Makkah adalah sebuah kota di bagian barat negara
Arab Saudi atau Saudi Arabia, di lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit.
Makkah mempunyai tiga pintu masuk, yakni Al-Ma’lah
(atau Al-Hujun atau Al-Hajun), Al-Masfalah, dan Asy-Syubaikah.
Makkah dianggap sebagai pusat bumi, dan berada di tengah-tengahnya.
Sejarah Makkah dimulai sejak kedatangan Nabi
Ibrahim bersama istri dan anaknya, Hajar dan Ismail sebagaimana disebut dalam
Al-Qur’an. Sebelum Nabi Ibrahim datang bersama istri dan anaknya yang masih kecil.
Makkah hanyalah tempat yang dilalui kafilah-kafilah dagang. Tempat ini gersang,
tanpa air dan tanpa tumbuh-tumbuhan yang hidup subur. Al-Qur’an Surat Ibrahim
ayat 37 menyebutnya sebagai lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat
Baitullah yang dihormati. Diriwayatkan oleh Al-Azraqi dari Ibnu Juraij bahwa
Nabi Ibrahim bisa sampai di tempat tersebut (dari Palestina) karena mengikuti
gerak awan, malaikat, dan burung sebagai petunjuk jalan. Tepat di posisi
Masjidil Haram sekarang, Hajar dan Ismail ditinggal kembali ke Palestina oleh Nabi
Ibrahim dengan hanya dibekali sekantung kurma dan bejana berisi air. Adapun
kawasan di sekitar Makkah dihuni oleh kaum ‘Amaliq atau ‘Amaliqah.
Rasa gundah menggelayuti hati dan pikiran Hajar.
Betapa tidak, tempat yang tiada berpenghuni kecuali dirinya dan Ismail,
ditambah daerahnya sangat gersang dengan tanah yang bergunduk-gunduk, menambah
kegundahan seorang ibu yang masih menyusui anaknya. Kegundahan itu mencapai
puncaknya ketika Ismail menangis kehausan, sementara air dalam bejana telah
habis. Hajarpun berlari kian kemari dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah hingga
tujuh kali untuk sekedar mencari air atau melihat di mana ada sumber air yang
dapat diambil untuk minum anaknya yang kehausan. Akhirnya Allah memberi karunia
dengan dimunculkannya air zamzam yang tak pernah habis hingga sekarang.
Suatu ketika datang kabilah[1])
Jurhum dari Yaman, dan meminta izin kepada Hajar untuk ikut menetap di situ. Hajar
mengizinkannya. Jadilah Hajar dan Ismail tidak kesepian lagi karena kini telah
ada orang lain yang tinggal bersama di tempat tersebut.
Dari waktu ke waktu Nabi Ibrahim beberapa kali
datang dari Palestina ke Makkah untuk menjenguk istri dan anaknya. Sedikitnya
empat kali Nabi Ibrahim menjenguk keluarganya.
Pertama, saat Allah memerintahkan Nabi Ibrahim
untuk menyembelih Ismail lewat mimpi. Tatkala sampai di Makkah,Nabi Ibrahim
merasa takjub melihat tempat yang dulu tak berpenghuni, kini telah ramai. Masih
ingat di benaknya, saat itu Hajar dan Ismail ditinggalkan di lembah yang
gersang dan tak berpenghuni. Sewaktu berkunjung di Makkah ini, Nabi Ibrahim
bermimpi aneh. Dalam mimpinya, Ibrahim menyembelih Ismail. Nabi Ibrahimpun
meminta pendapat Ismail tentang mimpinya itu. Di luar dugaan, ternyata Ismail berserah
diri. Ismail bahkan meminta kepada ayahnya agar melaksanakan perintah Allah yang
disampaikan lewat mimpi tersebut. Ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih
Ismail, tiba-tiba Allah menggantinya dengan domba.
Kedua, saat Hajar sudah meninggal dan Ismail telah
memiliki istri. Ketika datang, Nabi Ibrahim tidak bertemu Ismail, kecuali hanya
bertemu istrinya. Istri Ismail tidak tahu bahwa tamunya adalah mertuanya. Nabi Ibrahim
bertanya kepada istri Ismail tentang Ismail dan kondisi rumah tangganya. Istri
Ismail menjawab bahwa Ismail sedang mencari nafkah, dan kondisi rumah tangganya
buruk, karena hidup dalam kemiskinan. Ketika hendak pulang, Nabi Ibrahim berpesan
kepada menantunya, agar Ismail mengganti ambang pintunya. Sewaktu Ismail
pulang, disampaikanlah pesan Nabi Ibrahim kepada Ismail oleh istrinya. Ismail
tahu bahwa tamu yang datang adalah bapaknya. Ismail juga paham maksud pesan
bapaknya, yakni agar menceraikan istrinya yang tidak pandai bersyukur. Dicerailah
istrinya oleh Ismail.
Ketiga, ketika Ismail telah memiliki istri baru.
Saat Nabi Ibrahim datang lagi, Ismail juga tidak ada di rumah. Yang ada di
rumah adalah istri Ismail yang baru. Nabi Ibrahim bertanya tentang kehidupannya
bersama Ismail. Istri Ismail yang tidak tahu bahwa tamunya adalah mertuanya,
menjawab bahwa suaminya adalah orang yang beriman dan rajin bekerja. Ia merasa
bahagia hidup bersama Ismail. Sebelum kembali ke Palestina, Nabi Ibrahim menitip
pesan kepada istri Ismail agar Ismail memperkokoh ambang pintunya. Lagi-lagi
Ismail tahu bahwa yang datang adalah ayahnya, dan ia dipesan supaya
mempertahankan istrinya.
Keempat, saat Nabi Ibrahim diperintahkan oleh
Allah untuk membangun Ka’bah. Dengan dibantu oleh Ismail. Nabi Ibrahim
membangun rumah Allah di dekat sumur zamzam. Beberapa waktu kemudian, Ka’bah
pun selesai dibangun.
Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri
mengatakan bahwa dari perkawinannya dengan putri Mudhadh bin ‘Amr (pemimpin dan
pemuka kabilah Jurhum)[2], Ismail
dikaruniai anak oleh Allah sebanyak 12, yang semuanya laki-laki, yaitu Nabat
atau Nabuyuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hadad, Taima,
Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Abu Muhammad Miftah menyebutkan nama-nama anak Nabi
Ismail demikian: Nabat atau Banaluth, Qidar, Adba’il, Mabsyam, Masyma’, Duma,
Misya, Hadad, Yatma, Yathur, Nafis, dan Qaidaman. Sementara Zainurrofieq
menyebutnya: Nabt, Qoidar, Adbil, Mubsim, Musyma’, Duma, Dawam, Masaa, Hadad,
Tsitsa, Yathur, dan Nafisy. Dari mereka inilah, kata Syaikh
Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri dan Abu Muhammad Miftah, kemudian berkembang
menjadi 12 kabilah, yang semuanya menetap di Makkah untuk sekian lama. Mata
pencaharian mereka adalah berdagang. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar
ke berbagai penjuru jazirah Arab dan bahkan sampai ke luar jazirah Arab.
Berdasarkan catatan sejarah, sepeninggal Nabi
Ismail, kepemimpinan Baitullah dipegang anak sulungnya yang bernama Nabt atau Nabat[3]).
Anak-anak Nabi Ismail berselisih dengan kabilah Jurhum. Ketika anak-anak Nabi
Ismail dikalahkan oleh kabilah Jurhum, kepemimpinan Baitullah dipegang oleh kabilah
Jurhum. Ibnu Hisyam sebagaimana dikutip oleh Zainurrofieq, menjelaskan
bahwa setelah kepemimpinan Baitullah dipegang oleh kabilah Jurhum, anak-anak
dan keturunan Nabi Ismail menjadi kaum yang diawasi dan dipinggirkan. Makkah
menjadi tempat yang sempit dan tidak tenang bagi keturunan Nabi Ismail. Mereka memutuskan
untuk berhijrah keluar Makkah. Zainurrofieq menyebut kabilah
Jurhum memerintah Makkah hingga 300 tahun.
Di Makkah, selain ada kabilah Jurhum
yang datang saat Hajar dan Ismail belum lama tinggal di tempat tersebut, ada
juga kabilah Khuza’ah, anak cucu Al-Qahtani dari Yaman, yang menurut Abdul
Basit bin Abdul Rahman dan K.H. Ahmad Dimyati Badruzzaman,
lari dari Yaman karena peristiwa banjir Arim[4])
yang melanda daerah mereka. Kabilah inilah yang kemudian mengambil alih
kekuasaan dari Kabilah Jurhum. Abdul Basit bin Abdul Rahman menerangkan tentang
proses pengambilalihan kekuasaan tersebut, demikian: ketika kabilah Khuza’ah
datang ke Makkah dan meminta izin kepada pimpinan kabilah Jurhum untuk tinggal
di Makkah, kabilah Jurhum menolaknya. Akibatnya, terjadilah peperangan selama
tiga hari. Peperangan dimenangkan oleh kabilah Khuza’ah, dan kekuasaan diambil
alih oleh kabilah Khuza’ah dari tangan kabilah Jurhum. Akan
tetapi Zainurrofieq mengatakan bahwa pada akhir masa kejayaan dinasti Jurhum,
Allah memberikan azab hingga penduduk dan pengikutnya musnah. Kemudian masuklah
kabilah Juhainah dan memegang kekuasaan kota Makkah. Baru setelah itu,
kekuasaan jatuh ke tangan kabilah Khuza’ah.
Sejak awal, bangsa Arab mewarisi agama
yang pernah dibawakan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yakni agama yang
menyerukan keesaan Allah, beribadah kepada-Nya, mematuhi hukum-hukum-Nya,
mengagungkan tempat-tempat suci-Nya (khususnya Baitul Haram), menghormati
syiar-syiarnya, dan mempertahankannya. Akan tetapi setelah beberapa kurun
waktu, mereka mulai mencampuradukkan kebenaran yang diwarisinya dengan
kebatilan yang menyusup kepada mereka.
Saat kabilah Khuza’ah berkuasa, salah
satu pemimpin dari kabilah tersebut adalah Amr bin Luhay. Orang inilah yang
pertama kali mengenalkan berhala kepada penduduk Makkah.
Para ahli tafsir dan sejarah
menceritakan bagaimana Amr bin Luhay memasukkan penyembahan berhala kepada
bangsa Arab.
Suatu ketika, Amr bin Luhay mengadakan
perjalanan ke negeri Syam untuk suatu keperluan. Di sana, ia melihat penduduk
Syam menyembah berhala.
“Apakah berhala-berhala yang kamu
sembah ini?”, tanya Amr bin Luhay kepada penduduk Syam.
“Ini adalah berhala-berhala yang kami
sembah. Kami meminta hujan kepadanya, lalu kami diberi hujan. Kami minta
pertolongan kepadanya, lalu kami ditolong”, jawab mereka.
Oleh karena Syam adalah tempat
diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci, maka Amr bin Luhay
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar.
“Bolehkah kamu berikan satu berhala
kepadaku untuk kubawa ke negeri Arab agar mereka juga menyembahnya?”, Amr bin
Luhay meminta kepada penduduk Syam.
Mereka memberikan satu berhala kepada
Amr bin Luhay. Berhala tersebut bernama Hubal. Amr bin Luhay pun pulang sambil
membawa berhala pemberian penduduk Syam.
Sesampai di Makkah, Amr bin Luhay
memasang berhala Hubal di dalam Ka’bah. Setelah itu, dia mengajak penduduk
Makkah untuk berbuat syirik kepada Allah, untuk mengibadahi berhala, untuk
menyekutukan Allah dengan berhala itu dalam ibadah. Oleh karena Amr bin Luhay
dikenal sebagai orang yang suka berbuat baik, suka bersedekah, dan bersemangat
terhadap urusan-urusan agama, maka penduduk Makkah pun menyambut ajakannya. Bahkan
orang-orang Arab lainnya pun mengikuti jejak penduduk Makkah, menyembah berhala.
Kian lama, berhala-berhala di Arab makin
bertambah. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa di sekitar Ka’bah
saja terdapat kurang lebih 360 patung. Tampaknya, yang menjadi faktor penyebab
munculnya patung-patung di sekitar Ka’bah tersebut dikarenakan orang-orang
Quraisy bermaksud hendak mengambil manfaat dari kunjungan kabilah-kabilah Arab
pada musim haji. Oleh karena itu, patung-patung dari kabilah ternama diizinkan
untuk diletakkan di sekitar Ka’bah, sehingga saat mereka berkunjung ke Makkah
dan berziarah ke tanah haram, didapatkan “tuhan-tuhan” sembahan mereka ada di
sektar Ka’bah. Dengan demikian, mereka akan bersikap lebih hormat dan semakin menyucikan
Ka’bah.
Meskipun
kemusyrikan telah tersebar di jazirah Arab, namun Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
berpendapat bahwa masih ada orang, walau sedikit, yang berpegang teguh pada akidah
tauhid dan berjalan sesuai ajaran hanifiyah,
yaitu meyakini hari kebangkitan, memercayai bahwa Allah akan memberi pahala
kepada orang-orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat,
membenci penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang Arab, dan mengecam
kesesatan pikiran dan tindakan-tindakan buruk lainnya. Di antara tokoh dan
penganut sisa-sisa hanifiyah ini yang
terkenal antara lain: Qais bin Sa’idah Al-Ayadi, Ri’ab Asy-Syani, dan Pendeta
Bahira.
Sementara Ahmad bin Shalih bin Ibrahim
Ath-Thuwayyun mengatakan bahwa meskipun agama orang Arab makin menyimpang dari
ajaran Allah, namun masih ada orang yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Di antara
ajaran tersebut adalah mengagungkan dan menghormati Baitullah, mengerjakan thawaf, mengerjakan ibadah haji dan
umrah, wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, menyembelih hewan
qurban, dan ber-talbiyah saat memulai
haji atau umrah, meskipun dalam talbiyah
tersebut ada beberapa kata yang tidak diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Perlu diingat, ibadah haji tidak hanya
dilaksanakan oleh orang-orang setelah Muhammad diutus sebagai rasul. Ritual
ibadah haji telah dilaksanakan sejak zaman jahiliyah. Dalam https://bpkh.go.id/
disebutkan,
istilah jahiliyah di sini digunakan
untuk menggambarkan keadaan masyarakat yang suka bertindak bodoh karena tidak
memahami aturan agama. Dalam
tata cara beragama, kaum jahiliyah juga berkomitmen untuk mengikuti tradisi
keagamaan Nabi Ibrahim, tapi amalan itu dalam berbagai sisi sudah terkotori
oleh hawa nafsu mereka. Di dalam ritual haji telah banyak dicampuri oleh
ajaran-ajaran baru yang berasal dari budaya setempat.
Daftar
Acuan
1.
Buku
Abdul
Basit bin Abdul Rahman. 2004. Makkah
Al-Mukarramah, Kelebihan dan Sejarah. Kelantan (Malaysia): Madrasah
Muhammadiah.
Abu
Muhammad Miftah. 2016. Kisah-Kisah
Berhala Musyrikin Jahiliyyah. Sleman – Yogyakarta: Hikmah Anak Sholih
(HAS).
Ahmad
bin Shalih bin Ibrahim Ath-Thuwayyun. 2010. Kisah Kota Makkah. Surabaya:
Pustaka (eLBA).
Dewi
Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar
Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta: Penerbit
Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.
Hasan Ibrahim Hasan.
2015. Sejarah Kebudayaan Islam. Jilid
1. Cetakan Ke-4. Jakarta: Kalam Mulia.
Ibnu Katsir. 2015. Qishashul
Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.
K.H.
Ahmad Dimyati Badruzzaman. 2018. Pesona
Kota Mekah, Tinjauan Sejarah & Keistimewaan Kota Mekah. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
Muhammad
Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2006. Sirah
Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jakarta: Robbani Press.
Rizem Aizid. 2015. Ibrahim
Nabi Kekasih Allah. Yogyakarta: Saufa
Siti Zainab Luxfiati.
2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid
1. Jakarta: Dian Rakyat.
Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri.
2018. Sirah Nabawiyah. Cetakan Ke-17.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Yanuardi
Syukur.
2014. Kisah Perjuangan
Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta:
Al-Maghfiroh.
Zainurrofieq.
2008. Mukjizat Ka’bah, Mengungkap
Keagungan Baitullah. Cetakan Ke-2. Jakarta: QultumMedia.
2.
Internet
https://bpkh.go.id/ibadah-haji-di-zaman-jahiliyah/
[1])
Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan kabilah dengan ‘suku bangsa’; ‘kaum yang berasal dari satu ayah’.
[2]) Putri Mudhadh bin ‘Amr adalah istri kedua Nabi Ismail setelah istri
pertamanya dicerai.
[3])
Abdul Basit bin Abdul Rahman menyebut Thabit atau Nabit.
[4]) Banjir Arim
adalah banjir besar yang menimpa kaum Saba’.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar