Kala itu, waktu
telah memasuki tahun keenam tinggal di Madinah bagi Nabi Muhammad dan kaum Muhajirin
semenjak hijrah dari Makkah. Tanaman yang biasanya tumbuh subur, kali ini
banyak yang kering. Daun-daun pun berguguran dan pohon-pohon tampak menjulang
tanpa dedaunan. Kemarau panjang saat itu memang sedang melanda Madinah. Akibatnya,
banyak binatang ternak yang mati karena tidak adanya air untuk minum dan
rerumputan atau dedaunan untuk makanan. Bahan pokok makanan pun harganya menjadi
melambung akibat lahan-lahan pertanian tidak menghasilkan gandum dan
buah-buahan. Pacekilik benar-benar sedang dialami penduduk Madinah.
Apakah Nabi
Muhammad tidak memahami keadaan yang membuat rakyat hidupnya menjadi serba sulit?
Tentu saja paham. Bahkan sangat paham. Beliau juga tahu bahwa keadaan yang
sedang menimpa penduduk Madinah merupakan ujian dari Allah. Allah menguji
seberapa besar iman mereka kepada-Nya. Akan tetapi Nabi Muhammad sengaja tidak
memberitahukan hal ini kepada penduduk Madinah. Beliau ingin melihat seberapa
besar kekuatan iman yang tertanam dalam jiwa para sahabat, meskipun beliau bisa
saja memohon kepada Allah agar menghentikan keadaan yang demikian. Selama
masyarakat Madinah masih bersabar dengan keadaan seperti itu, maka beliau
mendiamkannya.
Meskipun penderitaan
mendera para sahabat, namun mereka tetap memilih hidup berdampingan dengan Nabi
Muhammad yang selalu mencurahkan belas kasih kepada umatnya. Mereka rela hidup
pahit dan getir asalkan selalu bersama beliau.
Pada suatu hari,
Nabi Muhammad berkhutbah di masjid. Dengan penuh kelembutan, beliau
menyampaikan nasihat yang membuat para sahabat yang sedang mendengarkan
terpukau. Saat itu, tiba-tiba ada seorang Arab pedalaman yang baru saja ikut
berjamaah bersama Nabi Muhammad, berdiri dan berkata, “Ya, Rasulullah! Akibat
kemarau yang sangat panjang, banyak harta benda kami yang musnah. Oleh karena
itu, berdoalah kepada Allah agar Dia menurunkan hujan untuk kami”.
Nabi Muhammad
mengabulkan permohonan orang Arab pedalaman tadi. Beliau berdoa, memohon kepada
Allah agar hujan turun. Tak berselang lama, udara yang tadinya panas, berubah
menjadi sejuk. Langit yang tadinya biru, tiba-tiba tertutup awan hitam. Tak lama
kemudian, air turun dari langit mengguyur bumi.
Para sahabat
yang ada di dalam masjid, mencoba menunggu hujan reda untuk pulang ke rumah. Lama
mereka menunggu, namun hujan belum berhenti juga. Akhirnya mereka pulang dengan
tubuh terguyur hujan.
Guruh masih
menggelegar silih berganti dengan kilat, dan hujan masih mengguyur bumi kala
waktu Asar tiba. Akibatnya, hanya beberapa orang yang shalat berjamaah di masjid
bersama Nabi Muhammad. Yang lain memilih shalat di rumah bersama istri dan
anak.
Sudah sepekan hujan turun terus-menerus tanpa henti. Di masjid, Nabi Muhammad hanya
berjamaah dengan beberapa orang saja. Setelah selesai melaksanakan shalat Asar,
Nabi Muhammad, seperti biasanya, memberikan khutbah di hadapan para sahabat. Dalam
khutbahnya, beliau tidak menyinggung hujan yang terus-menerus tiada henti
selama sepekan. Saat itu, orang yang dulu meminta kepada Nabi Muhammad agar
memohonkan hujan kepada Allah, tiba-tiba berkata kepada beliau.
“Ya, Rasulullah!
Harta benda kami rusak akibat hujan terus-menerus. Mohonkanlah kepada Allah
agar hujan berhenti”.
Nabi Muhammad
tidak menolak permohonan sahabatnya itu. Beliau lalu berdoa kepada Allah agar
hujan berhenti. Tak lama kemudian, awan hitam itu tersapu angin hingga
perlahan-lahan matahari menampakkan diri setelah sepekan tidak menyinari bumi
Madinah. Udara yang tadinya dingin, kian lama makin terasa hangat. Hujan benar-benar telah berhenti.
Daftar
Acuan
Fuad
Kauma. 2000. 50 Mukjizat Rasulullah. Jakarta: Gema Insani.
K.H. Salim Bahreisy. 2002. Menyaksikan 35
Mukjizat Rasulullah SAW. Cetakan Kelima. Surabaya: Pustaka Pogresif.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar