Ketika orang-orang yang berbaiat kepada Nabi
Muhammad di Aqabah kembali ke Yatsrib[1])
dan kemudian menyeru kerabat, kawan-kawan, dan keluarganya untuk mengikuti
jalan yang mereka tempuh, banyak yang menyambut ajakan mereka. Namun demikian,
ada juga yang bersikukuh pada keyakinannya. Salah seorang yang kuat
keyakinannya adalah Amr bin Jamuh. Ia tetap pada keyakinan yang dianutnya
selama ini, yakni menyembah berhala dan memuliakannya.
Amr bin Jamuh adalah seorang tokoh penduduk
Yatsrib. Ia pemimpin bagi Bani Salamah. Ia sangat dihormati karena sifatnya
yang dermawan dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ia termasuk
dermawannya para dermawan di Yatsrib.
Seperti halnya para pemimpin kaum jahiliyah pada
umumnya, Amr bin Jamuh juga memiliki berhala di rumahnya. Ia memiliki berhala yang
bernama Manat. Berhala ini terbuat dari kayu yang sangat bagus. Setiap hari Amr
bin Jamuh selalu membersihkan patung itu dari debu, memberinya minyak wangi,
dan menyembahnya dengan penuh ketundukan.
Amr bin Jamuh telah memasuki usia 60 tahun saat
pancaran keimanan masuk ke rumah-rumah penduduk Yatsrib satu per satu atas
peran dai pertama, Mush’ab bin Umair. Melalui sentuhan lembut tangan Mush’ab
bin Umair, tiga anak laki-laki Amr bin Jamuh, yakni Mu’awidz, Mu’adz, dan
Khalid memeluk agama Islam. Teman sebaya anak Amr bin Jamuh yang bernama Mu’adz
bin Jabal, juga turut memeluk agama Islam. Hindun
binti Amr bin Haram, istri Amr bin Jamuh, juga telah memeluk agama Islam.
Akan tetapi Amr bin Jamuh tidak mengetahui keislaman istri dan ketiga anaknya.
Ketiga anak Amr bin Jamuh sangat menginginkan
ayahnya segera memeluk Islam. Itulah sebabnya, mereka bersama temannya, Mu’adz
bin Jabal, membuat rencana agar Amr bin Jamuh bisa masuk Islam.
Mu’adz bin Jabal termasuk anak muda yang
memiliki kelebihan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh teman seusianya,
berupa kecerdasan intelektual, cepat respon dan tangkas dalam berpikir, bagus
dalam menjelaskan, dan memiliki semangat yang tinggi. Di samping tampan, ia
juga berbudi peketi baik. Matanya lentik, rambutnya keriting, giginya mengilap,
dan hatinya menyenangkan.
Ketiga
anak Amr bin Jamuh bersama Mu’adz bin Jabal berencana menjadikan berhala milik
ayahnya sebagai barang mainan dan hinaan. Pada suatu malam, mereka menyelinap
ke dalam rumah, lalu mengambil berhala yang dijadikan sembahan Amr bin Jamuh.
Berhala Manat tersebut kemudian dilemparkan ke lubang tempat kotoran. Benda
yang dijadikan sembahan itu terkapar dengan bagian kepala di bawah di antara
sampah dan kotoran manusia.
Pagi harinya, Amr bin Jamuh terkejut ketika
mengetahui berhala sembahannya raib dari tempatnya. Dicarinya berhala yang
selalu disembahnya itu. Tatkala berhala itu
ditemukan di tempat kotoran, Amr bin Jamuh pun marah besar.
“Keparat! Siapa yang telah berani melakukan
perbuatan durhaka terhadap ‘Tuhan’ kita”. omelnya.
Berhala Manatpun diambilnya. Dibersihkanlah
berhala itu dari kotoran yang menempel di badannya. Setelah itu, diberi minyak
wangi dan kemudian ditempatkan kembali di tempat semula.
Pada malam yang berbeda, anak-anak tadi kembali
membuat ulah yang bikin dongkol Amr bin Jamuh. Berhala Manat diambilnya dari
rumah Amr bin Jamuh, lalu dibuang kembali. Tentu saja perbuatan mereka
menyebabkan Amr bin Jamuh marahnya kian meledak. Diambilnya berhala Manat dari
tempat pembuangan, dibersihkan, diberi minyak wangi, dan ditempatkan lagi di
tempat asalnya.
Kejadian semacam itu berulang kembali hingga
akhirnya Amr bin Jamuh merasa kesal. Diambilnya sebilah pedang, lalu ia
gantungkan pedang itu di leher berhala yang senantiasa dimuliakan dan
dipujanya.
“Wahai Manat, jika memang kau memiliki kebaikan,
lindungi dirimu dari kejahatan. Kali ini kau memiliki pedang untuk melindungi
diri”, pesan Amr bin Jamuh kepada berhala yang sesungguhnya tidak dapat mendengar
omongan Amr bin Jamuh, apalagi membela diri, walau diberi pedang sekalipun.
Ketika anak-anak yang suka berulah itu menyakini
Amr bin Jamuh telah tidur, mereka kembali melakukan aksinya. Diambilnya pedang
yang menggantung di leher patung, lalu diangkatnya patung tersebut ke luar
rumah. Patung Manat diikat dengan tali pada bangkai seekor anjing dan dibuang
di tempat yang sama dengan yang lalu.
Heran, kecewa, dan marah bercampur aduk pada
diri Amr bi Jumah. Ia tak tahu harus berbuat apa, karena berhala yang selalu
disembahnya ternyata tak dapat melindungi diri.
Tidak lama berselang, beberapa bangsawan Yatsrib
atau Madinah yang telah masuk Islam mendatangi Amr bin Jamuh, mengomentari
peristiwa yang menimpa berhala Manat. Mereka menasihati Amr bin Jamuh dan
menjelaskan perilakunya yang sesat dan menyimpang. Mu’adz bin Jabal turut serta
menasihati dan membacakan Surat Al-Fatihah. Ketika mendengar bacaan surat
tersebut, Amr bin Jamuh merasa terpesona oleh keindahan kata-katanya. Akhirnya,
Amr bin Jamuh meninggalkan berhala dan masuk Islam.
Meskipun Amr bin Jamuh termasuk belakangan masuk
Islam dibandingkan yang lain,tapi ia berusaha mengejar ketertinggalannya. Sifat
kedermawanan Amr bin Jamuh yang dimiliki sejak dulu, kian meningkat setelah
masuk Islam. Ia rela menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk agama dan
kawan-kawan seperjuangan.
Tak cukup dengan menyerahkan harta kekayaan, Amr
bin Jamuh merasa perlu menyerahkan jiwa aganya untuk agama. Meskipun kakinya
pincang, ia ingin turut berjuang di medan perang juga seperti kawan-kawannya
yang normal. Ketika umat Islam bersiap menghadapi Perang Badar, sebetulnya ia
ingin ikut berperang, tapi anak-anaknya melarang. Anak-anak Amr bin Jamuh
memohon kepada Nabi Muhammad agar ayahnhya menurungkan niatnya dengan kesadaan
sendiri atau melalui larangan nabi. Nabi Muhammad kemudian menyampaikan kepada
Amr bin Jamuh bahwa Islam membebaskankewajiban perang bagi dirinya dikarenakan
kecacatannya. Amr bin Jamuh bersikukuh ingin ikut berperang. Akhirnya Nabi
Muhammad memerintahkan kepada Amr bin Jamuh agar tetap tinggal di Madinah.
Perang Badar telah usai. Amr bin Jamuh harus
menelan kenyataan tidak bisa ikut dalam peperangan. Ketika Uhud akan terjadi,
Amr bin Jamuh mengajukan permohonan kepada Nabi Muhammad agar diizinkan turut
serta dalam peperangan, meskipun anak-anaknya tidak menghalang-halanginya.
Alasannya, ia berharap dapat meraih surga meskipun kakinya pincang. Kali ini
sulit bagi Nabi Muhammad untuk melarang Amr bin Jamuh, karena ia bertujuan
ingin meraih surga melalui perang. Amr bin Jamuhpun diizinkan berperang.
Ketika Perang Uhud yang merupakan perang kedua
bagi umat Islam melawan kaum kafir itu terjadi, Amr bin Jamuh dan anak-anaknya
terjun ke medan perang melawan tentara penyebar kesesatan. Ketika menghadapi
lawan, ia tak kenal rasa takut. Ditebaskannya pedangnya ke kiri dan ke kanan
hingga kadang mengenai lawannya. Tiba-tiba pukulan pedang lawan mengenai
dirinya dengan sangat kencang. Seketika tubuhnya tersungkur tak berdaya. Keinginan
Amr bin Jamuh benar-benar tercapai. Ia mati syahid di medan Perang Uhud.
Saat kaum muslimin memakamkan para syuhada, Nabi
Muhammad mengeluarkan perintah, “Tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram
dan Amr Ibnul Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup, mereka adalah dua
orang sahabat yang setia dan bersayang-sayang”.
Seperti dikatakan oleh Syamsul Hidayat, setelah
46 tahun di pemakaman, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi
tanah pekuburan tersebut. Hal ini disebabkan adanya pengggalian sebuah mata air
yang dialirkan melaui tempat itu oleh Muawiyah. Kaum muslimin pun segera
memindahkan kerangka para syuhada. Mereka melukiskan, “Jasad mereka menjadi
lembut dan ujung-ujung anggota tubuh mereka jadi melengkung”. Jabir bin Abdullah
yang masih hidup saat itu, bersama keluarganya, ia memindahkan jasad bapaknya
(Abdullah bin Amr bin Haram) dan pamannya (Amr bin Jamuh). Mereka didapati
keduanya seolah-olah sedang tidur nyenyak, tak sedikitpun tubuh mereka dimakan
tanah. Dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis pertanda rido
dan bangga mereka menemui Allah Rabbul ‘Alamin.
Daftar
Acuan
1.
Buku
Abdurrahman Ra’fat Basya. 2019. Sirah Shahabat. Jakarta:
Pustaka As-Sunah.
Nizar Abazhah. 2014. Sahabat Muhammad,
Kisah Cinta dan Pergulatan Iman Generasi Muslim. Jakarta: Zaman.
Syamsul
Hidayat. Tanpa Angka Tahun. Sahabat Nabi
yang Sahid di Medan Peperangan. Jakarta: Nur Insani.
2.
Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Amru_bin_al-Jamuh
https://bersamadakwah.net/amr-bin-jamuh/
[1])
Nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad setelah beliau
hijrah ke daerah ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar