Kamis, 07 April 2022

AWAL-MULA BERHALA DISEMBAH ORANG

 


 

Menyembah berhala termasuk salah satu perbuatan tercela, karena menyembah berhala sama dengan menyekutukan Allah. Artinya, menganggap ada “Tuhan” lain yang berhak disembah atau yang dapat dijadikan penolong selain Allah. Padahal, Allah berkali-kali mengingatkan kita melalui kalam-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, agar kita jangan sekali-kali menyembah sesuatu selain Allah. Jangan sekali-kali kita membuat tandingan bagi Allah. Hanya Allah-lah yang berhak disembah dan dijadikan penolong.

Menurut para ahli tafsir dan sejarawan, manusia yang pertama kali menyembah berhala adalah kaum Nabi Nuh. Nabi Nuh adalah nabi ketiga setelah Nabi Adam dan Nabi Idris yang merupakan nabi-nabi yang wajib diimani oleh umat Islam. Berdasarkan silsilah, Nabi Nuh merupakan generasi[1]) kesepuluh atau keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, garis nasab Nabi Nuh adalah Nuh bin Lamik bin Matwasyalah bin Khanukh (Idris) bin Yarad bin Mahlayil bin Qanin bin Anwasy bin Syits bin Adam.

Allah mengutus Nabi Nuh dengan tujuan untuk memberi peringatan kepada kaumnya, karena mereka telah sesat. 


Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih” (Al-Qur’an Surat Nūh [71] ayat 1).

 

Dikatakan sesat, karena kaum Nabi Nuh bukannya menyembah Allah, melainkan menyembah berhala-berhala. Ada 5 (lima) berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh, yakni Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Nūh ayat 23.

 

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr” (Al-Qur’an Surat Nūh [71] ayat 23).

 

Tentang berapa usia Nabi Nuh dari lahir hingga wafat, dan pada usia berapa beliau diangkat sebagai nabi, para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai hal ini. Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabūt ayat 14 menyebutkan demikian.


Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim (Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabūt [29] ayat 14).

 

Kalimat yang berarti “maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” sebagaimana tercantum pada kutipan di atas, ada yang mengatakan bahwa 950 tahun itu adalah umur Nabi Nuh sejak lahir hingga wafat. namun ada juga yang mengatakan bahwa 950 tahun itu adalah masa Nabi Nuh berdakwah.

Di antara mereka yang berpendapat bahwa 950 tahun itu adalah usia Nabi Nuh dari lahir hingga wafat, ada yang menganggap jika Nuh diangkat sebagai nabi pada usia 50 tahun, ada yang menyatakan pada usia 350 tahun, dan ada juga yang berpendapat pada usia 480 tahun. Sementara di antara mereka yang mengatakan bahwa 950 tahun itu masa Nabi Nuh berdakwah adalah Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh Ustad Marwan Hadidi bin Musa dalam Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an[2]). Ibnu Abbas berkata, “Nuh diutus ketika berusia 40 tahun, dan beliau tinggal (berdakwah) di tengah kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh, dan tinggal setelah banjir besar selama 60 tahun, sehingga banyak jumlah manusia dan bertebaran (di mana-mana)”.  

Lepas dari masalah berapa umur Nabi Nuh sejak lahir hingga wafat, dan pada usia berapa beliau diangkat sebagai nabi, yang jelas kaum Nabi Nuh lebih banyak yang mendustakannya daripada yang mau menerima seruan Nabi Nuh. Mereka yang menolak seruan Nabi Nuh karena berangggapan bahwa Nabi Nuh hanyalah manusia biasa seperti dirinya, dan para pengikutnya adalah orang-orang yang dianggap hina oleh mereka. Selain itu, juga disebabkan mereka tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr yang telah lama menjadi bagian hidupnya daripada menyembah Allah seperti yang diserukan oleh Nabi Nuh. Bahkan mereka menganggap Nabi Nuh-lah yang sesat karena mengajak mereka agar menyembah Allah saja, sementara mereka terbiasa menyembah lima berhala, yaitu Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.

Bagaimana kisahnya, orang-orang pada zaman Nabi Nuh menjadi penyembah berhala?  

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan bahwa jarak antara Nabi Adam dengan Nabi Nuh adalah sepuluh abad, di mana semua orang pada masa itu adalah memeluk Islam. Yang dimaksud memeluk Islam di sini tentunya adalah memeluk agama yang lurus, yang mengesakan Allah. Seiring berjalannya waktu, terjadilah perubahan. Orang-orang yang tadinya menyembah Allah, berubah menjadi menyembah berhala. Penyebabnya, seperti dikatakan Ibnu Jarir dalam tafsirnya yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam bukunya berjudul Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi), mereka yang namanya dijadikan sebagai nama-nama berhala adalah kaum yang hidup antara Nabi Adam dan Nabi Nuh. Mereka mempunyai pengikut setia yang selalu megikuti mereka. Setelah mereka meninggal dunia, para pengikutnya itu mengatakan, “Seandainya kita gambar (buat patung) mereka tentu kita akan senantiasa rindu beribadah, ketika kita ingat kepada mereka”. Para pengikut itupun menggambar mereka. Setelah para pengikut itu meninggal dunia dan disusul oleh generasi berikutnya, maka iblis datang dengan melancarkan tipu-daya dan perangkapnya. Akhirnya, patung-patung itu menjadi berhala sesembahan untuk meminta hujan dan sebagainya.

Senada dengan yang dikatakan Ibnu Jarir, Ath-Thabari sebagaimana dikutip oleh Yanuardi Syukur dalam bukunya berjudul Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar, menyebutkan bahwa pada mulanya kaum yang berada antara Nabi Adam dan Nabi Nuh adalah orang yang shaleh. Mereka juga memiliki pengikut patuh. Namun, ketika para nabi dan orang-orang shaleh meninggal, para pengikut itu berkata, “Jika kita membuat gambar mereka, tentunya kita akan lebih gemar beribadah kaena mengingat mereka”. Akhirnya, mereka membuat gambar para nabi dan orang-orang shaleh tersebut. Setelah pembuat gambar itu mati, datanglah kelompok lain yang telah dirasuki iblis seraya berkata, “Mereka menyembah orang-orang shaleh tersebut dan minta diturunkan hujan”. Lantas, setiap orang menyembah masing-masing berhala dan menjadikannya sembahan khusus. Setelah beberapa kurun, untuk lebih meyakinkan lagi, mereka pun menjadikan gambar-gambar tersebut sebagai patung berjasad untuk disembah. Kemudian mereka menyembahnya dengan beragam cara penyembahan.

Sementara H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman dalam bukunya berjudul Para Pembangkang, Kisah-Kisah Kaum Terdahulu yang Dibinasakan Allah mengatakan bahwa sebelum Nabi Nuh dan kaumnya terlahir, ada kakek-kakek[3]) Nabi Nuh yang shaleh, yakni: Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka merupakan orang-orang yang tetap memelihara dan menjalankan perintah Allah sebagaimana ajaran yang dibawa oleh nabi sebelumnya, Nabi Adam dan Nabi Idris. Setelah beberapa zaman menjalani hidup, mereka akhirnya kembali ke pangkuan Ilahi. Sepeninggal mereka, orang-orang berusaha mencari cara untuk menghormati dan memperingati kakek-kakek Nabi Nuh yang shaleh tersebut. Muncullah ide untuk membuat patung-patung yang identik dengan mereka. Pada masa itu, orang-orang yang membuat patung masih berada dalam jalan kebenaran. Seiring dengan berjalannya waktu, para pembuat patung itu meninggal. Lalu, datanglah generasi berikutnya, yakni anak dan cucu para pembuat patung tersebut. Di tangan generasi cucu-cucu inilah mulai timbul penyelewengan-penyelewengan. Diawali dengan munculnya berbagai dongeng dan khurafat[4]) yang membelenggu akal manusia yang menyebutkan bahwa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus. Tentu, kondisi ini menjadi kesempatan empuk bagi iblis untuk membisikkan kesesatan kepada mereka.

Itulah kisah awal-mula berhala disembah orang.

Sesungguhnya Nabi Nuh telah berulang kali mengingatkan kaumnya agar meninggalkan penyembahan terhadap berhala dan hanya Allah yang wajib disembah, tapi mereka tidak menghiraukan apa yang disampaikan oleh Nabi Musa. Ratusan tahun Nabi Nuh berdakwah di tengah-tengah kaumnya, hanya beberapa orang saja yang mengikutinya. Bahkan istri dan anaknya yang bernama Kan’an juga mendustakannya. Akhirnya, Nabi Nuh berdoa kepada Allah untuk menolong dirinya karena kaumnya mendustakannya. Doa Nabi Nuh dikabulkan. Ia disuruh membuat kapal atas perintah dan pengawasan Allah. Setelah pembuatan kapal selesai. Nabi Nuh dan para pengikutnya beserta hewan-hewan (tiap hewan sepasang, jantan dan betina), diperintahkan naik ke atas kapal. Sesudah semuanya naik, maka Allah mengazab mereka yang mendustakan ayat-ayat-Nya dengan banjir besar. Matilah mereka tenggelam di dalam air. Sementara Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman diselamatkan oleh Allah.

Ternyata, berhala kaum Nabi Nuh tersebut tersebar juga di kalangan orang Arab yang dipusatkan di setiap kaum sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.

 

 “Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya berhala-berhala yang dahulu diagungkan oleh kaum Nabi Nuh, di kemudian hari tersebar di bangsa Arab. Wadd menjadi berhala untuk kaum Kalb di Daumatul Jandal. Suwa' untuk Bani Hudzail. Yaquts untuk Murad dan Bani Ghuthaif di Jauf tepatnya di Saba`. Adapun Ya'uq adalah untuk Bani Hamdan. Sedangkan Nashr untuk Himyar keluarga Dzul Kala'. Itulah nama-nama orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kaum itu untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama orang-orang shaleh itu. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, sesudah itu, setelah ilmu tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah”. 

 

Mengapa berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh dapat disembah oleh bangsa Arab sebelum Islam? Padahal jarak waktu antara kaum Nabi Nuh hidup dengan bangsa Arab sebelum Islam sangatlah jauh hingga ribuan tahun. Mengenai hal ini, Abu Muhammad Miftah dalam bukunya berjudul Kisah-Kisah Berhala Musyrikin Jahiliyyah menyebutkan bahwa ‘Amr bin Luhai mempunyai pembantu dari bansa jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr terpendam di wilayah Jeddah. ‘Amr bin Luhai kemudian pergi ke Jeddah dan membongkarnya, lalu membawanya ke Tihamah. Ketika tiba musim haji, dia menawarkan kepada berbagai kabilah, kemudian kabilah tadi membawa berhala-berhala tersebut ke negerinya masing-masing. Berhala Wadd adalah milik kabilah Kalb di daerah Jarasy di wilayah Daumatul Jandal di Negeri Syam yang dekat dengan Irak. Suwā’ adalah berhala milik Hudzail bin Mudrikah di daerah Ruhat yang termasuk wilayah Negeri Hijaz, dari arah pantai lebih dekat dengan Makkah. Yaghuts adalah berhala milik Bani Ghuthaif dan Bani Murad yang terletak di wilayah  Jauf[5]) di Negeri Saba’. Ya’uq adalah berhala milik kabilah Hamdan di daerah Khaiwan di Negeri Yaman. Adapun Nasr adalah berhala milik keluarga Dzul Kala’ dari kabilah Himyar di Negeri Himyar.

 

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Abu Muhammad Miftah. 2016. Kisah-Kisah Berhala Musyrikin Jahiliyyah. Sleman – Yogyakarta: Hikmah Anak Sholih (HAS).

 

H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman. 2013. Para Pembangkang, Kisah-Kisah Kaum Terdahulu yang Dibinasakan Allah. Jogjakarta: Diva Press.

 

Ibnu Katsir. 2015. Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.  

 

Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.

 

 

2.  Internet

 

https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/ini-berhala-pertama-yang-disembah-umat-manusia-2zW5w

 

https://kbbi.web.id/generasi

 

https://kbbi.web.id/khurafat

 

https://tafsirweb.com/7240-surat-al-ankabut-ayat-14.html

 

http://quran.bblm.go.id/

 

https://quran.kemenag.go.id/

 

 



[1]) Yang dimaksud dengan generasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: (1) sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya; angkatan; turunan; dan (2) masa orang-orang satu angkatan hidup. Nabi Adam dan Hawa adalah generasi pertama manusia di muka bumi. Sementara yang dimaksud dengan keturunan di sini adalah anak cucu atau angkatan.

[2]) https://tafsirweb.com/7240-surat-al-ankabut-ayat-14.html

[3]) Yang dimaksud kakek-kakek di sini adalah generasi sebelum Nabi Nuh dan kaumnya.

[4]) Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan khurafat dengan dongeng (ajaran dan sebagainya) yang tidak masuk akal; takhayul

[5]) Abu Muhammad Miftah menyebut Al-Jurf, tapi hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyebut Jauf, sehingga nama wilayahnya disesuaikan dengan yang tercantum dalam hadits.

Tidak ada komentar :