Samiri adalah orang yang hidup sezaman dengan
Nabi Musa dan Nabi Harun. Ia merupakan salah satu kaum Bani Israil yang pandai
sihir dan pandai pula membuat patung.
Meskipun Fir’aun dan bala tentaranya telah tewas ditelan Laut Merah kala mengejar Nabi Musa dan para pengikutnya, tapi warisan kekufuran masih tertanam dalam jiwa rakyatnya akibat bertahun-tahun menerima ajaran Fir’aun. Nabi Musa merasakan sulitnya memperbaiki budi pekerti mereka yang telah rusak itu. Oleh karena itu, Nabi Musa memohon kepada Allah agar Harun diutus juga sebagai nabi bersama dirinya untuk membantu membenarkan perkataannya, karena Harun lebih pandai dalam bebicara.
Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku (Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 34).
Permintaan Nabi Musa dikabulkan oleh Allah. Harun diangkat sebagai nabi untuk menguatkan atau membantu Nabi Musa.
Dia (Allah) berfirman, “Kami akan menguatkan engkau (membantumu) dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak akan dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang” (Al-Qur'an Surat Al-Qashash ayat 35).
Nabi Harun adalah saudara kandung Nabi Musa.
Meskipun Nabi Harun lebih tua dari Nabi Musa, tapi ia diangkat sebagai nabi
setelah Musa diangkat sebagai nabi terlebih dahulu. Nabi Musa-lah yang memohon
kepada Allah agar dibantu saudara tuanya, karena ia tahu Harun lebih pandai
dalam berbicara. Nabi Harun memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap
dakwah Nabi Musa. Ia yang memiliki keahlian berbicara, siap berdebat atau
menyangkal pembicaraan lawan.
Pada suatu saat, Nabi Musa mendapat perintah
dari Allah agar pergi ke Bukit Thur untuk menerima wahyu. Nabi Musa berpesan
kepada Nabi Harun untuk menjaga kaumnya jangan sampai berbuat kerusakan. Nabi
Harun mengiyakan apa yang diperintahkan Nabi Musa.
Nabi Musa pergi menuju ke tempat yang telah
ditentukan oleh Allah. Beliau berada di tempat tersebut selama 30 malam, yang
disempurnakan dengan 10 malam lagi, sehingga menjadi 40 malam. Di tempat
tersebut, dalam kondisi suci jiwa dan raganya, Nabi Musa mendengar firman Allah
langsung. Nabi Musa sangat bahagia dapat mendengar suara Allah yang selama ini
telah menyelamatkan dirinya mulai dari bayi hingga diutus sebagai nabi.
“Ya Allah, tampakkanlah diri-Mu kepada hamba
agar hamba dapat melihat-Mu”, Nabi Musa memohon kepada Allah.
“Wahai Musa, kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.
Cobalah lihat gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat
melihat-Ku”, jawab Allah.
Allah pun menampakkan keagungan-Nya. Namun apa
yang terjadi? Gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah
sadar, Musa berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku
adalah orang yang pertama-tama beriman”.
Di tempat yang berbeda, sepeninggal Nabi Musa, penjagaan kaumnya diserahkan kepada Nabi Harun agar tidak berbuat kerusakan. Selama Nabi Musa sedang menerima wahyu, ada seseorang bernama Samiri, yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyesatkan kaum Bani Israil.
Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Bukit Thur) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas) (Al-Qur’an Surat Al-A’rāf ayat 148).
Said Yusuf Abu Azis dalam bukunya berjudul Azab Allah bagi Orang-orang Zalim menceritakan tentang pembuatan patung anak sapi oleh Samiri, demikian.
Samiri berkata kepada kaum Bani Israil, “Musa telah melanggar janjinya kepada kamu sekalian karena kalian memiliki perhiasan hasil curian dari orang-orang Mesir. Padahal, barang tersebut diharamkan kepadamu karena kamu hasilkan dengan cara yang tidak sah secara hukum. Kemudian Samiri meminta kepada mereka untuk menghancurkan perhiasan-perhiasan tersebut dan melemparkannya ke dalam api, dan mereka benar-benar melemparkannya. Potongan-potongan emas dan perak tersebut dia jadikan patung berbentuk sapi.
Sementara tentang dapat bersuaranya patung sanak
sapi seperti disebut dalam
Al-Qur’an
Surat Al- A’rāf ayat 148, para ahli tafsir berbeda pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa sebenarnya patung tersebut tidak bernyawa, sedangkan suara
yang seperti suara sapi tersebut disebabkan oleh angin yang masuk ke rongga
patung dengan teknik yang dikenal oleh Samiri saat itu. Ada
juga yang berpendapat bahwa patung yang dibuat Samiri itu bernyawa dan dapat
bersuara seperti sapi. Ada lagi yang menyebutkan bahwa patung itu bisa bersuara
tapi tidak bernyawa.
Setelah selesai membuat patung, Samiri kemudian
menunjukkan kepada para pengikut Nabi Musa.
“Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tapi Musa telah
lupa”, kata Samiri kepada para pengikut Nabi Musa.
Menurut Hamid bin Ahmad, yang dimaksud “Musa
telah lupa” adalah Musa lupa terhadap “Tuhan”-nya yang ada di sini kita. Musa
berusaha mencari Tuhannya, padahal “Tuhan” yang dia cari ada di samping kita.
Kaum Bani Israil yang menjadi pengikut Nabi
Musa-pun termakan bujuk-rayu Samiri. Mereka yang selama ini belum pernah
melihat Tuhan, percaya pada omongan Samiri bahwa patung anak sapi itu adalah
“Tuhan”. Merekapun menyembah patung anak sapi buatan Samiri.
Apa yang mereka lakukan tentu membuat Nabi Harun
terkejut. Ia tak menyangka kaumnya kini meninggalkan Allah dan berganti
menyembah patung anak sapi. Berkali-kali Nabi Harun mengingatkan kaumnya, tapi
mereka keras kepala.
“Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu ditipu
oleh Samiri dengan patung anak sapi itu. Tuhanmu ialah Allah Yang Maha Pengasih.
Ikutilah aku dan taatilah perintahku”, kata Nabi Harun kepada mereka.
“Kami tidak akan meninggalkan patung
anak sapi, dan tetap akan menyembahnya sampai Musa kembali kepada kami”, jawab
mereka.
Ketika Nabi Musa masih berada di Bukit
Thur, Allah telah memberi tahu kepadanya bahwa sejak ditinggalkan oleh Nabi
Musa, kaumnya disesatkan oleh Samiri. Oleh karena itu, setelah selesai menerima
wahyu, Nabi Musa bergegas kembali kepada kaumnya. Betapa terkejutnya ia ketika
didapati kaumnya kini memiliki sembahan baru, yakni patung anak sapi. Kemarahan
Nabi Musa dilampiaskan kepada kaumnya yang sesat dan kepada Nabi Harun yang telah
diserahi tanggung jawab untuk menjaga kaumnnya.
“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan
sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?”, kata Nabi
Musa kepada kaumnya.
Nabi Musa melemparkan
luh-luh (Taurat) itu dan kemudian menarik janggut Nabi Harun, karena
ia dianggap tidak dapat menjaga amanah.
“Wahai Harun! Apa yang menghalangimu untuk
mencegah mereka ketika kau melihat mereka telah sesat? Apakah kau sengaja
melanggar perintahku?”, tanya Nabi Musa.
“Wahai putra ibuku! Janganlah engkau
pegang janggutku dan jangan pula engkau pegang kepalaku. Aku sungguh khawatir
engkau akan berkata kepadaku, ‘Kau telah memecah-belah Bani Israil dan tidak
memelihara amanatku’”, jawab Nabi Harun.
“Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah
dan hampir-hampir mereka membunuhku. Oleh sebab itu, janganlah engkau
menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan jangan pula engkau masukkan aku
ke dalam golongan orang-orang yang zalim”, lanjut Nabi Harun.
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan
saudaraku, dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu. Engkau adalah Maha
Penyayang dari semua penyayang”, kata Nabi Musa memohon ampun kepada Allah.
Nabi Musa pun marah kepada Samiri yang
menjadi penyebab kaumnya melakukan perbuatan syirik.
“Apa yang mendorongmu berbuat demikian,
wahai Samiri?”, tanya Nabi Musa.
“Aku melihat dan mengetahui
sesuatu yang tidak mereka ketahui. Aku melihat Jibril menunggang kuda ketika
Bani Israil keluar dari laut dan Fir'aun tenggelam. Jadi, aku ambil segenggam
tanah dari jejak tapal kuda rasul itu, lalu aku melemparkannya ke arah
perhiasan-perhiasan yang aku jadikan bahan membuat patung anak sapi itu hingga
patung itu mampu mengeluarkan suara. Aku tahu mereka pernah memintamu untuk membuat
‘Tuhan’ yang berjasad untuk mereka sembah. Demikianlah nafsuku membujukku untuk
menciptakan patung anak sapi ini sebagai ‘Tuhan’ mereka”, jawab Samiri[1]).
“Pergilah kamu! Sebagai
hukuman atas perbuatanmu, kamu akan dikucilkan dalam kehidupan ini. Kamu akan
selalu mengatakan kepada orang lain, 'Janganlah sentuh aku’. Selain itu, kamu
pasti akan mendapat hukuman di akhirat yang telah dijanjikan, yang tidak akan dapat
kamu hindari. Lihatlah ‘Tuhan’-mu itu, yang beberapa saat lalu kamu tetap
bersikeras menyembahnya. Kami pasti akan membakarnya, dan akan menghamburkan
abu sisa pembakarannya ke laut hingga bertebaran dan berserakan. Sungguh,
Tuhanmu hanyalah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi
segala sesuatu”.
Setelah amarah Nabi
Musa mereda, diambilnya kembali lauh-lauh (Taurat) yang dilemparkan tadi, karena
di dalamnya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada
Tuhannya.
Demikian, Nabi Musa memberantas kaumnya yang
menyembah patung anak sapi buatan Samiri, dan mereka diperintahkan untuk
bertaubat.
Daftar
Acuan
1.
Buku
Dewi
Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si
Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta:
Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.
Fatchur Rochman AR.
1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an.
Surabaya: Apollo.
Hamid bin Ahmad.
2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya: Amelia.
Ibnu Katsir. 2015. Qishashul
Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.
Labib
Mz. dan Maftuh Ahnan. 1983. Mutiara Kisah
25 Nabi Rasul. Gresik: CV Bintang Pelajar.
Maftan.
2005. Kisah 25 Nabi & Rasul.
Jakarta: Sandro Jaya.
Moh.
Rifai. 1976. Riwayat 25 Nabi dan Rasul.
Semarang: CV. Tohaputra.
Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi
Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia.
Siti Zainab Luxfiati.
2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid 2.
Jakarta: Dian Rakyat.
Ust.
Fatihuddin Abul Yasin. 1997. Kisah
Teladan 25 Nabi & Rasul. Surabaya: Terbit Terang.
Yanuardi
Syukur.
2014. Kisah Perjuangan
Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta:
Al-Maghfiroh.
2. Internet
https://tafsirweb.com/5338-surat-thaha-ayat-96.html
[1]) Jawaban Samiri
dalam cerita ini didasarkan pada Tafsir
Ringkas Kementerian Agama Republik Indonesia terhadap Al-Qur’an Surat Thāhā
ayat 96 sebagaimana dikutip dalam https://tafsirweb.com/.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar