Namanya
Arwa (ada yang menyebut Auraa’), tapi orang-orang memanggilnya Ummu Jamil. Ayahnya
bernama Harb bin Umayah, pemimpin dan tokoh bangsa Arab.
Ummu
Jamil menikah dengan Abu Lahab, saudara Abdullah, ayah Nabi Muhammad. Nama asli
Abu Lahab adalah Abdul Uzza. Dipanggil Abu Lahab, karena wajahnya yang
kemerah-merahan seperti bara api. Lahab artinya bara api, gejolak api. Dengan
demikian, Ummu Jamil termasuk bibi Nabi Muhammad, karena ia menikah dengan
paman Nabi Muhammad.
Sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi,
hubungan Abu Lahab dan Ummu Jamil dengan beliau dan keluarganya cukup dekat.
Ketika Abu Lahab diberitahu oleh budaknya bahwa Aminah melahirkan anak
laki-laki yang kemudian diberi nama Muhammad, ia sangat bergembira. Kegembiraan
itu diwujudkan dengan membebaskan budaknya yang menyampaikan kabar tadi.
Ketika
Muhammad menikah dengan Siti Khadijah dan memiliki anak, Abu Lahab dan Ummu
Jamil sempat berbesanan dengan Muhammad. Dua putri Muhammad yang bernama
Ruqayah dan Ummu Kultsum, dinikahkan dengan putra-putra Abu Lahab dan Ummu
Jamil, yakni Utbah dan Utaibah
Sayangnya, hubungan baik tersebut di kemudian
hari menjadi berbalik 180 derajat, tepatnya semenjak Muhammad diangkat sebagai
nabi. Abu Lahab dan Ummu Jamil yang tadinya memiliki kasih sayang terhadap
Muhammad dan keluarganya, menjadi sangat benci disebabkan risalah yang dibawakan
oleh keponakannya itu.
Pada
awalnya, Nabi Muhammad berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Setelah tiga tahun, Allah
kemudian memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar berdakwah secara
terang-terangan. Nabi Muhammadpun mulai melaksanakan perintah-Nya.
Seperti
dikatakan oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, langkah
pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah mengundang Bani Hasyim. Dua
kali beliau mengundang mereka. Pada pertemuan pertama Nabi Muhammad hanya diam,
karena sebelum beliau berbicara, Abu Lahab sudah mengingatkan agar beliau tidak
berbuat macam-macam. Pada pertemuan kedua, Nabi Muhammad berhasil menyampaikan
dakwahnya, tapi Abu Lahab menentangnya. Sementara Abu Thalib berusaha
melindungi tindakan Nabi Muhammad, tapi beliau tidak mau mengikuti seruan keponakannya
yang sangat dicintai itu.
Setelah
Nabi Muhammad yakin bahwa pamannya yang bernama Abu Thalib akan melindungi,
maka pada suatu hari beliau menuju Bukit Shafa. Dari atas bukit, Nabi Muhammad kemudian
berseru.
“Yaa shabahaah!”[1])
Mendengar panggilan yang diucapkan berkali-kali,
penduduk Makkah mendatangi tempat di mana suara itu berasal. Mereka
bertanya-tanya siapa gerangan yang memanggil dan apa yang akan disampaikan?
Ummu
Jamil yang berada di rumah pun penasaran. Ia meminta kepada suaminya untuk
mendatangi orang yang memanggil-manggil. Abu Lahabpun menuju ke Bukit Shafa,
tempat Nabi Muhammad memanggil-manggil penduduk Makkah. Sesampainya di Bukit
Shafa, Abu Lahab melihat orang-orang sedang mengerumuni Nabi Muhammad.
“Ada apa ya Muhammad?”, tanya orang-orang yang
berkumpul di tempat tersebut.
“Apa
pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besok pagi
atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?”, kata Nabi Muhammad kepada
orang-orang di hadapannya. Orang-orangpun menjawab “percaya”, karena selama ini
mereka melihat Nabi Muhammad adalah orang yang jujur, tak pernah berbohong.
“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah sebagai
pemberi peringatan akan datangnya azab yang sangat pedih”.
Mendengar kata-kata Nabi Muhammad, ada yang
percaya, ada yang ragu-ragu, ada juga yang tidak percaya. Sementara Abu Lahab sangat
marah mendengar ucapan keponakannya itu.
“Celakalah kamu Muhammad! Jadi hanya untuk ini
kamu mengumpulkan kami di sini?”
Dengan
menahan amarah, Abu Lahab kembali ke rumah. Ummu Jamil menyambut kedatangan
suaminya dengan pertanyaan-pertanyaaan. Abu Lahab memberitahu istri apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad. Mendengar penuturan suami, Ummu
Jamil naik darah. Ia tak mau keponakannya itu menjadi panutan, karena ia merasa
suami dan dirinyalah yang pantas menjadi panutan.
Ummu Jamil sebenarnya berasal dari kalangan
bangsawan yang dihormati. Namun sayang kelakuannya tidak sesuai
dengan sebutannya. Ummu Jamil artinya ibu yang cantik. Akan tetapi fakta
menunjukkan hatinya tak secantik sebutannya. Demikian pula suaminya, Abu Lahab.
Semenjak saat itu ia menjadi sangat membenci Nabi Muhammad.
Bagi Ummu Jamil, tiada hari tanpa menyebarkan
isu jahat dan menghasut orang-orang agar tidak mengikuti ajaran Nabi Muhammad.
Dia juga memengaruhi suaminya agar menyebarkan kata-kata yang dapat mencegah
orang menjadi pengikut Nabi Muhammad.
Guna mencelakai Nabi Muhammad, Ummu Jamil menyebarkan
duri-duri di tempat yang biasa dilalui oleh Nabi Muhammad. Meskipun demikian, Nabi
Muhammad tak pernah terkena duri-duri itu, karena Allah selalu melindunginya.
Nabi Muhammad pun dihina dengan sebutan seorang fakir.
Kebencian
Ummu Jamil terhadap Nabi Muhammad, tak hanya berhenti sampai di situ. Ummu
Jamil juga memerintahkan kepada kedua anak laki-lakinya, Utbah dan Utaibah, agar
menceraikan istri-istrinya, Ruqayah dan Ummu Kultsum, yang keduanya merupakan
putri Nabi Muhammad.
Perbuatan tidak terpuji yang dilakukan berkali-kali oleh pasangan suami istri itu menyebabkan Allah menurunkan Surat Al-Lahab.
تَبَّتْ يَدَآ اَبِيْ
لَهَبٍ وَّتَبَّۗ - ١
مَآ اَغْنٰى عَنْهُ مَالُهٗ وَمَا كَسَبَۗ - ٢
سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ - ٣
وَّامْرَاَتُهٗ ۗحَمَّالَةَ الْحَطَبِۚ - ٤
فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ ࣖ - ٥
Terjemahan:
1.
Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
2.
Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
3.
Kelak
dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
4.
Dan
(begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.
5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.
Di sini, Allah telah memvonis sepasang suami istri tersebut
masuk neraka. Padahal, saat ayat itu turun, mereka berdua masih hidup. Ayat
1-3 membicarakan Abu Lahab, sedangkan ayat 4-5 membahas Ummu Jamil.
Peribahasa Jawa menyebutkan, “Ciri wanci lelai ginawa mati”. Artinya,
perbuatan jelek yang tidak akan pernah hilang kecuali yang bersangkutan telah
mati. Begitulah gambaran Ummu Jamil dan suaminya. Perbuatan-perbuatan jahat itu
terus-menerus mereka lakukan terhadap Nabi Muhammad tanpa pernah merasa
bersalah dan kemudian bertobat. Sebaliknya, mereka justru semakin menggila
dalam usahanya menghalang-halangi dakwah Nabi Muhammad, dengan berbagai cara.
Mendengar ada wahyu yang menyinggung dirinya dan
suaminya, Ummu Jamil kebenciannya kepada Nabi Muhammad semakin memuncak. Ia mengira
wahyu itu adalah syair karangan Nabi Muhammad.
Suatu ketika, Ummu Jamil mencari Nabi Muhammad
karena kekesalannya. Ia merasa diejek sebagai hammaa latal hathab
‘pembawa kayu bakar’. Pengibaratan dalam Al-Qur’an ini didasarkan pada
kebiasaan orang-orang Arab yang mengumpamakan orang yang suka menyebar fitnah
dan mengadu domba dianggap sebagai pembawa kayu bakar. Di Indonesia, orang
semacam ini biasa disebut sebagai tukang kompor. Artinya, ia suka mengompori
orang-orang agar satu sama lain panas hatinya sehingga mereka tidak rukun,
benci, atau berantem.
Pencariannya sampai di Ka’bah. Saat itu, Abu
Bakar sedang duduk bersama Nabi Muhammad di dekat Ka’bah. Ketika bertemu Abu
Bakar, berkatalah Ummu Jamil, “Wahai Abu Bakar, di mana temanmu itu. Saya
dengar ia mengejekku. Seandainya ia berada di sini, maka akan kutimpuk mulutnya
dengan batu ini”.
Setelah berkata demikian, Ummu Jamil kemudian
pergi meninggalkan Abu Bakar. Dipandangnya Ummu Jamil dengan penuh keheranan oleh
Abu Bakar. Setelah Ummu Jamil lenyap dari pandangan matanya, Abu Bakar yang sedang
duduk bersama Nabi Muhammad lalu bertanya, “Ya Rasulullah, apakah dia tidak
melihatmu berada di sini?”.
“Tidak! Dia tidak melihatku, karena ada malaikat
yang selalu menutupiku sampai ia pergi dari sisiku”, jawab Nabi Muhammad.
Ummu Jamil betul-betul ditutup pandangan matanya
agar tidak melihat Nabi Muhammad berada di dekatnya. Itulah sebabnya niat
melempar batu kepada beliau tidak berhasil.
DAFTAR ACUAN
1.
Buku
Abdurrahman Umairah. 2009. Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali Muthohar. 2000. Perempuan dalam Catatan Tuhan. Surabaya: Pustaka Progressif.
Al-Ustadz Afif Abdul Fattah Thabbarah. 2002. Tafsir Juz ‘Amma Lengkap & Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Al-Walidi an-Nisaburi. 2014. Asbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Amelia.
Asrifin An Nakhrawi. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.
Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.
Fuad Kauma. 2000. 50 Mukjizat Rasulullah. Jakarta: Gema Insani.
H.A.A. Dahlan dan M. Zaka Alfarisi. 2004. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Hamid bin Ahmad. 2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya: Amelia.
Jabir Asysyaal. 1988. Al-Qur’an Bercerita Soal Wanita. Jakarta: Gema Insani Press.
K.H. Salim Bahraesy. 2002. Menyaksikan 35 Mukjizat Rasulullah SAW. Surabaya: Pustaka Progresif.
Martin Lings. 2018. Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Cetakan Ke-3. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Muhammad Chirzin. 2011. Buku Pintar Asbabun Nuzul, Mengerti Peristiwa dan Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Jakarta: Zaman.
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2006. Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW. Jakarta: Robbani Press.
Said Yusuf Abu Aziz. 2005. Azab Allah bagi Orang-Orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia.
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. 2008. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ust. Labib MZ. 2003. 10 Orang Divonis Masuk Neraka. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Yanuar Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Yogyakarta: Diva Press.
2.
Internet
quran.kemenag.go.id/sura/111
Tidak ada komentar :
Posting Komentar