Jumat, 22 Maret 2024

JEJAK KERAJAAN MATARAM : SEJAK MERAMBAH HUTAN, MASA KEJAYAAN, HINGGA RUNTUHNYA (1)

 

1. HADIAH TANAH MATARAM

 

 

Di Pulau Jawa, ada dua kerajaan yang sama-sama bernama Mataram. Yang pertama adalah Kerajaan Mataram yang bercorak Hindu. Hal ini kita ketahui dari sebuah prasasti berangka tahun 732 Masehi yang ditemukan di Desa Canggal, sebelah barat daya Magelang. Prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta yang indah itu menerangkan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Yang kedua adalah Kerajaan Mataram yang bercorak Islam. Ibukota kerajaan ini awalnya terletak di Kotagede, sekitar 6 kilometer di sebelah tenggara Kota Yogyakarta, namun kemudian pindah ke tempat lain.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Kerajaan Mataram Islam, yang untuk selanjutnya cukup disebut Mataram, didirikan oleh Panembahan Senapati, namun yang mula-mula membuka lahan untuk pemukiman di Mataram adalah ayahnya, Ki Ageng Pemanahan.

Kisahnya kita mulai sejak kematian Sultan Trenggana, raja Demak ketiga. Sepeninggal Sultan Trenggana pada 1546, Demak mengalami kekacauan dan kemunduran akibat terjadinya perebutan kekuasaan antarkeluarga.

Sultan Trenggana mula-mula digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Prawata. Namun Sunan Prawata tidak lama memegang tampuk kekuasaan, karena mati dibunuh oleh utusan Arya Penangsang, adipati Jipang, pada 1549. Pembunuhan terhadap Sunan Prawata disebabkan Arya Penangsang balas dendam atas kematian ayahnya, Pangeran Sekar Seda ing Lepen, yang dibunuh oleh utusan Sunan Prawata. 

Sesungguhnya Pangeran Sekar Seda ing Lepen (ayah Arya Penangsang) dan Sultan Trenggana (ayah Sunan Prawata) masih bersaudara, sama-sama putra Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak. Sepeninggal Raden Patah, yang menjadi raja di Demak adalah Pati Unus. Babad Tanah Jawi versi Ng. Kertapradja (1925:31) menyebutkan:

Ing taun 1521 Pati Unus seda isih enem lan ora tinggal putra. Kang gumanti rayi let siji yaiku Raden Trenggana, jalaran rayine tumuli: Pangeran Sekar Seda Lepen, wis disedani putrane Raden Trenggana, kang aran Pangeran Mukmin.

(Pada tahun 1521 Pati Unus meninggal dunia dalam usia muda dan tidak memiliki anak. Yang menggantikan (kedudukannya sebagai raja adalah) adik selang satu, yaitu Raden Trenggana, sebab adik di bawahnya pas (tanpa selang), (yaitu) Pangeran Sekar Seda Lepen, sudah dibunuh oleh anak Raden Trenggana yang bernama Pangeran Mukmin [Sunan Prawata]).

Arya Penangsang yang merasa memiliki hak mewarisi tahta Demak, ingin menghabisi siapa saja yang dianggap menjadi penghalang bagi dirinya untuk menjadi raja. Selain membunuh Sunan Prawata, Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadirin, adipati Jepara. Pangeran Hadirin adalah suami Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawata. 

Masih ada satu orang lagi yang dianggap sebagai penghalang menuju tahta raja, yakni Adiwijaya di Pajang yang merupakan menantu Sultan Trenggana. Arya Penangsang telah berusaha melakukan pembunuhan terhadap Adiwijaya melalui utusannya, tapi tidak berhasil.

Sepeninggal Sultan Trenggana, seperti diberitakan Babad Tanah Jawi, Pajang kian terkenal. Wibawa Demak kalah dengan kewibawaan Pajang. Adiwijaya yang menjadi adipati di Pajang segera mengambil alih kekuasaan sepeninggal mertuanya dan terjadinya kekacauan di Demak. Ia memproklamasikan diri sebagai raja Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya. Kedudukannya sebagai sultan direstui oleh Sunan Giri, salah satu wali sanga, dan mendapatkan pengakuan dari adipati-adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Gambaran pengambilalihan kekuasaan seperti di atas, menurut H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:93), terlalu sederhana. Para penulis babad di Jawa Tengah pada abad ke-17 dan ke-18 cenderung membesar-besarkan kekuasaan raja-raja di Pajang dan Mataram. Penulis babad mengorbankan kedudukan daerah-daerah para raja yang mendahului mereka, yaitu kerajaan-kerajaan pesisir, seperti Jepara di bawah Ratu Kalinyamat yang kekuasaannya sangat besar di daerah sepanjang pantai utara sebelah barat sampai Banten.

Selain memiliki kekuasaan yang besar seperti dikatakan oleh H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Ratu Kalinyamat juga merupakan salah satu raja perempuan yang ditakuti bangsa Portugis. Keperkasaan Ratu Kalinyamat dapat dilihat dari armada perangnya yang diperbantukan kepada Raja Johor dan Aceh. 

Pada tahun 1550, berarti satu tahun setelah kematian Sunan Prawata, Raja Johor mengirimkan surat kepada Ratu Kalinyamat yang isinya mengajak kepada sang ratu untuk melakukan jihad terhadap orang-orang Portugis. Ratu Kalinyamat menjawab ajakan tersebut dengan mengirimkan 40 buah kapal yang berisi 4.000-5.000 orang prajurit untuk memenuhi permintaan Raja Johor guna membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa.

Meskipun mengalami kekalahan melawan Portugis, tapi semangat patriotisme Ratu Kalinyamat tak pernah pudar. Ketika Sultan Aceh mengajak untuk melakukan ekspedisi dan menyerang kembali bangsa Portugis  pada 1573, semangat Ratu Kalinyamat tetap menyala di dada. Sayangnya, armada yang dikirim terlambat datang, karena baru sampai Malaka pada Oktober 1574. Keterlambatan tersebut menguntungkan Portugis, sebab sebelum prajurit Jepara itu datang, Portugis telah berhasil memukul mundur pasukan Aceh. Saat itu Ratu Kalinyamat mengirim 300 buah kapal, 80 di antaranya merupakan kapal berukuran besar yang masing-masing berbobot 400 ton dengan awak kapal sebanyak 15.000 prajurit pilihan.

Walau terlambat datang, pasukan Jepara tetap melakukan perlawanan terhadap Portugis. Dalam pertempuran tersebut, 6 kapal Jepara yang berisi perbekalan berhasil direbut oleh pasukan Portugis sehingga prajurit Jepara semakin lemah dan memutuskan untuk pulang.

Sampai sekarang, di Malaka masih terdapat kompleks kuburan yang disebut sebagai Makam Tentara Jawa yang meninggal saat melawan Portugis.

Selain mengadakan ekspedisi ke Malaka, Ratu Kalinyamat juga pernah mengirim pasukan ke Ambon pada 1565.

Pengiriman prajurit ke Malaka dalam jumlah banyak menunjukkan bahwa Ratu Kalinyamat memiliki kekuasaan yang besar, walaupun prajuritnya mengalami kekalahan melawan Portugis. Tak mengherankan jika Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2023 menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2023 tanggal 6 November 2023, karena kegigihannya melawan penjajah.

Anehnya, Babad Tanah Jawi justru menggambarkan ketidakberdayaan Ratu Kalinyamat ketika suami dan kakaknya dihabisi nyawanya oleh Arya Penangsang. Hal ini tampak dari tindakannya yang meminta bantuan kepada Adiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang, bukan melawan sendiri dengan pasukannya yang tidak sedikit. Tidak mengherankan jika H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud menganggap penulis babad di Jawa Tengah pada abad ke-17 dan ke-18 cenderung membesar-besarkan kekuasaan raja-raja di Pajang dan Mataram, meskipun Jepara juga memiliki kekuasaan yang besar.

Masih menurut Babad Tanah Jawi, sewaktu dimintai bantuan oleh Ratu Kalinyamat untuk membunuh Arya Penangsang, Sultan Pajang tidak mau berhadapan langsung dengan lawannya. Alasannya, selain karena masih kerabat, juga sama-sama saudara seperguruan, yakni sama-sama murid Sunan Kudus. Oleh karena itu, Sultan Adiwijaya lalu membuat sayembara, barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang, maka akan diberi hadiah tanah Pati dan Mataram. 

Ki Ageng Pemanahan1) dan Ki Penjawi menyanggupi sayembara yang diumumkan oleh Sultan Pajang. Dengan membawa 200 orang kerabatnya, mereka berangkat menuju ke Jipang2), tempat Arya Penangsang sebagai adipati di sana. Babad Tanah Jawi versi W.L. Olthof (2017:70-73) menggambarkan jalannya peperangan antara Pajang dan Jipang seperti di bawah ini.

Setelah pasukan sampai di sebelah barat bengawan, Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani dengan sangat hati-hati pergi tanpa pasukan. Mereka menuju padang rumput untuk mencari pencari rumput yang agak terpencil. Didekatilah pencari rumput tadi, dan ditanya oleh Ki Ageng Pemanahan.

"Kamu pencari rumput dari mana?"

"Saya tukang memelihara kuda Adipati Jipang. Saya yang bertugas mencarikan rumput untuk kuda milik Adipati Jipang yang bernama Gagak Rimang".

Mendengar jawaban seperti itu, Ki Penjawi langsung menubruk pencari rumput tadi sampai tak berkutik. 

"Saudara, saya minta telingamu sebelah ya?", Ki Ageng Pemanahan berkata sambil tersenyum. Sementara pencari rumput masih berada dalam dekapan Ki Penjawi.

"Ah, kalau seperti ini, bukan berkelahi namanya. Masa telinga mau kau minta. Lebih baik ambil saja keranjang dan sabitku, pasti kuberikan", jawab pencari rumput.

"Jika tidak boleh saya minta, saya beli telingamu. Berapa harganya?", Ki Ageng Pemanahan kembali bertanya.

"Meskipun kau beli, saya tidak boleh. Saya tidak butuh uang. Mana ada orang menjual telinga!"

"Kalau begitu, kau pilih mana: telingamu kau jual, atau kau kutikam?"

Abdi pencari rumput tak punya pilihan lain. Akhirnya ia menyerahkan telinganya kepada orang tak dikenal itu. Ki Ageng Pemanahan memberikan uang lima belas reyal, lalu memotong telinga abdi pencari rumput. Hanya sebelah. Telinga yang sebelah lagi digantungi surat tantangan, supaya disampaikan kepada Adipati Jipang.

Sambil menahan rasa sakit, abdi pencari rumput tadi lari ke sebelah timur bengawan. Setibanya di pesanggrahan, abdi pencari rumput menerobos sela-sela para abdi yang sedang menghadap Adipati Jipang. Patih Mataun terkejut melihat abdi pencari rumput berlumuran darah. Telinga abdi pencari rumput itu hilang sebelah, dan telinga yang sebelahnya lagi ada surat. Patih Mataun berusaha mencegah abdi pencari rumput yang ingin menghadap langsung Adipati Jipang yang sedang makan. 

Mendengar ada kegaduhan di luar, Adipati Jipang menanyakan apa yang terjadi kepada Patih Mataun. Patih Mataun berusaha menyabarkan junjungannya, agar menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Belum sampai Ki Mataun melaporkan peristiwa yang terjadi, abdi pencari rumput itu berhasil lepas dari pegangan orang-orang dan menghadap langsung Adipati Jipang. Arya Penangsang, sang adipati Jipang itu terkejut melihat abdi pencari rumput berlumuran darah. 

Sambil menyembah, Patih Mataun berkata kepada Arya Penangsang, "Inilah yang menyebabkan kegaduhan di luar, gusti adipati. Abdi pencari rumput ada yang memotong telinganya sebelah, dan telinga satunya lagi digantungi surat".

Surat diambil, lalu diserahkan kepada Adipati Jipang. Surat atas nama Sultan Pajang yang berisi tantangan perang itu dibaca oleh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi memang sengaja memakai nama Sultan Pajang dalam surat tantangannya. Seketika darah Adipati Jipang itu mendidih. Ia sangat marah. Piring di hadapannya dibanting, pecah menjadi dua.

Arya Penangsang segera mengenakan pakaian perang, dan memerintahkan kepada Patih Mataun untuk menyiapkan kudanya, Gagak Rimang. Setelah kuda siap, Arya Penangsang segera naik ke atas punggung Gagak Rimang. Patih Mataun berusaha mencegahnya, agar menunggu prajurit disiapkan untuk mengiringinya. Namun Arya Penangsang tidak menggubris omongan Patih Mataun. Gagak Rimang segera dipacu menuju bengawan seperti yang disebutkan dalam surat, tempat musuhnya menunggu. Ia sendirian, tanpa prajurit.

Ada cerita orang tempo dulu, bila mereka berperang, pantang untuk menyeberang bengawan terlebih dahulu, karena yang mendahului menyeberang akan kalah.

Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Martani, Danang Sutawijaya, dan prajurit lainnya telah bersiap-siaga di sebelah barat Bengawan Sore. Ketika mereka melihat Arya Penangsang datang, senanglah hatinya.

"Hai orang-orang Pajang! Siapa yang mengirimkan surat tantangan tadi. Menyeberanglah ke timur bengawan, akan kuhadapi kalian. Kerubutlah aku, maka akan kulawan meskipun harus berhadapan dengan suluruh prajuritmu".

"Junjunganku Sultan Pajang yang telah mengirimkan surat tantangan kepadamu. Jika kau memang pemberani, menyeberanglah ke barat, akan kuhadapi satu lawan satu".

Darah Arya Penangsang kembali mendidih ketika mendengar tantangan orang-orang dari Pajang. Dihentak dan dicambuknya Gagak Rimang agar menyeberangi bengawan. Ketika Gagak Rimang sudah sampai di bibir bengawan, Arya Penangsang dihujani senjata oleh para utusan Pajang. Kuda dicambuk oleh Arya Penangsang, melompat ke darat dan menerjang barisan Pajang. Arya Penangsang mengamuk. Banyak prajurit yang luka dan tewas akibat amukan Adipati Jipang.

"Di mana Karebet3), yang katanya berani menandingi perang denganku. Mengapa tidak kelihatan?", teriak Arya Penangsang sambil terus mencari Sultan Adiwijaya, meskipun yang dicari tidak ada di tempat tersebut.

Orang-orang Pajang terus menghujani Arya Penangsang dengan tombak, dari kanan, kiri, muka, dan belakang. Arya Penangsang terluka lambung kanannya. Ususnya terburai. Usus yang keluar dari dalam perut itu disampirkan ke ukiran keris. Amukan Arya Penangsang semakin membuat pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi banyak yang luka dan menemui ajal.  

Danang Sutawijaya yang masih muda, maju berhadap-hadapan dengan Arya Penangsang. Pada pertempuran tersebut, Danang Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang dengan menggunakan tombak Kyai Plered. 

Meskipun yang berhasil membunuh Arya Penangsang adalah Danang Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, tapi karena ia telah dijadikan anak angkat oleh Sultan Adiwijaya, maka yang dilaporkan dapat membunuh Arya Penangsang kepada Sultan Adiwijaya adalah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Hal ini disebabkan, jika yang dilaporkan sesuai kenyataan, dikhawatirkan Danang Sutawijaya hanya akan diberi hadiah pakaian yang indah-indah, karena ia telah diakui sebagai anak oleh Sultan Adiwijaya. 

Sultan Adiwijaya mempersilakan Ki Ageng Pemanahan untuk memilih terlebih dahulu hadiah yang dijanjikan. Ki Ageng Pemanahan yang merasa dirinya lebih tua, mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan, sedangkan Pati yang sudah ramai, untuk Ki Penjawi yang lebih muda. Ki Penjawi setuju, Sultan Adiwijaya pun merestui keputusan mereka atas pemilihan hadiah yang menjadi haknya. 

 

Ilustrasi hutan

(Sumber gambar: https://jogja.tribunnews.com/2023/10/01/mengenal-10-hutan-paling-bebahaya-di-dunia?page=all apa-perbedaan-forest-dan-jungle.html)

 

Berbeda dengan Babad Tanah Jawi, Babad Pasundan justru menyebut Ki Penjawi menerima daerah Pati sebagai hadiah dikarenakan jasa Ki Penjawi yang memang lebih besar daripada jasa Ki Ageng Pemanahan.

Apabila hadiah tanah Pati diserahkan kepada Ki Penjawi saat itu juga, maka tidak demikian dengan hadiah tanah Mataram. Hadiah untuk Ki Ageng Pemanahan tersebut justru mengalami penundaan. Hal ini membuat Ki Ageng Pemanahan kecewa, sehingga ia pergi ke Kembang Lampir dan bertapa di sana. 

Suatu ketika Sunan Kalijaga berkunjung ke Kembang Lampir dan bertemu dengan Ki Ageng Pemanahan. Setelah berbincang-bincang, akhirnya Sunan Kalijaga mengetahui penyebab Ki Ageng Pemanahan berada di tempat tersebut.

Sunan Kalijaga kemudian mengajak Ki Ageng Pemanahan untuk menghadap Sultan Adiwijaya. Guru spiritual Sultan Adiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan itu meminta kepada Sultan Pajang agar menepati janji, yakni menyerahkan tanah Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan, karena raja adalah teladan bagi rakyatnya. Sultan Pajang berusaha mencari-cari dalih. Awalnya Sultan Pajang mengatakan bahwa ia belum memberikan tanah Mataram karena akan memilihkan daerah yang lebih bagus untuk Ki Ageng Pemanahan. Namun akhirnya ia mengakui bahwa penyebab sebenarnya dari penundaan pemberian hadiah tanah Mataram dikarenakan pikirannya terganggu oleh ramalan Sunan Giri yang menyebutkan kelak di Mataram akan timbul seorang raja yang sama besarnya dengan Pajang. 

Setelah mengetahui penyebab  ditundanya pemberian hadiah tanah Mataram, Sunan Kalijaga lalu meminta kepada Ki Ageng Pemanahan untuk bersumpah setia kepada Sultan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan pun mengucapkan sumpah setia: jika ia memiliki niat untuk menjadi raja di Mataram, atau berkeinginan memberontak kepada Sultan Pajang, semoga tidak selamat. Entahlah di kemudian hari, (maksudnya setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal), karena siapa yang tahu kehendak Tuhan?  

Sesudah mengangkat sumpah setia di hadapan Sultan Adiwijaya yang disaksikan oleh Sunan Kalijaga, barulah tanah Mataram diserahkan kepada Ki Ageng Pemanahan. 

Bersama sanak-saudaranya, Ki Ageng Pemanahan kemudian pindah ke Mataram. Dengan meminta izin Sultan Adiwijaya, Danang Sutawijaya yang telah dijadikan anak angkat oleh Sultan Pajang itupun diajak pindah ke Mataram. 

Dalam perjalanan menuju Mataram, Ki Ageng Pemanahan dan rombongan beristirahat di Desa Taji, sebelah timur Prambanan. Kepindahan Ki Ageng Pemanahan telah didengar oleh Ki Ageng Karang Lo. Ia dan istrinya berangkat menuju Taji untuk menjemput Ki Ageng Pemanahan dan menjamu makan. Ki Ageng Pemanahan mengucapkan terima kasih kepada Ki Ageng Karang Lo dan istri atas jamuannya. Ki Ageng Pemanahan meneruskan perjalanan dan Ki Ageng Karang Lo mengantar sampai ke Mataram.

Di Mataram, tanah yang berupa hutan Mentaok itu dirambah, lalu dijadikan area pemukiman oleh Ki Ageng Pemanahan dan sanak-saudaranya. Kian lama Mataram semakin ramai. Panggilan untuk Ki Ageng Pemanahan pun berubah menjadi Ki Ageng Mataram, sesuai nama tempat tinggalnya yang baru.

 

 

Daftar Pustaka

 

1. Buku 

A. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Djoko Soekiman. 1982/1983. Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

F. Taufiq El Jauquene. 2020. Demak Bintoro, Kerajaan Islam Pertama dari Kejayaan Hingga Keruntuhan. Bantul -Yogyakarta: Araska.

H.J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

Mulyono Atmosiswartoputra. 2018. Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia).

Ng. Kertapradja. 1925. Serat Babad Tanah Jawi. Muntilan: Tanpa Nama Penerbit.

Purwadi dan Maharsi. 2005. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.

R. Soekmono. 1987. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 3. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Kanisius.

R. Soekmono. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 2. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kanisius.

Sabyan Badio. 2012. Menelusuri Kesultanan di Tanah Jawa. Sleman - Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Soedjipto Abimanyu. 2017. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana.

Sugiarta Sriwibawa. 1976. Babad Tanah Jawa. Jilid I. Jakarta: Pustaka Jaya.

W.L. Olthof. 2019. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Runtuhnya Mataram. Yogyakarta: Narasi.


2. Internet

https://setkab.go.id/presiden-jokowi-anugerahkan-gelar-pahlawan-nasional-kepada-enam-tokoh/

ttps://www.blorakab.go.id/index.php/public/pariwisata/detail/43/petilasan-kadipaten-jipang#:


-----------------

1) Ki Ageng Pemanahan atau biasa disebut juga Kyai Gede Pemanahan adalah anak Ki Ageng Ngenis, cucu Ki Ageng Sela. Ia disebut dengan nama Ki Ageng Pemanahan karena bertempat tinggal di Desa Manahan, beberapa kilometer dari istana Pajang. Sekarang Manahan merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Banjasari, Kota Surakarta.  

2) Bekas Kadipaten Jipang berada di Desa Jipang, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Dari Blora kira-kira 45 km. ke arah tenggara. Letak Jipang persis di pinggir Bengawan Solo, sehingga Jipang di samping sebagai pusat pemerintahan, juga sebagai bandar perdagangan yang memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi.

3) Karebet atau Mas Karebet adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya, Ki Kebo Kenanga alias Ki Ageng Pengging. Dinamakan Karebet, karena ketika dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber, yakni wayang yang materi pokoknya berupa gulungan kain bergambar adegan adalam dunia pewayangan yang disebut dengan istilah krebet. Yang bertindak sebagai dalang pada waktu itu adalah Ki Ageng Tingkir. Setelah ayahnya meninggal, Karebet yang masih kecil itu diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir. Setelah tumbuh dewasa, Karebet kemudian dipanggil dengan sebutan Jaka Tingkir. Artinya jejaka dari Tingkir. Setelah mengabdi di Demak dan akhirnya menjadi adipati di Pajang, ia bergelar Adiwijaya. Setelah Demak runtuh, Adipati Pajang ini kemudian naik tahta menjadi raja Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya. 

Tidak ada komentar :