(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Mendengar kata Multatuli, mungkin pikiran pembaca akan melayang pada tokoh yang mengarang novel Max Havelaar. Pikiran tersebut tidaklah salah, sebab Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, memang yang mengarang novel tersebut. Nama orang yang mengarang novel Max Havelaar itulah yang dijadikan nama museum di Rangkasbitung, Provinsi Banten.
Dulu saya tidak pernah memiliki perhatian terhadap Multatuli maupun novel karangannya yang terkenal itu. Akan tetapi setelah akhir-akhir ini saya membaca berita bahwa di Rangkasbitung telah berdiri museum yang menggunakan nama Multatuli, akhirnya timbul keingintahuan saya. Tidak hanya ingin tahu museumnya, tapi juga ingin tahu siapa sebenarnya Multatuli, dan apa hubungannya dengan Lebak.
Museum Multatuli
Pada hari Minggu, saya mencoba mengunjungi Museum Multatuli yang berdiri di sebelah timur alun-alun Rangkasbitung, kota kecil yang entah sudah berapa kali pernah saya kunjungi. Tentu saja sebelum pergi ke Museum Multatuli, saya berusaha membaca buku-buku seputar Multatuli terlebih dahulu (yang mendadak saya beli melalui online) agar memiliki gambaran tentang Multatuli.
Dari rumah menuju Museum Multatuli dapat dikatakan agak jauh, karena sudah berbeda kabupaten. Namun karena mudah dijangkau, maka saya menyempatkan waktu untuk mengunjungi museum tersebut.
Dari rumah, saya naik motor menuju Stasiun Daru yang terletak di Desa Daru, Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang. Sebetulnya, jika mau, dari rumah ke Stasiun Daru berjalan kaki pun bisa karena tidak jauh. Namun saya memang memilih naik motor daripada berjalan kaki. Motor saya titipkan di stasiun.
Dari Stasiun Daru saya naik commuter line (kereta listrik) menuju Rangkasbitung, selama 45 menit. Jika dari Stasiun Tanah Abang Jakarta, perjalanan commuter line sampai Rangkasbitu selama dua jam.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Bagi yang belum pernah ke Rangkasbitung, jika naik commuter line dari Tanah Abang, stasiun-stasiun yang dilewati adalah: Tanah Abang - Palmerah - Kebayoran - Pondokranji - Jurangmangu - Sudimara - Rawabuntu - Serpong - Cisauk - Cicayur - Parungpanjang - Cilejit - Daru - Tenjo - Tigaraksa - Cikoya - Maja - Citeras - Rangkasbitung.
Sampai Stasiun Rangkasbitung, saya berjalan menuju jalan raya yang jaraknya kira-kira 150 meter. Dari sini saya melanjutkan perjalanan menuju Museum Multatuli dengan naik angkutan kota (angkot) ke alun-alun Rangkasbitung. Museumnya terletak di sebelah timur alun-alun. Kebetulan di alun-alun sedang ada pameran, dan juga car free day yang diadakan setiap hari Minggu, sehingga alun-alun tampak ramai.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Sampai Museum Multatuli, saya menunggu waktu sebab bila hari Minggu, museum buka jam 9. Padahal, saya sampai di museum jauh sebelum jam 9.
Setelah museum buka, saya membeli tiket supaya bisa masuk. Tiketnya termasuk murah, hanya dua ribu rupiah setiap pengunjung yang masuk ke museum. Jika anak sekolah bahkan hanya seribu rupiah.
Satu demi satu ruang di Museum Multatuli saya masuki dan saya amat-amati. Saya hitung, semua ada tujuh ruang.
Ruang pertama yaitu ruang dimulainya pengunjung masuk ke dalam museum, maka dinamakan Ruang Selamat Datang. Di ruang ini pengunjung akan bertemu dengan patung Multatuli yang hanya sampai dada, dan mozaik wajah Multatuli yang terbuat dari potongan-potongan akrilik.
Ruang kedua diberi nama Ruang Masuknya Kolonialisme ke Nusantara. Di sini pengunjung disuguhi film dokumenter datangnya Belanda ke Banten. Film tersebut berdurasi 2 menit 43 detik. Selain film, di ruang ini juga ada miniatur kapal De Batavia yang digunakan oleh Cornelis de Houtman dan Pieter de Kayser ketika berlayar mencari rempah-rempah ke Banten.
Untuk melengkapi cerita, di ruang ini dilengkap display berbagai macam rempah, seperti lada, pala, cengkih, dan kayu manis yang ditata dengan cantik. Dipajangnya benda-benda tersebut untuk menunjukkan bahwa tujuan awal bangsa Eropa datang ke Nusantara adalah untuk mencari rempah-rempah.
Ruang ketiga bernama Ruang Penerapan Sistem Kolonial (Tanam Paksa). Ruang ini menceritakan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Yang ditampilkan adalah gambar kebon kopi, termasuk menceritakan kebiasaan orang-orang tempo dulu yang senang mengupas biji kopi dengan mulutnya. Ada juga pelana kuda. Saat itu kuda merupakan alat transportasi pengawas perkebunan. Tidak ketinggalan, dipajang juga susunan hierarki para penguasa zaman kolonial, seperti Residen Banten G.P. Brest van Kempen; Asisten Residen Lebak Eduard Douwes Dekker (yang memakai nama samaran Multatuli dalam novel Max Havelaar); Gubernur Jenderal Duymaer van Twist; dan Bupati Lebak ketika itu, Raden Adipati Karta Natanegara.
Ruang keempat dinamakan Ruang Multatuli. Isinya, selain novel karangan Multatuli yang berjudul Max Havelaar terjemahan bahasa Perancis (tahun 1876), juga ada ubin bekas rumah Eduard Douwes Dekker (Multatuli), dan foto orang-orang yang pernah terinspirasi oleh karya Multatuli, seperti R.A. Kartini, Soekarno, Ahmad Soebardjo, Pramoedya Ananta Toer, dan Jose Rizal (bapak Filipina).
Di ruang ini juga ada audiovisual yang menerangkan siapa itu Multatuli; gambar Multatuli, dan gambar Raja Willem III (ayah Ratu Wilhelmina yang mengesahkan politik etis [politik balas budi] pada tahun 1902).
Ruang kelima dinamakan Ruang Banten. Ruang ini menceritakan gerakan anti-kolonialisme, seperti pemberontakan Nyimas Gamparan (1829), Haji Wakhia (1856), dan pemberontakan petani Banten (1888) terhadap Belanda. Saat itu di Banten juga berdiri organisasi-organisasi perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda seperti Boedi Oetomo (1920), Sarekat Islam (1912), dan Indische Partij (1912). Ruang ini juga menggambarkan runtuhnya Hindia Belanda pada Perang Dunia II.
Ruang keenam diberi nama Ruang Lebak. Ruang ini menceritakan berdirinya Kabupaten Lebak pada tahun 1828 berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hindia Belanda Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 Tahun 1828. Di tempat ini dipamerkan kolase foto-foto dan ilustrasi Lebak tempo dulu, sejak Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara (1830) hingga tahun 1947.
Ruang ketujuh dinamakan Temporary Room (Ruang Sementara Waktu). Sesuai namanya, isinya terkadang berbeda ketika sedang dipergunakan untuk momen tertentu. Sebagai misal, pada tahun 2022 Museum Multatuli pernah mengadakan pameran sementara waktu dengan judul “Soekarno Nyaba Banten” (Soekarno Mengunjungi Banten). Pada pameran tersebut yang ditampilkan adalah foto-foto Soekarno ketika berkunjung ke Banten pada tahun 1951 dan 1957.
Namun pada saat ini, tema yang ditampilkan di ruang ini adalah “Orang-Orang Rangkasbitung”. Foto-foto yang ditampilkan adalah foto orang-orang yang memiliki kedekatan emosional dan kultural dengan Rangkasbitung. Ruang ketujuh ini sekaligus sebagai pintu keluar bagi pengunjung museum.
Itu tadi ilustrasi yang ada di Museum Multatuli Rangkasbitung.
Mengapa Multatuli yang dipakai sebagai nama museum tadi, bukan yang lain? Dalam Buku Panduan untuk Pengunjung yang dikeluarkan oleh Museum Multatuli disebutkan bahwa nama Multatuli sudah mendarah daging bagi masyarakat Kabupaten Lebak yang pusat pemerintahannya berada di Rangkasbitung. Bahkan sudah dianggap sebagai bagian dari sejarah Lebak. Tak mengherankan jika nama Multatuli di Rangkasbitung dipakai nama jalan, alun-alun, apotek, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sementara Saijah dan Adinda yang merupakan tokoh dalam drama yang ada di novel Max Havelaar, dijadikan nama perpustakaan, taman baca masyarakat, duta pariwisata, hingga sampai komunitas kesenian. Oleh karena itu, mulai tahun 1990-an, masyarakat Lebak timbul gagasan ingin mendirikan Museum Multatuli. ,
Gagasan mendirikan Museum Multatuli tadi terus berjalan, tapi baru terlaksana pada tahun 2015. Tahun 2016 pejabat dan guru Pemerintah Kabupaten Lebak berkunjung ke Belanda untuk studi banding ke Arsip Nasional dan Museum Multatuli yang ada di Amsterdam dengan tujuan membangun komunikasi dan persahabatan antar lembaga yang ada di Belanda dan Kabupaten Lebak. Tahun 2017, Museum Multatuli mulai diisi koleksi dan pembuatan storyline.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Tanggal 11 Febuari 2018 Museum Multatuli diresmikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hilmar Farid dan Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya. Sejak saat itu museum dibuka secara resmi untuk masyarakat yang ingin berkunjung.
Pada saat ini bangunan Museum Multatuli termasuk benda cagar budaya. Bangunan yang didirikan pada tahun 1930 itu berkali-kali beralih fungsi. Awalnya bangunan tersebut merupakan kantor Kawedanan Rangkasbitung. Tahun 1950 beralih fungsi menjadi Markas Wilayah (Mawil) Hansip. Terakhir, sebelum menjadi museum, bangunan tersebut dipakai sebagai kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Lebak. Tahun 2016, bangunan diperbaiki, lalu dijadikan museum hingga kini.
Museum Multatuli yang berdiri di atas tanah seluas 1934 m², memiliki fasilitas seperti pendapa, ruang pemeran museum, kantor, toilet, dan tempat penyimpanan koleksi.
Ketika saya berkunjung ke sana, pendapa tadi dipakai kegiatan anak sekolah. Adapun di sebelah kiri museum ada patung Multatuli yang sedang membaca buku. Di sebelah kiri patung Multatuli, ada bangunan berupa rak yang berisi buku-buku. Tdak jauh dari patung Multatuli, ada patung anak laki-laki dan perempuan: Saijah dan Adinda.
Riwayat Multatuli
Multatuli merupakan nama samaran. Kata yang diambil dari bahasa Latin tersebut memiliki arti: saya telah banyak menderita. Nama asli Multatuli adalah Eduard Douwes Dekker. Lalu apa jasa Multatuli bagi masyarakat Kabupaten Lebak, sehingga namanya dipakai sebagai nama museum di Rangkasbitung?
Untuk menghindari kesalahpahaman, perlu diketahui bahwa di Indonesia ada dua tokoh yang sama-sama terkenal dan sama-sama bernama Douwes Dekker. Yang pertama adalah Eduard Douwes Dekker, sedang yang kedua yaitu Ernest François Eugène Douwes Dekker.
Eduard Douwes Dekker asli orang Belanda yang pernah hidup di Indonesia dan mengarang novel Max Havelaar dengan memakai nama samaran Multatuli. Sementara yang kedua campuran Jawa - Belanda yang di kemudian hari membela Indonesia. Begitu besar jasanya terhadap bangsa Indonesia, tidak mengherankan jika pada tahun 1961 Ernest François Eugène Douwes Dekker ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia berdasarksn Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 590 Tahun 1961, tanggal 9 November 1961.
Bersama dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Cipto Mangunkusumo, Ernest François Eugène Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda, tanggal 25 Desember 1912. Ketiga orang tersebut lalu terkenal dengan sebutan Tiga Serangkai. Setelah Indonesia merdeka, Ernest François Eugène Douwes Dekker oleh Bung Karno diberi nama Danurdirja Setiabudi.
Sekarang mari kita bicarakan Douwes Dekker yang satunya lagi, yang pernah memakai nama samaran Multatuli di novel karangannya yang berjudul Max Havelaar.
Eduard Douwes Dekker yang lahir di Amsterdam, Belanda, tanggal 2 Maret 1820 merupakan anak nomor empat dari bapak bernama Engel Dekker dan ibu bernama Sytske Eeltjes Klein.
Eduard Douwes Dekker memiliki saudara bernama Jan, kakek dari Ernest François Eugène Douwes Dekker. Dengan demikian, berarti Eduard Douwes Dekker yang asli Belanda itu masih kakek Ernest François Eugène Douwes Dekker yang campuran Jawa - Belanda yang dikemudian hari berganti nama menjadi Danudirja Setiabudi.
Ayah Eduard Douwes Dekker merupakan salah seorang kapten kapal yang cukup besar, dengan penghasilan yang cukup sehingga keluarganya tergolong keluarga yang mapan dan anaknya sekolah semua.
Pada awalnya, sesungguhnya Eduard Douwes Dekker pendidikannya lancar, karena dia termasuk anak cerdas. Sayangnya, lama kelamaan dia bosan dan kecerdasannya kian lama makin menurun, sehingga ayahnya langsung mengeluarkan Eduard Douwes Dekker dari sekolah.
Eduard Douwes Dekker yang masih kanak-kanak, semula bekerja di kantor dagang, tapi hanya dijalani empat tahun, karena merasa dijauhkan pergaulannya dengan teman-temannya dari keluarga kaya.
Ketika ayah Eduard Douwes Dekker pulang dari berlayar sebagai kapten kapal, anaknya dilihat tampak ada perubahan dalam kehidupan dan keadaanya. Oleh karena itu dia lalu memiliki niat untuk mengajak Eduard Douwes Dekker ikut berlayar. Waktu itu, di Hindia Belanda ada kesempatan untuk mencari uang banyak dan kedudukan, meskipun orang Belanda tadi pendidikannya tidak tinggi.
Pada akhir tahun 1838, Eduard Douwes Dekker ikut berlayar ke Pulau Jawa sebagai awak kapal yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Nama kapalnya “Dorothea”. Tiba di Batavia (sekarang namanya Jakarta) tanggal 4 Januari 1839.
Sebelas hari di Batavia, Eduard Douwes Dekker memperoleh pekerjaan, menjadi klerk (pegawai rendah yang melakukan pekerjaan tulis-menulis di kantor pemerintah atau swasta) di Algemene Rekenkamer (=Dewan Pengawas Keuangan). Satu tahun kemudian dia dinaikkan pangkatnya, menjadi Komis Kelas II di kantor tersebut.
Tanggal 19 Juli 1842, Eduard Douwes Dekker dipindah dan dinaikkan pangkatnya oleh Gubernur Jenderal Andreas Victor Michiels, menjadi kontrolir (pengawas, satu tingkat di bawah asisten residen) di Sumatera Barat. Tepatnya di Natal (nama daerah).
Kala itu Natal masih merupakan daerah terpencil. Meski demikian, Eduard Douwes Dekker merasa senang tinggal di daerah terpencil. Sayangnya, dia melalaikan pekerjaannya yang menyebabkan diberhentikan dari kedudukannya. Eduard Douwes Dekker tidak memiliki penghasilan apa-apa. Baru pada bulan September 1845 dia dijadikan pegawai lagi, di Kantor Asisten Residen Purwakarta yang berada di bawah Keresidenan Karawang.
Tanggal 26 September 1845, Eduard Douwes Dekker bertunangan dengan Everdine Huberte Baronesse van Wijnbergen, yang dipanggil Tine. Pernikahannya dilaksanakan tanggal 8 April 1846 di Batavia, tapi upacara pernikahannya diadakan di Cianjur dua hari kemudian (10 April 1846).
Belajar dari pengalaman yang telah lalu ketika bekerja di Natal, Eduard Douwes Dekker mencoba menjadi pegawai yang baik sebagai ambtenaar (pegawai negeri).
Sebulan setelah menikah, pengantin baru tadi dipindah ke Purworejo, menjadi komis di Kantor Residen Purworejo. Setelah itu, Eduard Douwes Dekker dinaikkan lagi pangkatnya, sebagai sekretaris residen oleh Residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt.
Oleh karena Eduard Douwes Dekker tidak memiliki diploma sebagai syarat menjadi pejabat tinggi, sehingga meskipun naik pangkat, tapi seperti tidak naik pangkat. Gubernur Jenderal Andreas Victor Michiels mau mengakui Eduard Douwes Dekker sama dengan orang yang memiliki diploma asalkan kerjanya berprestasi. Akhirnya Eduard Douwes Dekker berhasil diakui seperti halnya orang yang memiliki diploma, sebab kerjanya benar-benar berprestasi.
Selanjutnya, Eduard Douwes Dekker dipindah ke Manado pada akhir bulan April 1849, masih tetap sebagai sekretaris residen. Dikarenakan kerjanya bagus, Eduard Douwes Dekker dinaikkan pangkatnya menjadi asisten residen di Ambon, Februari 1851.
Baru beberapa bulan bekerja di Ambon, Eduard Douwes Dekker sudah mengajukan cuti ke Eropa. Ada yang mengatakan penyebab ia mengajukan cuti karena kesehatannya kurang baik. Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa Eduard Douwes Dekker tidak cocok dengan Gubernur Maluku, sehingga ia mengajukan cuti dengan alasan kesehatannya kurang baik.
Setelah izin cuti disetujui, Eduard Douwes Dekker dan istrinya kemudian punya ke negara Belanda. Menurut Buku Panduan untuk Pengunjung yang dikeluarkan oleh Museum Multatuli, Eduard Douwes Dekker dengan istrinya dari Hindia Belanda tanggal 24 Juli 1852. Sementara Moechtar dalam bukunya berjudul Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran menyebutkan bahwa Eduard Douwes Dekker dan istrinya berangkat ke Eropa pada pertengahan bulan September 1852 dari Batavia. Mungkin yang dimaksud dalam Buku Panduan untuk Pengunjung adalah tanggal keberangkatan dari Ambon. Sampai Pelabuhan Hellevoetsluis di dekat Rotterdam, bersamaan dengan hari Natal 1852.
Seharusnya, cuti Eduard Douwes Dekker hanya dua tahun. Namun dia meminta ditambah menjadi tiga tahun.
Di Belanda, Eduard Douwes Dekker tidak pandai menyimpen uang. Dia senang berjudi, sampai hutangnya menumpuk karena kalah berjudi.
Eduard Douwes Dekker dan istri bersama anaknya yang masih kecil, akhinya kembali ke Batavia pada tanggal 17 Mei 1855 dengan naik kapal “India”. Sampai Batavia tanggal 10 September 1855.
Tidak berselang lama, Eduard Douwes Dekker dijadikan asisten residen di Lebak, sejak Januari 1856, menggantikan C.E.P. Carolus yang meninggal tanggal 1 November 1855.
Penyebab dia bisa menjadi Asisten Residen Lebak, kisahnya demikian.
Setelah sampai Batavia, Eduard Douwes Dekker dikenalkan dengan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist oleh E. de Wal yang masih saudara dengan Tine (istri Eduard Douwes Dekker). E. de Wal itu salah satu pejabat yang di kemudian hari menjadi Menteri Daerah Jajahan Belanda. Kian lama pertemanan kedua orang tadi semakin menumbuhkan rasa belas kasih Gubernur Jenderal Duymaer van Twist kepada Eduard Douwes Dekker sehingga ia dijadikan asisten residen di Lebak.
Setelah menerima Surat Keputusan yang ditandatangani tanggal 4 Januari 1854, Eduard Douwes Dekker lalu berangkan ke Kabupaten Lebak lewat Serang. Ketika itu umur Eduard Douwes Dekker 35 taun. Sampai di Rangkasbitung, pusat pemerintahan Kabupaten Lebak, tanggal 22 Januari 1856.
Di Rangkasbitung, Eduard Douwes Dekker tidak lama. Dia menjadi Asisten Residen Lebak hanya tiga bulan, karena mengetahui kondisi rakyat Lebak yang diperas oleh bupatinya seperti yang disebutkan dalam novel Max Havelaar. Dia sudah melaporkan hal ini kepada Residen Banten C.P. Bret van Kempen, tapi laporannya ditolak, bahkan ia diingatkan, sehingga membuat Eduard Douwes Dekker kecewa. Oleh sebab itu, Eduard Douwes Dekker pada tanggal 29 Maret 1856 mengajukan surat pengunduran diri dari pekerjaannya. Tanggal 4 April 1856, dia menerima jawaban bahwa permohonannya dikabulkan.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Setelah mencari pekerjaan lain tetap tidak mendapatkan pekerjaan, Eduard Douwes Dekker kemudian pulang ke Eropa. Di Eropa, dia menjadi redaktur surat kabar, namun tidak lama kemudian dia keluar. Pernah menjadi juru bahasa tapi gagal. Hidupnya semakin miskin.
Akhirnya, Eduard Douwes Dekker menjadi pengarang buku. Salah satu bukunya yaitu novel Max Havelaar yang diterbitkan pertama kali tahun 1860. Kecuali menulis Max Havelaar, dia juga menulis buku-buku lain.
Bosan tinggal di negara Belanda, Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Jerman sampai meninggal di Ingelheim am Rhein, dekat Sungai Rhein, tanggal 19 Februari 1887.
Masuknya Kolonialisme di Banten
Seperti sudah dipaparkan di depan, ruang kedua Museum Multatuli menceritakan masuknya kolonialisme di Nusantara. Film dokumenter yang berdurasi 2 menit 43 detik itu menceritakan masuknya kolonialisme di Nusantara, demikian.
Sejak awal abad ke-16, rempah-rempah menjadi komoditas yang mahal harganya, sehingga dicari oleh bangsa-bangsa Eropa. Orang-orang Eropa saling mendahului, sehingga saling bersaing di antara bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda dalam berebut wilayah Nusantara yang kaya rempah-rempah. Seiring berjalannya waktu, satu demi satu bangsa-bangsa Eropa lain tersingkir, tinggal bangsa Belanda yang menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Nusantara.
Pada mulanya, berjalannya perdagangan dilakukan sejajar antara saudagar mancanegara dengan penguasa setempat di Nusantara. Akan tetapi para saudagar tadi kemudian timbul niat buruknya, yaitu menindas penguasa setempat. Intinya, ingin menjajah. Tidak terima dengan perlakuan orang-orang mancanegara yang berniat menjajah tadi, para penguasa setempat lalu bertekad membela tanah airnya. Sayangnya, orang-orang yang ingin menjajah tadi lebih kuat daripada penguasa setempat. Satu demi satu wilayah-wilayah yang ada di Nusantara berhasil ditaklukan oleh penjajah. Sampai awal abad ke-20 hampir seluruh wilayah di Nusantara dikuasai Belanda.
Itu tadi cerita tentang masuknya kolonialisme di Nusantara yang ada di ruang kedua Museum Multatuli. Lalu bagaimana asal-mula kolonialisme masuk di Banten?
(Sumber foto: https://www.inhilklik.com/)
Menurut Nina H. Lubis dalam bukunya yang berjudul Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, tanggal 2 April 1595 Compagnie van Verre, salah satu perusahaan dagang, membiayai orang-orang untuk bepergian ke Nusantara yang pertama kali dengan tujuan mencari rempah-rempah. Orang-orang tadi naik kapal sebanyak empat kapal, yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Adapun yang bertindak sebagai navigator yaitu Pieter de Kayser. Setelah berlayar melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan, akhirnya sampai di daratan Banten tanggal 23 Juni 1596. Ada yang mengatakan sampai Banten tanggal 27 Juni 1596. Menurut Buku Panduan untuk Pengunjung, Cornelis de Houtman ke Banten naik kapal De Batavia.
Pada awalnya, kedatangan orang-orang Belanda diterima dengan baik oleh orang-orang Banten. Sayangnya, orang-orang Belanda tadi kelakuannya tidak terpuji. Pada suatu malam, orang-orang Belanda tadi merampok dua kapal yang penuh berisi merica atau lada dari Jawa. Kapal-kapal tadi dibawa keluar dari Pelabuhan Banten sambil menembaki kota Banten. Tentu saja prajurit Banten menyerang kapal Belanda dan Cornelis de Houtman berhasil ditangkap. Setelah ditahan hampir satu bulan, dia dilepaskan setelah ditebus 45.000 gulden. Cornelis de Houtman diusir dari Banten tanggal 2 Oktober 1596.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Dua tahun setelah itu, tepatnya tanggal 28 November 1598, datang lagi kapal Belanda sebanyak delapan kapal yang dipimpin oleh Jacob van Neck, dibantu oleh van Waerwijk dan Heemskerkck.
Belajar dari pengalaman yang lalu, orang-orang Belanda tadi mengubah sikapnya terhadap orang-orang Banten. Orang-orang Belanda berusaha mengambil hati orang-orang Banten, bahkan menghadap kepada Sultan Banten dan memberi hadiah sebagai tanda persahabatan. Akhirnya, orang-orang Belanda berhasil membawa pulang ke negaranya tiga kapal berisi merica atau lada, sedang lima kapal lainnya meneruskan perjalanan ke Maluku untuk mencari cengkeh dan pala. Sejak saat itu kapal-kapal dagang dari Eropa berdatangan ke Nusantara dengan tujuan mencari rempah-rempah.
Kian lama, seperti yang digambarkan dalam film dokumenter yang ada di ruang kedua Museum Multatuli, orang-orang Eropa yang semula bertujuan mencari rempah-rempah di Nusantara, akhirnya justru menjajah wilayah-wilayah yang didatangi.
Awal mula Kesultanan Banten bermusuhan dengan Belanda, menurut Nani H. Lubis, karena terjadinya persaingan tidak sehat di antara sesama pedagang yang menimbulkan kerugian besar. Belanda kemudian mendirikan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Persekutuan Dagang Hindia Timur pada tahun 1602. Tujuan didirikannya VOC, selain untuk melindungi para pedagang bangsa Belanda, juga untuk menghadapi persaingan dengan para pedagang Inggris yang tergabung dalam East India Company (EIC). VOC membuka kantor cabang di beberapa tempat di negara Belanda dan Banten pada tahun 1603 di bawah pimpinan Francois Wittert. Dikarenakan sikap tegasnya Mangkubumi Banten, maka kantor pusat VOC di Hindia Timur dipindah ke Jayakarta pada tahun 1611. Di kemudian hari, tempat ini diubah namanya menjadi Batavia.
Sejak saat itu, Kesultanan Banten bermusuhan dengan VOC. Terlebih setelah VOC melakukan siasat blokade terhadap pelabuhan niaga Banten yang menyebabkan barang dagangan tidak dapat masuk ke pelabuhan Banten, maka permusuhan makin meeuncing. Perahu-perahu jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berniaga di pelabuhan Banten dicegat dan tidak diizinkan ke sana oleh VOC. Semakin lama Banten menjadi jajahan Belanda, dan istananya dirusak oleh Gubernur Jenderal Daendels.
Sejarah Lebak
Setelah membahas tentang Museum Multatuli, Eduard Douwes Dekker (Multatuli), dan kolonialisme, sekarang mari kita ganti membahas sejarah Lebak, tempat Multatuli menjadi asisten residen di sini. Oleh karena Lebak dulu termasuk wilayah Kesultanan Banten, maka membicarakan sejarah Lebak tidak dapat lepas dari sejarah Banten.
Seperti dikatakan oleh Nina H. Lubis dalam bukunya yang berjudul Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, pada awal abad ke-19, yang bertahta sebagai raja di Kesultanan Banten adalah Sultan Abunasar Muhammad Ishak Zainul Mutaqin, putra Sutan Abdulmufakir Muhammad Aliudin dari selir.
Walaupun Kesultanan Banten dalam keadaan lemah akibat terjadi perebutan tahta kesultanan, tetapi Sultan Banten tidak mau mengakui kekuasaan Gubernur Jenderal Daendels. Perintah Gubernur Jenderal Daendels kepada Sultan Banten agar:
a. mengirimkan 1.000 orang rakyatnya setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon;
b. menyerahkan Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia; dan
c. segera memindahkan istananya ke Anyer, karana Surosowan akan dibangun benteng Belanda;
ditolak oleh Sultan Banten. Oleh sebab itu, secara diam-diam Gubernur Jenderal Daendels memimpin langsung prajuritnya menuju Banten. Sesampai di tapal batas kota Banten, Gubernur Jenderal Daendels lalu mengutus Philip Pieter Du Puy untuk ke istana Surosowan, menanyakan kepada Sultan Banten tentang kesanggupan melaksanakan perintah Gubernur Jenderal Daendels. Sultan Banten tetap menolak. Bahkan ketika Philip Pieter Du Puy sampai di depan gerbang benteng Surosowan, Sultan Banten mengutus orang agar membunuh utusan Gubernur Jenderal Daendels tadi. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 21 November 1808.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Tewasnya Philip Pieter Du Puy tentu saja menimbulkan kemarahan bagi Gubernur Jenderal Daendels. Hari itu juga istana Surosowan diserang oleh Gubernur Jenderal Daendels bersama bala tentaranya. Serangan mendadak yang dilakukan Gubernur Jenderal Daendels menyebabkan Sultan Banten tidak sempat menyiapkan prajuritnya. Meskipun sudah melakukan perlawanan terhadap serangan Belanda, tapi prajurit Banten tidak dapat mengalahkan bala tentara Belanda. Akhirnya, istana Surosowan jatuh ke tangan Belanda. Sultan Banten dibawa ke Batavia, lalu dibuang ke Ambon. Sementara Patih Mangkubumi dihukum pancung, jenazahnya dibuang ke laut.
Agar pemerintahan tetap berjalan, Gubernur Jenderal Daendels menobatkan putra Pangeran Ratu Aliudin sebagai Sultan Banten dengan gelar Sultan Abumufakir Muhammad Aliudin II. Atas perintah Gubernur Jenderal Daendels, tanggal 27 November 1808 Sultan Banten harus taat dan setia kepada pemerintah kolonial. Sejak saat itu kedudukan sultan sudah tidak seperti raja lagi, tapi seperti halnya pegawai pemerintah kolonial, sebab digaji 15.000 ringgit (uang Belanda tempo dulu).
Oleh pemerintah kolonial, Sultan Aliudin II kemudian diganti dengan Sultan Muhammad Syafiudin. Sultan Banten yang baru itu diserahi wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) yang pusat pemerintahannya berada di Ciekek, Pandeglang.
Tindakan pemerintah kolonial tadi menimbulkan rasa bermusuhan. Pangeran Ahmad, putra Sultan Aliudin II memimpin pemberontakan. Kapal-kapal Belanda sering dirampok. Para ulama yang markasnya di Cibungur, pesisir Teluk Merica, juga ikut mengadakan pemberontakan.
Gubernur Jenderal Daendels mencurigai Sultan Muhammad Syafiudin yang menjadi dalang pemberontakan. Oleh sebab itu, Sultan Banten tadi lalu ditangkap dan dipenjara di Batavia oleh Gubernur Jenderal Daendels. Benteng dan istana Surosowan dirobohkan dan dibakar.
Untuk mengurangi pemberontakan, Gubernur Jenderal Daendels membagi wilayah Banten menjadi tiga, yaitu Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Wilayah Banten Hulu diserahkan kepada Sultan Muhammad Syafiudin. Pusat pemerintahan dipindah ke Kaibon, karena istana Surosowan sudah rusak.
Tanggal 26 Agustus 1811 Batavia berhasil direbut oleh Inggris. Kesultanan Banten yang tadinya dijajah Belanda lalu berganti dijajah Inggris.
Pada tanggal 19 Maret 1813, Sultan Muhammad Syafiudin dipaksa turun tahta oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles yang menjadi wakil Pemerintah Inggris. Kesultanan dihentikan, diganti Keresidenan Banten sebagai pengganti Kesultanan Banten. Kesultanan hanya sebagai lambang kebudayaan yang tidak memiliki kekuasaan. Kala itu yang diangkat sebagai Sultan Adat Banten adalah Joyo Miharjo (orang asli Rembang, Jawa Tengah), dengan gelar Sultan Muhammad Rafiudin.
Joyo Miharjo atau Sultan Muhammad Rafiudin adalah suami Ratu Arsiah. Ratu Arsiah merupakan adik Ratu Asiah, ibunda Sultan Maulana Muhammad Syafiudin. Joyo Miharjo atau Sultan Muhammad Rafiudin yang bukan keturunan Sultan Banten diberi gelar sultan oleh Pemerintah Inggris tanpa memiliki wilayah kekuasaan sebagai raja.
Kesultanan Banten oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dibagi menjadi empat wilayah, yaitu:
a. Banten Lor (Banten Utara), dengan pusat pemerintahan di Serang, dijabat oleh Pangeran Suramenggala;
b. Banten Kulon (Banten Barat), dengan pusat pemerintahan di Caringin, dijabat oleh Tubagus Hayudin;
c. Banten Tengah, dengan pusat pemerintahan di Pandeglang, dijabat oleh Tubagus Salman; dan
d. Banten Kidul (Banten Selatan), dengan pusat pemerintahan di Cilangkahan, dijabat oleh Tumenggung Suradilaga. Pada zaman sekarang, Cilangkahan termasuk salah satu desa di Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Para bupati tadi menjadi bawahan Residen Banten sebagai wakil Pemerintah Inggris.
Pada tahun 1816 Banten jatuh ke tangan Belanda lagi. Artinya kembali dijajah oleh Belanda. Semua bupati di wilayah Banten yang diangkat oleh Pemerintah Inggris, diganti. Bupati Banten Kidul (Banten Selatan) yang dulu dijabat oleh Tumenggung Suradilaga diganti Tubagus Jamil dengan gelar Raden Adipati Jamil atau Pangeran Sanjaya. Wakilnya yaitu Ki Ngabehi Bahu Pringga (dulu pegawai Kesultanan Banten) dengan gelar Patih Derus.
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hindia Belanda Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 Tahun 1828, wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Caringin, dan Kabupaten Lebak (yang dulu bernama Banten Kidul). Banten Kidul (Banten Selatan) yang tadinya pusat pemerintahannya di Cilangkahan, lalu dipindah ke Lebak Parahiang (yang sekarang menjadi desa di wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Sejak tanggal 2 Desember 1828 nama Kabupaten Banten Kidul kemudian diganti menjadi Kabupaten Lebak. Tanggal tersebut sekarang dijadikan hari jadi Kabupaten Lebak.
Adapun yang termasuk wilayah Kabupaten Lebak ketika itu, adalah:
a. Distrik Sajira, meliputi Onderdistrict Ciangsa, Somang, dan Sajira,
b. Distrik Lebak Parahiang, meliputi Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang,
c. Distrik Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. Distrik Madhoor (Madur), meliputi Onderdistrict Binuangeun, Sawarna, dan Madhoor (Madur),
Lebak Parahiang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebak sejak 1828 hingga 1842. Ada yang mengatakan sampai 1843. Dari Lebak Parahiang, pusat pemerintahan Kabupaten Lebak pindah ke Warunggunung.
Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 15, tanggal 17 Januari 1849, pusat pemerintahan Kabupaten Lebak dipindah lagi, dari Warunggunung ke Rangkasbitung. Hanya saja, ketika itu tidak langsung pindah. Kepindahan baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851. Hingga sekarang pusat pemerintahan Kabupaten Lebak berada di Rangkasbitung.
Kabupaten Lebak yang tadinya memiliki wilayah seperti yang disebutkan di atas, kemudian berubah seperti di bawah ini berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad Nomor 266 Tahun 1828.
a. Distrik Rangkasbitung, meliputi Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung, dan Cikulur.
b. Distrik Lebak, meliputi Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki, dan Cikeuyeup.
c. Distrik Sajira, meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi, dan Maja,
d. Distrik Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara, dan Bayah.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 12 Agustus 1925, Staatsblad Nomor 381 Tahun 1925, Kabupaten Lebak menjadi wilayah yang pemerintahannya berdiri sendiri. Adapun wilayahnya meliputi Distrik Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak, dan Cilangkahan.
Dengan hilangnya kesultanan akibat rajanya dipaksa turun tahta oleh Raffles, menyebabkan Nyimas Gamparan yang masih keabat Kesultanan Banten timbul keberaniannya untuk melakukan perlawanan kepada bangsa Eropa yang menjajah Banten. Apalagi ketika Belanda mengadakan peraturan Cultuurstelsel (Tanam Paksa), Nyimas Gamparan kemudian mengumpulkan pasukan perempuan guna melawan Belanda.
Nyimas Gamparan bersama pasukan perempuan melakukan pemberontakan yang dimulai sejak tahun 1829 sampai 1830. Pemberontakan dilakukan dengan cara berpindah-pindah tempat atau yang dikenal dengan sebutan taktik perang gerilya. Salah satu perang antara Nyimas Gamparan dengan Belanda yang terkenal adalah Perang Cikande.
Perlawanan Nyimas Gamparan bersama pasukannya membuat Belanda kewalahan. Meskipun sudah menggunakan berbagai macam cara untuk menghadapi pemberontakan Nyimas Gamparan, Belanda tetap tidak dapat mengalahkannya. Akhirnya, Belanda menggunakan taktik devide et impera atau mengadu domba dengan maksud dapat mengusai yang diadu.
Belanda meminta tolong kepada Karta Natanegara, demang di Jasinga, Bogor, dengan iming-iming akan diberi kedudukan sebagai bupati bila dapat mengalahkan Nyimas Gamparan. Berambisi menjadi bupati, Demang Karta Natanegara menyanggupi permintaan Belanda.
Ketika Nyimas Gamparan berada di Jasinga, Demang Karta Natanegara segera menyiapkan pasukannya untuk melawan Nyimas Gamparan. Perang pun terjadi. Nyimas Gamparan dapat ditangkap, tapi sebagian pasukannya berhasil melarikan diri.
Atas jasanya terhadap Belanda, Demang Karta Natanegara diberi kedudukan sebagai bupati di Lebak, menggantikan Raden Adipati Jamil atau Pangeran Sanjaya. Setelah menjadi bupati, gelarnya menjadi Raden Adipati Karta Natanegara.
Ketika Raden Adipati Karta Natanegara menjadi bupati Lebak, Multatuli atau Eduard Douwes Dekker, diangkat sebagai Asisten Residen Lebak oleh Gubernur Jenderal Duymaer van Twist. Raden Adipati Karta Natanegara inilah yang diceritakan oleh Multatuli dalam novel Max Havelaar sebagai bupati yang senang memeras rakyatnya.
Selain Nyimas Gamparan, di Banten juga ada Haji Wakhta (1854), petani Banten (1888), dan komunis (1926) yang melakukan perlawanan terhadap Belanda guna membela tanah tumpah darahnya seperti digambarkan pada ruang lima Museum Multatuli, termasuk tentang berdirinya organisasi Boedi Oetomo (1920), Sarekat Islam (1912), dan Indische Partij (1912).
Novel Max Havelaar
Bila diperhatikan, meskipun novel Max Havelaar dikarang oleh satu orang, yaitu Multatuli, tapi yang menceritakan ada tiga orang, yaitu Batavus Droogstoppel, Stern, dan Multatuli sendiri.
Bab 1 sampai Bab 4, yang menceritakan adalah Batavus Droogstoppel. Batavus Droogstoppel termasuk orang yang tidak suka menulis novel dan yang mirip novel. Dia juga tidak suka membaca buku seperti itu. Penyebabnya, dia termasuk pebisnis, tepatnya sebagai makelar kopi.
Batavus Droogstoppel memiliki anggapan bahwa orang yang senang membuat novel atau puisi itu senang membohongi. Senang menuliskan apa yang sesungguhnya tidak terjadi. Padahal, dia termasuk orang yang senang pada kebenaran.
Batavus Droogstoppel memiliki anak buah, pemuda Jerman yang bekerja di negara Belanda, bernama Ernest Stern anak Ludwig Stern.
Pada suatu hari, Batavus Droogstoppel bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Dia menyebut teman sekolahnya itu dengan sebutan Syaalman, karena temannya selalu memakai syal (selendang yang dililitkan di leher) pada musim dingin sebab tidak mampu membeli mantel. Sjaalman memang tampak miskin.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Syaalman menawarkan karangan-karangannya kepada Batavus Droogstoppel yang dikirim lewat paket bersama surat, agar bisa dicetak menjadi buku. Batavus Droogstoppel ingin mengembalikan paket tersebut, tapi dia tidak tahu di mana temannya itu tinggal.
Ketika di rumah makelar gula Rosemeijer diadakan pesta, Frits membaca puisi yang diambil dari paket Sjaalman sebelum berangkat, yang menurut Batavus Droogstoppel isinya penuh omong kosong.
Sehari sesudah pesta di rumah Rosemeijer, Batavus Droogstoppel mengundang Frits supaya mengambil paket dari Sjaalman. Paket dilihat dan diteliti. Dia menemukan banyak sekali tulisan yang menggunakan bahasa asing yang tidak diketahui artinya. Akhirnya Batavus Droogstoppel menemukan “Laporan tentang Cara Menanam Kopi di Keresidenan Menado”. Dia senang karena makelar kopi, dan “Menado” merupakan merk yang baik.
Batavus Droogstoppel tidak ingin Frits mengetahui bahwa dia mulai senang dengan isi paket. Oleh sebab itu, dia menyuruh Frits pergi.
Dari banyak tulisan yang ada di dalam paket, ada bebeapa tulisan tentang kopi yang menarik perhatian Batavus Droogstoppel, dan dia ingin memanfaatkan tulisan tersebut.
Beberapa hari setelah itu, Stern dan Frits mendatangi lelang buku di salah satu hotel. Frits mengatakan bahwa dia melihat Sjaalman sedang dimarahi oleh orang yang berjualan, karena menjatuhkan Aglaja (nama majalah untuk kaum perempuan) di tempat lelang buku. Pagi harinya, Batavus Droogstoppel mendatangi tempat lelang dan bertanya kepada oang yang jualan, di mana laki-laki yang menjatuhkan Aglaja. Orang yang jualan tadi memberitahu bahwa laki-laki yang dimaksud telah dipecat, karena malas, angkuh, dan sakit-sakitan. Batavus Droogstoppel lalu meminta alamat Sjaalman dan kemudian dicatatnya.
Batavus Droogstoppel ingin menerbitan buku tentang kopi. Dikarenakan yang pandai menulis adalah Stern, maka Batavus Droogstoppel meminta tolong kepadanya. Stern menyanggupi. Akan tetapi baru saja mulai menulis, sudah menemui kesulitan, karena banyak kata yang tidak diketahui dalam tulisan yang ada di paket. Oleh karena itu, Batavus Droogstoppel merasa membutuhkan Sjaalman.
Batavus Droogstoppel sendiri yang mencari alamat Sjaalman, tapi hanya bertemu istri dan anaknya, karena Syaalman sedang tidak ada di rumah. Dia berpesen kepada istri Sjaalman, bahwa Sjaalman diizinkan datang ke rumahnya. Sjaalman benar-benar datang ke rumah Batavus Droogstoppel. Dia sudah berbicara dengan Stern dan memberi tahu beberapa kata yang tidak diketahui artinya oleh pemuda tadi.
Bab 5 sampai Bab 8, yang menceritakan adalah Stern. Bab 5 mulai membicarakan Max Havelaar, tokoh utama dalam novel Max Havelaar. Dari Serang, Max Havelaar naik dokar yang ditarik empat kuda menuju Rangkasbitung. Dalam perjalanan, dokarnya sering terperosok di lumpur, sehingga terpaksa meminta tolong warga desa untuk membantu mengangkat dokar yang terperosok.
Di tapal batas Lebak dan Pandeglang, sedikitnya 1.000 orang dan ratusan kuda yang menggunakan pelana, menjemput kedatangan Asisten Residen Lebak yang baru. Dalam rombongan tersebut, ada juga Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara dan Kontrolir Verbrugge.
Setelah Asisten Residen Lebak datang, segera didirikan tenda sebagai pendapa bagi para tamu. Residen Banten mengenalkan Bupati Lebak dan Kontrolir Verbrugge kepada Max Havelaar.
Selama di tenda (sebagai pengganti pendapa), Max Havelaar dengan Kontrolir Verbrugge bicara banyak tentang keadaan Lebak yang miskin.
Dari tempat tersebut, perjalanan diteruskan ke Rangkasbitung dengan naik dokar. Dalam perjalanan menuju Rangkasbitung, Verbrugge, Residen Banten, dan Max Havelaar membicarakan permasalahan Madam Slotering, janda Slotering (Asisten Residen Lebak sebelum Max Havelaar). Slotering yang meninggal dua bulan yang lalu, jandanya masih bertempat tinggal di rumah yang akan ditempati oleh asisten residen yang baru. Max Havelaar yang menggantikan Slotering, tidak berkeberatan Madam Slotering masih tetap tinggal di rumah tersebut. Tine, istri Max Havelaar, juga tidak berkeberatan.
Sampai Rangkasbitung, pelantikan Max Havelaar sebagai Asisten Residen Lebak diadakan di rumah bupati. Kepala distrik, patih, kliwon, jaksa, tukang tagih pajak, dan beberapa mantri, semua sudah datang di rumah bupati, sebab jauh sebelum hari pelaksanaan, Verbrugge sudah mengundang orang-orang tersebut.
Hari itu juga, Max Havelaar dilantik sebagai Asisten Residen Banten Kidul atau Lebak oleh Residen Banten berdasarkan Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Setelah selesai pelantikan dan makan bersama di kediaman bupati, siang itu juga Residen Banten pulang ke Serang sebab banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Max Havelaar menyuruh Kontrolir Verbrugge agar para pejabat yang ada di Rangkasbitung tidak pulang sampai esok hari, karena besok akan diadakan sebah (rapat).
Pagi harinya, Max Havelaar mengadakan sebah dengan para pejabat di wilayah Kabupaten Lebak. Sebah-nya menempati gedung di sebelah kiri rumah Max Havelaar atau di seberang rumah yang ditempati Madam Slotering. Gedung ini setiap harinya dipakai sebagai kantor asisten residen.
Pada sebah tersebut, Max Havelaar sebagai asisten residen yang baru, membicarakan tentang wilayah Lebak yang miskin, banyak orang Lebak yang meninggalkan desa untuk mencari nafkah di daerah lain. Max Havelaar mengajak kepada para pemimpin Lebak, untuk bersama-sama memakmurkan masyarakat Lebak. Setelah sebah selesai, para pemimpin Lebak diizinkan pulang ke rumah masing-masing.
Max Havelaar mengajak bicara Kontrolir Verbrugge tentang Raden Adipati Karta Natanegara. Menurut Max Havelaar, sehari setelah kematian Slotering, Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara memaksa kepada rakyatnya supaya bekerja di sawah miliknya tanpa bayaran. Selain itu, Max Havelaar juga mengatakan bahwa dia tahu jika laporan Bupati Lebak tadi palsu, karena orang-orang yang bekerja untuk bupati jumlahnya tiga kali lipat dari jumlah yang diizinkan oleh aturan yang ada. Max Havelaar juga dmemiliki anggapan bila pajak yang dibayar oleh rakyat lebih besar daripada yang disetorkan ke negara.
Bab 9 yang menceritakan yaitu Stern dan Batavus Droogstoppel. Stern hanya menceritakan sedikit pada bagian depan. Pada bagian selanjutnya, yang menceritakan adalah Batavus Droogstoppel hingga Bab 10. Intinya, Batavus Droogstoppel kecewa dengan karangan Stern. Dia mempunyai harapan Stern menulis tentang kopi, tapi ternyata yang ditulis justru tentang Max Havelaar.
Bab 11 sampai Bab 17 yang menceritakan Stern kembali. Banyak hal yang diceritakan oleh Stern. Di antara cerita-cerita tersebut, yang ada hubungannya dengan Lebak adalah informasi yang menyebutkan bahwa di tempat tersebut banyak tindakan sewenang-wenang kepada rakyat. Sayangnya, Pemerintah Hindia Belanda senang menulis surat kepada majikannya di negara Belanda, yang intinya mengabarkan bahwa semuanya berjalan dengan baik.
Tindakan sewenang-wenang tadi, misalnya: pada suatu hari orang-orang dari Distrik Parungkujang (dalam novel Max Havelaar ditulis: Parang Kujang) datang ke rumah Max Havelaar. Orang-orang tersebut melaporkan bahwa Demang Parungkujang yang merupakan menantu Bupati Lebak Karta Natanegara, senang memeras rakyatnya dengan alasan untuk kepentingan bupati.
Di Distrik Parungkujang, dalam sebulan ada 32 orang yang mengeluh kerbaunya dicuri untuk kabutuhan bupati. Jumlah kerbau yang dicuri sebanyak 36 ekor. Belum lagi di distrik lainnya, seperti Distrik Cilangkahan, rakyatnya juga megeluh bahwa hewan piaraannya diminta dengan paksa oleh demang setempat.
Pada Bab 17, Stern khusus menulis kisah Saijah lan Adinda. Kisah ini merupakan gambaran jeleknya sistem kolonial dan kesengsaraan rakyat Lebak pada abad ke-19. Saijah merupakan anak petani miskin di Kabupaten Lebak. Seperti halnya keluarga lainnya di Lebak, rakyat di situ disuruh membayar pajak mahal oleh demang dan bupatinya. Ibu Saijah sakit sampai meninggal. Sementara bapak Saijah pergi entah ke mana karena takut tidak dapat membayar pajak. .
Dalam keadaan sengsara karena dijajah Belanda, Saijah menjadi pemuda yang mandiri. Saijah mencintai Adinda, teman sejak kecil.
Saijah merantau ke Batavia, menjadi tukang merawat kuda dan pembantu salah satu orang Belanda. Tujuannya, ingin mengumpulkan uang untuk melamar Adinda. Sayangnya, setelah beberapa tahun merantau, ketika pulang kampung ternyata Adinda sudah meninggalkan desannya. Saijah dan ayahnya bergabung bersama pejuang lain melawan Belanda di Lampung.
Saijah mencari Adinda, tapi yang dicari ternyata sudah menemui ajal, disiksa dengan bengis oleh Belanda.
Bab 18 yang menceritakan dua orang, yaitu Stern dan Batavus Droogstoppel. Stern menceritakan bahwa Slotering, Asisten Residen Lebak yang digantikan oleh Max Havelaar, menurut Madam Slotering, matinya diduga karena diracun oleh Demang Parungkujang. Juga diceritakan bahwa Max Havelaar melaporkan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara kepada Residen Banten karena sudah bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya. Adapun Batavus Droogstoppel menceritakan Sjaalman dan laki-laki yang pernah menjadi residen di Hindia Timur.
Bab 19 sampai Bab 20 menceritakan tentang Max Havelaar yang mengusulkan kepada Residen Banten Slijmering melalui surat, agar mencopot kedudukan Bupati Lebak sebelum diperiksa. Setelah membaca surat Max Havelaar, Residen Banten Slijmering membujuk Max Havelaar agar mencabut surat tadi, dan residen akan menganggap semua tadi tidak permah ditulis. Max Havelaar tidak mau mencabut.
Setelah Residen Banten tadi menemui Bupati Lebak, esok harinya Max Havelaar menerima jawaban dari residen yang intinya tidak menerima usulan Max Havelaar.
Sebulan berikutnya, Max Havelaar menerima surat dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 23 Maret 1856. Isinya menyebutkan bahwa tindakan Max Havelaar itu mengecewakan dan memperlihatkan kalau ia tidak dapat bekerja. Pada surat tadi disebutkan bahwa Max Havelaar dipindah, menjadi Asisten Residen Ngawi.
Setelah mengetahui isi surat tadi, Max Havelaar justru memohon kepada Gubernur Jenderal agar diberhentikan dengan hormat dari kedudukannya. Hanya selang beberapa hari, Max Havelaar mendapat jawaban bahwa permohonannya disetujui. Max Havelaar lalu menyerahkan pekerjaannya kepada Kontrolir Verbrugge.
Max Havelaar meninggalkan Rangkasbitung, singgah terlebih dahulu di rumah Residen Banten di Serang, lalu meneruskan perjalanan ke Batavia. Di Batavia, Max Havelaar memohon izin untuk bertemu Gubernur Jenderal, tapi tidak diberi izin.
Pada Bab 20 bagian belakang, yang menceritakan berganti orang, yakni Multatuli. "Cukuplah, Stern yang baik. Aku, Multatuli, mengambil alih pena".
Multatuli tidak meminta maaf sehubungan dengan bukunya. Dia menulis buku Max Havelaar selain untuk diwariskan kepada anaknya, juga memiliki harapan bukunya akan dibaca banyak orang.
Nyata atau Tidak?
Buku Max Havelaar memang bukan buku sejarah. Max Havelar hanya cerita fiksi. Meski demikian, Max Havelaar mampu membuat gempar negeri kincir angin. Penyebabnya, buku yang terbit pertama kali pada tahun 1860 itu menceritakan kesengsaraan rakyat Lebak yang diakibatkan oleh tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial.
Yusri Fajar dalam tulisannya yang berjudul “Mendua di Hindia Belanda: Ambivalensi dalam Novel Max Havelaar Karya Multatuli” yang dimuat dalam buku Membaca Ulang Max Havelaar, mengatakan jika sejak buku Max Havelaar terbit, orang-orang yang memiliki perhatian pada karya sastra mulai mengupas. Ada yang memiliki anggapan bahwa Max Havelaar merupakan salah satu novel antikolonial. Menurut anggapan Ashcroft, Griffiths, dan Tifflin, antikolonialisme menekankan pada penolakan kekuasaan kolonial.
Dalam Buku Panduan untuk Pengunjung yang dikeluarkan oleh Museum Multatuli disebutkan bahwa Robert Baron van Höevell, salah satu anggota Majelis Rendah Belanda yang lebih dulu memperhatikan nasib rakyat Jawa, menganggap bahwa Cultuurstelsel-lah yang menjadi penyebab rakyat mengalami kesengsaraan.
Berbeda dengan pendapat di atas, Rob Nieuwenhuys menganggap bahwa novel Max Havelaar tidak benar-benar dapat dikatakan novel antikolonialisme. Novel tersebut justru mendukung kolonialisme. Eduard Douwes Dekker sudah gegabah memakai “kacamata” Eropanya yang humanis bagi rakyat pribumi tanpa menyalahkan pada sistem kolonial itu sendiri.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Peter Carey dalam tulisannya yang berjudul “Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870) dan Sang Algojo Kolonialisme: Max Havelaar (1860) dalam Konteks Sejarah Jawa di Abad ke-19” yang dimuat dalam buku Membaca Ulang Max Havelaar, lima tahun perang yang hampir tanpa henti di Pulau Jawa yang terkenal dengan sebutan Perang Jawa, merupakan kecelakaan besar bagi Pemerintah Hindia Belanda, karena kasnya terkuras. Johannes van den Bosch yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830-1834) menjanjikan kepada Raja Belanda bahwa ia bisa menyelesaikan perkara kolonial. Pada tahun 1830, dia membuat peraturan Cultuurstelsel (Tanam Paksa).
(Sumber foto: https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/27/140000179/johannes-van-den-bosch-penggagas-sistem-tanam-paksa?page=all)
Menurut Moechtar dalam bukunya yang berjudul Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran, Cultuurstelsel atau Tanam Paksa itu merupakan cara bagi pemerintah kolonial untuk memeras uang rakyat. Oleh karena rakyatnya miskin, tidak punya uang, maka rakyat harus dipaksa menghasilkan uang untuk pemerintah kolonial. Yang diincar yaitu Pulau Jawa. Maluku diabaikan karena rempah-rempah harganya sudah anjlok. Hanya Pulau Jawa yang bisa diperas.
Cara yang dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk memeres rakyat adalah lewat tanah dan tenaga. Sebenarnya aturan yang dibuat tidaklah serakah. Pemerintah kolonial hanya meminta 1/5 (seperlima) dari tanah rakyat. Tenaga juga demikian. Dalam satu tahun hanya diminta 1/5 x 365 hari = 73 hari yang dipakai bekerja untuk pemerintah kolonial. Akan tetapi apakah demikian kenyataannya?
Seperti yang disampaikan oleh Rika Pangesti dalam https://www.detik.com/, walaupun dalam aturan disebutkan bahwa tanah yang dipakai Cultuurstelsel hanya 1/5 (seperlima), tapi kenyataannya yang dipakai lebih dari itu, seperti: 1/3 (sepertiga), bahkan ada yang setengah dari tanah rakyat. Selain itu, tanah yang dipilih untuk Cultuursetelsel adalah tanah yang subur, sementara yang untuk rakyat adalah tanah yang gersang. Tanah yang dipakai Cultuursetelsel juga masih dibebani pajak.
Pemerintah kolonial menjadi juragan, sedangkan rakyat menjadi pembantunya. Tanah harus ditanami tanaman yang dibutuhkan oleh pemerintah kolonial. Hasil tanaman haus dijual kepada pemerintah kolonial. Mengangkut hasil buminya harus dilaksanakan oleh rakyat tanpa upah.
Apakah hanya itu? Tidak!
Rakyat tidak diperbolehkan pindah, tidak boleh meninggalkan desannya. Jika akan bepergian harus memiliki pas (atau surat jalan kalau pada zaman sekarang), sebagai pertanda bahwa kepergiannya dizinkan oleh kepala desanya. Bila bepergian tidak membawa pas, maka ia akan dihukum, dicambuk dengan menggunakan rotan, atau dimasukkan penjara. Intinya, rakyat adanya hanya kerja, kerja, dan kerja.
Agar semua itu berjalan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah, maka harus ada yang mengawasi, yaitu mandor.
(Sumber foto: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Karta_Nata_Negara_Raden_Adipati.jpg)
Siapa yang dijadikan mandor?
Menurut Moechtar, yang dijadikan mandor adalah:
1. Kepala Desa. Dia yang memilih 1/5 tanah yang harus digarap untuk pemerintah. Dia yang memiliki wewenang memberi pas, berwenang mengukum, dan lain-lain;
2. Pegawai Pangreh Praja pribumi, mulai dari juru tulis sampai bupati;
3. Ambtenaar-Ambtenaar bangsa Belanda. Mandor ini kedudukannya lebih tinggi daipada mandhor 1 dan 2. Gerak-geriknya lebih leluasa, bisa ke sana kemari, menegur, memukul, dan menghukum;
4. Ambtenaar-Ambtenaar Pangreh Praja bangsa Belanda. Kedudukan mandor ini lebih tinggi daripada mandor 3, dan yang menjadi motor dari sistem Cultuurstelsel.
Walaupun mandor sudah mendapat gaji lumayan berdasarkan jumlah penghasilan rakyat, tapi tetap ada yang memeras rakyat, membohongi, dan juga korupsi.
Menurut pendapat saya, meskipun yang diceritakan dalam novel Max Havelaar itu entah nyata atau tidak, tapi kesengsaraan rakyat seperti yang diceritakan dalam novel Max Havelaar benar-benar terjadi di wilayah Hindia Belanda.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Meskipun tuduhan Max Havelaar (Eduard Douwes Dekker) kepada Bupati Lebak Karta Natanegara yang katanya memaksa rakyatnya supaya kerja di sawah miliknya tanpa upah, pajak dibayar oleh rakyat lebih besar daripada yang disetorkan ke negara itu entah nyata atau tidak, tapi kejadian semacam itu memang terjadi di masyarakat seperti yang sudah disampaikan di atas.
Selain itu, novel Max Havelaar juga mampu memimbulkan gagasan adanya politik etis (politik balas budi). Seperti disebutkan dalam Buku Panduan untuk Pengunjung, setelah membaca Max Havelaar, Robert Fruin menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk menaikkan taraf hidup rakyat jajahan. Artikel Robert Fruin tadi mempengaruhi orang-orang Belanda yang memiliki pengaruh di Hindia Belanda yang kemudian memiliki pendapat perlu adanya politik etis (politik balas budi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Moechtar. 2005. Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran. Jakarta: Pustaka Jaya.
Multatuli. 2016. Max Havelaar. Cetakan ke-11. Tejemahan: Ingrid Dwijani Nimpuno. Bandung: Qonita.
Museum Multatuli. 2024. Buku Panduan untuk Pengunjung. Cetakan ke-4. Rangkasbitung: Museum Multatuli.
Nina H. Lubis. 2004. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Peter Carey lan kanca-kanca. 2019. Membaca Ulang Max Havelaar. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Rob Nieuwenhuys. 2019. Mitos dari Lebak, Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli. Depok: Komunitas Bambu.
2. Internet
https://historia.id/politik/articles/kisah-bupati-sepuh-PdMRN/page/2
https://id.wikipedia.org/wiki/Cilangkahan,_Malingping,_Lebak
https://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel
https://id.wikipedia.org/wiki/Eduard_Douwes_Dekker
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebak
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/sejarah-di-balik-bangunan-kolonial-kota-serang/
https://lebakkab.go.id/sejarah-kabupaten-lebak/
https://sma13smg.sch.id/materi/penjajahan-inggris-di-indonesia-1811-1816/
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5885504/siapa-saja-tokoh-penentang-sistem-tanam-paksa
https://www.inhilklik.com/mobile/detailberita/33861/nasional/catatan-sejarah-2-april-awal-perjalanan-de-houtman-sang-belanda-penemu-nusantara)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar