Sabtu, 23 Maret 2024

JEJAK KERAJAAN MATARAM : SEJAK MERAMBAH HUTAN, MASA KEJAYAAN, HINGGA RUNTUHNYA (2)


2. BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM

 

Pada suatu hari, Sultan Adiwijaya di Pajang bersama para prajuritnya berangkat menuju Giri untuk meminta restu kepada Sunan Giri atas tindakan-tindakannya sebagai raja. Ki Ageng Pemanahan, yang telah berubah namanya menjadi Ki Ageng Mataram, ikut serta dalam rombongan tersebut. Ketika itu para bupati dari timur, seperti Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati juga hadir. Ada yang menyebut para bupati yang hadir adalah Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, Sedayu, Lasem, dan Tuban. Mereka bermalam di tempat penginapan sementara. 

Tatkala Sunan Giri keluar pendapa, Sultan Adiwijaya, para adipati, dan pengikutnya duduk menurut tingkat kedudukan masing-masing dan memberikan hormat kepada Sunan Giri. Sultan Adiwijaya dipanggil oleh Sunan Giri agar duduk lebih dekat. Sunan Giri kemudian mengumumkan dan memberi restu kepada Sultan Adiwijaya. 

Tentang waktu kunjungan Sultan Pajang ke Giri tersebut, H.J. de Graaf (1987:64) mencatat ada dua waktu, yakni 1568 dan 1581. Yang pertama diperoleh dari Raffles, sedang yang kedua berasal dari Babad Sangkala, Babad Momana, dan Babad Tanah Jawi. Oleh karena Raffles tidak menyebutkan sumber yang dipergunakan, maka H.J. de Graaf lebih cenderung memilih angka tahun yang berasal dari tiga sumber Jawa tersebut.

Di Giri, Ki Ageng Mataram diramal oleh Sunan Giri bahwa keturunannya kelak akan memerintah seluruh rakyat Jawa, bahkan Giri juga akan patuh pada Mataram. Ki Ageng Mataram mengucapkan terima kasih kepada Sunan Giri.

Sekembalinya dari Giri, muncul reaksi atas ramalan tadi. Di Pajang, Pangeran Benawa, putra Sultan Adiwijaya ingin memadamkan bunga api (maksudnya Mataram) tersebut, sebelum menjadi api. Akan tetapi ayahnya tidak mau melanggar keputusan Tuhan, dan takut akan akibatnya. 

Sementara di Mataram, Ki Ageng Mataram segera mengabarkan berita gembira tadi kepada keluarga dan saudara-saudaranya. Ki Ageng Mataram berpesan, jika ramalan Sunan Giri tersebut terbukti di kemudian hari, maka harus diterima dengan tangan bersih, jangan besar kepala, apalagi merasa sebagai orang yang dikasihi Allah, sebab yang dikasihi Allah adalah mereka yang berbudi luhur.

Sesuai sumpah setianya kepada Sultan Adiwijaya, selama hidupnya Ki Ageng Mataram adalah petinggi bawahan Kerajaan Pajang1) yang taat dan setia kepada Sultan Pajang. Menurut H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:282), Djoko Soekiman (1992/1993:17); Purwadi dan Maharsi (2005:291), dan A. Daliman (2012:181), Ki Ageng Mataram meninggal pada 1583 atau 1584; sedangkan Soedjipto Abimanyu (2017:404) dan Peri Mardiyono (2020:40) menyebut meninggalnya Ki Ageng Mataram tahun 1584. Jenazahnya dimakamkan di Kotagede. 

Setelah Ki Ageng Mataram meninggal, Danang Sutawijaya diangkat oleh Sultan Adiwijaya sebagai petinggi di Mataram menggantikan kedudukan ayahnya, dengan gelar Senapati ing Ngalaga. 

Sebagaimana disebutkan oleh A. Daliman, Senapati ing Ngalaga (selanjutnya cukup disebut Senapati) yang masih muda, memiliki cita-cita luhur. Ia ingin mengangkat Mataram sebagai penguasa tertinggi di Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya, Senapati mengambil dua langkah penting. Pertama, berusaha untuk memerdekakan diri dari Pajang; dan kedua, berusaha memperluas wilayah Mataram ke seluruh Jawa.

Babad Tanah Jawi menceritakan, sepeninggal Ki Ageng Mataram, Senapati yang ditunjuk sebagai pengganti ayahnya oleh Sultan Adiwijaya, diberi izin untuk tidak menghadap raja selama setahun. Kesempatan ini digunakan oleh Senapati untuk persiapan melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Senapati memerintahkan kepada rakyatnya agar membuat bata dengan tujuan untuk membentengi Mataram. Setelah bata tersedia, Senapati kemudian membuat tembok pertahanan bagi Mataram.

Bekas benteng Keraton (Istana) Mataram di Kotagede (Sumber gambar: https://eljohnnews.com/benteng-cepuri-reruntuhan-tersembunyi-penuh-cerita-sejarah/)


Setelah izin untuk tidak menghadap Sultan Pajang selama setahun telah lewat, tekad Panembahan Senapati untuk menjadi raja yang merdeka tidak tergoyahkan. Terbukti, sewaktu Sultan Adiwijaya mengutus Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil ke Mataram untuk menanyakan kepada Senapati mengapa tidak datang menghadap ke Pajang, mereka melihat sikap Panembahan Senapati yang saat itu sedang naik kuda di Lipura, kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Meskipun demikian, kedua utusan tersebut pandai menenangkan hati Sultan Adiwijaya dengan menyampaikan laporan yang dibuat secara halus.

Selain membuat benteng, Senapati juga menghimpun kekuatan. Sewaktu para petinggi dan mantri pamajegan dari Bagelen, Kedu, dan Majenang hendak ke Pajang untuk memberikan upeti, mereka diajak singgah ke Mataram, diperlakukan selayaknya tamu kehormatan. Mereka kemudian dibujuk untuk bersatu dengan Mataram dan membangkang terhadap Pajang. Mereka dijanjikan akan dinaikkan pangkatnya jika Mataram dapat lepas dari Pajang dan berdiri menjadi kerajaan. Upaya ini berhasil gemilang. Bahkan Ki Bocor yang berusaha membunuh Panembahan Senapati karena tidak suka kepadanya yang membujuk para petinggi dan mantri pamajegan untuk membangkang pada Pajang, akhirnya berpaling juga dari Pajang ke Mataram, setelah usaha pembunuhan tersebut gagal.

Berita bahwa Mataram telah membuat benteng, sudah sampai ke Pajang dan dilaporkan kepada Sultan Adiwijaya. Ada dugaan bahwa Mataram akan memberontak, tidak mau tunduk pada Pajang. Sultan Pajang lalu mengutus putranya, Pangeran Benawa, didampingi Adipati Tuban dan Path Mancanagara, untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Berangkatlah Pangeran Benawa, Adipati Tuban, Patih Mancanagara, dan prajuit Pajang menuju Mataram. Salah seorang mantri yang bernama Ki Pangalasan, karena cintanya kepada Panembahan Senapati, lalu utusan abdinya dengan naik kuda, untuk menyampaikan kabar bahwa Pajang telah memberangkatkan pasukannya menuju Mataram guna memastikan apakah kabar tentang Mataram akan memberontak itu benar atau tidak.

Ketika barisan Pajang telah sampai di Desa Randulawang, dari kejauhan tampak ada rombongan orang yang sepertinya akan menjemput. Setelah dekat, ternyata orang-orang tersebut adalah orang Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati.

Setelah saling tegur-sapa antara Pangeran Benawa dan Senapati, untuk menutupi niat yang sebenarnya, Senapati menyampaikan kabar yang baik-baik kepada Pangeran Benawa. Dikatakan oleh Senapati, bahwa semua miliknya adalah pemberian Sultan Pajang, sehingga ia tidak merasa memiliki Mataram. Senapati juga mengatakan bahwa rakyat Mataram akan menyambut gembira kedatangan Pangeran Benawa dan pengikutnya dengan jamuan makan dan minum. Setelah itu, mereka kemudian diajak singgah ke Mataram. 

Melihat kebaikan Senapati, Pangeran Benawa kemudian berpraduga bahwa kabar yang sampai ke Pajang tentang Mataram akan memberontak adalah tidak benar.

Sesampai di Mataram, malamnya Senapati mengadakan pertunjukan. Untuk menghormati kedatangan Pangeran Benawa, suguhan yang serba enak silih-berganti tanpa putus. Malam itu, atas usulan Adipati Tuban, diadakanlah Beksan Rangin, yakni tari perang-perangan. Prajurit Tuban tampil pada acara tersebut, mempertontonkan kepandaian dan keterampilan bermain senjata.

Raden Rangga, anak sulung Senapati, begitu melihat tingkah-polah prajurit Tuban, merasa dihina, seolah-olah hanya mereka yang pandai dan terampil, padahal ia juga tak kalah pandai dan terampil bermain Beksan Rangin. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ayahnya untuk diperbolehkan mengikuti Beksan Rangin. Awalnya Senapati melarang, tapi karena Adipati Tuban meminta kepadanya agar Raden Rangga diizinkan mengikuti Beksan Rangin, akhirnya Senapati mengizinkannya.  

Dalam acara tersebut, Raden Rangga berhadapan dengan salah satu prajurit Tuban yang memiliki kemampuan tinggi. Naas bagi prajurit Tuban. Dalam acara Beksan Rangin, ia tewas di tempat akibat ditempeleng oleh Raden Rangga. Gelanggang latihan pun geger seketika. Adipati Tuban lalu mengajak Pangeran Benawa dan Patih Mancanagara keluar dari tempat tersebut dan pulang ke Pajang malam itu juga.

Setelah sampai di Pajang, Pangeran Benawa melaporkan kepada ayahnya bahwa Senapati sangatlah hormat, tidak ada tanda-tanda akan memberontak. Sebaliknya, Adipati Tuban melaporkan bahwa Senapati memang benar telah membuat benteng, dan diperkirakan akan memberontak. Bahkan orang-orang Mataram sangat sombong, terbukti ada prajurit Tuban yang mati ditempeleng Raden Rangga.

Sultan Pajang membenarkan semua laporan, baik dari Pangeran Benawa maupun Adipati Tuban. Menurut anggapannya, tidaklah mungkin Senapati akan memberontak, sebab ia telah diakui sebagai anak oleh Sultan Adiwijaya. Namun laporan Adipati Tuban juga ada benarnya jika Senapati ingin menjadi raja, sebab kemungkinan dia sudah mendengar kabar terkait ramalan Sunan Giri, bahwa di Mataram kelak akan ada orang yang menjadi raja besar.

Ketika Patih Mancanagara mengusulkan kepada Sultan Adiwijaya agar menyerang Mataram, Sultan Pajang justru mencegahnya, karena jika Allah telah menakdirkan Mataram akan menjadi negara besar, siapa yang mampu menolak?

Upaya lain yang dilakukan oleh Senapati untuk memerdekakan diri dari Pajang adalah memberikan suaka kepada Tumenggung Mayang saat dijatuhi hukuman oleh Sultan Adiwijaya. Penyebab dijatuhkannya hukuman terhadap Tumenggung Mayang karena Raden Pabelan, anak Tumenggung Mayang, telah berani masuk ke keputren dan bercinta dengan Putri Sekar Kedaton, putri kesayanngan Sultan Adiwijaya. Meskipun Raden Pabelan telah dieksekusi mati, namun kemarahan Sultan Adiwijaya tak berhenti sampai di situ. Tumenggung Mayang yang dianggap tak dapat mendidik dan bahkan membantu perbuatan anaknya, dijatuhi hukuman buang ke Semarang, sedangkan istrinya tetap berada di Pajang. Begitu mendapatkan kabar bahwa Tumenggung Mayang, iparnya itu dibuang ke Semarang, Senapati segera mengirim pasukan untuk merebut Tumenggung Mayang dari tangan prajurit Pajang yang mengawalnya. Prajurit Pajang yang ketika menuju Semarang lewat Kedu, dapat disusul oleh pasukan Mataram di Desa Jatijajar. Terjadilah perkelahian antara prajurit Pajang dengan Mataram, hingga akhirnya Tumenggung Mayang dapat direbut dan dilarikan ke Mataram.

Tindakan Senapati menimbulkan kemarahan bagi Sultan Adiwijaya. Sultan Pajang lalu mempersiapkan prajuritnya untuk menggempur Mataram. Setelah siap, prajurit yang berjumlah ribuan itu berangkat menuju Mataram. Sebelum sampai Mataram, mereka beristirahat di Prambanan.

Senapati yang mendengar kabar bahwa pasukan Pajang akan menyerang Mataram, segera mengatur barisan untuk menghadang pasukan Pajang.

Sebelum pertempuran itu terjadi, tiba-tiba bencana alam melanda. Angin topan yang sangat kencang menumbangkan pepohonan, Gunung Merapi meletus, bebatuan longsor, bumi serasa diguncang, Sungai Opak banjir lahar, dan angkasa dipenuhi hujan abu. Akibatnya, prajurit Pajang yang sedang beristirahat itu merasa ketakutan.

Rencana penyerangan ke Mataram itu akhirnya diurungkan. Sultan Adiwijaya memerintahkan prajuritnya untuk kembali ke Pajang. Meskipun anak Sultan Adiwijaya, Pangeran Benawa, meminta izin kepada ayahnya untuk melakukan penyerangan terhadap Mataram, tapi ayahnya justru melarang. Sultan Adiwijaya bahkan menyuruh Pangeran Benawa agar dapat hidup rukun dengan saudara angkatnya itu.

Pagi harinya, perjalanan pulang ke Pajang sampai di Tembayat. Sultan Adiwijaya berniat sekalian berziarah ke makam Sunan Tembayat. Akan tetapi ketika hendak masuk, pintu gerbang makam tidak dapat didorong atau dibuka. Ketika hal itu ditanyakan kepada juru kunci, ia mengatakan bahwa menurut dugaannya, pintu gerbang tidak dapat didorong atau dibuka sebagai tanda bahwa Allah tidak memperkenankan lagi Sultan Adiwijaya menjadi raja. Mendengar penjelasan juru kunci, Sultan Adiwijaya terharu. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan pulang ke Pajang dengan mengendarai seekor gajah.

Di pihak lain, Senapati yang telah siap dengan prajuritnya, juga tidak melakukan penyerangan terhadap ayah angkatnya, kecuali hanya mengikuti dari belakang ketika Sultan Adiwijaya kembali ke Pajang.  

Keraton (Istana) Pajang memang sudah tak berbekas, tapi di sinilah dulu lokasinya, yang kemudian dibuat bangunan baru atas bantuan para pemerhati budaya (Sumber gambar: https://nusantarapedia.net/keraton-pajang-istana-joko-tingkir/)


Sebelum sampai di istana, Sultan Adiwijaya terjatuh dari atas gajah yang ditunggangi, hingga menyebabkan sakit. Dalam keadaan sakit, Sultan Adiwijaya tetap melanjutkan perjalanan pulang ke Pajang. Tak lama kemudian Sultan Adiwijaya meninggal dunia. Beberapa ahli sejarah seperti H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:272), Purwadi dan Maharsi (2005:270), A. Daliman (2012:174), dan Sabjan Badio (2012:23) menempatkan tahun kematian Sultan Adiwijaya2) pada 1587.

Senapati yang saat itu mengikuti dari belakang, begitu mendapat kabar bahwa Sultan Adiwijaya meninggal, ia langsung menuju istana Pajang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada raja yang mengangkat dirinya sebagai anak sewaktu kecil. Jenazah Sultan Pajang dimakamkan di Butuh. Tepatnya di Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Kompleks Makam Sultan Adiwijaya di Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. (Sumber gambar: https://jateng-news.id/berita/5-peninggalan-kerajaan-pajang-nomor-4-jarang-diketahui-orang/all)


Sepeninggal Sultan Adiwijaya, atas ide Sunan Kudus, yang menggantikan sebagai raja di Pajang adalah Arya Pangiri, menantu Sultan Adiwijaya yang menjadi adipati di Demak. Arya Pangiri adalah anak Sunan Prawata, raja Demak keempat yang tewas dibunuh oleh Rangkud, utusan Arya Penangsang. Sementara Pangeran Benawa yang merupakan anak Sultan Adiwijaya disingkirkan ke Jipang, sebagai adipati di sana. Tentu saja keputusan ini membuat sakit hati Pangeran Benawa.

Arya Pangiri sebagai raja Pajang yang baru, tindakan-tindakannya merugikan rakyat. Sebagai misal, sentana (sanak-saudara) dari Demak diajak ikut ke Pajang dan diberi kedudukan. Kemudian, penduduk Pajang sawahnya diambil sepertiga untuk diberikan kepada orang Demak yang ikut ke Pajang. Tak mengherankan jika kebijakan Arya Pangiri menimbulkan rasa tidak senang bagi rakyat Pajang. Mereka kemudian berani melanggar peraturan, sehingga negara menjadi tidak tenteram. 

Pangeran Benawa yang sakit hati, mempergunakan kesempatan tersebut untuk merebut kembali Pajang dari tangan Arya Pangiri. Pangeran Benawa meminta bantuan Senapati. Awalnya permintaan itu ditolak oleh Senapati dengan alasan tidak ingin ikut campur urusan keluarga yang menimbulkan pertengkaran. Akan tetapi ketika permintaan bantuan yang kedua kalinya disertai janji akan menyerahkan Pajang kepada Senapati daripada dikuasai oleh Arya Pangiri, barulah Senapati menyatakan kesediaannya.

Dua kekuatan yang bersatu padu itu, Mataram di bawah Senapati dan Jipang di bawah Pangeran Benawa, siap menggempur Pajang. Mendengar Pajang akan diserang, Arya Pangiri bersiap-siaga. Pajang betul-betul digempur oleh pasukan Mataram dan Jipang. Senapati menyerang dari arah barat, sedangkan Pangeran Benawa menyerang dari arah timur. Tak mampu menghadapi dua kekuatan, akhirnya Arya Pangiri bertekuk lutut kepada Senapati. Istri Arya Pangiri memohon kepada Senapati agar suaminya tidak dibunuh. Senapati mengabulkan permohonannya, sehingga Arya Pangiri hanya dikembalikan ke Demak. Keinginan Pengeran Benawa untuk mengusir Arya Pangiri dari Pajang betul-betul berhasil berkat bantuan Senapati. Hal ini, menurut H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:273), terjadi pada tahun 1588.

Sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, setelah Arya Pangiri dikalahkan, Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai raja di Pajang oleh Senapati. Seusai penobatan Pangeran Benawa sebagai raja, Senapati kemudian pulang dan bertindak sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati ing Ngalaga. Kejadian-kejadian tersebut, oleh H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:285), ditempatkan pada tahun 1588. Soedjipto Abimanyu (2017:404) juga menganggap tahun 1588 merupakan tahun Senapati menjadi raja Mataram. Sementara Purwadi dan Maharsi (2005:303) mengatakan bahwa Senapati dapat menganggap dirinya pengganti sah Sultan Pajang pada 1588 atau 1589.

Pangeran Benawa menjadi raja Pajang hanya selama satu tahun, lalu digantikan oleh Pangeran Gagakbaning, adik Panembahan Senapati ing Ngalaga, dan kedudukannya hanya sebagai adipati di Pajang.

Tentang Pangeran Benawa, Soedjipto Abimanyu (2017:351) menyebutkan bahwa naskah-naskah babad menceritakan versi yang berlainan berkaitan dengan akhir masa pemerintahannya. Ada yang menyebutkan Pangeran Benawa meninggal dunia tahun 15873); ada yang mengatakan turun tahta dan menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan; dan ada yang mengatakan pergi ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang dan meninggal di Desa Penggarit. 

Terlepas mana yang benar dari ketiga pendapat di atas, di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, memang ada desa yang bernama Penggarit, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Taman. Di desa tersebut ada sebuah makam yang diyakini masyarakat setempat sebagai makam Pangeran Benawa, putra Sultan Adiwijaya. Lokasinya kini dijadikan destinasi wisata rekreasi alam, religi, edukasi budaya, dan edukasi sejarah. Namanya Benowo Park.

Benowo Park
(Sumber gambar: Dokumentasi keluarga Mulyono Atmosiswartoputra)


Daftar Pustaka


1. Buku

A. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Djoko Soekiman. 1982/1993. Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

H.J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

Peri Mardiyono. 2020. Tuah Bumi Mataram, dari Panembahan Senapati hingga Amangkurat II. Bantul-Yogyakarta: Araska

Purwadi dan Maharsi. 2005. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.

R. Soekmono. 1987. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 3. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Kanisius.

Sabyan Badio. 2012. Menelusuri Kesultanan di Tanah Jawa. Sleman - Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Soedjipto Abimanyu. 2017. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana.

Sri Wintala Achmad. 2019. Hitam Putih Kekuasaan Raja-Raja Jawa: Intrik, Konspirasi Perebutan Harta, Tahta dan Wanita. Bantul-Yogyakarta: Araska.

Sugiarta Sriwibawa. 1976. Babad Tanah Jawa. Jilid I. Jakarta: Pustaka Jawa.

W.L. Olthof. 2019. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Runtuhnya Mataram. Yogyakarta: Narasi.


2. Internet

https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/08/110000479/letak-kerajaan-pajang#google_vignette


-------------------------------

1) Letak Keraton atau Istana Pajang diperkirakan berada di daerah yang kini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta (atau yang dikenal sebagai Kota Solo), dan Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

2) Beberapa penulis ada yang tidak konsisten dalam menempatkan kronologi kejadian, sehingga tahun kematian Sultan Pajang ini menjadi rancu.

Pertama, Soedjipto Abimanyu. Dalam bukunya berjudul Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli, ia mengatakan bahwa kematian Sultan Adiwijaya terjadi pada 1582 (Soedjipto Abimanyu, 2017:348), tapi di halaman lain, ketika membicarakan peristiwa-peristiwa penting sejarah Mataram, ia mengatakan, "1587, Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat" (Soedjipto Abimanyu, 2017:404). Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal pada 1582 dapat melakukan penyerangan pada 1587?

Kedua, Peri Mardiyono. Dalam bukunya berjudul Tuah Bumi Mataram, dari Panembahan Senapati hingga Amangkurat II, ia mengatakan, "Karena sakitnya yang semakin parah, maka Sultan Hadiwijaya mangkat, sekitar tahun 1582" (Peri Mardiyono, 2020:87). Pada halaman lain ia mengatakan, "Namun sebelum menikmati atau menyaksikan Mataram sebagai sebuah kerajaan, pada tahun 1584, Ki Ageng Pemanahan sakit lalu meninggal dunia" (Peri Mardiyono, 2020:40). Padahal, Babad Tanah Jawi jelas-jelas menyebutkan bahwa Ki Ageng Pemanahan (yang kemudian disebut Ki Ageng Mataram) telah meninggal dunia sebelum Sultan Adiwijaya (Hadiwijaya) meninggal, bukan sebaliknya seperti disebutkan oleh Peri Mardiyono.

3) Berdasarkan uraian di atas, kita tahu bahwa kekalahan Arya Pangiri oleh Pangeran Benawa yang dibantu Senapati, terjadi pada tahun 1588. Pada tahun itu juga, Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai raja di Pajang, sementara Senapati memproklamasikan diri sebagai raja Mataram. Dengan demikian, yang disebutkan oleh Soedjipto Abimanyu bahwa tahun 1587 sebagai tahun kematian Pangeran Benawa, kiranya terlalu dini. 

Tidak ada komentar :