Minggu, 10 April 2022

KISAH SAMIRI DAN PATUNG ANAK SAPI

 

 

Samiri adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi Musa dan Nabi Harun. Ia merupakan salah satu kaum Bani Israil yang pandai sihir dan pandai pula membuat patung.

Meskipun Fir’aun dan bala tentaranya telah tewas ditelan Laut Merah kala mengejar Nabi Musa dan para pengikutnya, tapi warisan kekufuran masih tertanam dalam jiwa rakyatnya akibat bertahun-tahun menerima ajaran Fir’aun. Nabi Musa merasakan sulitnya memperbaiki budi pekerti mereka yang telah rusak itu. Oleh karena itu, Nabi Musa memohon kepada Allah agar Harun diutus juga sebagai nabi bersama dirinya untuk membantu membenarkan perkataannya, karena Harun lebih pandai dalam bebicara. 


Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku (Al-Qur’an Surat Al-Qashash ayat 34).

Permintaan Nabi Musa dikabulkan oleh Allah. Harun diangkat sebagai nabi untuk menguatkan atau membantu Nabi Musa.

 

Dia (Allah) berfirman, “Kami akan menguatkan engkau (membantumu) dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak akan dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang” (Al-Qur'an Surat Al-Qashash ayat 35).

Nabi Harun adalah saudara kandung Nabi Musa. Meskipun Nabi Harun lebih tua dari Nabi Musa, tapi ia diangkat sebagai nabi setelah Musa diangkat sebagai nabi terlebih dahulu. Nabi Musa-lah yang memohon kepada Allah agar dibantu saudara tuanya, karena ia tahu Harun lebih pandai dalam berbicara. Nabi Harun memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap dakwah Nabi Musa. Ia yang memiliki keahlian berbicara, siap berdebat atau menyangkal pembicaraan lawan.

Pada suatu saat, Nabi Musa mendapat perintah dari Allah agar pergi ke Bukit Thur untuk menerima wahyu. Nabi Musa berpesan kepada Nabi Harun untuk menjaga kaumnya jangan sampai berbuat kerusakan. Nabi Harun mengiyakan apa yang diperintahkan Nabi Musa.

Nabi Musa pergi menuju ke tempat yang telah ditentukan oleh Allah. Beliau berada di tempat tersebut selama 30 malam, yang disempurnakan dengan 10 malam lagi, sehingga menjadi 40 malam. Di tempat tersebut, dalam kondisi suci jiwa dan raganya, Nabi Musa mendengar firman Allah langsung. Nabi Musa sangat bahagia dapat mendengar suara Allah yang selama ini telah menyelamatkan dirinya mulai dari bayi hingga diutus sebagai nabi.

“Ya Allah, tampakkanlah diri-Mu kepada hamba agar hamba dapat melihat-Mu”, Nabi Musa memohon kepada Allah.

 “Wahai Musa, kamu tidak akan sanggup melihat-Ku. Cobalah lihat gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya, niscaya kamu dapat melihat-Ku”, jawab Allah.

 Allah pun menampakkan keagungan-Nya. Namun apa yang terjadi? Gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah sadar, Musa berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman”.

Di tempat yang berbeda, sepeninggal Nabi Musa, penjagaan kaumnya diserahkan kepada Nabi Harun agar tidak berbuat kerusakan. Selama Nabi Musa sedang menerima wahyu, ada seseorang bernama Samiri, yang memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menyesatkan kaum Bani Israil.


Dan kaum Musa, setelah kepergian (Musa ke Bukit Thur) mereka membuat patung anak sapi yang bertubuh dan dapat melenguh (bersuara) dari perhiasan (emas) (Al-Qur’an Surat Al-A’rāf ayat 148).

Said Yusuf Abu Azis dalam bukunya berjudul Azab Allah bagi Orang-orang Zalim menceritakan tentang pembuatan patung anak sapi oleh Samiri, demikian.


Samiri berkata kepada kaum Bani Israil, “Musa telah melanggar janjinya kepada kamu sekalian karena kalian memiliki perhiasan hasil curian dari orang-orang Mesir. Padahal, barang tersebut diharamkan kepadamu karena kamu hasilkan dengan cara yang tidak sah secara hukum. Kemudian Samiri meminta kepada mereka untuk menghancurkan perhiasan-perhiasan tersebut dan melemparkannya ke dalam api, dan mereka benar-benar melemparkannya. Potongan-potongan emas dan perak tersebut dia jadikan patung berbentuk sapi.

Sementara tentang dapat bersuaranya patung sanak sapi seperti disebut dalam Al-Qur’an Surat Al- A’rāf ayat 148, para ahli tafsir berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya patung tersebut tidak bernyawa, sedangkan suara yang seperti suara sapi tersebut disebabkan oleh angin yang masuk ke rongga patung dengan teknik yang dikenal oleh Samiri saat itu. Ada juga yang berpendapat bahwa patung yang dibuat Samiri itu bernyawa dan dapat bersuara seperti sapi. Ada lagi yang menyebutkan bahwa patung itu bisa bersuara tapi tidak bernyawa.

Setelah selesai membuat patung, Samiri kemudian menunjukkan kepada para pengikut Nabi Musa.

“Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tapi Musa telah lupa”, kata Samiri kepada para pengikut Nabi Musa.

Menurut Hamid bin Ahmad, yang dimaksud “Musa telah lupa” adalah Musa lupa terhadap “Tuhan”-nya yang ada di sini kita. Musa berusaha mencari Tuhannya, padahal “Tuhan” yang dia cari ada di samping kita.

Kaum Bani Israil yang menjadi pengikut Nabi Musa-pun termakan bujuk-rayu Samiri. Mereka yang selama ini belum pernah melihat Tuhan, percaya pada omongan Samiri bahwa patung anak sapi itu adalah “Tuhan”. Merekapun menyembah patung anak sapi buatan Samiri.

Apa yang mereka lakukan tentu membuat Nabi Harun terkejut. Ia tak menyangka kaumnya kini meninggalkan Allah dan berganti menyembah patung anak sapi. Berkali-kali Nabi Harun mengingatkan kaumnya, tapi mereka keras kepala.

“Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu ditipu oleh Samiri dengan patung anak sapi itu. Tuhanmu ialah Allah Yang Maha Pengasih. Ikutilah aku dan taatilah perintahku”, kata Nabi Harun kepada mereka.

“Kami tidak akan meninggalkan patung anak sapi, dan tetap akan menyembahnya sampai Musa kembali kepada kami”, jawab mereka.  

Ketika Nabi Musa masih berada di Bukit Thur, Allah telah memberi tahu kepadanya bahwa sejak ditinggalkan oleh Nabi Musa, kaumnya disesatkan oleh Samiri. Oleh karena itu, setelah selesai menerima wahyu, Nabi Musa bergegas kembali kepada kaumnya. Betapa terkejutnya ia ketika didapati kaumnya kini memiliki sembahan baru, yakni patung anak sapi. Kemarahan Nabi Musa dilampiaskan kepada kaumnya yang sesat dan kepada Nabi Harun yang telah diserahi tanggung jawab untuk menjaga kaumnnya.

“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?”, kata Nabi Musa kepada kaumnya.

Nabi Musa melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan kemudian menarik janggut Nabi Harun, karena ia dianggap tidak dapat menjaga amanah.

“Wahai Harun! Apa yang menghalangimu untuk mencegah mereka ketika kau melihat mereka telah sesat? Apakah kau sengaja melanggar perintahku?”, tanya Nabi Musa.

“Wahai putra ibuku! Janganlah engkau pegang janggutku dan jangan pula engkau pegang kepalaku. Aku sungguh khawatir engkau akan berkata kepadaku, ‘Kau telah memecah-belah Bani Israil dan tidak memelihara amanatku’”, jawab Nabi Harun.

“Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. Oleh sebab itu, janganlah engkau menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan jangan pula engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim”, lanjut Nabi Harun.

“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku, dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu. Engkau adalah Maha Penyayang dari semua penyayang”, kata Nabi Musa memohon ampun kepada Allah.

Nabi Musa pun marah kepada Samiri yang menjadi penyebab kaumnya melakukan perbuatan syirik.

“Apa yang mendorongmu berbuat demikian, wahai Samiri?”, tanya Nabi Musa.

“Aku melihat dan mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui. Aku melihat Jibril menunggang kuda ketika Bani Israil keluar dari laut dan Fir'aun tenggelam. Jadi, aku ambil segenggam tanah dari jejak tapal kuda rasul itu, lalu aku melemparkannya ke arah perhiasan-perhiasan yang aku jadikan bahan membuat patung anak sapi itu hingga patung itu mampu mengeluarkan suara. Aku tahu mereka pernah memintamu untuk membuat ‘Tuhan’ yang berjasad untuk mereka sembah. Demikianlah nafsuku membujukku untuk menciptakan patung anak sapi ini sebagai ‘Tuhan’ mereka”, jawab Samiri[1]).  

“Pergilah kamu! Sebagai hukuman atas perbuatanmu, kamu akan dikucilkan dalam kehidupan ini. Kamu akan selalu mengatakan kepada orang lain, 'Janganlah sentuh aku’. Selain itu, kamu pasti akan mendapat hukuman di akhirat yang telah dijanjikan, yang tidak akan dapat kamu hindari. Lihatlah ‘Tuhan’-mu itu, yang beberapa saat lalu kamu tetap bersikeras menyembahnya. Kami pasti akan membakarnya, dan akan menghamburkan abu sisa pembakarannya ke laut hingga bertebaran dan berserakan. Sungguh, Tuhanmu hanyalah Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu”.

Setelah amarah Nabi Musa mereda, diambilnya kembali lauh-lauh (Taurat) yang dilemparkan tadi, karena di dalamnya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.

Demikian, Nabi Musa memberantas kaumnya yang menyembah patung anak sapi buatan Samiri, dan mereka diperintahkan untuk bertaubat.

 

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Dewi Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta: Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Fatchur Rochman AR. 1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an. Surabaya: Apollo.

 

Hamid bin Ahmad. 2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya: Amelia.

 

Ibnu Katsir. 2015. Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.

 

Labib Mz. dan Maftuh Ahnan. 1983. Mutiara Kisah 25 Nabi Rasul. Gresik: CV Bintang Pelajar.

 

Maftan. 2005. Kisah 25 Nabi & Rasul. Jakarta: Sandro Jaya.

 

Moh. Rifai. 1976. Riwayat 25 Nabi dan Rasul. Semarang: CV. Tohaputra.

 

Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia. 

 

Siti Zainab Luxfiati. 2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid 2. Jakarta: Dian Rakyat.

 

Ust. Fatihuddin Abul Yasin. 1997. Kisah Teladan 25 Nabi & Rasul. Surabaya: Terbit Terang.

 

Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.

 

 

2. Internet

 

http://quran.bblm.go.id/

 

https://quran.kemenag.go.id/

https://tafsirweb.com/5338-surat-thaha-ayat-96.html

 

 



[1]) Jawaban Samiri dalam cerita ini didasarkan pada Tafsir Ringkas Kementerian Agama Republik Indonesia terhadap Al-Qur’an Surat Thāhā ayat 96 sebagaimana dikutip dalam https://tafsirweb.com/.

 

Tidak ada komentar :