Jumat, 03 Mei 2024

MAS AYU NGASIRAH, IBUNDA KARTINI


Mas Ayu Ngasirah

(Sumber gambar: https://parist.id/2022/07/ma-ngasirah-wanita-tangguh-di-balik.html)

      

Jika Kartini bedarah ningat, darah itu berasal dari ayahnya, karena ibunya adalah perempuan biasa yang tidak memiliki sarah bangsawan. Ngasirah, demikian nama ibunda Kartini, merupakan perempuan desa yang dibesarkan dalam lingkungan orang yang taat beragama. Di desanya, Ngasirah memiliki kedudukan terhormat, karena ayahnya, Kyai Haji Madirono, merupakan seorang ulama, guru agama, dan pemimpin pesantren di Telukawur, Jepara. Sumber lain menyebutkan bahwa Kyai Haji Madirono juga seorang mandor tebu. Sementara ibunya yang bernama Nyai Hajah Siti Aminah, konon telah melaksanakan ibadah haji saat beusia 16 tahun.         

Ngasirah memang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Meskipun demikian, Ngasirah tumbuh menjadi perempuan yang taat beragama dan menjunjung tata krama berkat didikan langsung dari kedua orang tuanya.

Ketika usianya menginjak remaja untuk ukuran waktu itu, Ngasirah dinikahkan dengan seorang wedana bernama Raden Mas Sosroningrat. Pasangan suami istri yang menikah pada 1872 itu hidup rukun dan bahagia. Oleh karena diperistri oleh bangsawan, Ngasirah lalu diberi gelar Mas Ayu, gelar yang diberikan kepada peempuan biasa yang dinikahi oleh laki-laki bangsawan.

Setahun setelah Mas Ayu Ngasirah dan Raden Mas Sosroningat membangun rumah tangga, lahirlah anak yang sangat didamba-dambakan, Raden Mas Slamet Sosroningat namanya, pada 15 Mei 1873. Tahun berikutnya, menyusul lahir anak kedua, Raden Mas Sosrobusono (11 Mei 1874).

Kala itu, Belanda yang menjajah tanah Jawa, memiliki aturan bahwa seorang bupati harus memiliki isti bangsawan. Raden Mas Sosroningat yang waktu itu menjabat sebagai wedana Mayong, Jepara, supaya dapat naik jabatan menjadi bupati, maka diharuskan memiliki istri yang berasal dari kalangan ningrat. Oleh karena Mas Ayu Ngasirah bukan berasal dari kalangan ningrat, maka Raden Mas Sosroningat harus menilah lagi agar dapat menduduki kusi jabatan bupati. Menikahlah ia dengan Raden Ajeng Wuryan (Muryam), putri Bupati Jepara Raden Adipati Cokrowikromo1), pada 1875. Mas Ayu Ngasirah menerima keadaan harus siap dimadu, karena Belanda yang menjajah tanah Jawa memiliki peraturan seperti itu.

Pada 1877, kedua istri Raden Mas Sosroningrat sama-sama melahirkan anak. Raden Ajeng Wuryan (yang setelah menikah gelarnya menjadi Raden Ayu) melahirkan Raden Ajeng Sulastri (9 Januari 1877), sedangkan Mas Ayu Ngasirah melahirkan Raden Mas Panji Sosrokartono (10 April 1877).

Pada 21 April 1879, Mas Ayu Ngasirah melahirkan anak lagi, yang diberi nama Raden Ajeng Kartini. Tahun berikutnya, Raden Ayu Wuryan yang berganti melahirkan anak, yakni Raden Ajeng Rukmini (4 Juli 1880).

Pada 1881 atau enam tahun setelah menikah dengan Raden Ayu Wuryan, Raden Mas Sosroningrat diangkat menjadi bupati Jepara menggantikan mertuanya. Tidak jelas kapan tanggal pengangkatannya sebagai bupati Jepara. Namun yang jelas, pada tahun itu juga, lahirlah anak Raden Mas Sosroningat dari Mas Ayu Ngasirah yang diberi nama Raden Ajeng Kardinah (1 Maret 1881).

Raden Ajeng Kartini, yang kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, dia meminta supaya dipanggil namanya Kartini saja, baru berumur dua tahun ketika diboyong oleh ayahnya dari Mayong ke Jepara seiring kenaikan pangkat ayahnya, dari wedana menjadi bupati.

Setelah menjadi bupati, gelar kebangsawanan Sosroningrat yang tadinya Raden Mas, meningkat menjadi Raden Mas Adipati Ario. Lagi-lagi Mas Ayu Ngasirah harus mau menerima kenyataan. Kali ini ia harus tahu diri bahwa setelah suaminya menjadi bupati, tempatnya adalah di belakang, dan bertugas sebagai "kepala" urusan rumah tangga. Meskipun Mas Ayu Ngasirah adalah istri pertama, tapi ia bukan istri utama, karena ia bukan keturunan bangsawan. Istilah dalam budaya Jawa, ia hanyalah garwa ampil (selir), bukan garwa padmi (permaisuri). 

Sebagai garwa ampil (selir), Mas Ayu Ngasirah menjalani kehidupan dengan penuh kesabaran. Selain bertempat tinggal di belakang dengan urusan rumah tangga, ia juga harus memanggil "ndara" (baca: ndoro) baik kepada anak-anaknya sendiri maupun anak-anak Raden Ayu Wuryan. Ia juga harus rela tidak dipanggil "ibu", meskipun itu oleh anak-anak yang dilahirkan oleh Mas Ayu Ngasirah, apalagi oleh anak-anak madunya. Hanya kepada garwa padmi (permaisuri) anak-anak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat itu memanggil "ibu". Sebagian sumber mengatakan bahwa Mas Ayu Ngasirah dipanggil "yu" baik oleh anak-anak sendiri maupun oleh anak-anak Raden Ayu Wuryan. Akan tetapi dalam tradisi Kraton Surakarta, seorang garwa ampil (selir) biasa dipanggil "bibi" baik oleh anak-anak sendiri maupun anak-anak madunya.

Sementara Raden Ayu Wuryan sebagai garwa padmi (permaisuri), ia harus menyadari bahwa dirinya bukanlah satu-satunya istri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrt, sehingga ia harus mau mengasuh seluruh anak suaminya, baik dari dirinya sendiri maupun dari madunya. Itulah kewajiban garwa padmi (permaisuri) yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Jika Mas Ayu Ngasirah memiliki tugas di belakang, maka Raden Ayu Wuryan sebagai garwa padmi (permaisuri) memiliki tugas di depan, seperti menerima tamu maupun bersosialisasi ke luar.

Dalam tata krama Jawa kala itu, meskipun hubungan personal antara garwa padmi (permaisuri) dan garwa ampil (selir) tidak disediakan ruang, namun mereka saling mengetahui dan menyadari bahwa keduanya merupakan istri sah seorang laki-laki yang sama sehingga tidak ada alasan bagi Raden Ayu Wuryan dan Mas Ayu Ngasirah untuk saling iri atau cemburu, lalu menuntut lebih kepada suami mereka.

Meskipun pedih, Mas Ayu Ngasirah harus tabah menjalani kehidupan ini demi kebahagiaan anak-anaknya. Ia rela tinggal di belakang dan berkutat seputar urusan rumah tangga bersama para pembantu, meskipun suaminya adalah seorang bupati. Bagi Kartini, Mas Ayu Ngasirah adalah ibunya. Ia menolak memanggil perempuan yang telah melahirkannya itu dengan panggilan lain selain "ibu", walau ini melanggar aturan karena panggilan "ibu" hanya diperuntukkan bagi garwa padmi (permaisuri). Kartini juga lebih sering memilih tinggal di belakang bersama Mas Ayu Ngasirah daripada tinggal di rumah utama. Diskriminasi-diskriminasi seperti itu dan diskriminasi lainnya yang membuat Kartini ingin mendobrak adat yang mengungkung hak-hak perempuan.

Beruntung ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, berpikian maju. Ia menginginkan anak-anaknya berpengetahuan seperti anak-anak Belanda. Meskipun demikian, ia tetap memegang adat-istiadat Jawa. Tak mengherankan jika Kartini disekolahkan di Europesche Lagere School (ELS), yakni sekolah Belanda setara Sekolah Dasar (SD) agar ia berpengetahuan seperti anak-anak Belanda, suatu hal yang jarang dilakukan oleh bangsawan lain kala itu. 

Selain sekolah di ELS, Kartini juga mendapat pelajaran tambahan yang gurunya sengaja didatangkan oleh ayahnya. Pelajaran tambahan tersebut adalah menyulam dan menjahit dari seorang nyonya Belanda serta pelajaran bahasa dan adat-istiadat Jawa dari seorang guru yang bernama Pak Danu. Di samping pelajaran yang berhubungan dengan duniawi, ayah Kartini juga mendatangkan guru agama untuk mengajari Kartini dan saudara-saudaranya membaca Al-Qur'an.

Sayangnya, setamat dari ELS Kartini tak diizinkan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kartini yang bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, harus menjalani masa pingitan, yakni masa di mana seorang gadis remaja tidak diperkenankan keluar rumah dalam waktu yang telah ditentukan.

Sementara untuk anak-anak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan Mas Ayu Ngasirah dan Raden Ayu Wuryan lainnya, selain yang disebutkan di atas, adalah: Raden Ajeng Kartinah (lahir 3 Juni 1883 dari Raden Ayu Wuryan), Raden Mas Sosro Mulyono (lahir 26 Desember 1885 dari Mas Ayu Ngasirah), Raden Ajeng Sumatri (lahir 11 Maret 1888 dari Mas Ayu Ngasirah), dan Raden Mas Sosro Rawito (lahir 15 Oktober 1892 dari Mas Ayu Ngasirah).  


Daftar Acuan


1. Buku

Asma Karimah. 2007. Tragedi Kartini, Sebuah Pertarungan Ideologi. Bandung: Syaamil.

Dri Arbaningsih. 2005. Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi "Bangsa". Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Edi Warsidi. 2007. Meneladani Kepahlawanan Kaum Wanita. Bogor: Yudhistira.

Efatino Febriana. 2010. Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dan Freemason. Yogyakarta: Navila Idea.

Imron Rosyadi. 2010. R.A. Kartini, Biografi Singkat 1879-1904. Sleman-Yogyakarta: Garasi House of Book.

Mulyono Atmosiswartoputra. 2018. Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer..


2. Internet

 

https://regional.kompas.com/read/2021/04/21/093000578/ngasirah-ibu-kandung-kartini?page=all

https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Daftar_Bupati_Jepara

https://www.parist.id/2022/07/ma-ngasirah-wanita-tangguh-di-balik.html


----------------------

1) Tentang gelar kebangsawanan Bupati Jepara Citrowikromo, ada yang mengatakan Raden Adipati Ario, namun ada juga yang mengatakan Raden Tumenggung. 

Tidak ada komentar :