Rabu, 27 April 2022

NAMRUD, AZAR, IBRAHIM, DAN BERHALA

 

 

Nama Namrud memang tidak disebut dalam Al-Qur’an. Akan tetapi para ahli tafsir dan sejarawan menyebutkan bahwa orang yang mendebat Nabi Ibrahim tentang Tuhannya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258 adalah Namrud.

 

Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Mematikan”, dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”. Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258).

 

Siapakah Namrud itu? Rizem Aizid menyebutkan bahwa Namrud adalah keturunan Nabi Nuh kelima. Silsilahnya: Namrud bin Kan’an bin Kush bin Ham bin Nuh[1]). Ibunya bernama Semiramis yang kelak menikah dengan Namrud. Namrud lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal setelah “berkumpul” dengan ibunya. Semiramis merupakan perempuan cantik dan cerdik. Ia mengaku belum pernah disentuh oleh laki-laki dengan tujuan agar anaknya dimuliakan dan diagungkan penduduk. Ia juga mengatakan bahwa Namrud adalah anak suci. Pengakuannya itu menjadikan Namrud dianggap sebagai anak Tuhan. Ketika Namrud menginjak dewasa, Semiramis merasa iri dengan teman perempuannya. Kecemburuannya inilah yang menyebabkan ia menikahi anaknya sendiri.

Di kemudian hari, Namrud menjadi raja di Kerajaan Babilonia. Saat Namrud berkuasa, hampir semua rakyatnya menjadi penyembah berhala. Menurut Rizem Aizid, sistem kepercayaan rakyat Babilonia saat itu cukup unik. Mereka memiliki banyak “Tuhan” yang diwujudkan dalam berbagai bentuk patung. “Tuhan-Tuhan” mereka ada di setiap kota, desa, dan kampung-kampung. “Tuhan-Tuhan” yang berada di kota memiliki derajat dan kekuasaan yang berbeda dengan “Tuhan-Tuhan” yang ada di desa dan kampung-kampung. Artinya, kekuasaan ”Tuhan” yang ada di kampung lebih kecil dibandingkan dengan kekuasaan “Tuhan” yang ada di kota. “Tuhan” yang paling besar kekuasaannya adalah “Tuhan” yang berada di ibukota negara. Marduk[2]) adalah “Tuhan” yang paling besar dan menjadi panglimanya para “Tuhan”. Selain menyembah berhala, rakyat Babilonia juga menyembah bintang-bintang, planet-planet, matahari, dan bulan yang mereka sebut dengan nama Nanar sebagai Dewa Bulan, Syamas sebagai Dewa Matahari, dan beberapa planet yang paling dikenal oleh bangsa Babilonia, yaitu Bunga, Ester, dan Mars.

Sebagai raja yang otoriter, apa yang diinginkan harus terlaksana. Oleh karena itu, ketika Raja Namrud memproklamasikan diri sebagai “Tuhan” dan kemudian memerintahkan kepada rakyatnya agar bertuhan kepada dirinya selain kepada berhala-berhala, maka rakyatpun harus tunduk. Semua perintahnya harus dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi dilanggar.

Pada suatu ketika, demikian kata Maftan dan Ust. Fatihuddin Abul Yasin, Raja Namrud bermimpi melihat seorang anak laki-laki masuk ke dalam kamarnya, lalu merampas mahkota dan menghancurkannya. Keesokan harinya, Raja Namrud memanggil tukang ramal dan tukang tenung untuk menafsirkan arti mimpinya. Menurut tukang ramal, anak laki-laki dalam mimpi itu kelak akan meruntuhkan kekuasaan sang raja. Tentu saja Raja Namrud murka. Tak ingin tahta kerajaan jatuh ke tangan orang lain, secepatnya Raja Namrud memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir.

Versi lain seperti disebutkan oleh Said Yusuf Abu Azir, pada suatu malam Raja Namrud tertidur, kemudian ia bermimpi bahwa satu bintang tiba-tiba turun dari langit, sehingga matahari sama sekali tidak memancarkan cahayanya. Bangunlah ia dengan rasa kaget yang tak terhingga. Kemudian ia memanggil para ahli sihir dan para ahli nujum untuk menakwilkan mimpinya. Mereka berkata, “Pada tahun ini akan lahir seorang bayi laki-laki di wilayah ini yang akan mengancam kekuasaanmu”. Raja Namrud kemudian memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir pada tahun tersebut.

Berbeda dengan yang disebutkan oleh Maftan dan Ust. Fatihuddin Abul Yasin serta Said Yusuf Abu Azir, Dewi Astuti dkk. menyebutkan bahwa pada suatu waktu, Raja Namrud bermimpi telah lahir seorang bayi laki-laki yang akan merampas tahtanya. Hal ini suatu pertanda bahwa kekuasaan Raja Namrud akan runtuh, bahkan ia akan mati dalam keadaan mengenaskan. Raja Namrud tidak mau hal ini terjadi. Ia memerintahkan untuk membunuh semua bayi yang dilahirkan di Babilonia

Di wilayah kekuasaan Raja Namrud, hidup seorang laki-laki yang dikenal sebagai pembuat patung, Azar namanya. Ia sering menjual patung-patung buatannya kepada penduduk Babilonia. Patung-patung buatan Azar kemudian dijadikan sebagai sembahan oleh sebagian penduduk Babilonia. Selain sebagai pembuat patung, Azar juga menyembah patung buatannya. Dikarenakan pekerjaannya itulah, Azar disukai oleh Namrud.

Azar memiliki istri yang sedang mengandung. Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Ibrahim.

Tentang di mana Ibrahim dilahirkan, ada dua pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa Ibrahim dilahirkan di rumah, kemudian dibawa ke sebuah gua di hutan guna menyelamatkan nyawa Ibrahim dari kaki tangan Raja Namrud yang mencari bayi yang baru dilahirkan untuk dibunuh, meskipun tidak disebut secara terang-terangan lahir di rumah. Mereka yang berpendapat seperti itu adalah Maftan, Ust. Fatihuddin Abul Yasin, dan Rizem Aizid. Namun ada juga yang mengatakan bahwa ibu Ibrahim melahirkan anaknya langsung di gua supaya tidak ketahuan oleh kaki tangan Raja Namrud yang sewaktu-waktu dapat mengakhiri hidup anaknya. Yang berpendapat seperti itu adalah Dewi Astuti dkk. Sementara Said Yusuf Abu Azis mengatakan ketika kelahiran telah dekat, ibu Ibrahim pergi dari wilayah tersebut dan melahirkan di sungai yang kering, lalu ayahnya menyimpan bayi tersebut di dalam sardab (sebuah gua di bawah tanah).

Menurut riwayat, bayi tersebut ditinggal di dalam gua sendirian. Seminggu kemudian, orang tua Ibrahim datang ke gua tadi dan terkejut ketika didapati anaknya masih hidup. Bagaimana bisa? Ternyata Allah-lah yang menjaga Ibrahim dari bahaya binatang buas. Allah pula yang memberikan makanan kepada Ibrahim. Atas kuasa Allah, ketika Ibrahim yang masih bayi itu menghisap jarinya, maka keluarlah susu. Ada yang mengatakan keluar madu yang banyak mengadung gizi untuk makanan Ibrahim. Selanjutnya, orang tua Ibrahim sesekali mengejuk Ibrahim dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Menurut Said Yusuf Abu Azis, pertumbuhan dan perkembangan Ibrahim sangat cepat. Dalam jangka waktu satu tahun, ia tampak seperti anak yang telah berusia tiga tahun. Tatkala Ibrahim keluar dari gua beberapa waktu kemudian, orang menyangka ia telah dilahirkan beberapa tahun yang lalu.

Di rumah orang tuanya, Ibrahim kecil selalu melihat ayahnya memahat patung untuk dijual dan disembah oleh pembelinya. Azar, ayah Ibrahim, juga menyembah patung buatan sendiri. Meskipun ayahnya seorang pembuat dan penyembah patung, demikian juga lingkungan sekitarnya, tapi Allah memberikan hidayah kepada Ibrahim untuk tidak ikut menyembah berhala. Ibrahim bahkan menolak jika diajak menyembah berhala, karena ia tahu bahwa patung hanyalah batu.

Setelah dianggap mampu membawa patung, ayahnya menyuruh Ibrahim untuk menjual patung buatannya. Sebagai anak, ia tetap melaksanakan perintah ayahnya. Namun bagaimana cara Ibrahim menawarkan dagangannya? Ketika menjajakan patung buatan ayahnya, Ibrahim berkata, “Patung, patung! Siapa mau beli patung yang tak berguna ini?”.

 Sejak kanak-kanak, Ibrahim telah memiliki kecerdasan dalam berpikir. Ibrahim heran, mengapa orang-orang menyembah patung, padahal ia tahu, patung-patung yang mereka sembah adalah buatan ayahnya. Patung-patung yang mereka sembah juga tak memiliki kemampuan apa-apa. Patung-patung itu tak dapat berbicara, melihat, mendengar, dan bahkan tak dapat menolong dirinya sendiri, apalagi menolong orang. Ibrahim pun berusaha mencari Tuhan yang sejati. Kisah Ibrahim mencari Tuhannya ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-An’ām ayat 75-82.

Ibrahim yang menganggap ayah dan kaumnya sesat, berusaha mencari Tuhannya. Allahpun memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin.

Ketika siang berganti malam, Ibrahim melihat sebuah bintang di langit yang gelap. Ibrahim menganggap bintang adalah Tuhan.

“Inilah Tuhanku”, kata Ibrahim.

Namun ketika bintang itu terbenam, Ibrahim kecewa.

“Aku tidak suka pada yang terbenam”.  

Suatu saat, Ibrahim melihat bulan terbit. Ia pun girang, karena ia mengganggap itulah Tuhannya. Akan tetapi ketika bulan itu terbenam, diapun kembali kecewa.

“Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”, katanya.

Ibrahim terus mencari Tuhannya. Sewaktu dia melihat matahari terbit, dia menyangka bahwa matahari adalah Tuhannya.

“Inilah Tuhanku! Yang ini lebih besar”, kata Ibrahim.

Tatkala matahari yang dikira Tuhan itu terbenam, Ibrahim kembali kecewa. Ia lalu berkata kepada kaumnya.

“Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, mengikuti agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik”.

Ibrahim dibentak oleh kaumnya.

“Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut pada malapetaka dari apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?”, kata Ibrahim menjawab bantahan kaumnya.

“Bagaimana aku takut pada apa yang kamu persekutukan dengan Allah, padahal kamu tidak takut dengan apa yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan dari malapetaka, jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”, lanjut Ibrahim.

Menurut al-Razi sebagaimana dikutip dalam https://tafsiralquran.id/, Ibrahim telah mengenal Tuhannya sebelum kejadian tersebut dengan mengantongi bukti empiris[3]). Adapun bukti yang sahih sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya:   

 

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, ”Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai ‘Tuhan’? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata” (Al-Qur’an Surat Al-An’ām ayat 74).

 

Itulah proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrahim. Setelah melalui berbagai cara dalam mencari Tuhannya, akhirnya Ibrahim dapat menggunakan akal pikirannya untuk mencari kebenaran. Tentu saja hal ini disertai dengan hidayah dari Allah, sehingga Ibrahim dapat menemukan Tuhannya, yakni Allah. Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya, Tuhan yang tidak akan lenyap, bahkan Dialah yang akan melenyapkan alam semesta beserta isinya.

Setelah Ibrahim menemukan Tuhannya, ia kemudian menghadapkan diri kepada-Nya. Menurut Yanuar Arifin, Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hendak memerangi syirik, ingin terlebih dulu mempertebal iman dan keyakinannya dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim. Diperintahkanlah ia menangkap empat ekor burung, memperhatikan, dan meneliti burung-burung tersebut. Setelah itu, burung-burung tersebut dipotong-potong, dan potongan-potongan burung-burung itu diletakkan di atas puncak bukit dari empat bukit yang letaknya saling berjauhan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, Ibrahim diperintahkan untuk memanggil burung-burung yang sudah dicincang-cincang tadi. Dengan izin Allah, datanglah empat ekor burung yang sudah mati dipotong-potong tadi dalam keadaan hidup.

Nabi Ibrahim kemudian mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan berhala dan beribadah hanya kepada Allah. Namun sebelum mengajak kaumnya, Nabi Ibrahim terlebih dahulu mengajak keluarganya untuk meninggalkan penyembahan berhala.

Meskipun ayahnya kafir dan sesat, tapi Nabi Ibrahim tidak berlaku kasar terhadap ayahnya. Nabi Ibrahim menyeru ayahnya dengan lembut dan sopan. Kelembutan dan kesopanan Nabi Ibrahim terhadap ayahnya, dapat dilihat dari perkataannya yang tetap memanggil “Wahai, ayahku!”, dan bukan “Wahai, Azar!”. Dialog antara anak dan ayahnya itu diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Maryam ayat 42-48.

“Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”

“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”.

“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih”.

“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan”.

Meskipun diinggatkan dengan lembut dan sopan oleh anaknya, Azar sama sekali tak menghiraukan seruan Nabi Ibrahim, bahkan berkata kasar dan mengusirnya.

“Bencikah engkau kepada ‘Tuhan-Tuhanku’, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam. Tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama”.

Nabi Ibrahim harus menerima kenyataan bahwa ayahnya menolak mentah-mentah ajakannya untuk beribadah hanya kepada Allah. Bahkan jika ajakannya diteruskan, ia akan dirajam. Nabi Ibrahim pun diusir oleh ayahnya sendiri. Meskipun demikian, Nabi Ibrahim masih tetap mendoakan ayahnya.

“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”, kata Nabi Ibrahim.

“Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah selain Allah. Aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”, lanjut Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim memintakan ampunan untuk ayahnya sebagaiman yang ia janjikan kepadanya. Namun setelah jelas bagi Nabi Ibrahim bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka ia melepaskan diri dari ayahnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah.

 

Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 114).

 

Kepada kaumnya, Nabi Ibrahim juga selalu mengingatkan mereka agar meninggalkan penyembahan berhala dan mengajaknya hanya untuk menyembah Allah.  

“Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan”.

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu. Mintalah rezeki kepada Allah. Sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan. Jika kamu mendustakan, maka sungguh, umat sebelum kamu juga telah mendustakan para utusan Allah. Kewajiban utusan Allah itu hanyalah menyampaikan agama Allah dengan jelas”.

“Berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan makhluk, kemudian Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di akhirat. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.

“Allah mengazab siapa yang Dia kehendaki, dan memberi rahmat kepada siapa yang Dia kehendaki pula. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan”.

“Kamu sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari azab Allah baik di bumi maupun di langit, dan tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah”.

"Orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, mereka berputus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu akan mendapat azab yang pedih”.

Orang-orang kafir itu terdiam. Tak ada jawaban sama sekali selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia!”.

“Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan di dunia, kemudian pada hari kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk. Tempat kembalimu ialah neraka, dan sama sekali tidak ada penolong bagimu”, kata Nabi Ibrahim.

Kabar tentang Nabi Ibrahim yang suka menghina “Tuhan-Tuhan” mereka, terdengar sampai ke telinga Raja Namrud. Tentu saja Raja Namrud marah, karena ia juga termasuk orang yang sesat. Meskipun demikian, Nabi Ibrahim tetap melakukan dakwah.

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?”, tanya Nabi Ibrahim.

“Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya”, jawab orang-orang kafir.

“Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”.

“Apakah engkau datang kepada kami membawa kebenaran atau engkau main-main?, tanya mereka.

“Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan pemilik langit dan bumi. Dialah yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu. Demi Allah, aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya”.

Menurut suatu riwayat, penduduk Babilonia setiap tahunnya memiliki tradisi keluar kota secara beramai-ramai pada hari raya yang dianggap keramat. Tradisi tersebut dilakukan oleh raja dan seluruh penduduk yang ada. Saat tradisi tersebut dilaksanakan, Ibrahim tidak ikut. Alasannya, sedang kurang enak badan. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim dimaklumi jika tidak ikut meramaikan tradisi tersebut.

Ketika kota sudah sepi, apa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya bahwa “Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya”, betul-betul dilaksanakan. Dengan diam-diam Nabi Ibrahim mendatangi berhala-berhala yang ada. Setelah berada di dekat berhala, Nabi Ibrahim berkata kepada berhala-berhala tersebut.

“Apakah kamu tidak makan? Mengapa kamu tidak menjawab?”

Perkataan Nabi Ibrahim ini dimaksudkan menanyakan pada berhala-berhala tersebut, “mengapa tidak makan”, padahal di dekatnya banyak sesaji yang diperuntukkan baginya oleh kaum musyrik. Nabi Ibrahim lalu menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya dengan kapak. Ada satu berhala yang sengaja tidak dihancurkan oleh Nabi Ibrahim, yakni berhala yang paling besar. Diletakkanlah kapak yang dipakai untuk menghancurkan berhala-berhala yang ada, di bahu berhala yang paling besar.

Sewaktu penduduk kota beserta raja kembali dari luar kota setelah selesai melaksanakan tradisi, mereka terkejut begitu melihat keberadaan “Tuhan-Tuhan”-nya hancur berkeping-keping, kecuali berhala yang paling besar. Penduduk kota marah. Tak kalah besar amarahnya dari penduduk kota adalah Raja Namrud. Sebagai penguasa, ia merasa dihina “Tuhan-Tuhan”-nya dihancurkan orang. Raja Namrudpun memerintahkan kepada para prajurit dan rakyatnya untuk mencari siapa orang yang berani menghancurkan sembahannya.

“Siapakah yang telah berani menghancurkan ‘Tuhan-Tuhan’ kami? Sungguh, dia benar-benar orang yang zalim, karena lancang melecehkan ‘Tuhan-Tuhan’ kita”, kata mereka kepada sebagian yang lain.

“Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala kita. Namanya Ibrahim”, kata yang lain.

“Kalau begitu, bawalah dia ke sini. Perlihatkan kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan pengakuannya”, kata pemuka kaum musyrikin.

Nabi Ibrahimpun dicari. Setelah ditemukan, Nabi Ibrahim dijadikan tersangka dan dihadapkan kepada pemimpin mereka. Penduduk merasa senang, karena sang penghancur berhala tentu akan dihukum. Sebaliknya, Nabi Ibrahim tetap tenang menghadapi sidang pengadilan.  

“Apakah engkau yang melakukan perbuatan ini terhadap ‘Tuhan-Tuhan’ kami, wahai Ibrahim?”

Nabi Ibrahim berpura-pura tidak mengaku jika dirinya yang merusak patung-patung tersebut.

“Sebenarnya patung besar itu yang melakukannya. Tanyakanlah pada patung tersebut, jika ia dapat berbicara”, jawab Nabi Ibrahim

Setelah mendengar jawaban Nabi Ibrahim, mereka kembali pada kesadaran yang jernih sesuai akal sehat dan nurani, bahwa patung-patung itu memangg tidak layak untuk disembah. Pemimpin mereka pun berkata, “Sesungguhnya kamu sekalianlah yang menzalimi diri sendiri, terus-menerus menyembah patung yang tidak bisa bicara, tidak bisa membela diri, apalagi menyelamatkan manusia”.

Sambil menundukkan kepala, mereka berkata kepada Nabi Ibrahim, “Engkau pasti tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara”.

Nabi Ibrahim mendapat peluang untuk menunjukkan kebodohan mereka.

“Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula mendatangkan mudharat kepadamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?”

Ketika mereka kalah dalam berdebat karena argumentasinya terpatahkan oleh Nabi Ibrahim, mereka kemudian menggunakan kekuasaannya untuk tetap menghukum Nabi Ibrahim.

“Bakarlah dia! Bantulah ‘Tuhan-Tuhan’-mu, jika kamu benar-benar hendak menolong ‘Tuhan-Tuhan’-mu”.

Merekapun membuat bangunan untuk membakar Nabi Ibrahim. Setelah api dinyalakan yang kian lama makin membesar, lalu dilemparkanlah Nabi Ibrahim ke dalam api yang menyala-nyala. Menghadapi hukuman tersebut, Nabi Ibrahim memanjatkan doa kepada Allah, “Hasbunallah wa ni’mal wakīl” (Cukuplah Allah sebagai pelindung kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Penjagaan Allah mengalahkan segala perintah orang-orang zalim.

Allah berfirman, “Hai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim”.

Api pun tunduk pada perintah Allah. Sifat api yang panas, berubah menjadi dingin dan tidak membahayakan Nabi Ibrahim sehingga dia dapat keluar dari api dalam keadaan selamat atas izin Allah.

Setelah Ibrahim keluar dari api dengan selamat tanpa terbakar sedikitpun, maka terjadilah perdebatan antara Namrud dan Ibrahim sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258 yang terjemahannya telah disebutkan di atas. Ini menurut pendapat Saddiy sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir. Sementara menurut riwayat Abdurrazaq yang juga dikutip oleh Ibnu Katsir, perdebatan tersebut terjadi pada saat Namrud mengadakan jamuan makan. Kisah perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, demikian.

Kala Nabi Ibrahim menyeru kepada Raja Namrud agar beriman kepada Allah, ia menolak dan meminta bukti nyata mengenai keberadaan Allah. Ketika Nabi Ibrahim mengatakan bahwa, “Tuhanku Mahakuasa untuk menghidupkan dan mematikan”, dengan pongahnya Raja Namrud berkata, “Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan”. Raja Namrud kemudian menghadirkan dua narapidana. Salah satu dari narapidana tersebut dibebaskan hidup, sedang yang seorang lagi dipidana mati. Inilah yang dimaksud oleh Raja Namrud bahwa dirinya dapat menghidupkan dan mematikan. Namun ketika Nabi Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, maka bingunglah Raja Namrud, karena ia tak mampu menunjukkan sifat “Tuhan” yang Mahakuasa atas segalanya. Raja Namrud benar-benar tersudut, kehabisan bahan bicara untuk menjawab perkataan Nabi Ibrahim.

Menurut Siti Zainab Luxfiati, setelah terjadi perdebatan, karena tak mau kalah dengan Nabi Ibrahim, Raja Namrud kemudian menantangnya. Kata Raja Namrud, “Hai, Ibrahim! Aku menantang Tuhanmu. Buktikan dia bisa berperang melawanku!”. Nabi Ibrahim terkejut mendengar tantangan Raja Namrud. Beliau khawatir azab akan menimpa Raja Namrud dan para pengikutnya. Ketika Raja Namrud telah siap dengan pasukannya, tiba-tiba tampak awan hitam menggantung di langit. Ternyata itu adalah pasukan nyamuk yang jumlahnya sangat banyak. Nyamuk-nyamuk tersebut menyerang Raja Namrud dan pasukannya. Pasukan Raja Namrud mati bergelimpangan karena lemah tak berdaya digigit nyamuk. Sementara Raja Namrud yang berusaha menyelamatkan diri, dikejar oleh seekor nyamuk. Raja Namrud berhasil dikejar, dan nyamuk tersebut masuk ke hidung Raja Namrud, lalu menggigitnya. Raja Namrud berteriak kesakitan. Kepalanya serasa mau pecah. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Akhirnya raja sombong tersebut mati tak kuasa melawan seekor nyamuk.

Berbeda dengan yang dikatakan oleh Siti Zainab Luxfiati, Ibnu Katsir yang mengutip pendapat Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Allah mengirimkan kepada raja sombong itu, malaikat yang menyuruhnya beriman kepada Allah, tetapi ia menolaknya. Lalu malaikat itu mengajaknya untuk yang kedua kalinya, hingga ketiga kalinya, tetapi ia tetap menolaknya. Kemudian malaikat itu berkata, “Kumpulkan semua yang dapat engkau kumpulkan, dan akupun akan mengumpulkan bala-tentaraku”. Raja Namrud mengumpulkan bala-tentaranya tepat pada saat matahari terbit. Kemudian Allah mengirimkan lalat yang tidak terlihat oleh mereka. Lalat-lalat itu memakan daging dan darah mereka hingga yang tersisa hanya tulang-belulang saja. Kemudian salah satu lalat dari lalat-lalat itu masuk ke dalam lubang hidung Raja Namud dan menetap di dalamnya selama empat ratus tahun. Dengan lalat itulah Allah mengazabnya. Selama itu pula ia selalu memukuli kepalanya dengan besi sehingga Allah membinasakannya.

Setelah itu, Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan Babilonia sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-‘Ankabūt ayat 26.

 

Maka Luth membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku; sungguh, Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana”.

 

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Dewi Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta: Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Fatchur Rochman AR. 1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an. Surabaya: Apollo.

 

Ibnu Katsir. 2015. Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.

 

Labib Mz. dan Maftuh Ahnan. 1983. Mutiara Kisah 25 Nabi Rasul. Gresik: CV Bintang Pelajar.

 

Maftan. 2005. Kisah 25 Nabi & Rasul. Jakarta: Sandro Jaya.

 

Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah – Al-An’am. Jilid 1. Cetakan Kedua. Terjemahan: Munirul Abidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

 

Muhammad Fairus NA. 2011. Koleksi Kisah 25 Nabi. Surabaya: Pustaka Media.

 

Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia. 

 

Rizem Aizid. 2015. Ibrahim Nabi Kekasih Allah. Yogyakarta: Saufa.

 

Siti Zainab Luxfiati. 2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid 1. Jakarta: Dian Rakyat.

 

Ust. Fatihuddin Abul Yasin. 1997. Kisah Teladan 25 Nabi & Rasul. Surabaya: Terbit Terang.

 

Yanuar Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Jogjakarta: Diva Press.

 

Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.

 

Zen Abdurrahman. 2012. Wisata Sejarah Bersama Al-Qur’an. Jogjakarta: Diva Press.

 

 

 

2.  Internet

 

https://quran.kemenag.go.id/

 

https://tafsirweb.com/

 

https://tafsiralquran.id/kisah-nabi-ibrahim-mencari-tuhan-melalui-matahari-dalam-al-quran/

 

 



[1]) Menurut Ibnu Katsir, silsilah Namrud adalah Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Sam bin Nuh.

[2]) Yanuar Arifin menyebutnya: Mardukh.

[3]) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata empiris diartikan: berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan).

Tidak ada komentar :