Sejak bangsa asing menancapkan kuku kekuasaannya di bumi Nusantara, maka sejak itu pula bangsa Indonesia melakukan perlawanan. Kalau yang diduduki adalah sebuah kerajaan atau daerah, maka rakyat di situ melakukan perlawanan. Yang menjadi penggerak perlawanan bisa berasal dari raja, bangsawan, ulama, atau rakyat.
Sayangnya, corak perlawanan yang dilakukan bangsa Indonesia terhadap bangsa asing yang ingin menguasai wilayah tersebut bersifat sporadis. Mereka melakukan perlawanan secara terpisah antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Bila suatu daerah mengadakan perlawanan, maka daerah lain tidak membantu. Di Banten misalnya, rakyat pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda sebanyak empat kali, tapi mereka berjalan sendiri-sendiri.
Pertama, pada 12 November 1926 komunis melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bahkan perlawanan tersebut terjadi secara sporadis juga di beberapa kota di Jawa dan Sumatera, sehingga Belanda dapat mematahkannya.
Kedua, perlawanan Nyimas Gamparan yang menolak sistem Tanam Paksa. Perlawanan yang dilakukan sejak 1829 hingga 1830-an itu akhirnya berhasil dipadamkan oleh Karta Natanegara, seorang demang di Jasinga. Saat ini Jasinga merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor.
Ketiga, perlawanan Haji Wakhia, seorang kaya dari Gudang Batu, Serang. Ia kerap melawan pemerintah kolonial Belanda. Setelah melaksanakan ibadah haji pada tahun 1847, dia kembali melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pertempuran terakhir terjadi pada 3 Mei 1854. Bersama Tubagus Iskak, ia berhasil lolos dari penangkapan, namun akhirnya ia berhasil ditangkap dan dihukum mati pada 1856.
Keempat, pemberontakan petani di Cilegon, Banten, yang dipimpin oleh Haji Wasid. Perlawanan ini didorong oleh kondisi rakyat yang semakin sulit karena tingginya beban pajak, kelaparan akibat gagal panen (imbas dari meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883), dan keinginan untuk mendirikan kembali Kesultanan Banten yang telah dihancurkan oleh Belanda. Pemberontakan selama 22 hari (mulai tanggal 9 dan berakhir tanggal 30 Juli 1888) itu menewaskan 17 orang dan 7 orang luka-luka di pihak Belanda, sedang di pihak Banten yang tewas sebanyak 30 orang, 11 di antaranya dihukum gantung, 94 lainnya dibuang ke berbagai daerah di Hindia Belanda.
Cara perlawanan seperti tersebut tentu membuat Belanda lebih mudah mematahkannya, karena selain bangsa kita kalah dalam hal persenjataan, juga bangsa asing itu menggunakan politik devide et impera atau mengadu domba kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dengan tujuan untuk menguasainya.
Berhasil dipadamkannya perlawanan Nyimas Gamparan juga karena menggunanakan politik devide et impera. Dikarenakan Belanda tidak dapat mematahkan sendiri perlawanan Nyimas Gamparan dan pasukan perempuannya, maka Belanda meminta bantuan Karta Natanegara, seorang demang di Jasinga, dengan iming-iming akan diberi kedudukan sebagai bupati jika berhasil mengalahkan Nyimas Gamparan. Tertarik dengan iming-iming Belanda, Karta Natanegara bersedia melawan bangsanya sendiri daripada membantu Nyimas Gamparan melawan Belanda yang justru menjajah bangsa sendiri. Nyimas Gamparan berhasil ditangkap oleh Karta Natanegara, sedang sebagian bala tentaranya berhasil melarikan diri. Atas jasanya itu, Belanda memberikan kedudukan sebagai Bupati Lebak kepada Karta Natanegara, menggantikan Raden Adipati Jamil atau Pangeran Sanjaya.
Politik devide et impera dijalankan oleh bangsa Belanda sejak zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai 1602-1799 hingga zaman pemerintahan kolonial Belanda (1800-1942).
Gerakan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda terjadi sepanjang abad ke-19 Masehi. Menurut Suwarno dalam bukunya berjudul Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional, bentuk-bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda sepanjang abad XIX Masehi dapat dipilah dalam tiga kategori, yakni: (1) gerakan Nativisme, (2) gerakan Messianisme, dan (3) gerakan Revivalisme.
Gerakan Nativisme merupakan gerakan yang bertujuan untuk membangun kembali pranata sosial yang sudah ada sebelumnya, karena mengalami perubahan akibat dari kolonialisme Belanda. Ada yang menyebut gerakan Nativisme sebagai gerakan Tradisionalisme, karena keinginan untuk menghidupkan kembali tradisi lama. Contoh gerakan ini adalah gerakan perlawanan yang dilakukan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura (1817).
Gerakan Messianisme lebih dipengaruhi oleh ideologi keagamaan. Gerakan ini biasanya sangat bertumpu pada figur pemimpin yang dipandang mampu menyelamatkan rakyat pribumi akibat dari kolonialisme Belanda. Gerakan Messianisme kerap dijuluki sebagai gerakan Ratu Adil. Hal ini disebabkan pemimpin gerakan tersebut diyakini akan dapat memberikan keadilan, keamanan, dan kemakmuran kepada rakyat pribumi. Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830) di Pulau Jawa merupakan contoh nyata gerakan Messianisme
Gerakan Revivalisme merupakan gerakan yang mencerminkan kebangkitan dalam konteks agama (Islam). Gerakan ini bertujuan untuk membangkitkan kembali aspek agama yang dianggap kurang memberikan pengaruh terhadap rakyat pribumi akibat dari kolonialisme Belanda. Gerakan ini disebut juga gerakan Pra-Modernisme. Contoh dari gerakan ini adalah gerakan kaum Paderi di Minangkabau yang sangat dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi yang ingin melakukan upaya pemurnian (purification) pengamalan ajaran Islam, seperti kultus atau pemujaan yang terlalu berlebihan terhadap para wali atau ulama, di mana hal itu dipandang telah menjurus pada syirik (menyekutukan Allah).
Melihat fakta bahwa perlawanan dengan menggunakan senjata tidak membuahkan hasil untuk membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka pada awal abad XX masyarakat pribumi terpelajar berusaha untuk menghindari perlawanan semacam itu. Penjajahan Belanda tidak lagi dilawan dengan kekuatan senjata, tapi dengan kekuatan politik.
Saat itu, orang-orang terpelajar mulai mendirikan organisasi. Mula-mula organisasi yang didirikan adalah Budi Utomo. Ceritanya bermula ketika sejumlah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sebuah lembaga pendidikan kedokteran untuk bumiputera, di Veltevreden (sekarang Jakarta Pusat), pada 20 Mei 1908 sepakat untuk mendirikan suatu perhimpunan atau organisasi orang-orang Jawa dengan nama Budi Utomo. Para mahasiswa yang mendirikan Budi Utomo adalah Sutomo, Suraji, Gunawan Mangunkusumo, Suwarno, Gumbreg, Mohammad Saleh, dan Suleman.
Meskipun yang mendirikan Budi Utomo adalah ketujuh mahasiswa tersebut, namun berdirinya Budi Utomo tidak dapat dilepaskan dari peran dokter Wahidin Sudirohusodo. Dialah yang mula-mula memiliki cita-cita ingin mengangkat derajat bangsanya agar hidup layak. Dengan mata kepala sendiri ia melihat keadaan bangsanya yang miskin dan terbelakang. Ini bertolak belakang dengan bangsa Barat yang begitu maju. Untuk itu, ia ingin bangsanya memiliki ilmu dan teknik Barat agar dapat mencapai derajat yang sama dengan bangsa Barat.
Ketika gagasan tersebut disampaikan oleh dokter Wahidin Sudirohusodo kepada kaum tua pegawai pemerintah di beberapa tempat di Jawa yang dikunjunginya, mereka belum dapat menerima gagasan tersebut, karena masih berjiwa konservatif (bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku). Dokter Wahidin Sudirohusodo akhirnya mendekati kaum muda. Gagasannya diterima oleh kaum muda terpelajar, hingga akhirnya lahirlah Budi Utomo.
Kelahiran Budi Utomo ini dijadikan sebagai pijakan awal sejarah pertama kali lahirnya kebangkitan nasional Indonesia sebagai bangsa modern. Sejak itu, orang-orang terpelajar turut mendirikan organisasi di daerah, seperti: Jong Ambon, Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera, dan Jong Minahasa.
Di samping itu, sejak berdirinya Budi Utomo, berdiri juga organisasi-organisasi lain seperti: Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan beberapa oganisasi lain.
Indische Partij
Selain organisasi-organisasi yang disebutkan di atas, pada tahun 1912 berdiri pula sebuah organisasi yang didirikan oleh E.F.E. Douwes Dekker. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat yang dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Namanya Indische Partij.
Meskipun yang mendirikan Indische Partij tiga orang, namun yang mula-mula memiliki insiatif adalah E.F.E. Douwes Dekker. Seperti dikatakan oleh Purwanto Setiadi dkk. dalam bukunya berjudul Douwes Dekker, Sang Inspirator Revolusi, pada 6 September 1912, bersama para tokoh Insulinde, E.F.E. Douwes Dekker membentuk Indische Partij. Yang dimaksud dengan Insulinde, menurut A.K. Pringgodigdo, adalah sebuah perkumpulan yang didirikan di Bandung pada 1907 sebagai reaksi terhadap paham kolot dari Indische Bond (organisasi sosial ekonomi untuk kepentingan peranakan) yang didirikan pada 1898 oleh peranakan dan totok. Insulinde diperuntukkan bagi bangsa Eropa yang lahir di Indonesia (terutama peranakan) dan bangsa Eropa yang berkeinginan tinggal di sini terus. Namun dalam praktiknya merupakan perkumpulan peranakan untuk kepentingan sendiri.
Sebagai orang Indo, E.F.E. Douwes Dekker yang memiliki insiatif mendirikan Indische Partij yang salah satu tujuannya adalah memperjuangkan kemerdekaan Hindia Belanda, sebutan untuk Indonesia saat dijajah oleh Belanda, merasa perlu bekerja sama dengan bumiputera agar kedudukan organisasinya semakin kuat, sebab jumlah orang Indo sangat sedikit.
Setelah membentuk Indische Partij, dari tanggal 15 September - 3 Oktober 1912 E.F.E. Douwes Dekker berpropaganda ke Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Yogyakarta, Semarang, Madiun, dan Surabaya. Indische Partij membuka 30 cabang dengan jumlah anggota 7.300 orang.
Mendengar E.F.E. Douwes Dekker berkeliling Jawa melakukan propaganda Indische Partij, Cipto Mangunkusumo tertarik menjumpainya. Cipto Mangunkusumo sengaja jauh-jauh datang dari Malang ke Surabaya untuk bertemu dengan E.F.E. Douwes Dekker. Dalam pertemuan itulah Cipto Mangunkusumo menyatakan kesediaannya berpindah ke Bandung, demi membesarkan Indische Partij.
Sementara tentang Suwardi Suryaningrat, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana disebutkan oleh Upik Dyah Eka Novianti dalam buku Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, sewaktu di Yogyakarta, ia mulai gila menulis dan mengirimkan artikel-artikelnya ke beberapa surat kabar dan majalah. Di antara surat kabar dan majalah tersebut adalah Soerjatomo, Sedio Tomo, Miden Java, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer, Pusara, Kaoem Moeda, dan De Expres. Di era selanjutnya, ia aktif juga menulis untuk surat kabar Het Volk, De Nieuowe Groene, De Indier, Hindia Poetra, Pemimpin, Soeara PBI, dan masih banyak lagi.
Koran De Expres
(Sumber gambar: https://mooibandoeng.com/2016/02/01/tiga-serangkai-di-kota-bandung/)
Tulisan-tulisan Suwardi Suryaningrat yang tangkas, menarik perhatian E.F.E. Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat nasionalis, pemimpin surat kabar De Expres. E.F.E. Douwes Dekker mengajak Suwardi Suryaningrat pindah ke Bandung untuk ikut mengelola De Expres. Tahun 1912, pindahlah Suwardi Suryaningrat ke Bandung dan masuk di jajaran Dewan Redaksi De Expres. Di Bandung, bertemu kembalilah Suwardi Suryaningrat dengan Cipto Mangunkusumo, teman waktu di STOVIA dan Budi Utomo, karena sama-sama diajak oleh E.F.E. Douwes Dekker. Inilah awal mula terbentuknya Tiga Serangkai.
Kembali ke propaganda Indische Partij. Menyadari kesuksesan propagandanya di berbagai daerah, E.F.E. Douwes Dekker kembali menggelar tour pada bulan Oktober - Desember 1912. Selain ke kota yang pernah dikunjungi, ia juga melebarkan jangkauan ke Jakarta, Kendal, Jombang, Solo, dan Serang. E.F.E. Douwes Dekker juga memanfaatkan De Express untuk mewartakan pandangan partai dan kegiatan yang hendak dilaksanakan. Puncak dari parade politik tersebut adalah rapat akbar yang digelar di Bandung pada 25 Desember 1912. Semua pemimpin cabang Indische Partij diundang. Delegasi yang paling jauh datang dari Aceh. Rapat dimulai pukul 21.00. Setelah memberikan sambutan, E.F.E. Douwes Dekker mengumumkam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Indische Partij. Tujuan utamanya adalah kemerdekaan Hindia Belanda. Peserta rapatpun bertepuk tangan. Setelah itu, ia mengumumkan pengurus partai.
Beberapa sumber mengatakan bahwa yang duduk sebagai Ketua Indische Partij adalah E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua, sedangkan sekretaris dipercayakan kepada Suwardi Suryaningrat (Putut S. Dewantara, 1983:47; Upik Dyah Eka Novianti, 2012:25). Namun Purwanto Setiadi dkk. (2017:21) menyebutkan bahwa sekretaris dipercayakan kepada Van Ham, sedangkan bendahara dipercayakan kepada Brunsveld van Hukten.
Keanggotaan Indische Partij tidak terbatas. Artinya, siapa saja yang merasa Hindia Belanda sebagai tanah airnya, maka ia bisa bergabung, baik dia bumiputera, peranakan Eropa (Indo), peranakan Tionghoa, Arab dan yang lain.
Berbeda dengan Budi Utomo yang pergerakannya di bidang kebudayaan, Indische Partij sejak berdirinya bersifat keras dan langsung bergerak di bidang politik. Insdische Partij merupakan partai politik pertama di Indonesia yang lahir saat negeri tercinta ini belum merdeka.
Belum genap tiga bulan sejak rapat akbar Indische Partij pada 25 Desember 1912, Tiga Serangkai mendatangi istana gubernur di Buitenzorg (sekarang bernama Bogor). Tujuannya untuk bertemu dengan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg guna menanyakan status hukum organisasi politik yang mereka dirikan. Pertemuan yang berlangsung pada 13 Maret 1913 itu memang atas permintaan mereka bertiga. Langkah ini diambil karena sebelumnya Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg telah dua kali menolak memberikan status hukum bagi Indische Partij. Pemerintah Hindia Belanda was-was partai politik akan menimbulkam ancaman keamanan. Itulah sebabnya E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat ingin bertemu langsung dengan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg.
Meskipun Tiga Serangkai telah menghadap langsung, namun Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg tetap pada pendiriannya, yakni menolak memberikan status hukum bagi Indische Partij. Sikap Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg yang keras membuat E.F.E. Douwes Dekker kesal.
"Apakah mungkin, Kerajaan Nederland kelak memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahan?", kata E.F.E. Douwes Dekker bersungut-sungut.
Wajah Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg langsung memerah begitu mendengar ucapan E.F.E. Douwes Dekker/
"Perkara itu bukan jadi soal", jawan Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg.
Kekhawatiran Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg terhadap Indische Partij beralasan. Belanda khawatir jika Indische Partij berbadan hukum, maka organisasi yang bergerak di bidang politik ini akan lebih bebas dalam pergerakannya. Padahal, jelas-jelas tujuan utama organisasi ini adalah kemerdekaan Hindia Belanda, sesuatu yang tentu saja tidak diinginkan oleh Belanda. Apalagi melihat kenyataan bahwa dalam tempo singkat, Indische Partij menjadi populer dan memperoleh banyak anggota, tentu hal ini ke depannya dianggap membahayakan.
Menurut Purwanto Setiadi dkk., selesai pertemuan, Indische Partij dianggap partai terlarang. “Organisasi itu dinyatakan terlarang sebelum berkembang dan menyuarakan aspirasinya”, kata Kees van Dijk, peneliti KITLV di Leiden, Belanda.
Sesungguhnya pada bulan tersebut, Indische Partij akan menggelar kongres pertama di Semanang. Oleh karena gagal mengantongi izin badan hukum yang menyebabkan geraknya menjadi tidak leluasa, maka persamuhan tersebut akhirnya bersembunyi di balik nama Insulinde. Kebetulan E.F.E. Douwes Dekker adalah Ketua Insulinde. Yang menjadi pembicara pada pertemuan yang diadakan pada 21-23 Maret 1913 dan dihadiri sekitar 1.000 orang itu, selain E.F.E. Douwes Dekker, juga Cipto Mangunkusumo. Isi pidato Cipto Mangunkusumo yang menjadi pembicara utama adalah tentang bangsa, sejarah, dan filsafat Jawa.
Sayang, kongres berakhir antiklimaks. Dengan menimbang keselamatan para anggotanya, akhirnya E.F.E. Douwes Dekker membubarkan organisasi yang dirintisnya, dan semua anggotanya diminta bernaung di bawah Insulinde, karena organisasi inilah yang diizinkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pengumuman pembubaran Indische Partij diberitakan pada 31 Maret 1913.
Baik E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, maupun Suwardi Suryaningrat memang terkenal sebagai orang yang sangat berani. Tulisan-tulisan mereka sangat tajam dan tak segan-segan mengecam pemerintah kolonial Belanda. Tulisan mereka yang sangat terkenal dan membuat Belanda ketakutan, terjadi saat pemerintah kolonial Belanda berencana akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke-100 setelah terbebas dari penjajahan Perancis. Rencana itu dipersiapkan sejak Januari 1913, sedangkan perayaannya akan dilaksanakan pada bulan November 1913.
Ironisnya, rakyat Hindia Belanda yang dijajah justru diwajibkan mendukung rangkaian acara perayaan hari kemerdekaan Belanda sebagai bangsa yang menjajah dengan dikenakan pungutan sebagai bentuk penggalangan dana. Pungutan wajib ini terkoordinasi melalui pemerintahan di daerah-daerah. Itulah sebabnya Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat pada awal Juli 1913 mendirikan sebuah komite yang bertujuan untuk menggugat perayaan tersebut. Komite yang didirikan di Bandung itu diberi nama yang ironis, yakni Indlandsch Commitet tot Herdenking van Nederlands Handerdjarige Vrijheid (Komisi Bumiputera untuk Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda) yang disingkat Komite Bumiputera.
Yang menjadi pengurus Komite Bumiputera adalah Cipto Mangunkusumo sebagai ketua, Suwardi Suryaningrat sebagai sekretaris, sedangkan Abdul Muis dan Wignyadisastra duduk sebagai komisaris. E.F.E. Douwes Dekker tidak ikut mendirikan komite tersebut, sebab saat itu ia sedang berkampanye di negeri Belanda. Ia berangkat ke negeri Belanda pada April 1913, beberapa waktu setelah Indische Partij dibubarkan.
Komite Bumiputera mempergunakan kesempatan semaksimal mungkin agar dapat menarik perhatian umum, terutama untuk melontarkan kritik yang tercetus dari hati rakyat terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Pada kesempatan tersebut, Suwardi Suryaningrat secara terang-terangan menulis kritik satire dan sarkas untuk pemerintah kolonial Belanda dengan berjudul “Als ik eens Nederlander Was” (Seandainya Saya Seorang Belanda).
Kutipan di bawah ini menunjukkan betapa Suwardi Suryaningrat tak gentar untuk mengecam rencana pemerintah kolonial Belanda.
“Seandainya saya orang Belanda, tidak akan saya adakan pesta peringatan kemerdekaan di suatu negeri yang rakyatnya telah kita rampas kemerdekaannya. Berikan dahulu rakyat yang tertindas kemerdekaan, baru sesudah itu kita memperingati kemerdekaan kita sendiri”.
Tulisan Suwardi Suryaningrat membuat Belanda ketakutan. Didatangilah kantornya, lalu seluruh brosur tulisan Suwardi Suryaningrat itu disita. Menyusullah Cipto Mangunkusumo yang mengkritik Belanda melalui tulisannya yang berjudul “Kekuatan atau Ketakutan?” yang dimuat di surat kabar De Expres edisi 26 Juli 1913.
Berikut kutipan bebas tulisan Cipto Mangunkusumo yang dikutip dari buku Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia karya Upik Dyah Eka Novianti.
“Kemarin kami telah menerima kehormatan besar, pembantu Officier van Justitie (pembantu Jaksa Tinggi) telah datang ke kantor kami (di Bandung) untuk menyita seluruh brosur R.M. Soewardi Surjaningrat, sekretaris kami…… Apakah ini merupakan kekuatan yang hendak ditunjukkan melalui penyitaan tersebut? Apa rasa takut yang mendorong orang-orang itu untuk menghancurkan pengaruh kita? Bila benar demikian, maka penyitaan itu merupakan suatu kehormatan terhadap sekretaris kami. Di situ terbukti bahwa tulisan kritik yang pedas dan meracau R.M. Soewardi Surjaningrat tidak dapat diabaikan begitu saja. Bagi bangsa Belanda hal ini tentu tidak menggembirakan”.
Setelah Suwardi Suryaningrat yang disusul Cipto Mangunkusumo mengkritik Belanda, kini giliran E.F.E. Douwes Dekker melakukan pembelaan terhadap kedua kawannya. Dia menulis artikel dalam bahasa Belanda yang berjudul "Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat"(Pahlawan Kita: Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat).
Dikarenakan tulisan-tulisannya, baik Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, maupun E.F.E. Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda. Mereka dijatuhi hukuman buang. Pada mulanya, Tiga Serangkai dijatuhi hukuman buang ke tempat yang berbeda-beda. Suwardi Suryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Bangka, Cipto Mangkunkusumo dijatuhi hukuman buang ke Banda, sedangkan E.F.E Douwes Dekker dijatuhi hukuman buang ke Timor (Kupang). Namun ketiganya memilih dibuang ke luar negeri, dalam hal ini ke negeri Belanda. Pertimbangannya, jika dibuang di Hindia Belanda, maka mereka akan diperlakukan hukum kolonial yang kejam. Akan tetapi jika dibuang ke luar negeri, maka hukum yang diperlakukan adalah hukum internasional yang bersifat liberal dan demokratis, sehingga mereka masih dapat mempelajari masalah-masalah perjuangan di negara-negara lain.
Tiga Serangkai sebelum meninggalkan Bandung menuju pembuangan ke Belanda.
Dari kiri ke kanan: Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, dan E.F.E. Douwes Dekker
(Sumber gambar: https://mooibandoeng.com/2016/02/01/tiga-serangkai-di-kota-bandung/)
Meskipun umur Indische Partij sangat pendek, namun apa yang dicita-citakan telah tertanam di hati rakyat Indonesia.
Logo Indische Partij
Sebelum Indische Partij dibubarkan, organisasi ini selain telah menyusun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, juga telah memiliki logo organisasi. Logo Indische Partij bergambar dua tokoh wayang, Kresna di sebelah kanan dan Arjuna di sebelah kiri. Kresna dan Arjuna memegang sebuah tameng atau perisai lonjong bertuliskan semboyan “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Di atas tameng atau perisai, bertengger seekor burung garuda dengan dua bilah keris. Keris yang berliku sebagai peninggalan Majapahit, sedang keris yang lurus sebagai warisan Mataram. Pada bagian bawah terdapat tulisan “Indische Partij” sebagai penjelas bahwa logo tersebut milik organisasi yang bersangkutan.
Logo Indische Partij
(Sumber gambar: https://www.posbagus.com/tokoh/biografi-ernest-douwes-dekker/)
Siapa sesungguhnya Kresna dan Arjuna sehingga dipakai sebagai bagian logo Indische Partij? Sebagaimana kita ketahui, Kresna dan Arjuna adalah dua di antara banyak tokoh dalam epos Mahabarata. Dalam dunia pewayangan, Kresna selain terkenal luas wawasannya, juga dikenal sebagai orang yang bijaksana, berwibawa, adil, ahli strategi perang, dan diplomat ulung. Sementara Arjuna dianggap sebagai tokoh yang memiliki karakter mulia, berjiwa ksatria, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan.
Menurut Purwanto Setiadi dkk., dipakainya tokoh pewayangan Kresna dan Arjuna, karena pendiri Indische Partij terpengaruh Gerakan Teosofi. Kresna dan Arjuna adalah tokoh wayang yang paling sering digunakan oleh Gerakan Teosofi pada masa itu.
Semboyan “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” yang ditulis melingkar pada tameng atau perisai lonjong yang dipegang oleh Kresna dan Arjuna, mengandung maksud: segala sesuatu yang menjadi penghalang suatu tujuan, maka akan disingkirkan.
Seperti disebutkan dalam artikel berjudul “Mengulik Makna di Balik Logo Indische Partij: Apa Filosofinya?” yang diunggah di https://blog.garudahokii.com/, burung garuda yang menjadi bagian logo Indische Partij memiliki makna yang mendalam. Dalam mitologi Hindu, garuda dikenal sebagai burung yang super kuat dan bisa terbang tinggi. Ini melambangkan kebebasan dan keberanian yang luar biasa. Dalam konteks Indische Partij, burung garuda menjadi simbol semangat juang rakyat Hindia Belanda.
Lalu bagaimana dengan keris? Dalam budaya Jawa, keris tidak saja diposisikan sebagai senjata, tapi juga sebagai simbol status sosial. Dengan ditampilkannya keris Majapahit dan keris Mataram dalam logo Indische Partij, mungkin para pendirinya ingin menunjukkan bahwa bangsa Hindia Belanda bukanlah bangsa yang rendah seperti anggapan orang Belanda pada umumnya, melainkan bangsa yang besar sepeti tampak dari kebesaran Kerajaan Majapahit dan Mataram (Islam).
Daftar Pustaka
1. Buku
A.K. Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Cetakan Ke-13. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Dwi Supriyono. 2010. Tokoh dan Pahlawan Kebangkitan Nasional. Semarang: Aneka Ilmu.
L.M. Sitorus. 1988. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Museum Multatuli. 2024. Museum Multatuli, Buku Panduan untuk Pengunjung. Cetakan Keempat. Rangkasbitung: Museum Multatuli.
Nyoman Dekker. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Diawali Kebangkitan Nasional pada Pemulaan Abad XX. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Purwanto Setiadi dkk. (Tim Penyunting). 2017. Douwes Dekker, Sang Inspirator Revolusi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gamedia bekerja sama dengan Tempo Publishing.
Putut S. Dewantara. 1983. dr. Cipto Mangunkusumo, Pejuang Kemanusiaan. Jakarta Selatan: PT Karya Unipress.
Sudiyo dkk. 1997/1998. Sejarah Pegerakan Nasional Indonesia, dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. Cetakan Kedua. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Museum Kebangkitan Nasional.
Sudiyo. 2004. Perhimpunan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adiaksara.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwarno. 2011. Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional. Purwokerto – Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto bekerja sama dengan Penerbit Pustaka Pelajar.
Upik Dyah Eka Novianti. 2012. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
2. Internet
https://blog.garudahokii.com/mengulik-makna-di-balik-logo-indische-partij-apa-filosofinya
Tidak ada komentar :
Posting Komentar