Membaca tulisan Ninuk Mardiana Pambudi
yang berjudul “Kawin Siri: Ilegal, tetapi Masih Saja Terus Berlangsung” yang
dimuat dalam Kompas, Senin, 25 Juni
2007, halaman 35, mengingatkan saya pada fakta yang ada di daerah tempat saya
tinggal. Meskipun tulisan Ninuk Mardiana Pambudi itu ditulis 6 tahun yang lalu,
namun poligami dan nikah siri hingga kini masih umum dilakukan oleh orang-orang
di daerah tempat saya tinggal dan sekitarnya.
Di daerah yang saya tempati sekarang,
saya termasuk salah satu pendatang. Saya tinggal di daerah yang dilintasi
kereta api jurusan Tanah Abang – Rangkasbitung, tepatnya antara Parungpanjang –
Rangkasbitung. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di daerah yang menjujung
tinggi lembaga perkawinan, saya sempat terkejut ketika pertama kali tinggal di
daerah ini (tahun 1996) begitu melihat fenomena poligami dan nikah siri adalah
hal yang umum. Namun seiring dengan berjalannya waktu, lama-kelamaan saya sadar
mengapa hal yang demikian bisa terjadi.
Meskipun saya belum pernah mengadakan
penelitian tentang poligami dan nikah siri di daerah tersebut, namun dari
pengamatan saya selama ini, dapat saya ketahui mengapa fenomena tersebut sangat
umum di daerah tempat saya tinggal. Sejauh yang dapat saya tangkap, ada empat
penyebab mengapa poligami dan nikah siri banyak dilakukan orang di daerah ini.
Pertama, kemiskinan. Pada umumnya
perempuan yang mau dimadu adalah perempuan yang berasal dari keluarga yang
secara ekonomi kurang mampu. Meskipun dijadikan nomor dua atau tiga sekalipun,
ia tetap mau saja yang penting ada suami yang bersedia memberi nafkah. Lebih
memprihatinkan lagi, nikahnya cukup hanya dengan jalan memanggil ulama yang
dapat menikahkan dengan disaksikan beberapa sanak-famili dan tetangga, tanpa
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Inilah yang disebut dengan istilah
nikah bawah tangan atau nikah siri oleh masyarakat.
Kedua, pendidikan. Pada umumnya pendidikan masyarakat di daerah ini memang
masih rendah, sehingga bisa dimaklumi bila para perempuan di daerah ini mau
saja dinikah secara bawah tangan atau nikah siri, tanpa berfikir panjang bahwa nikah siri sangat merugikan tidak saja
bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi anak-anaknya. Kerugian bagi perempuan
tersebut, misalnya, bila di tengah jalan perkawinan itu putus, maka pihak
perempuan tidak dapat menuntut apa-apa dari mantan suami, karena perkawinannya
dianggap tidak sah secara hukum negara disebabkan tidak memiliki bukti tertulis
yang sah berupa akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA. Kerugian bagi anaknya,
seperti diutarakan Ninuk Mardiana Pambudi, adalah bahwa hak anak hanya diakui
dari pihak ibu, terutama bila anak tersebut dicatatkan di Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil, karena syaratnya harus memiliki akta nikah resmi dari negara.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di daerah ini sampai saat ini masih
ada anak sekolah yang di akta kelahirannya hanya tercatat nama ibunya saja,
tanpa disebutkan nama ayahnya, karena ketika orang tua tersebut mengurus akta
kelahiran anaknya, mereka tidak bisa menunjukkan akta nikah yang dikeluarkan
oleh KUA.
Ketiga, status.
Terkadang ada juga perempuan yang mau dimadu dan dinikah siri hanya sekedar mencari status. Ada fenomena bahwa daripada menjadi
perawan tua, lebih baik cepat nikah walau nikahnya bawah tangan yang penting
statusnya sudah bersuami. Yang demikian tidak saja berlaku bagi perawan, tapi
juga bagi janda. Bagi janda, prinsipnya adalah daripada kelamaan menjanda lebih
baik dimadu dan dinikah siri, yang penting statusnya punya suami, tidak peduli apakah
perkawinannya akan langgeng atau tidak. Lebih memprihatinkan lagi, ia tidak
dapat berkutik meski sering tidak diberi nafkah oleh suaminya.
Keempat,
kebanggaan. Mungkin yang ini kedengarannya agak aneh, tapi pembicaraan teman
adik ipar saya dapat dipakai sebagai gambaran betapa bangganya kawin cerai.
Ceritanya demikian. Pada suatu ketika, sekitar tahun 1990-an, adik ipar saya
(perempuan, yang lebih dulu merantau ke daerah sekitar tempat tinggal saya ini) ditanya oleh teman perempuannya.
“Mbak, sudah punya suami belum?”,
tanyanya pada adik ipar saya.
“Belum. Pacar saja belum punya”, jawab
adik ipar saya.
Apa kata teman adik ipar saya
selanjutnya? Tanpa ditanya ia mengatakan, “Saya baru jadi janda tiga kali”.
Dari pengakuannya yang menyebutkan bahwa ia BARU JADI JANDA TIGA KALI
menandakan bahwa ia bangga dengan berkali-kali nikah. Dengan sering nikah, entah dengan akta nikah atau hanya nikah siri, berarti ia laku, ia cantik
dan sebagainya. Fenomena semacam ini sering kita lihat dalam kehidupan
masyarakat setempat.
Itulah fenomena
poligami dan nikah siri yang banyak dilakukan orang di daerah tempat saya tinggal dan
sekitarnya. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Di samping karena kurang
ketatnya kontrol baik oleh aparat pemerintahan desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, juga karena faktor ekonomi dan sosial budaya.
Kemiskinan terkadang memang bisa membuat orang rela melakukan apa saja yang
penting ekonominya tercukupi, termasuk rela menjadi istri nomor dua, tiga, atau
empat. Di samping itu, di daerah tersebut memiliki istri lebih dari satu adalah
hal yang biasa, bukan sesuatu yang tabu, walaupun usia perkawinannya sangat
pendek, karena perkawinan tersebut terkadang tidak dilandasi niat untuk membina
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Bahkan ada yang bangga dengan
memiliki istri banyak, tanpa berfikir apakah tindakannya itu banyak mudharatnya
atau tidak.
Melihat kenyataan
yang demikian, menurut saya ada hal yang perlu ditempuh oleh pihak yang
berwenang, baik Kementerian Agama maupun pemerintah daerah setempat. Langkah
yang perlu ditempuh adalah memberikan sosialisasi secara rutin dan
berkelanjutan baik kepada aparat pemerintahan desa, para tokoh agama dan tokoh
masyarakat, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral sehingga lembaga
perkawinan perlu dijaga dan dijunjung tinggi. Poligami dan nikah siri memang tidak dilarang oleh agama, tapi jika perkawinan tersebut tidak
dilandasi niat baik untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah,
maka tindakannya bisa merugikan salah satu pihak, dan kebanyakan dari mereka
yang dirugikan adalah perempuan dan anak.
Mengapa
sosialisasi ini penting, sebab sampai saat ini masih ada oknum aparat
pemerintahan desa yang sangat menggampangkan administrasi kependudukan tanpa
prosedur yang semestinya. Ada sebuah kasus, dan ini nyata-nyata terjadi belum lama ini, masih di tahun 2013, ada seorang laki-laki, sudah punya cucu, berasal dari Desa A Kabupaten X*), membuat
Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru di Desa B Kabupaten Y. Desa A dan Desa B,
meskipun berbeda kabupaten, kebetulan lokasi kedua desa tersebut tidak terlalu
jauh, karena memang kedua desa tersebut berada di wilayah perbatasan kedua
kabupaten di atas. Walaupun laki-laki tadi berasal dari desa dan kabupaten yang
berbeda, oleh oknum aparat pemerintahan Desa B, laki-laki tua yang sudah
bercucu itu dibuatkan KTP baru dengan alamat Desa B, tanpa prosedur yang
semestinya. Artinya, pembuatan KTP itu illegal, tanpa surat pindah, tanpa
keterangan apapun dari Desa A. Konyolnya, status perkawinan di KTP baru itu
ditulis JEJAKA. Lebih konyol lagi, usianya dikorupsi 20 (dua puluh) tahun.
He...he...he... Biar tampak lebih muda gitu loh, walau fisik yang sudah tua itu
tidak bisa dibohongi. Ternyata, kekonyolan itu disengaja, karena laki-laki tua
itu punya niat tidak baik. Ia sengaja membuat KTP baru itu dengan maksud agar
ia bisa nikah lagi dengan gadis lugu idamannya yang berasal dari Kabupaten Z
yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Kalau laki-laki tua itu pakai
KTP yang berasal dari Desa A Kabupaten X tempat ia tinggal, tentu ketahuan
kalau statusnya sudah nikah, dan tentunya orang tua si gadis juga tidak bakalan
menyerahkan anaknya yang masih perawan ke bandot tua tadi. Itulah sebabnya
laki-laki yang sudah bercucu itu menggunakan jurus tipu-muslihat agar ia bisa
kawin lagi dengan perawan.
Selain aparat
pemerintahan desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat juga perlu diberi
pengarahan tentang pentingnya menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Nah, yang
ini juga betul-betul terjadi, ada seorang amil dan Ketua Rukun Tetangga (Ketua
RT) yang dengan gampang memberikan persetujuan cerai warganya tanpa tahu
permasalahan. Masih berhubungan dengan kasus laki-laki tua yang sudah bercucu
di atas, 10 (sepuluh) bulan (bulan lo, bukan tahun) semenjak pernikahannya dengan gadis tadi, tiba-tiba
tanpa ada angin, tidak ada geledek, suatu sore si laki-laki tua itu melayangkan
selembar surat cerai kepada istri barunya itu di rumah kontrakannya yang
jaraknya hanya beberapa kilometer dari rumah si laki-laki tua itu tinggal
bersama istri tua, anak-anak, dan cucunya. Surat cerai itu diketik di atas
kertas A4 yang ditandatangani oleh laki-laki tua itu dengan tiga orang saksi.
Saksi yang pertama adalah amil, saksi kedua adalah Ketua RT, dan saksi yang
ketiga saya lupa siapa dia. Amil dan Ketua RT yang tanda tangan di atas surat
cerai tadi adalah amil dan Ketua RT di Desa A tempat si laki-laki tua itu
tinggal. Padahal, ketika laki-laki tua itu nikah, amil dan Ketua RT ini tidak
tahu apa-apa, karena memang pernikahan laki-laki tua itu secara diam-diam.
Jangankan amil dan Ketua RT, istri dan anak-anaknya saja, awalnya tidak tahu
kalau suami dan ayahnya itu nikah lagi. Sebagai amil dan Ketua RT, mestinya
ketika laki-laki tua itu menyodorkan surat cerai dan meminta tanda tangan
sebagai saksi, amil dan Ketua RT itu jangan gegabah memberikan tanda tangan.
Mengapa? Pertama, amil dan Ketua RT itu kan tidak tahu laki-laki tua itu
menikah lagi dengan siapa. Kedua, sebelum memberikan tanda tangan, mestinya
mereka tanya kepada laki-laki tua itu kapan nikahnya dengan perempuan yang
tertera di surat cerai, kok tiba-tiba minta tanda tangan sebagai saksi atas perceraiannya
dengan istri barunya. Ketiga, perlu ditanyakan juga kepada laki-laki tua itu,
sebenarnya ada maksud apa kok dulu nikah secara diam-diam, sampai-sampai istri,
anak-anak, dan para tetangga tidak ada yang tahu. Keempat, mestinya amil dan
Ketua RT juga perlu bertanya kepada laki-laki tua tadi, dulu nikahnya di KUA
atau nikah siri. Jika yang disebutkan terakhir ini mereka tanyakan ke laki-laki
tua itu, saya yakin mereka tidak akan berani memberikan tanda tangan sebagai
saksi di surat cerai yang dibuat sendiri oleh si laki-laki tua tadi, sebab
laki-laki tua tadi nikahnya di KUA, jadi yang berhak mengeluarkan surat cerai
adalah Pengadilan Agama, bukan mereka.
Dengan adanya
pengalaman ini, entah karena ketidaktahuan aparat pemerintahan desa, tokoh
agama, dan tokoh masyarakat, atau entah karena mereka menggampangkan masalah
perkawinan dan perceraian, menurut saya, Kementerian Agama dan pemerintah
daerah setempat sebagai pihak yang berwenang, perlu mengadakan sosialisasi
secara rutin dan berkelanjutan terkait dengan perlunya kontrol terhadap warga
yang akan nikah dan cerai. Apabila aparat pemerintahan desa, tokoh agama, dan
tokoh masyarakat telah memiliki kesamaan pandangan tentang perlunya menjaga dan
menjunjung tinggi lembaga perkawinan, maka pernikahan dan perceraian tidak semudah itu terjadi tanpa ada kontrol sama sekali.
Catatan Kaki:
Catatan Kaki:
*) Maaf, untuk
menjaga nama baik, nama desa dan kabupatennya sengaja tidak saya sebut secara
terang-terangan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar