumpulkan bala-tentaranya tepat
pada saat matahari terbit. Kemudian Allah mengirimkan lalat yang tidak terlihat
oleh mereka. Lalat-lalat itu memakan daging dan darah mereka hingga yang tersisa
hanya tulang-belulang saja. Kemudian salah satu lalat dari lalat-lalat itu
masuk ke dalam lubang hidung Raja Namud dan menetap di dalamnya selama empat
ratus tahun. Dengan lalat itulah Allah mengazabnya. Selama itu pula ia selalu
memukuli kepalanya dengan besi sehingga Allah membinasakannya.
Setelah itu, Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan
Babilonia sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabūt
ayat 26.
Maka Luth membenarkan
(kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus
berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku; sungguh, Dialah Yang
Mahaperkasa, Mahabijaksana”.
Daftar
Acuan
1.
Buku
Dewi
Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si
Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta:
Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.
Fatchur Rochman AR.
1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an.
Surabaya: Apollo.
Ibnu Katsir. 2015. Qishashul
Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.
Labib Mz.
dan Maftuh Ahnan. 1983. Mutiara Kisah 25
Nabi Rasul. Gresik: CV Bintang Pelajar.
Maftan.
2005. Kisah 25 Nabi & Rasul.
Jakarta: Sandro Jaya.
Muhammad
Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an,
Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah – Al-An’am. Jilid 1. Cetakan Kedua.
Terjemahan: Munirul Abidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muhammad Fairus NA. 2011. Koleksi Kisah 25 Nabi. Surabaya: Pustaka Media.
Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi
Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia.
Rizem Aizid. 2015. Ibrahim
Nabi Kekasih Allah. Yogyakarta: Saufa.
Siti Zainab Luxfiati.
2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid
1. Jakarta: Dian Rakyat.
Ust.
Fatihuddin Abul Yasin. 1997. Kisah
Teladan 25 Nabi & Rasul. Surabaya: Terbit Terang.
Yanuar
Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Jogjakarta: Diva
Press.
Yanuardi
Syukur.
2014. Kisah Perjuangan
Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta:
Al-Maghfiroh.
Zen Abdurrahman. 2012. Wisata Sejarah Bersama Al-Qur’an. Jogjakarta: Diva Press.
2.
Internet
https://tafsirweb.com/
https://tafsiralquran.id/kisah-nabi-ibrahim-mencari-tuhan-melalui-matahari-dalam-al-quran/
[1])
Menurut Ibnu Katsir, silsilah Namrud adalah Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Sam bin Nuh.
[2])
Yanuar Arifin menyebutnya: Mardukh.
[3])
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata empiris diartikan: berdasarkan
pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang
telah dilakukan).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar