Jujur saya akui,
saya tergolong salah satu orang yang awam terhadap masalah hukum. Jika pada
kesempatan ini saya memberanikan diri berbicara masalah hukum, ini bukan
disebabkan saya sudah merasa tahu terhadap hal tersebut, tapi semata-mata
karena saya tertarik pada istilah sapikul
sagèndhongan*), sebuah istilah yang erat kaitannya dengan masalah pembagian warisan dalam
masyarakat Jawa.
Secara harafiah,
kata sapikul sagèndhongan berarti
satu pikul satu gendongan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa laki-laki
mendapat bagian warisan dua (sapikul)
berbanding satu (sagèndhongan)
dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua
keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang
lagi di belakang. Sementara perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia
letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong.
Terkait dengan
hukum pembagian warisan dalam masyarakat Jawa, seperti dikatakan
Koentjaraningrat, para ahli etnografi sering melaporkan bahwa mereka menemui
kesukaran dalam mendeskripsi adat pembagian warisan dalam masyarakat Jawa,
walaupun para ahli hukum adat telah berhasil mencatat peraturan-peraturan
normatif mengenai hukum adat waris Jawa dengan rapi. Norma pembagian harta
warisan ini tergantung pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang
santri biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam, sedangkan yang lain
membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan, yaitu:
berdasarkan asas sapikul
sagèndhongan, atau asas
bahwa semua anak mendapat warisan yang sama besarnya (Koentjaraningrat,
1994:161).
Berdasarkan
keterangan di atas, kita tahu bahwa hukum pembagian warisan dalam masyarakat
Jawa sedikitnya ada tiga asas, yakni hukum Islam, asas sapikul sagèndhongan, dan asas pembagian yang sama besarnya untuk
semua anak.
Menurut hukum
waris Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11,
pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan sebanyak 2:1 (dua berbanding
satu). Alasan mengapa Islam memberi
bagian warisan kepada laki-laki sebanyak dua kali lipat dari perempuan, karena
laki-laki harus membayar mahar waktu menikah dan memiliki kewajiban menafkahi
istri dan anak-anaknya, sedang perempuan tidak memiliki kewajiban untuk
menafkahi keluarga (lihat Anwar Sitompul,
1984:39-41; Cholil Uman, 1994:99-101; Muhammad
Rasyid Ridha, 2004:38-39; Zakir Abdul Karim Naik, 2004:78-82; Sri Suhandjati Sukri, 2005:40; Ust. Labib Mz., 2006: 156-157; Zaitunah Subhan, 2008:255-259; Musthafa As-Shiba’i,
tth:41).
Bagi orang yang
berpegang pada asas sapikul
sagèndhongan dalam membagi
harta warisan, adanya pembedaan proporsi jumlah harta warisan antara anak
laki-laki dan anak perempuan bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Dalam
pandangan masyarakat Jawa, laki-laki dianggap
memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan
perempuan. Ketika hendak menikah, anak laki-laki harus mempersiapkan
diri untuk melamar, memberikan mas kawin (asok
tukon), dan selanjutnya bekerja untuk menghidupi keluarganya kelak.
Sementara anak perempuan hanya menunggu dilamar, diberi mas kawin (asok tukon), dan mendapatkan
nafkah lahiriah dari suaminya kelak. Bahkan tidak sekedar itu, laki-laki Jawa juga diharapkan dapat melaksanakan lima-A, yaitu angayani (memberi nafkah lahir
dan batin), angomahi (membuatkan
rumah sebagai tempat berteduh bagi anak istri), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayêmi (menjaga kondisi
keluarga agar aman, tenteram, dan bebas dari gangguan), dan yang terakhir
adalah angatmajani (mampu
menurunkan benih unggul) (lihat http://mazguzh.multiply.com/reviews/item/2 dan http://celotehmalik.blogspot.com/). Di pihak lain, bagi orang yang berpegang pada asas sama besar dalam membagi
harta warisan, hal ini disebabkan karena mereka beranggapan bahwa semua anak
adalah sama, sehingga mereka berhak mendapat warisan yang sama besarnya, baik
laki-laki maupun perempuan.
Jika kita melihat
bahwa pembagian warisan menurut hukum Islam dan asas sapikul sagèndhongan pada dasarnya tidaklah ada bedanya,
yakni sama-sama membagi warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagèndhongan),
maka kemungkinan besar hukum waris adat Jawa sapikul sagèndhongan ini mengadopsi dari hukum waris Islam
(bandingkan http://www.geocities.com/triwidodowu/Bab4.rtf).
Terhadap hukum
waris Islam maupun hukum waris adat Jawa sapikul
sagèndhongan yang membagi warisan 2:1 (dua berbanding satu) bagi
laki-laki dan perempuan, sebagian masyarakat Jawa ada yang menganggap hal ini
tidak adil. Ketidakadilan ini, menurut mereka, disebabkan budaya Indonesia pada
umumnya dan budaya Jawa pada khususnya, berbeda dengan budaya Arab tempat agama
Islam dilahirkan. Menurut Mochammad Moealliem, budaya Arab hingga saat ini
memang masih banyak yang mengikuti aturan 2:1 (dua berbanding satu). Namun
demikian, perempuan di sana tidak disuruh bekerja, segala kebutuhannya ditanggung
suami, termasuk kebutuhan anak-anaknya, bahkan mahar untuk perempuan yang akan
dinikahi sangat mahal. Oleh sebab itu, wajar dan terhitung adil jika perempuan
Arab mendapat porsi warisan satu berbanding dua dengan laki-laki, karena
laki-laki Arab menanggung segala beban (http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosial-dalam.html). Sementara perempuan Indonesia, khususnya
Jawa, tidak sedikit yang ikut membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Bahkan ada perempuan yang justru dialah yang mencari nafkah untuk
suami dan anak-anaknya, sementara suaminya hanya mengurus rumah tangga. Itulah
sebabnya mereka menganggap tidak adil jika pembagian warisan itu menggunakan
asas sapikul sagèndhongan,
dan memilih menggunakan sistem pembagian warisan yang sama besarnya,
baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi bagi orang yang mengikuti petunjuk
agama Islam, mereka tidak mau memakai sistem pembagian warisan yang sama
besarnya, karena hal ini dianggap menyalahi hukum agama.
Saya setuju bahwa
hukum agama tidak boleh dilanggar. Namun jika kenyataan asas 2:1 (dua
berbanding satu) atau asas sapikul
sagèndhongan dalam pembagian warisan itu dianggap kurang adil oleh
masyarakat, maka ada solusi yang ditawarkan oleh beberapa tokoh agama yang
menurutnya tidak melanggar hukum agama, namun hasil pembagian warisan ini tidak
menampakkan perbedaan yang cukup jauh antara yang diterima laki-laki dan
perempuan. Lalu bagaimana solusinya?
Sebagaimana kita
ketahui, hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan harta kekayaan dari
seorang yang telah meninggal dunia (Ikin Sadikin, 1982:60). Namun demikian,
tidak berarti membagi harta kepada ahli waris sebelum meninggal itu tidak
diperbolehkan. Menurut Ust. Labib Mz., membagi harta kepada ahli waris sebelum
meninggal itu dibenarkan dengan catatan harus bersikap adil dan bijaksana,
tidak boleh pilih kasih satu dengan lainnya
(Ust. Labib Mz. 2006: 151). Akan tetapi, pembagian harta sebelum
meninggal atau yang lebih popular disebut wasiat, tidak boleh melebihi 1/3 dari
harta warisannya (Anwar Sitompul, 1984:61; Soedharyo Soimin, 2004:71-72). Jika
hal tersebut masih dianggap kurang adil, sementara kita tidak mungkin mengubah
ketentuan hukum, maka salah satu caranya adalah melalui hibah atau pemberian,
sehingga jumlah yang diterima perempuan bisa sedikit seimbang dengan bagian
laki-laki (lihat Sri Suhandjati Sukri, 2005:40). Selain hibah, menurut Zaitunah
Subhan, bahkan sangat dimungkinkan memberikan bagian yang sama kepada ahli
waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris sepakat (Zaitunah Subhan,
2008:259). Artinya, dalam melakukan pembagian warisan ini boleh melakukan
penyimpangan asal atas kesepakatan bersama (Cholil Uman, 1994:100).
Apa yang
dipaparkan oleh Mochammad Moealliem dalam http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosial-dalam.html barangkali bisa memperjelas keterangan di atas.
Menurut Mochammad Moealliem, pembagian harta secara hibah tidak
ada aturan bahwa laki-laki harus menerima lebih banyak dari perempuan. Jadi,
agar tidak terjadi kecemburuan sosial, setiap anak sebaiknya diberi bagian yang
sama. Setelah harta itu dibagikan secara hibah, entah diserahkan langsung atau
masih dalam catatan, tentunya mereka sudah tidak iri hati satu dengan yang
lain, karena setelah orang tuanya meninggal, harta warisannya sudah tidak
sebanyak dulu, sehingga ketika terjadi pembagian harta warisan 2:1 (dua
berbanding satu) atau sapikul
sagèndhongan, hasil pembagiannya tidak terlalu mencolok bedanya.
Cara lain yang
dapat dilakukan adalah ahli waris laki-laki bersedia menyumbangkan sebagian
hasil pembagian harta warisannya kepada ahli waris perempuan, sehingga jumlah
yang diterima masing-masing sama. Sebagai contoh, ada harta warisan sebanyak Rp
60.000.000, anak laki mendapat Rp 40.000.000, sedang anak perempuan mendapat Rp
20.000.000. Dalam kaitannya dengan yang dikatakan Zaitunah Subhan dan Cholil
Uman di atas, asalkan ahli waris laki-laki ikhlas dan sepakat memberikan Rp
10.000.000 dari harta warisan yang diterimanya itu kepada ahli waris perempuan,
maka yang demikian menurut Mochammad Moealliem tidaklah dilarang. Yang dilarang
adalah mengubah ayat-ayat waris yang telah ditetapkan (http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosial-dalam.html).
Dengan demikian, baik ahli waris laki-laki maupun
perempuan sama-sama menerima bagian Rp 30.000.000.
Cara pembagian
warisan seperti kedua contoh di atas memang tak semudah itu dalam
pelaksanaannya, namun sedikitnya contoh-contoh di atas dapat memberikan
gambaran bagaimana cara membagi harta warisan agar ahli waris laki-laki dan
perempuan mendapat bagian yang sedikit seimbang atau bahkan mendapat bagian
yang sama besarnya tanpa menyalahi hukum agama.
Catatan Kaki:
*) Kata sapikul sagèndhongan dalam bahasa lisan
biasa diucapkan: sêpikul sêgèndhongan. Judul tulisan ini dan uraian yang
terkait dengan hal tersebut, sengaja saya tulis sesuai dengan ejaan bahasa Jawa
yang baik dan benar, yakni sapikul sagèndhongan, dan bukan ditulis
sesuai dengan ucapan dalam bahasa lisan.
Daftar Acuan
1. Buku
Anwar Sitompul. 1984. Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris
Islam. Bandung: CV. Armico.
Cholil Uman. 1994. Agama
Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern. Surabaya: Menara Suci.
Ikin Sadikin. 1982. Tanya
Jawab Hukum Keluarga dan Waris. Bandung: CV. Armico.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Pustaka.
Muhammad Rasyid Ridha. 2004. Perempuan sebagai Kekasih: Hakikat, Martabat, dan Partisipasinya di
Ruang Publik. Jakarta: Hikmah.
Musthafa As-Shiba’i. Tth. Wanita dalam Pergumulan Syariat & Hukum Konvensional. Jakarta:
Insan Cemerlang dan PT Intimedia Ciptanusantara.
Soedharyo Soimin. 2004. Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum
Islam, dan Hukum Adat. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Sri Suhandjati Sukri, 2005. Perempuan Menggugat, Kasus dalam Al-Qur’an & Realitas Masa Kini.
Semarang: Pustaka Adnan.
Ust. Labib Mz.
2006. Aneka Problema Wanita
Moderen, Membahas Berbagai Problem Wanita dalam Bentuk Tanya Jawab. Surabaya:
Bintang Usaha Jaya.
Zaitunah Subhan. 2008. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: El-Kahfi.
Zakir Abdul Karim Naik. 2004. Islam Menjawab Gugatan. Jakarta: Lintas Pustaka Publisher.
2. Internet
Tidak ada komentar :
Posting Komentar