Sekitar 5 kilometer di sebelah barat laut Masjid
Nabawi, ada sebuah masjid bernama Masjid Qiblatain. Masjid ini adalah
satu-satunya masjid yang memiliki kiblat berjumlah dua. Masjid Qiblatain terletak
di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di dekat istana raja ke jurusan
Wadi Aqiq, atau di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah. Di dekat
Masjid Qiblatain terdapat Masjid Abu Bakar, Masjid Al Fat-hu, Masjid Salman, dan
Masjid Ali yang terkenal dengan nama masjid lima. Masjid Qiblatain dulu merupakan
masjid milik Bani Salamah dari suku Khazraj. Masjid ini memiliki nilai sejarah
karena merupakan saksi bisu perubahan arah kiblat umat Islam.
Menurut catatan sejarah, Ka’bah bukanlah kiblat pertama bagi umat Islam.
Sebelumnya, bila sedang shalat, umat Islam menghadapkan wajahnya ke arah Masjidil
Aqsha atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina. Pada saat berada di Makkah atau
sebelum hijrah ke Madinah, bila sedang shalat, Nabi Muhammad mengambil posisi
sedemikian rupa sehingga tidak membelakangi Ka’bah dengan wajah menghadap
Masjidil Aqsha. Namun sejak hijrah dan tinggal di Madinah, posisi shalat seperti ketika berada
di Makkah sulit diterapkan karena lokasi Makkah dan Yerusalem yang berbeda
arah.
Saat di Madinah, bila sedang shalat menghadap ke
Baitul Maqdis, Nabi Muhammad biasanya menengadah ke langit untuk menunggu
perintah dari Allah. Beliau mengharapkan arah kiblat diubah ke arah Ka’bah.
Beliau lebih menyukai (jika diperintah) melaksanakan shalat dengan menghadap ke
arah Ka’bah daripada ke arah Baitul
Maqdis.
Kisah perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsha
atau Baitul Maqdis ke Masjidil Haram atau Ka’bah diawali dengan kedatangan Nabi
Muhammad beserta beberapa sahabat ke rumah Salamah untuk menenangkan Ummu Bashr
binti Al-Bara yang ditinggal mati keluarganya. Ketika tiba waktunya shalat,
Nabi Muhammad dan para sahabat pun melaksanakan shalat di masjid milik Bani
Salamah. Saat Nabi Muhammad dan para sahabat tengah melaksanakan shalat[1]),
tiba-tiba Allah menurunkan wahyu.
Kami melihat wajahmu
(Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke
kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan
sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa
(pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak
lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 144).
Begitu wahyu turun, Nabi Muhammad yang sedang menjadi
imam, menghentikan sementara shalatnya, lalu meneruskan dengan berpindah arah
kiblatnya. Jika tadinya menghadap ke Baitul Maqdis, beliau lalu berputar haluan
menjadi menghadap Masjidil Haram atau Ka’bah yang diikuti oleh para sahabat.
Menurut Ath-Thabari,
mayoritas ulama mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan
bulan Sya’ban, 18 bulan sejak kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah. Namun ada yang
mengatakan bahwa peristiwa tadi terjadi pada hari Senin bulan Rajab tahun kedua
hijriah. Riwayat lain menyebutkan, Nabi Muhammad melakukan shalat menghadap ke Masjidil
Aqsha atau Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan setelah beliau hijrah ke
Madinah.
Menurut Muhammad
Ali Ash-Shabuny, sebelum Allah
memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar memindahkan kiblatnya ke Masjidil
Haram, orang-orang Yahudi yang jahat biasa berkata, “Alangkah anehnya urusan
Muhammad. Dia berbeda dengan kita dalam masalah agama, namun sama dalam
shalatnya dengan kiblat kita. Kalau tidak karena agama kita, tentu dia tidak tahu
harus menghadap ke mana ketika shalat”. Akan tetapi ketika kiblat umat Islam
berpindah, orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi berkata, “Apa yang
membuat membuat mereka (muslim) berpaling dari kiblat yang dahulu mereka
menghadap kepadanya?”, maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Milik
Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki
ke jalan yang lurus’” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 142).
Dengan adanya perubahan arah kiblat ini,
beberapa sahabat ada yang bertanya, “Ya, Rasulullah. Bagaimana hukum mereka
(sahabat-sahabat) yang telah meninggal terlebih dahulu sebelum terjadi
perpindahan kiblat ini? Apakah amal mereka yang lalu diterima oleh Allah?”
Nabi Muhmmad tidak langsung menjawab pertanyaan para
sahabat. Tak lama kemudian turunlah wahyu yang menjawab pertanyaan mereka.
Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada
manusia (Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 143).
Untuk mengenang bahwa Masjid Bani Salamah pernah
menjadi saksi bisu perpindahan arah kiblat bagi umat Islam, maka mihrab yang
awal tidak dihilangkan, kemudian dibuat mihrab baru. Dengan demikian, Masjid
Bani Salamah memiliki dua arah kiblat, yakni yang awal menghadap Baitul Maqdis,
sedang yang baru menghadap Masjidil Haram. Itulah sebabnya masjid ini dikenal
dengan nama Masjid Qiblatain sampai sekarang. Artinya, masjid dengan dua
kiblat.
Di dekat Masjid Qiblatain, ada sebuah sumur milik
orang Yahudi bernama Raumah. Sumur ini dibeli oleh Usman bin Affan dengan harga
20.000 dirham dan kemudian diwakafkan untuk kepentingan bersuci, air minum, dan
mengairi taman-taman di sekeliling masjid sampai sekarang.
Masjid Qiblatain mengalami beberapa kali renovasi.
Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1408 Hijriah atau 1987 Masehi pada masa
pemerintahan Raja Fadh bin Abdul Aziz. Pada renovasi kali ini Masjid Qiblatain
mengalami perluasan, dijadikan dua tingkat yang dilengkapi dengan dua menara
dan dua kubah tinggi yang istimewa.
Daftar
Acuan
1.
Buku
AA. Faisal dan Eddy Yantman.
2014. Berbagi Rezeki ke Tanah Suci,
Bongkar Rahasia Bisnis Travel Haji dan Umrah. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Adiba A. Soebachman.
2013. Rahasia Keajaiban Ka’bah, Hajar
Aswad, Masjidil Aqsho dan Masjid Nabawi. Bantul – Yogyakarta: Syura Media
Utama.
Ahmad Albab. 2015. Mukjizat Makkah, Madinah & Air Zam-Zam.
Yogyakarta: Semesta Hikmah.
Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah
dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.
Eep
Khunaefi. 2011. Meraih Haji Mabrur: Panduan Manasik Haji Plus Kajaiban Kota
Mekkah dan Madinah. Cibubur: PT Variapop.
K.H. Moenawar Chalil. 1980. Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jilid II A. Cetakan ke-4. Jakarta: Bulan
Bintang.
Mohammad
Anis Adnan. 2014. Ibadah, Ziarah, Plus
Wisata Jeddah, Makkah, Madinah. Semarang: Syiarmedia Publishing.
Muhammad
Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an,
Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah – Al-An’am. Jilid 1. Cetakan Kedua.
Terjemahan: Munirul Abidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1978. Pedoman Haji. Jakarta: Bulan Bintang.
Ust.
Abdullah Sa’id. Tanpa Angka Tahun. Mukjizat
& Keajaiban Kota Suci Makkah. Surabaya: Pustaka Giri Media Comp.
Ust.
Labib Mz. 2009. Purnama di Bumi Madinah.
Surabaya: Mitra Jaya.
Ust. Maftuh Ahnan Asy. 2001. Kisah Kehidupan Nabi Muhammad SAW. (Rahmatan Lil ‘Alamiin). Surabaya: Terbit Terang.
2.
Internet
https://news.detik.com/berita/d-5029799/sejarah-perubahan-arah-kiblat-sholat-dari-al-aqsa-ke-kakbah.
[1])
Ada yang mengatakan sedang melaksanakan shalat Duhur, tapi ada yang mengatakan
sedang shalat Asar.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar