Jumat, 29 April 2022

AMR BIN JAMUH DAN BERHALA YANG BERKALI-KALI HILANG


 

Ketika orang-orang yang berbaiat kepada Nabi Muhammad di Aqabah kembali ke Yatsrib[1]) dan kemudian menyeru kerabat, kawan-kawan, dan keluarganya untuk mengikuti jalan yang mereka tempuh, banyak yang menyambut ajakan mereka. Namun demikian, ada juga yang bersikukuh pada keyakinannya. Salah seorang yang kuat keyakinannya adalah Amr bin Jamuh. Ia tetap pada keyakinan yang dianutnya selama ini, yakni menyembah berhala dan memuliakannya.

Amr bin Jamuh adalah seorang tokoh penduduk Yatsrib. Ia pemimpin bagi Bani Salamah. Ia sangat dihormati karena sifatnya yang dermawan dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ia termasuk dermawannya para dermawan di Yatsrib.

Seperti halnya para pemimpin kaum jahiliyah pada umumnya, Amr bin Jamuh juga memiliki berhala di rumahnya. Ia memiliki berhala yang bernama Manat. Berhala ini terbuat dari kayu yang sangat bagus. Setiap hari Amr bin Jamuh selalu membersihkan patung itu dari debu, memberinya minyak wangi, dan menyembahnya dengan penuh ketundukan.

Amr bin Jamuh telah memasuki usia 60 tahun saat pancaran keimanan masuk ke rumah-rumah penduduk Yatsrib satu per satu atas peran dai pertama, Mush’ab bin Umair. Melalui sentuhan lembut tangan Mush’ab bin Umair, tiga anak laki-laki Amr bin Jamuh, yakni Mu’awidz, Mu’adz, dan Khalid memeluk agama Islam. Teman sebaya anak Amr bin Jamuh yang bernama Mu’adz bin Jabal, juga turut memeluk agama Islam. Hindun binti Amr bin Haram, istri Amr bin Jamuh, juga telah memeluk agama Islam. Akan tetapi Amr bin Jamuh tidak mengetahui keislaman istri dan ketiga anaknya.

Ketiga anak Amr bin Jamuh sangat menginginkan ayahnya segera memeluk Islam. Itulah sebabnya, mereka bersama temannya, Mu’adz bin Jabal, membuat rencana agar Amr bin Jamuh bisa masuk Islam.

Mu’adz bin Jabal termasuk anak muda yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh teman seusianya, berupa kecerdasan intelektual, cepat respon dan tangkas dalam berpikir, bagus dalam menjelaskan, dan memiliki semangat yang tinggi. Di samping tampan, ia juga berbudi peketi baik. Matanya lentik, rambutnya keriting, giginya mengilap, dan hatinya menyenangkan.

 Ketiga anak Amr bin Jamuh bersama Mu’adz bin Jabal berencana menjadikan berhala milik ayahnya sebagai barang mainan dan hinaan. Pada suatu malam, mereka menyelinap ke dalam rumah, lalu mengambil berhala yang dijadikan sembahan Amr bin Jamuh. Berhala Manat tersebut kemudian dilemparkan ke lubang tempat kotoran. Benda yang dijadikan sembahan itu terkapar dengan bagian kepala di bawah di antara sampah dan kotoran manusia.

Pagi harinya, Amr bin Jamuh terkejut ketika mengetahui berhala sembahannya raib dari tempatnya. Dicarinya berhala yang selalu disembahnya itu.  Tatkala berhala itu ditemukan di tempat kotoran, Amr bin Jamuh pun marah besar.

“Keparat! Siapa yang telah berani melakukan perbuatan durhaka terhadap ‘Tuhan’ kita”. omelnya.

Berhala Manatpun diambilnya. Dibersihkanlah berhala itu dari kotoran yang menempel di badannya. Setelah itu, diberi minyak wangi dan kemudian ditempatkan kembali di tempat semula.

Pada malam yang berbeda, anak-anak tadi kembali membuat ulah yang bikin dongkol Amr bin Jamuh. Berhala Manat diambilnya dari rumah Amr bin Jamuh, lalu dibuang kembali. Tentu saja perbuatan mereka menyebabkan Amr bin Jamuh marahnya kian meledak. Diambilnya berhala Manat dari tempat pembuangan, dibersihkan, diberi minyak wangi, dan ditempatkan lagi di tempat asalnya.

Kejadian semacam itu berulang kembali hingga akhirnya Amr bin Jamuh merasa kesal. Diambilnya sebilah pedang, lalu ia gantungkan pedang itu di leher berhala yang senantiasa dimuliakan dan dipujanya. 

“Wahai Manat, jika memang kau memiliki kebaikan, lindungi dirimu dari kejahatan. Kali ini kau memiliki pedang untuk melindungi diri”, pesan Amr bin Jamuh kepada berhala yang sesungguhnya tidak dapat mendengar omongan Amr bin Jamuh, apalagi membela diri, walau diberi pedang sekalipun.

Ketika anak-anak yang suka berulah itu menyakini Amr bin Jamuh telah tidur, mereka kembali melakukan aksinya. Diambilnya pedang yang menggantung di leher patung, lalu diangkatnya patung tersebut ke luar rumah. Patung Manat diikat dengan tali pada bangkai seekor anjing dan dibuang di tempat yang sama dengan yang lalu.

Heran, kecewa, dan marah bercampur aduk pada diri Amr bi Jumah. Ia tak tahu harus berbuat apa, karena berhala yang selalu disembahnya ternyata tak dapat melindungi diri.

Tidak lama berselang, beberapa bangsawan Yatsrib atau Madinah yang telah masuk Islam mendatangi Amr bin Jamuh, mengomentari peristiwa yang menimpa berhala Manat. Mereka menasihati Amr bin Jamuh dan menjelaskan perilakunya yang sesat dan menyimpang. Mu’adz bin Jabal turut serta menasihati dan membacakan Surat Al-Fatihah. Ketika mendengar bacaan surat tersebut, Amr bin Jamuh merasa terpesona oleh keindahan kata-katanya. Akhirnya, Amr bin Jamuh meninggalkan berhala dan masuk Islam.

Meskipun Amr bin Jamuh termasuk belakangan masuk Islam dibandingkan yang lain,tapi ia berusaha mengejar ketertinggalannya. Sifat kedermawanan Amr bin Jamuh yang dimiliki sejak dulu, kian meningkat setelah masuk Islam. Ia rela menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk agama dan kawan-kawan seperjuangan.

Tak cukup dengan menyerahkan harta kekayaan, Amr bin Jamuh merasa perlu menyerahkan jiwa aganya untuk agama. Meskipun kakinya pincang, ia ingin turut berjuang di medan perang juga seperti kawan-kawannya yang normal. Ketika umat Islam bersiap menghadapi Perang Badar, sebetulnya ia ingin ikut berperang, tapi anak-anaknya melarang. Anak-anak Amr bin Jamuh memohon kepada Nabi Muhammad agar ayahnhya menurungkan niatnya dengan kesadaan sendiri atau melalui larangan nabi. Nabi Muhammad kemudian menyampaikan kepada Amr bin Jamuh bahwa Islam membebaskankewajiban perang bagi dirinya dikarenakan kecacatannya. Amr bin Jamuh bersikukuh ingin ikut berperang. Akhirnya Nabi Muhammad memerintahkan kepada Amr bin Jamuh agar tetap tinggal di Madinah.

Perang Badar telah usai. Amr bin Jamuh harus menelan kenyataan tidak bisa ikut dalam peperangan. Ketika Uhud akan terjadi, Amr bin Jamuh mengajukan permohonan kepada Nabi Muhammad agar diizinkan turut serta dalam peperangan, meskipun anak-anaknya tidak menghalang-halanginya. Alasannya, ia berharap dapat meraih surga meskipun kakinya pincang. Kali ini sulit bagi Nabi Muhammad untuk melarang Amr bin Jamuh, karena ia bertujuan ingin meraih surga melalui perang. Amr bin Jamuhpun diizinkan berperang.

Ketika Perang Uhud yang merupakan perang kedua bagi umat Islam melawan kaum kafir itu terjadi, Amr bin Jamuh dan anak-anaknya terjun ke medan perang melawan tentara penyebar kesesatan. Ketika menghadapi lawan, ia tak kenal rasa takut. Ditebaskannya pedangnya ke kiri dan ke kanan hingga kadang mengenai lawannya. Tiba-tiba pukulan pedang lawan mengenai dirinya dengan sangat kencang. Seketika tubuhnya tersungkur tak berdaya. Keinginan Amr bin Jamuh benar-benar tercapai. Ia mati syahid di medan Perang Uhud.

Saat kaum muslimin memakamkan para syuhada, Nabi Muhammad mengeluarkan perintah, “Tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr Ibnul Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup, mereka adalah dua orang sahabat yang setia dan bersayang-sayang”.

Seperti dikatakan oleh Syamsul Hidayat, setelah 46 tahun di pemakaman, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan tersebut. Hal ini disebabkan adanya pengggalian sebuah mata air yang dialirkan melaui tempat itu oleh Muawiyah. Kaum muslimin pun segera memindahkan kerangka para syuhada. Mereka melukiskan, “Jasad mereka menjadi lembut dan ujung-ujung anggota tubuh mereka jadi melengkung”. Jabir bin Abdullah yang masih hidup saat itu, bersama keluarganya, ia memindahkan jasad bapaknya (Abdullah bin Amr bin Haram) dan pamannya (Amr bin Jamuh). Mereka didapati keduanya seolah-olah sedang tidur nyenyak, tak sedikitpun tubuh mereka dimakan tanah. Dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis pertanda rido dan bangga mereka menemui Allah Rabbul ‘Alamin.

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Abdurrahman Ra’fat Basya. 2019. Sirah Shahabat. Jakarta: Pustaka As-Sunah.

 

Nizar Abazhah. 2014. Sahabat Muhammad, Kisah Cinta dan Pergulatan Iman Generasi Muslim. Jakarta: Zaman.

 

Syamsul Hidayat. Tanpa Angka Tahun. Sahabat Nabi yang Sahid di Medan Peperangan. Jakarta: Nur Insani.

 

 

2. Internet

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Amru_bin_al-Jamuh

 

https://bersamadakwah.net/amr-bin-jamuh/



[1]) Nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad setelah beliau hijrah ke daerah ini.

Tidak ada komentar :