Sabtu, 16 April 2022

ORANG YANG PERTAMA KALI MENGENALKAN BERHALA KEPADA PENDUDUK MAKKAH


 

Makkah adalah sebuah kota di bagian barat negara Arab Saudi atau Saudi Arabia, di lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Makkah mempunyai tiga pintu masuk, yakni Al-Ma’lah (atau Al-Hujun atau Al-Hajun), Al-Masfalah, dan Asy-Syubaikah. Makkah dianggap sebagai pusat bumi, dan berada di tengah-tengahnya.

Sejarah Makkah dimulai sejak kedatangan Nabi Ibrahim bersama istri dan anaknya, Hajar dan Ismail sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an. Sebelum Nabi Ibrahim datang bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Makkah hanyalah tempat yang dilalui kafilah-kafilah dagang. Tempat ini gersang, tanpa air dan tanpa tumbuh-tumbuhan yang hidup subur. Al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 37 menyebutnya sebagai lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat Baitullah yang dihormati. Diriwayatkan oleh Al-Azraqi dari Ibnu Juraij bahwa Nabi Ibrahim bisa sampai di tempat tersebut (dari Palestina) karena mengikuti gerak awan, malaikat, dan burung sebagai petunjuk jalan. Tepat di posisi Masjidil Haram sekarang, Hajar dan Ismail ditinggal kembali ke Palestina oleh Nabi Ibrahim dengan hanya dibekali sekantung kurma dan bejana berisi air. Adapun kawasan di sekitar Makkah dihuni oleh kaum ‘Amaliq atau ‘Amaliqah.

Rasa gundah menggelayuti hati dan pikiran Hajar. Betapa tidak, tempat yang tiada berpenghuni kecuali dirinya dan Ismail, ditambah daerahnya sangat gersang dengan tanah yang bergunduk-gunduk, menambah kegundahan seorang ibu yang masih menyusui anaknya. Kegundahan itu mencapai puncaknya ketika Ismail menangis kehausan, sementara air dalam bejana telah habis. Hajarpun berlari kian kemari dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah hingga tujuh kali untuk sekedar mencari air atau melihat di mana ada sumber air yang dapat diambil untuk minum anaknya yang kehausan. Akhirnya Allah memberi karunia dengan dimunculkannya air zamzam yang tak pernah habis hingga sekarang.

Suatu ketika datang kabilah[1]) Jurhum dari Yaman, dan meminta izin kepada Hajar untuk ikut menetap di situ. Hajar mengizinkannya. Jadilah Hajar dan Ismail tidak kesepian lagi karena kini telah ada orang lain yang tinggal bersama di tempat tersebut.

Dari waktu ke waktu Nabi Ibrahim beberapa kali datang dari Palestina ke Makkah untuk menjenguk istri dan anaknya. Sedikitnya empat kali Nabi Ibrahim menjenguk keluarganya.

Pertama, saat Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail lewat mimpi. Tatkala sampai di Makkah,Nabi Ibrahim merasa takjub melihat tempat yang dulu tak berpenghuni, kini telah ramai. Masih ingat di benaknya, saat itu Hajar dan Ismail ditinggalkan di lembah yang gersang dan tak berpenghuni. Sewaktu berkunjung di Makkah ini, Nabi Ibrahim bermimpi aneh. Dalam mimpinya, Ibrahim menyembelih Ismail. Nabi Ibrahimpun meminta pendapat Ismail tentang mimpinya itu. Di luar dugaan, ternyata Ismail berserah diri. Ismail bahkan meminta kepada ayahnya agar melaksanakan perintah Allah yang disampaikan lewat mimpi tersebut. Ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail, tiba-tiba Allah menggantinya dengan domba.

Kedua, saat Hajar sudah meninggal dan Ismail telah memiliki istri. Ketika datang, Nabi Ibrahim tidak bertemu Ismail, kecuali hanya bertemu istrinya. Istri Ismail tidak tahu bahwa tamunya adalah mertuanya. Nabi Ibrahim bertanya kepada istri Ismail tentang Ismail dan kondisi rumah tangganya. Istri Ismail menjawab bahwa Ismail sedang mencari nafkah, dan kondisi rumah tangganya buruk, karena hidup dalam kemiskinan. Ketika hendak pulang, Nabi Ibrahim berpesan kepada menantunya, agar Ismail mengganti ambang pintunya. Sewaktu Ismail pulang, disampaikanlah pesan Nabi Ibrahim kepada Ismail oleh istrinya. Ismail tahu bahwa tamu yang datang adalah bapaknya. Ismail juga paham maksud pesan bapaknya, yakni agar menceraikan istrinya yang tidak pandai bersyukur. Dicerailah istrinya oleh Ismail.

Ketiga, ketika Ismail telah memiliki istri baru. Saat Nabi Ibrahim datang lagi, Ismail juga tidak ada di rumah. Yang ada di rumah adalah istri Ismail yang baru. Nabi Ibrahim bertanya tentang kehidupannya bersama Ismail. Istri Ismail yang tidak tahu bahwa tamunya adalah mertuanya, menjawab bahwa suaminya adalah orang yang beriman dan rajin bekerja. Ia merasa bahagia hidup bersama Ismail. Sebelum kembali ke Palestina, Nabi Ibrahim menitip pesan kepada istri Ismail agar Ismail memperkokoh ambang pintunya. Lagi-lagi Ismail tahu bahwa yang datang adalah ayahnya, dan ia dipesan supaya mempertahankan istrinya.

Keempat, saat Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk membangun Ka’bah. Dengan dibantu oleh Ismail. Nabi Ibrahim membangun rumah Allah di dekat sumur zamzam. Beberapa waktu kemudian, Ka’bah pun selesai dibangun.

Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri mengatakan bahwa dari perkawinannya dengan putri Mudhadh bin ‘Amr (pemimpin dan pemuka kabilah Jurhum)[2], Ismail dikaruniai anak oleh Allah sebanyak 12, yang semuanya laki-laki, yaitu Nabat atau Nabuyuth, Qaidar, Adba’il, Mibsyam, Misyma’, Duma, Misya, Hadad, Taima, Yathur, Nafis, dan Qaiduman. Abu Muhammad Miftah menyebutkan nama-nama anak Nabi Ismail demikian: Nabat atau Banaluth, Qidar, Adba’il, Mabsyam, Masyma’, Duma, Misya, Hadad, Yatma, Yathur, Nafis, dan Qaidaman. Sementara Zainurrofieq menyebutnya: Nabt, Qoidar, Adbil, Mubsim, Musyma’, Duma, Dawam, Masaa, Hadad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy. Dari mereka inilah, kata Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri dan Abu Muhammad Miftah, kemudian berkembang menjadi 12 kabilah, yang semuanya menetap di Makkah untuk sekian lama. Mata pencaharian mereka adalah berdagang. Selanjutnya kabilah-kabilah ini menyebar ke berbagai penjuru jazirah Arab dan bahkan sampai ke luar jazirah Arab. 

Berdasarkan catatan sejarah, sepeninggal Nabi Ismail, kepemimpinan Baitullah dipegang anak sulungnya yang bernama Nabt atau Nabat[3]). Anak-anak Nabi Ismail berselisih dengan kabilah Jurhum. Ketika anak-anak Nabi Ismail dikalahkan oleh kabilah Jurhum, kepemimpinan Baitullah dipegang oleh kabilah Jurhum. Ibnu Hisyam sebagaimana dikutip oleh Zainurrofieq, menjelaskan bahwa setelah kepemimpinan Baitullah dipegang oleh kabilah Jurhum, anak-anak dan keturunan Nabi Ismail menjadi kaum yang diawasi dan dipinggirkan. Makkah menjadi tempat yang sempit dan tidak tenang bagi keturunan Nabi Ismail. Mereka memutuskan untuk berhijrah keluar Makkah. Zainurrofieq menyebut kabilah Jurhum memerintah Makkah hingga 300 tahun.

Di Makkah, selain ada kabilah Jurhum yang datang saat Hajar dan Ismail belum lama tinggal di tempat tersebut, ada juga kabilah Khuza’ah, anak cucu Al-Qahtani dari Yaman, yang menurut Abdul Basit bin Abdul Rahman dan K.H. Ahmad Dimyati Badruzzaman, lari dari Yaman karena peristiwa banjir Arim[4]) yang melanda daerah mereka. Kabilah inilah yang kemudian mengambil alih kekuasaan dari Kabilah Jurhum. Abdul Basit bin Abdul Rahman menerangkan tentang proses pengambilalihan kekuasaan tersebut, demikian: ketika kabilah Khuza’ah datang ke Makkah dan meminta izin kepada pimpinan kabilah Jurhum untuk tinggal di Makkah, kabilah Jurhum menolaknya. Akibatnya, terjadilah peperangan selama tiga hari. Peperangan dimenangkan oleh kabilah Khuza’ah, dan kekuasaan diambil alih oleh kabilah Khuza’ah dari tangan kabilah Jurhum. Akan tetapi Zainurrofieq mengatakan bahwa pada akhir masa kejayaan dinasti Jurhum, Allah memberikan azab hingga penduduk dan pengikutnya musnah. Kemudian masuklah kabilah Juhainah dan memegang kekuasaan kota Makkah. Baru setelah itu, kekuasaan jatuh ke tangan kabilah Khuza’ah.

Sejak awal, bangsa Arab mewarisi agama yang pernah dibawakan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yakni agama yang menyerukan keesaan Allah, beribadah kepada-Nya, mematuhi hukum-hukum-Nya, mengagungkan tempat-tempat suci-Nya (khususnya Baitul Haram), menghormati syiar-syiarnya, dan mempertahankannya. Akan tetapi setelah beberapa kurun waktu, mereka mulai mencampuradukkan kebenaran yang diwarisinya dengan kebatilan yang menyusup kepada mereka.

Saat kabilah Khuza’ah berkuasa, salah satu pemimpin dari kabilah tersebut adalah Amr bin Luhay. Orang inilah yang pertama kali mengenalkan berhala kepada penduduk Makkah.

Para ahli tafsir dan sejarah menceritakan bagaimana Amr bin Luhay memasukkan penyembahan berhala kepada bangsa Arab.

Suatu ketika, Amr bin Luhay mengadakan perjalanan ke negeri Syam untuk suatu keperluan. Di sana, ia melihat penduduk Syam menyembah berhala.

“Apakah berhala-berhala yang kamu sembah ini?”, tanya Amr bin Luhay kepada penduduk Syam.

“Ini adalah berhala-berhala yang kami sembah. Kami meminta hujan kepadanya, lalu kami diberi hujan. Kami minta pertolongan kepadanya, lalu kami ditolong”, jawab mereka.

Oleh karena Syam adalah tempat diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci, maka Amr bin Luhay menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar.

“Bolehkah kamu berikan satu berhala kepadaku untuk kubawa ke negeri Arab agar mereka juga menyembahnya?”, Amr bin Luhay meminta kepada penduduk Syam.

Mereka memberikan satu berhala kepada Amr bin Luhay. Berhala tersebut bernama Hubal. Amr bin Luhay pun pulang sambil membawa berhala pemberian penduduk Syam.

Sesampai di Makkah, Amr bin Luhay memasang berhala Hubal di dalam Ka’bah. Setelah itu, dia mengajak penduduk Makkah untuk berbuat syirik kepada Allah, untuk mengibadahi berhala, untuk menyekutukan Allah dengan berhala itu dalam ibadah. Oleh karena Amr bin Luhay dikenal sebagai orang yang suka berbuat baik, suka bersedekah, dan bersemangat terhadap urusan-urusan agama, maka penduduk Makkah pun menyambut ajakannya. Bahkan orang-orang Arab lainnya pun mengikuti jejak penduduk Makkah, menyembah berhala.

 Kian lama, berhala-berhala di Arab makin bertambah. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa di sekitar Ka’bah saja terdapat kurang lebih 360 patung. Tampaknya, yang menjadi faktor penyebab munculnya patung-patung di sekitar Ka’bah tersebut dikarenakan orang-orang Quraisy bermaksud hendak mengambil manfaat dari kunjungan kabilah-kabilah Arab pada musim haji. Oleh karena itu, patung-patung dari kabilah ternama diizinkan untuk diletakkan di sekitar Ka’bah, sehingga saat mereka berkunjung ke Makkah dan berziarah ke tanah haram, didapatkan “tuhan-tuhan” sembahan mereka ada di sektar Ka’bah. Dengan demikian, mereka akan bersikap lebih hormat dan semakin menyucikan Ka’bah.

 Meskipun kemusyrikan telah tersebar di jazirah Arab, namun Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy berpendapat bahwa masih ada orang, walau sedikit, yang berpegang teguh pada akidah tauhid dan berjalan sesuai ajaran hanifiyah, yaitu meyakini hari kebangkitan, memercayai bahwa Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang taat dan menyiksa orang-orang yang berbuat maksiat, membenci penyembahan berhala yang dilakukan oleh orang-orang Arab, dan mengecam kesesatan pikiran dan tindakan-tindakan buruk lainnya. Di antara tokoh dan penganut sisa-sisa hanifiyah ini yang terkenal antara lain: Qais bin Sa’idah Al-Ayadi, Ri’ab Asy-Syani, dan Pendeta Bahira.

Sementara Ahmad bin Shalih bin Ibrahim Ath-Thuwayyun mengatakan bahwa meskipun agama orang Arab makin menyimpang dari ajaran Allah, namun masih ada orang yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Di antara ajaran tersebut adalah mengagungkan dan menghormati Baitullah, mengerjakan thawaf, mengerjakan ibadah haji dan umrah, wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, menyembelih hewan qurban, dan ber-talbiyah saat memulai haji atau umrah, meskipun dalam talbiyah tersebut ada beberapa kata yang tidak diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya.  

Perlu diingat, ibadah haji tidak hanya dilaksanakan oleh orang-orang setelah Muhammad diutus sebagai rasul. Ritual ibadah haji telah dilaksanakan sejak zaman jahiliyah. Dalam https://bpkh.go.id/ disebutkan, istilah jahiliyah di sini digunakan untuk menggambarkan keadaan masyarakat yang suka bertindak bodoh karena tidak memahami aturan agama. Dalam tata cara beragama, kaum jahiliyah juga berkomitmen untuk mengikuti tradisi keagamaan Nabi Ibrahim, tapi amalan itu dalam berbagai sisi sudah terkotori oleh hawa nafsu mereka. Di dalam ritual haji telah banyak dicampuri oleh ajaran-ajaran baru yang berasal dari budaya setempat.

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Abdul Basit bin Abdul Rahman. 2004. Makkah Al-Mukarramah, Kelebihan dan Sejarah. Kelantan (Malaysia): Madrasah Muhammadiah.

 

Abu Muhammad Miftah. 2016. Kisah-Kisah Berhala Musyrikin Jahiliyyah. Sleman – Yogyakarta: Hikmah Anak Sholih (HAS).

 

Ahmad bin Shalih bin Ibrahim Ath-Thuwayyun. 2010. Kisah Kota Makkah. Surabaya: Pustaka (eLBA).

 

Dewi Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta: Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Hasan Ibrahim Hasan. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam. Jilid 1. Cetakan Ke-4. Jakarta: Kalam Mulia.

 

Ibnu Katsir. 2015. Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.

 

K.H. Ahmad Dimyati Badruzzaman. 2018. Pesona Kota Mekah, Tinjauan Sejarah & Keistimewaan Kota Mekah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

 

Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. 2006. Sirah Nabawiyah, Analisis Ilmiah Manhajiah terhadap Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jakarta: Robbani Press.

 

Rizem Aizid. 2015. Ibrahim Nabi Kekasih Allah. Yogyakarta: Saufa

 

Siti Zainab Luxfiati. 2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid 1. Jakarta: Dian Rakyat.

 

Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. 2018. Sirah Nabawiyah. Cetakan Ke-17. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

 

Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.

 

Zainurrofieq. 2008. Mukjizat Ka’bah, Mengungkap Keagungan Baitullah. Cetakan Ke-2. Jakarta: QultumMedia.

 

 

2.     Internet

 

https://bpkh.go.id/ibadah-haji-di-zaman-jahiliyah/

 

https://kbbi.web.id/kabilah

 

 



[1]) Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kabilah dengan ‘suku bangsa’; ‘kaum yang berasal dari satu ayah’.

[2]) Putri Mudhadh bin ‘Amr adalah istri kedua Nabi Ismail setelah istri pertamanya dicerai.

[3]) Abdul Basit bin Abdul Rahman menyebut Thabit atau Nabit.

[4]) Banjir Arim adalah banjir besar yang menimpa kaum Saba’.

Tidak ada komentar :