Jika kita membaca koran, majalah, atau tabloid,
terkadang kita menemukan rubrik yang berisi tentang kisah hidup seseorang. Rubrik
ini, ada yang memberinya nama “Profil”, ada juga yang menamakan “Sosok”. Yang
diceritakan biasanya kisah hidup orang-orang terkenal atau orang-orang yang
memiliki prestasi, ketenaran, maupun keunikan.
Meskipun sama-sama menceritakan tentang kisah
hidup seseorang, namun tidak semua tulisan semacam itu bernama “Profil” atau “Sosok”.
Ada tulisan atau buku yang berisi tentang kisah hidup seseorang, tapi tulisan
tadi disebut dengan istilah memoar, biografi, atau autobiografi. Lalu apa
perbedaan antara profil, memoar, biografi, dan autobiografi?
1. Profil
Jika kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online, kata profil diartikan: (1) pandangan dari samping (tentang wajah orang); (2) lukisan (gambar)
orang dari samping; sketsa biografis; (3) penampang (tanah, gunung, dan
sebagainya); dan (4) grafik atau ikhtisar yang memberikan fakta tentang hal-hal
khusus. Sementara kata sosok, dalam
kamus tersebut dijadikan dua entri. Dalam entri pertama, kata sosok diartikan: lubang (pada jerat dan
sebagainya); lubang kancing baju; kelim (pelipit) yang berlubang (untuk
memasukkan tali, tongkat, dan sebagainya); sementara dalam entri kedua
diartikan: (1) bentuk wujud atau rupa; rangka (perahu dan sebagainya); (2)
bentuk (rupa) tubuh; (3) bayangan badan; (4) bakal (ladang, negeri, dan
sebagainya); permulaan; dan (5) tokoh; pribadi.
Dalam
bukunya yang berjudul Pengantar
Jurnalistik, Indiwan Seto Wahjuwibowo mengatakan bahwa profil
atau sosok adalah uraian tentang tahap-tahap jalan hidup seseorang menuju
puncak ketenaran dalam pengertian dikotomis: yang baik dan yang buruk. Misalnya,
seseorang sukses sebagai pengusaha raksasa atau menjadi penjahat ulung atau
perampok hebat.
Setiawan G. Sasongko menyebut
profil seseorang lebih merupakan biografi singkat, hanya ditulis yang
penting-penting saja, tapi dalam bentuk artikel. Profil tidak seperti daftar
riwayat hidup yang hanya ditulis poin per poin, tapi memperkenalkan secara
singkat siapa orang tersebut.
Tulisan tentang profil atau sosok, sebagaimana
dikatakan oleh St. S. Tartono, adalah tulisan yang bercerita tentang
tahap-tahap hidup seseorang dalam meniti karir dan mencapai puncak ketenaran
atau kesuksesannya. Di dalamnya dikisahkan pergulatan, perjuangan, jatuh
bangun, suka duka si tokoh dalam usahanya mencapai posisi, kedudukan,
keberhasilan usaha atau bisnis yang dicita-citakannya. Namun, kesuksesan juga
bisa diartikan sebaliknya, yaitu bagaimana si tokoh jatuh terseret dan akhirnya
terjerembab di lembah gelap yang membawanya ke kamar kosong di balik jeruji
besi alias penjara.
Menulis profil atau sosok, menurut Pepih
Nugraha, adalah menulis kehidupan seseorang atau menulis tentang perjalanan
hidup seseorang. Menulis profil atau sosok merupakan upaya menganalisis dan
menafsirkan sejumlah peristiwa dalam kehidupan seseorang serta peristiwa luar
biasa yang menimpa seseorang.
Dari keterangan tersebut dapat
diketahui bahwa profil adalah bentuk singkat dari biografi yang kisahnya hanya
menyangkut sebagian kecil dari sisi kehidupan seseorang, terutama bagaimana orang tersebut
meniti karir dan mencapai puncak kesuksesan atau ketenarannya. Kesuksesan atau
ketenaran di sini bisa dalam pengertian yang baik dan yang buruk. Adapun tujuan
penulisan profil adalah untuk menginformasikan kepada khalayak sisi istimewa
atau sisi kelam orang tersebut.
Peni Susilowati yang profilnya
pernah saya tulis dalam buku saya berjudul Perempuan
pun Pandai Berbisnis misalnya, adalah contoh orang yang mencapai puncak
kesuksesan dalam pengertian yang baik. Perempuan kelahiran Jakarta, 4 November
1965 itu sebetulnya lahir dalam keadaan normal. Sebelum mengalami kebutaan, ia
merupakan perempuan yang aktif dan bekerja di bidang perbankan dan properti.
Namun sejak 1992 Peni Susilowati mulai merasakan sakit pada kedua matanya yang
mencapai puncaknya setelah melahirkan putri bungsunya, April 1998. Sejak saat
itu ia benar-benar kehilangan penglihatannya. Awalnya ia shock berat. Meskipun demikian, ia berusaha untuk bangkit. Enam
bulan setelah melahirkan, ia memilih untuk belajar membaca huruf Braille. Ketika
merasa sudah mahir, Peni Susilowati mulai menerjunkan diri membantu sesama tunanetra,
mengajari mereka membaca huruf Braille. Selain itu, ia juga pernah mencoba
usaha katering makan siang di sebuah sekolah selama setahun, usaha pengiriman
Tenaga Kerja Indonesia, membantu adik yang sering kelebihan order pembuatan
kaos untuk promosi, sampai menerima jahitan dari produsen pakaian anak ternama.
Begitu ibunya sakit pada 2005, ia berhenti bekerja total sampai ibunya
meninggal setahun kemudian. Jika di kemudian hari ia memiliki usaha busana
muslim, diakui usahanya itu berdiri secara tidak sengaja. Dari usaha yang
awalnya sebatas menerima order dari adiknya, pada tahun 2007 akhirnya ia berkreasi
dengan busana muslim. Ternyata busana muslim karyanya yang diberi merk
Shabrina, terjual laris. Lama kelamaan usahanya meningkat hingga kapasitas
produksinya mencapai 5.000 - 6.000 item dengan karyawan sebanyak 100 orang. Ia
juga membuat busana muslim khusus anak-anak yang diberi merk Alisha. Meskipun
matanya buta, tapi Peni Susilowati mampu menjadi “cambuk” bagi orang yang
memiliki fisik normal untuk bisa bersemangat dalam menghadapi kehidupan.
Untuk
ketenaran dalam pengertian yang buruk, tulisan wartawan Kompas Pepih Nugraha yang berjudul “Djamhari Kena Vonis Dua Kali”
yang dimuat dalam Kompas, 27 November
1995 kiranya dapat dipakai sebagai contoh. Tulisan Pepih Nugraha ini tidak dimaksudkan
untuk menginspirasi dan membuat senang pembacanya, tapi sebagai cerita duka atau
cerita kelam seorang Djamhari yang harus masuk penjara selama 10 bulan dan
nasibnya ditelantarkan pihak Perumka (sekarang berganti nama menjadi PT KAI)
akibat kecelakaan kereta api pada 19 Oktober 1987 yang terkenal dengan sebutan
“Tragedi Bintaro”. Djamhari sebagai Kepala Pengatur Perjalanan Kereta Api
(PPKA), saat peristiwa itu terjadi, ia bertugas di Stasiun Sudimara. Banyak
versi mengenai Djamhari, apakah ia benar-benar sosok yang perlu dipersalahkan
atau orang lain yang salah. Delapan tahun sesudah tragedi Bintaro, Djamhari
menolak bercerita kepada Pepih Nugraha mengenai tragedi itu, kecuali bercerita tentang
nasibnya yang ditelantarkan oleh pihak Perumka karena hak-haknya tidak pernah
diberikan secara jelas. Dipensiunkan tidak, dipecat juga tidak. Ia hanya
mendapat “uang tunggu nasib” sebesar Rp 60.000,- per bulan, dan itupun berhenti
menetes setelah tujuh tahun sejak tragedi Bintaro terjadi.
Siapa yang orang yang dapat dijadikan objek
tulisan profil? Pada umumnya, orang yang dijadikan objek tulisan profil memang
orang-orang terkenal seperti pengusaha, selebriti, politikus, olahragawan dan
sebagainya. Namun demikian, orang tidak terkenal pun dapat dijadikan objek
tulisan profil sepanjang orang tersebut memiliki prestasi, keunikan, atau
ketenaran meskipun dalam pengertian yang buruk seperti kisah kelam Djamhari di
atas.
Kompas
sebagai surat kabar berskala nasional, seperti dikatakan Pepih Nugraha, memberikan
syarat penulisan sosok atau profil haruslah orang yang masih hidup dengan
pencapaian prestasi terakhirnya.
Tulisan tentang profil memang tak hanya berupa
profil seseorang. Setidaknya ada tiga bentuk profil seperti disebutkan oleh
Setiawan G. Sasongko, yakni profil seseorang, profil daerah, dan profil
perusahaan. Namun selain yang disebutkan oleh Setiawan G. Sasongko, ternyata
masih ada profil yang lain seperti Profil
Perempuan Indonesia, sebuah profil yang mendasarkan pada jenis kelamin. Dalam
hubungannya dengan tulisan ini, profil yang dimaksudkan adalah profil
seseorang.
2. Memoar
Memoar
sesungguhnya hampir sama dengan profil. Keduanya sama-sama menceritakan sebagian
kecil kisah hidup seseorang. Yang membedakan profil dengan memoar adalah:
tulisan dalam profil tidak sekedar menceritakan kisah hidup saja, tapi juga melihat
sisi istimewa dari tokoh yang diceritakan; sedangkan tulisan dalam memoar
menceritakan apa saja yang dialami oleh tokoh tersebut dalam kurun waktu
tertentu yang dianggap layak diceritakan.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan memoar dengan: (1) kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa
lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan,
dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang
berhubungan dengannya; dan (2) catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup
seseorang. Sementara dalam Kamus
Istilah Sastra susunan Panuti Sudjiman disebutkan bahwa memoar atau memoir
adalah: (1) cerita atau catatan peristiwa yang berhubungan dengan pokok atau
masa tertentu seperti yang diketahui pengarang atau seperti yang dihimpunnya
dari sumber-sumber tertentu; dan (2) catatan atau rekaman tentang pengalaman
hidup seseorang.
Setiawan G. Sasongko, orang yang sudah
banyak menulis biografi, menyebut memoar dengan kisah seseorang yang berkaitan
dengan kejadian tertentu dan pada waktu tertentu. Jadi, memoar merupakan
sepenggal kisah seseorang yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang
dianggapnya sangat penting. Di pihak lain, M. Zamakh Syarifani mengartikan
memoar sebagai catatan fakta-fakta sederhana tentang masa lalu penulis.
Apabila yang ditulis dalam memoar
meliputi kurun waktu yang panjang, maka memoar dapat setebal satu buku. Sebagai
contoh adalah memoar yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer.
Memoar yang berjudul Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer itu tebalnya mencapai 504 halaman. Buku
yang terdiri atas delapan bagian, tujuh di antaranya ditulis oleh Koesalah
Soebagyo Toer, sedang yang satu bagian ditulis oleh Soesilo Toer. Tujuh bagian
yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer adalah: Bagian Pertama: Blora, Bagian
Kedua: Semarang. Bagian Ketiga: Jakarta, Bagian Keempat: Moskwa, Bagian Kelima:
Tahun 1965, Bagian Keenam: Tahun-Tahun yang Panjang, dan Bagian Bagian Ketujuh:
Tahun-Tahun yang Pasti Berlalu. Sementara bagian kedelapan merupakan catatan
Soesilo Toer. Koesalah Soebagyo Toer yang lahir pada tanggal 27 Januari 1935 memulai
kisahnya sejak ia masih berada di kota kelahirannya, Blora, dan mengakhiri ceritanya
pada tahun kematian Pramoedya Ananta Toer, Juli 2006. Itu adalah contoh memoar
yang meliputi kurun waktu yang panjang. Sebaliknya, jika yang ditulis merupakan
cukilan pendek dari kisah hidup penulisnya, maka memoar bisa ditulis hanya
beberapa halaman saja.
Tidak semua buku memoar menggunakan
judul memoar. Kita ambil contoh memoar Mr. Susanto Tirtoprojo[1]).
Judul yang dipakai oleh Mr. Susanto Tirtoprojo adalah Nayaka Lelana ‘Pejabat Negara Berkelana’. Meskipun tidak
menggunakan judul memoar, tapi Nayaka
Lelana adalah sebuah buku memoar. Buku ini digubah dalam bentuk tembang dengan menggunakan bahasa Jawa.
Ada dua versi pencetakan buku ini, yang satu dicetak dengan menggunakan huruf
Jawa, sedang yang lainnya dicetak dengan menggunakan huruf Latin. Saya
kebetulan memiliki buku Nayaka Lelana
yang ditulis dengan huruf Jawa, yang judul lengkapnya: Serat Waosan Nayaka Lelana ‘Buku Bacaan Pejabat Negara Berkelana’. Buku
ini menceritakan tentang pengembaraan penulisnya, Mr. Susanto Tirtoprojo yang merupakan
seorang menteri. Beliau berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk
menghindari kejaran tentara Belanda. Kisahnya dimulai ketika ibukota negara
diserang oleh tentara Belanda pada hari Minggu, 19 Desember 1948. Awalnya tentara
Belanda mengebom Lapangan Kapal Terbang Maguwa (sekarang: Bandara Adisucipto)
yang dilanjutkan dengan menyerang kota Yogyakarta. Saat itu Yogyakarta merupakan
ibukota negara Indonesia. Sewaktu pengeboman terjadi, Mr. Susanto Tirtoprojo sedang
berada di Surakarta, dalam rangka menengok keluarga. Begitu mendengar berita
tersebut, ia segera bermusyawarah dengan Kasimo yang juga sedang berada di Surakarta.
Mereka sepakat bergegas kembali ke Yogyakarta, memenuhi kewajiban sebagai
menteri, karena dengan adanya kejadian ini tentu akan ada rapat. Jam 8 pagi,
dua orang menteri itu kembali ke Yogyakarta dengan mengendarai mobil. Akan
tetapi ketika perjalanan baru sampai Desa Krapyak sebelah barat daya Kartasura,
Belanda menyerangnya lewat udara. Tampak dua pesawat terbang menyerang dengan
sengit. Mobil yang dinaiki oleh Mr. Susanto Tirtoprojo maupun Kasimo, hancur
terkena peluru. Beruntung mereka masih mendapat perlindungan Tuhan. Mengingat serangan
Belanda sangat berbahaya bagi keselamatannya, maka mereka mengurungkan niatnya
untuk melanjutkan perjalanan menuju Yogykarta. Mereka sepakat kembali ke Surakarta
dengan naik kereta api. Di Kartasura, mereka bertemu dengan Dokter Sukiman (lengkapnya:
Sukiman
Wiryosanjoyo) yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Dokter Sukiman
juga berniat ke Yogyakarta. Oleh karena kondisinya sangat genting, akhirnya
tiga menteri tersebut sepakat pulang ke Surakarta. Keesokan harinya, Senin
tanggal 20 Desember 1948, tiga menteri tersebut berkumpul di balaikota Surakarta,
bermusyawarah bersama walikota, residen, Gatot Soebroto, Suharjo, Suroso, dengan Sumardi sebagai notulis. Hasil
musyawarah memutuskan agar pemerintah pusat harus dilanjutkan. Dasar hukumnya
adalah Keputusan Kabinet tanggal 16 Desember 1948 di mana keputusan itu dibuat disebabkan
presiden akan pergi ke India, sedangkan wakil presiden sedang sakit. Yang
diberi mandat sebagai pimpinan pemerintah pusat, yaitu Menteri Perhubungan,
Menteri Dalam Negeri (Dokter Sukiman), dan Menteri Kehakiman (Mr. Susanto
Tirtoprojo). Oleh karena dua dari tiga menteri tersebut berada di Surakarta,
mereka berhak memerintah. Tiga menteri itu berbagi tugas. Malam hari, mereka
berjanji akan rapat lagi. Akan tetapi saat jam menunjukkan pukul 5 pagi, datang
berita bahwa musuh sudah mendekat, sekitar 9 kilometer lagi dari tempat
tersebut. Seketika mereka meninggalkan tempat dan batal mengadakan rapat. Waktu
itu Menteri Supena baru saja datang. Mereka kemudian pergi bersma-sama menuju
Tawangmangu. Singkat cerita, Mr. Susanto Tirtoprojo
terus berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya secara sembunyi-sembunyi
agar tidak ditangkap Belanda, sambil berjuang untuk negara. Ketika perjalanan sampai
di Piyungan, ia dijemput oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada hari Rabu
tanggal 13 Juli 1949 pukul 8 pagi. Tak lama kemudian sampailah ia di Yogyakarta.
Itulah memoar Mr. Susanto Tirtoprojo ketika terjadi agresi Belanda kedua.
Intinya, memoar hanya menceritakan
sebagian kisah hidup seseorang dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, tak
mengherankan jika seseorang dapat menulis begitu banyak memoar tentang dirinya.
Jusuf Kalla misalnya, jika mau, bisa saja membuat memoar saat menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan, memoar
ketika menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, memoar
sewaktu menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, memoar
tatkala menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat, memoar
waktu menjadi Ketua Umum Partai Golongan Karya,
memoar saat menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dan memoar ketika menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Joko
Widodo. Bagi orang biasa yang bukan pejabat, bisa saja menulis memoar lebih
dari satu. Misalnya, memoar pernah terjun ke parit saat belajar naik sepeda
dengan menggunakan sepeda unta, memoar saat operasi amandel ketika ia masih
duduk di bangku Sekolah Dasar, dan sebagainya.
3.
Biografi
dan Autobiografi
Biografi
dan autobiografi tidaklah ada bedanya dari segi muatan isi. Yang membedakan
hanya siapa yang menulis. Jika biografi melibatkan orang lain untuk menulis,
maka autobiografi tidak memerlukan bantuan orang lain untuk menceritakan kisah
hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan arti biografi dan autobiografi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya, biografi diartikan dengan
riwayat hidup (seseorang) yang ditulis oleh orang lain, sedang autobiografi
diartikan dengan riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri. Kamus Istilah Sastra
susunan Panuti Sudjiman mengartikan biografi dengan kisah tentang hidup
seseorang yang ditulis oleh orang lain, sedang autobigrafi diartikan sebagai
kisah tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang yang bersangkutan. Masih
disebutkan dalam Kamus Istilah Sastra,
biografi modern biasanya ditulis berdasarkan penelitian yang cermat, dan oleh
karenanya cenderung objektif. Biografi gaya lama biasanya disusun untuk memberi
teladan kepada pembaca.
Menurut Setiawan G. Sasongko, kata biografi berasal dari kata bio dan grafi. Bio bermakna
hidup, sedang grafi ada kaitannya
dengan cetak atau tulisan. Jadi, secara bebas kata biografi dapat diartikan tulisan tentang si hidup. Maksudnya, kisah
perjalanan hidup seseorang. Pepih
Nugraha yang menyebut kata biografi
berasal dari bahasa Yunani bios ‘hidup’ dan graphien
‘tulis’, mengartikannya dengan
tulisan tentang kehidupan seseorang. Sementara kata autobiografi oleh Jubilee Enterprise diartikan dengan kisah nyata
tentang dirimu sendiri.
Berdasarkan buku-buku biografi yang pernah
dibacanya, Ana Nadhya Abrar secara tidak langsung menyimpulkan bahwa makna
biografi paling tidak ada empat, meliputi: (1) kisah perjalanan hidup, (2)
sejarah anak manusia, (3) dokumentasi gagasan dan kekayaan intelektual, dan (4)
wahana melancong ke masa lalu. Akan tetapi Ana Nadhya Abrar kemudian mengatakan
bahwa tidak ada keharusan sebuah biografi mengandung semua makna tersebut. Bisa
saja sebuah biografi hanya tampil sebagai sejarah anak manusia, bisa juga
sebagai wahana melancong ke masa lalu. Namun biografi yang mengandung semua
makna tersebut akan sangat memuaskan khalayak.
Mengingat biografi menceritakan tentang kisah
perjalanan hidup seseorang, maka bahan yang digunakan untuk menulis harus
berasal dari ucapan, pikiran, dan tindakan tokoh tersebut. Biografi, selain
dipakai untuk menceritakan perjalanan hidup orang yang masih hidup, juga dapat
dipakai untuk menceritakan perjalanan hidup orang yang sudah meninggal.
Dilihat dari klasifikasinya, ada dua jenis
biografi, yakni biografi singkat dan biografi panjang. Biografi singkat hanya menceritakan
fakta-fakta kehidupan seseorang dan peran pentingnya; sedangkan biografi panjang
berisi kumpulan informasi kehidupan seseorang yang ditulis secara rinci dengan
gaya story telling atau bercerita.
JJika autobiografi adalah kisah perjalanan
hidup seseorang yang ditulis sendiri oleh orang yang bersangkutan, lalu apa bedanya dengan
memaor? Jawabnya: memoar hanya menceritakan sebagian
kisah hidup seseorang dalam kurun waktu tertentu, sedangkan autobiografi
menuliskan keseluruhan kisah hidup seseorang sejak dari lahir hingga tulisan
itu dibuat. Seseorang dapat menulis banyak memoar tentang dirinya, tapi ia
hanya dapat menulis satu autobiografi.
Daftar
Acuan
1.
Buku
Ana
Nadya Abrar . 2010. Bagaimana Menulis
Biografi: Perspektif Jurnalisme. Sleman – Yogyakarta: CV Emerson.
Indiwan
Seto Wahjuwibowo. Tanpa Angka Tahun. Pengantar
Jurnalistik. Tanpa Nama Tempat dan Penerbit.
Jubilee
Enterprise. 2011. Melejitkan Otak Melalui
Gaya Menulis Bebas (Freewriting). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer. 2009. Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Mulyono Atmosiswartoputra. 2021. Perempuan pun Pandai Berbisnis. Bogor:
Guepedia.
M. Zamakh Syarifani. 2009. Menulis dan Menerbitkan Buku Fiksi dan
Nonfiksi (Panduan Bagi Pemula). Yogyakarta: Milestone.
Panuti
Sudjiman. 1990. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Pepih
Nugraha. 2013. Menulis Sosok Secara
Inspiratif, Menarik, Unik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pepih Nugraha. 2013. Ranjau Biografi. Sleman – Yogyakarta: Bentang.
Setiawan
G. Sasongko. 2012. Menyelamatkan Sejarah
Hidup: Panduan Menulis Biografi, Profil Perusahaan, dan Buku Pemikiran. Klaten: Pustaka Wasilah.
St. S. Tartono. 2005. Menulis di Media Massa Gampang! Tips untuk Menulis di Media Massa Cetak. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Susanta Tirtapraja. 1955. Sêrat Waosan Nayaka Lêlana. Djakarta:
Djawatan Pengadjaran, Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan.
2. Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Ignatius_Joseph_Kasimo_Hendrowahyono
https://id.wikipedia.org/wiki/Jusuf_Kalla
https://kbbi.web.id/autobiografi
https://kbbi.web.id/biografi
https://kbbi.web.id/memoar
https://kbbi.web.id/profil
https://kbbi.web.id/sosok
https://penerbitdeepublish.com/teknik-menulis-penerbit-buku-a15/
[1]) Dalam buku Nayaka
Lelana, nama-nama tokoh, termasuk nama penulisnya yang juga tokoh cerita,
ditulis sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Jawa dengan huruf Jawa maupun
huruf Latin, yakni Susanta Tirtapraja, Kasima, Gathot Subrata dan sebagainya. Agar tidak membingungkan bagi orang
yang tidak paham dengan kaidah penulisan bahasa Jawa dengan huruf Jawa maupun
huruf Latin, maka untuk kepentingan tulisan ini, nama para tokoh dalam buku Nayaka Lelana disesuaikan dengan penulisan
yang umum dalam buku-buku atau catatan-catatan sejarah seperti: Susanto
Tirtoprojo, Kasimo (lengkapnya: Ignatius Yoseph Kasimo Hendrowahyono), Gatot Subroto
dan sebagainya, dengan menggunakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempunakan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar