Kesedihan masih menyelimuti hati kaum kafir Quraisy. Mereka baru saja menelan pil pahit pada Perang Badar. Meskipun pasukan mereka jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan pasukan muslim, namun kemenangan tidak berpihak kepada mereka. Hal ini disebabkan Allah
menurunkan ribuan malaikat untuk membantu pasukan muslim sebagaimana
diinformasikan dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 123-125.
Hari itu, beberapa waktu setelah Perang Badar usai, Umair bin Wahab duduk bersama Shafwan bin Umayyah
di dekat Hijr Ismail. Mereka berbincang-bincang tentang kenangan pahit kaumnya di Perang Badar. Masih terbayang
dalam benak mereka, bagaimana serunya pertempuran yang mereka lakukan selama
dua jam melawan pasukan muslim. Mayat-mayat bergelimpangan di medan laga
merupakan pemandangan yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Banyak
pemuka kafir Quraisy yang tewas dalam pertempuran tersebut. Belum lagi prajurit-prajurit
yang dijadikan tawanan perang oleh pasukan muslim.
Umair bin Wahab termasuk salah satu orang yang
sangat membenci Nabi Muhammad. Ketika Nabi Muhammad belum hijrah ke Madinah, Umair
bin Wahab sering menyakiti beliau dan para sahabatnya. Sewaktu Perang Badar
terjadi dan kemenangan diraih oleh kaum muslim, anak Umair bin Wahab yang
bernama Wahab bin Umair, tertangkap dan dijadikan tawanan perang oleh kaum
muslim. Inilah yang menjadi penyebab Umair bin Wahab murung setiap hari,
karena takut anaknya disiksa oleh kaum muslim disebabkan perbuatannya yang
sangat kasar terhadap Nabi Muhammad.
Shafwan bin Umayyah pun merasa senasib. Ia teramat
sangat sedih karena ayahnya, Umayyah bin Khalaf, menemui ajal di tangan pasukan muslim pada Perang Badar, dan jasadnya masih mendekam di sumur tua
lembah Badar. Itulah sebabnya ia memendam kebencian dan dendam kepada Nabi
Muhammad.
“Demi Tuhan, tidak ada kebaikan dalam hidup ini
setelah kematian mereka”, kata Shafwan bin Umayyah mengingat kembali para tokoh
kafir Quraisy yang tewas dalam Perang Badar.
“Kau benar! Jika aku tidak memiliki hutang yang
sampai saat ini belum dapat aku lunasi, dan seandainya aku tidak memiliki
keluarga yang kukhawatirkan tidak akan makan bila kutinggalkan, niscaya aku
akan mendatangi Muhammad dan membunuhnya”, timpal Umair bin Wahab.
Mendengar perkataan Umair bin Wahab, Shafwan bin
Umayyah memandangi sahabatnya itu. Terbesit dalam benaknya, jangan sampai
kesempatan emas itu hilang begitu saja. Keinginan Umair bin Wahab hendak membunuh
Nabi Muhammad harus didukung.
“Begini saja Abu Wahab. Kalau benar kau mau
membunuh Muhammad, hutangmu biarlah aku yang melunasi. Sementara keluargamu, aku
yang akan menanggung”, Shafwan bin Umayyah menawarkan jasa.
Dalam benak Shafwan bin Umayyah, dengan
terbunuhnya Nabi Muhammad oleh Umair bin Wahab, maka dendamnya kepada Nabi
Muhammad dan kaum muslim juga akan terbalaskan.
“Kalau begitu, jaga rahasia ini. Jangan sampai
ada orang lain yang mengetahui pembicaraan kita, selain kita berdua”, jawab
Umair bin Wahab.
“Aku berjanji akan menjaga rahasia ini”.
Umair bin Wahab beranjak dari tempat tersebut
dengan membawa dendam yang membara. Dendam kepada Nabi Muhammad yang menjadikan
anaknya sebagai tawanan perang. Apalagi akibat perang tersebut, kaum kafir
Quraisy menjadi kehilangan tokoh-tokohnya dikarenakan tewas di medan laga.
Sesampai di rumah, Umair bin Wahab mempersiapkan
segala sesuatu yang diperlukan untuk menuju Madinah dan membunuh Nabi Muhammad.
Pedang diasah dan dilumuri racun agar siapapun yang tertebas pedang miliknya,
akan mati terkena racun. Setelah semuanya siap, Umair bin Wahab kemudian
meninggalkan Makkah menuju Madinah. Sepanjang perjalanan menuju Madinah, yang
ada di hati Umair bin Wahab hanya dendam yang meletup-letup. Ia berjanji dalam
hati, tidak akan kembali ke Makkah sebelum dendamnya terbalaskan.
Kala Umair bin Wahab sampai di Madinah, Umar bin
Khaththab sedang berbincang-bincang tentang Perang Badar dengan kawan-kawannya.
Mereka mengakui adanya perlindungan dari Allah dalam perang tersebut, sehingga
meskipun jumlah mereka hanya sepertiga dari jumlah pasukan kafir Qurays, tapi
kemenangan bisa mereka raih.
Umar bin Khaththab yang melihat Umair bin Wahab
datang dan berhenti di depan pintu masjid dengan membawa pedang, berkata, “Ini
anjing musuh Allah, si Umair. Kedatangannya pasti mempunyai tujuan jahat.
Dialah yang membuat kita sengsara, dan dia juga yang mengetahui jumlah kita di
Perang Badar”.
Waktu itu bebetulan Nabi Muhammad sedang berada
di dalam rumah. Umar bin Khaththab lari ke rumah Nabi Muhammad dan melaporkan
kedatangan Umair bin Wahab yang membawa pedang.
“Suruhlah ia masuk”, perintah Nabi Muhammad
kepada Umar bin Khaththab.
Sambil memanggul pedang di pundaknya, Umar bin
Khaththab menghampiri Umair bin Wahab. Ia pegang tali gantungan pedang yang ada di leher Umair bin Wahab dan mengikat lehernya dengan tali gantungan tersebut. Umar bin Khaththab bergegas membawa Umair bin Wahab ke hadapan Nabi Muhammad.
“Pergilah kalian kepada Rasulullah dan duduklah
dekat beliau. Berhati-hatilah dengan penjahat ini, karena ia tak dapat
dipercaya”, Umar bin Khaththab berkata kepada kawan-kawannya.
Ketika melihat Umair bin Wahab digiring paksa
oleh Umar bin Khaththab, Nabi Muhammad meminta kepada sahabatnya itu agar
melepaskan Umair bin Wahab. Umar bin Khaththab pun melepaskan Umair bin Wahab.
“Mundurlah ke belakang dan agak menjauh sedikit
dari Umair”, Nabi Muhammad meminta kepada Umar bin Khaththab.
Umar bin Khaththab mundur, sedikit menjauh
dari Umair bin Wahab. Nabi Muhammad kemudian mengalihkan pandangannya kepada
Umair bin Wahab sambil berkata lembut.
“Mendekatlah ke sini, wahai Umair”.
Umair bin Wahab mendekat kepada Nabi Muhammad.
“An’im
shabahan”, ucap Umair bin Wahab kepada Nabi Muhammad.
An’im
shabahan adalah ucapan penghormatan yang dipakai bangsa Arab pada
masa jahiliyah yang berarti “Selamat pagi”.
“Sesungguhnya Allah telah memuliakan kami dengan
ucapan salam yang lebih baik daripada salammu, wahai Umair, yaitu dengan assalamu ‘alaikum, ucapan salam dari para
penghuni surga”.
“Demi Tuhan, wahai Muhammad, engkau sebelumnya
juga menggunakan salam yang sama denganku sampai sekian lama”.
“Ada maksud apa datang kemari, Umair?”, tanya
Nabi Muhammad.
“Aku datang kemari ingin bertemu anakku yang kau
tawan”, ujar Umair bin Wahab berbohong.
“Lantas, bagaimana dengan pedangmu itu? Jujurlah
kepadaku, wahai Umair”.
”Sungguh, kedatanganku ke sini hanya ingin
membebaskan tawanan yang kau tawan”.
Entah mengapa, ketika berangkat dari Makkah ke
Madinah, dendam kesumat Umair bin Wahab kepada Nabi Muhammad begitu membara,
tapi begitu berhadapan dengan beliau, keberaniannya sirna seketika.
“Bukankah kamu pernah duduk berdua dengan
Shafwan bin Umayyah di dekat Hijr Ismail. Kamu membicarakan orang-orang Quraisy
yang tewas di Perang Badar. Saat itu kamu berkata, ‘Jika aku tidak memiliki
hutang yang sampai saat ini belum dapat aku lunasi, dan seandainya aku tidak
memiliki keluarga yang kukhawatirkan tidak akan makan bila kutinggalkan,
niscaya aku akan mendatangi Muhammad dan membunuhnya’. Kemudian Shafwan bin
Umayyah berjanji siap melunasi hutangmu dan menanggung biaya hidup keluargamu
asalkan kamu membunuhku. Sungguh Allah telah menghalangi maksudmu itu”.
Deg! Jantung Umair bin Wahab seketika berdenyut
keras. Ia terkejut begitu mendengar ucapan Nabi Muhammad. Bagaimana tidak!
Waktu itu, ia hanya berdua dengan Shafwan bin Umayyah. Tak ada orang lain di
tempat tersebut. Lalu bagaimana mungkin Muhammad dapat mengetahui rencana
jahatnya? Di benak Umair bin Wahab terbayang seakan-akan Nabi Muhammad berada
di sampingnya kala ia berbicara dengan Shafwan bin Umayyah dan mendengarkan apa
yang dibicarakan. Rasa takjub kepada Nabi Muhammadpun muncul. Ia sadar, tidak
ada seorang manusia pun yang dapat memperoleh pengetahuan seperti itu jika
bukan karena Allah.
“Wahai Muhammad, selama ini aku benar-benar
mendustakan berita dari langit yang kau bawa. Apa yang kau katakan tadi, memang
benar. Padahal, waktu itu aku hanya berdua dengan Shafwan bin Wahab. Tidak ada
orang lain. Sekarang aku percaya, bahwa segala yang datang kepadamu itu berasal
dari Allah. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepadaku. Mulai
saat ini, aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah”, kata Umair bin Wahab.
Mendengar ucapan Umair bin Wahab, Nabi Muhammad
merasa senang.
“Ajarilah saudaramu ini tentang Islam,
bacakanlah Al-Qur’an kepadanya, dan bebaskanlah tawanan yang diinginkannya”.
Para sahabat lalu membebaskan Wahab bin Umair,
anak Umair bin Wahab, yang menjadi tawanan perang. Seketika itu Wahab bin Umair
juga masuk Islam. Umair bin Wahab dan anaknya tetap berada di Madinah.
Di pihak lain, Shafwan bin Umayyah
menunggu-nunggu kepulangan Umair bin Wahab dari Madinah. Ia berharap
mendapatkan kabar yang menyenangkan, yakni terbunuhnya Nabi Muhammad di tangan
Umair bin Wahab. Lama yang ditunggu tidak datang-datang, Shafwan bin Umayyah
mencoba mencari kabar berita. Ia menanyakan kabar tentang Umair bin Wahab
kepada orang yang acapkali pergi ke
Madinah. Betapa terkejutnya Shafwan bin Umayyah ketika mendapat kabar bahwa
Umair bin Wahab telah masuk Islam. Shafwan bin Umayyah kecewa. Ia merasa
dikhianati oleh Umair bin Wahab.
“Demi Tuhan, selama aku hidup, aku tidak akan
bercakap-cakap dengan Umair bin Wahab”,
sumpahnya.
Setelah beberapa bulan di Madinah dan mengecap
manisnya iman Islam, Umair bin Wahab meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk
kembali ke Makkah bersama anaknya.
“Ya, Rasulullah! Dulu aku menjadi pembela bagi
kaum kafir Quraisy. Aku sering menyakitimu yang nyata-nyata utusan Allah dan
sahabat-sahabatmu. Sekarang aku minta izin kepadamu untuk kembali ke Makkah.
Aku ingin mengajak kawan-kawanku di Makkah untuk mengikuti agama Allah. Mudah-mudahan
mereka mendapat petunjuk dari Allah”.
Nabi Muhammad meluluskan permohonan Umair bin
Wahab. Pulanglah Umair bin Wahab dan anaknya ke Makkah. Sesampai di Makkah,
Umair bin Wahab mengajak keluarganya untuk masuk Islam. Setelah itu, ia ajak
kawan-kawannya untuk mengikuti agama Allah. Ia datangi Shafwan bin Umayyah dan
ia ajak untuk masuk Islam.
“Hai Shafwan! Kamu adalah pemimpin bagi kaum
Quraisy, tapi mengapa kamu menyembah batu-batu yang tidak dapat menolongmu?
Demi Allah, sekarang aku telah mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan-Nya. Aku mengajakmu agar mau mengikuti agama yang dibawa
Nabi Muhammad”.
Shafwan bin Umayyah yang telah bersumpah tidak
akan berbicara dengan Umair bin Wahab, tidak menjawab sepatah katapun. Ia telah
memutuskan pertemanannya dengan Umair bin Wahab.
Umair bin Wahab kembali ke Madinah setelah ia
menyeru penduduk Makkah untuk mengikuti agama yang benar. Ia dan anaknya hidup
bersama Nabi Muhammad dan kaum muslim di Madinah. Pada zaman Umar bin
Khaththab menjadi khalifah, Umair bin Wahab termasuk empat orang utusan Umar
bin Khaththab untuk memperkuat pasukan yang dipimpin Amr bin Ash dalam
penaklukan Mesir. Tiga orang lainnya adalah Zubair bin Awwam, Kharijah bin
Hudzafah, dan Bisr bin Artha’ah atau Miqdad.
Daftar Acuan
Abdurrahman
Ra’fat Basya. 2019. Sirah Shahabat.
Jakarta: Pustaka As-Sunah.
Abu
al-Futuh Shabri. 2015. Firasat Muhammad.
Jakarta: Zaman.
Alang-Alang
Timur. 2011. Taubatnya Seorang Pelacur +
Kisah-Kisah Islami Inspiratif Pilihan. Jogjakarta: Diva Press.
Ali Muhammad Ash-Shallabi. 2018. Peperangan Rasulullah. Cetakan Kedua. Jakarta: Ummul Qura.
Ath-Thabari.
2019. Muhammad di Makkah dan Madinah.
Yogyakarta: Ircisod.
Fuad
Kauma. 2000. 50 Mukjizat Rasulullah.
Jakarta: Gema Insani.
K.H.
Moenawar Chalil. 1983. Kelengkapan Tarikh
Nabi Muhammad SAW. Jilid II B. Cetakan ke-4. Jakarta: Bulan Bintang.
Nizar Abazhah. 2014. Sahabat Muhammad, Kisah Cinta dan Pergulatan
Iman Generasi Muslim. Jakarta: Zaman.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar