Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia dalam meraih kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Firman Allah yang kini terkumpul menjadi sebuah kitab, tidak diturunkan sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari (menurut kalender Hijriah). Firman Allah yang pertama kali turun sebanyak lima ayat, yang di Al-Qur’an tercantum dalam Surat Al-Alaq ayat 1-5. Ayat-ayat tersebut diturunkan saat Nabi Muhammad ber-tahannuts di Gua Hira yang terletak di Jabal Nur. Menurut kesepakatan para ulama, peristiwa tersebut terjadi pada hari Senin, tanggal 17 Ramadhan atau 6 Agustus 610 Masehi. Sementara firman Allah yang diturunkan terakhir adalah ayat yang turun di Bukit ‘Arafah (Jabal Rahmah) saat Rasulullah melaksanakan Haji Wada’. Dalam Al-Qur’an, ayat tersebut tercantum dalam Surat Al-Mā’idah ayat 3. Dalam ayat yang cukup panjang ini, ada bagian ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridoi Islam sebagai agamamu”. Ayat ini turun pada 9 Dzulhijah 10 Hijriah atau sekitar tanggal 16 Maret 632 Masehi.
Dari kurun waktu sepanjang 22 tahun lebih, Rasulullah menerima wahyu di Makkah selama 12 tahun lebih, sedangkan di Madinah selama 10 tahun. Ayat-ayat yang turun di Makkah disebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun di Madinah disebut ayat-ayat Madaniyah. Meskipun Rasulullah telah berhijrah ke Madinah, tapi bila ayat tersebut turun di Makkah seperti Surat Al-Mā’idah ayat 3 di atas, maka ayat tersebut termasuk ayat Makkiyah.
Hikmah di balik turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit adalah:
1) untuk meneguhkan hati Rasulullah dalam perjuangan dakwah dan menghadapi berbagai tantangan dari orang-orang kafir;
2) agar Rasulullah tidak merasa keberatan membacakan dan mengajarkan kepada para pengikutnya;
3) agar lebih mudah dihafalkan, dipahami, dan diamalkan; dan
4) untuk menjawab pertanyaan atau memberi penjelasan atas suatu permasalahan yang diajukan kepada Rasulullah.
Pada zaman Rasulullah, Al-Qur’an belum terkumpul menjadi satu buku atau kitab seperti yang kita kenal sekarang. Saat itu, setiap menerima wahyu, Rasulullah langsung memyampaikan kepada sahabat-sahabatnya dan memerintahkan untuk menghafalkannya. Tak mengherankan jika banyak sahabat yang hafal Al-Qur’an di luar kepala. Inilah salah satu hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur.
Di samping itu, Rasulullah juga memerintahkan kepada para sahabat yang pandai menulis untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterima oleh beliau. Tidak sedikit sahabat yang pernah diperintahkan untuk menuliskannya. Dalam bukunya berjudul Keajaiban Kitab Suci Al-Quran, Ust. Mujaddidul Islam MAFA dan Ust. Jalaluddin Al-Akbar menyebutkan paling sedikit ada 26 sahabat yang pernah diperintahkan oleh Rasulullah untuk menuliskan ayat-ayat yang diterimanya, yakni: Abu Bakar, Umar bin Kaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Amir bin Fuhairah, Abdullah bin Al-Arqam, Amr bin Ash, Ubai bin Ka’ab, Mughirah bin Syu’bah, Handhalah bin Rabi’, Abdullah bin Ruwahah, Khalid bin Walid, Khalid bin Sa’id, Al-’Alla bin Hadrami, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Yazid bin Abi Sufyan, Muhammad bin Maslamah, Abdullah bin Abdullah bin Ubay, Mu’aiqib bin Abi Fatimah, Hudzaifah bin Yaman, Abdullah bin Abi Sarah, Huwaithib bin Abdul Uzza, Hasin bin Namir, Tsabit bin Qais, dan Zaid bin Tsabit.
Para sahabat dalam menuliskan firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah menggunakan alat-alat yang masih sangat sederhana, seperti pelepah kurma, kulit binatang, batu, tulang unta, dan aqtab (bantalan kayu yang biasa dipasang di atas punggung unta). Salah seorang sahabat yang mendapat kepercayaan dari Rasulullah untuk menuliskan ayat-ayat yang beliau terima, yaitu Zaid bin Tsabit, menuturkan pengalamannya dalam riwayat Bukhari bahwa, “Dahulu kami di sisi Rasulullah menyusun Al-Qur’an dari riqa’ (kulit). Aku mengumpulkannya dari riqa’, aktaf (tulang unta), dan hafalan-hafalan orang”. Zaid bin Tasbit sangat berhati-hati dalam melaksanakan tugas selaku “juru tulis” wahyu. Ia tidak mau menuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an begitu saja, kecuali setelah disaksikan kebenarannya oleh dua orang saksi yang adil, meskipun ia sendiri hafal Al-Qur’an.
Untuk menghindari kecampuradukkan antara ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan yang lain, maka Rasulullah tidak membenarkan para sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini dapat diketahui dari hadits riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Khudriy yang berbunyi, “Janganlah kalian tulis dariku kecuali Al-Qur’an. Barang siapa yang telah menulis dari selain Al-Qur’an supaya menghapusnya”.
Meskipun Al-Qur’an telah ditulis sejak zaman Rasulullah, namun ayat-ayat suci tersebut masih belum terhimpun menjadi satu. Al-Qur’an masih berserakan. Ada yang disimpan beberapa sahabat yang diperintahkan menulis oleh Rasulullah, dan ada juga beberapa sahabat yang menulis untuk diri sendiri dan kemudian menyimpannya. Bahkan tidak sedikit sahabat yang menyimpannya di otak dalam bentuk hafalan.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah menggantikan kedudukan Rasulullah dalam hal menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip Islam, membuat kebijakan, dan menjaga keamanan umat.
Pada saat Abu Bakar menjadi khalifah, masalah berat menghadangnya. Dikarenakan Rasulullah telah wafat, banyak orang yang tadinya telah masuk Islam lalu kembali ke agama lamanya. Mereka murtad. Bahkan ada beberapa orang yang mengaku sebagai nabi. Mereka adalah Musailamah Al-Kadzdzab, Thulaihah Ibn Khuwailid Al-Asadi, Al Aswad Al-‘Ansi, dan Sajah binti Al-Harits At-Taghlabiyyah. Masalah lain yang menghadang Abu Bakar adalah Malik bin Nuwairah dan pengikutnya dari Bani Tamim yang tidak mau membayar zakat.
Untuk mengatasi keadaan yang kacau-balau, Abu Bakar mengadakan persiapan untuk memberantas mereka yang menyimpang, demi untuk menegakkan kembali kewibawaan Islam. Namun sebelum mengirimkan pasukannya, Abu Bakar telah mengirim surat terlebih dahulu kepada pemimpin di daerah yang akan didatangi pasukannya. Isi surat, mengajak mereka kembali ke jalan yang benar. Jika surat tersebut tidak mendapatkan balasan sesuai yang diharapkan, barulah pasukannya dikirimkan.
Menurut Ustadz Dja’far Amir, Abu Bakar mengirimkan 11 pasukan dengan serentak di bawah 11 orang pemimpin untuk disebar ke daerah-daerah yang kacau tadi. Para pemimpin tersebut adalah Khalid bin Walid, ‘Ikrimah bin Abu Jahal, Syurahbil bin Hasanah, Al-Muhajir bin Abi Umayyah, Hudhaifah bin Muhsin, ‘Arfajah bin Hartsamah, Suwaid bin Muqrin, Al-‘Alla bin Al-Hadrami, Dhzuraifah bin Hajiz, Amr bin Ash, dan Khalid bin Said.
Dalam pertempuran di Yamamah melawan Musailamah Al-Kadzdzab yang mengaku sebagai nabi, pasukan muslim di bawah pimpinan ‘Ikrimah bin Abu Jahal tak mampu mengalahkan barisan nabi palsu tersebut. Oleh karena itu, ‘Ikrimah bin Abu Jahal berkirim surat kepada Abu Bakar sebagai khalifah, sambil mengawasi Musailamah Al-Kadzdzab apakah masih berada di Yamamah atau tidak.
Mengetahui pasukan yang dikirimkan ke Yamamah tidak mampu mengalahkan pasukan Musailamah Al-Kadzdzab, Abu Bakar lalu mengirim pasukan lagi di bawah panglima perang Khalid bin Walid. Akhirnya, pasukan muslim dapat mengalahkan pasukan nabi palsu, dan Musailamah Al-Kadzdzab yang mengaku sebagai nabi tewas terbunuh oleh pasukan muslim.
Dalam peperangan di Yamamah, tidak sedikit pasukan muslim yang gugur di medan perang sebagai syuhada. Bahkan banyak di antara yang gugur dalam perang tersebut adalah penghafal Al-Qur’an. Melihat kenyataan ini, Umar bin Kaththab merasa khawatir akan kehilangan sebagian besar ayat-ayat suci Al-Qur’an akibat gugurnya para penghafal Al-Qur’an. Apalagi jika di kemudian hari terjadi perang lagi dan para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur kembali, maka lama kelamaan umat Islam akan kehilangan Al-Qur’an. Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada Abu Bakar sebagai khalifah, agar melakukan pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Menanggapi usulan Umar bin Khaththab, Abu Bakar pada mulanya merasa berkeberatan, karena perbuatan semacam ini belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Akan tetapi setelah Umar bin Khaththab meyakinkan bahwa perbuatan pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah demi untuk memelihara kemurnian Al-Qur’an, akhirnya Abu Bakar menyetujui. Demikian pula para sahabat terkemuka, mereka juga menyetujui usulan Umar bin Khaththab.
Untuk mewujudkan pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam satu mushaf, Abu Bakar kemudian mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai pemimpin pelaksanaan pengumpulan dan penghimpunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang disepakati oleh para sahabat yang lain. Zaid bin Tsabit adalah salah satu penulis ayat-ayat suci Al-Qur’an yang sangat terkenal pada waktu itu karena senantiasa menuliskan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah.
Awalnya Zaid bin Tsabit berkeberatan melaksanakan perintah Abu Bakar karena Rasulullah belum pernah melakukannya. Selain itu, ia juga merasa bahwa tugas melakukan pengumpulan dan penghimpuan ayat-ayat suci Al-Qur’an itu sangat berat, lebih berat dari memindahkan gunung. Namun setelah diyakinkan oleh Abu Bakar bahwa pekerjaan tersebut sangat mulia dan utama agar Al-Qur’an tidak musnah karena sahabat nabi yang hafal Al-Qur’an banyak yang meninggal dunia dan tulisan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berserakan itu semakin lama kian rusak, maka Zaid bin Tsabit pun akhirnya bersedia melaksanakan perintah Abu Bakar.
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid bin Tsabit dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa sahabat yang hafal Al-Qur’an. Meskipun Zaid bin Tsabit merupakan orang yang hafal Al-Qur’an dan telah banyak menuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an pada masa Rasulullah, tapi ia tetap berhati-hati dalam menjalankan tugasnya itu. Zaid bin Tsabit menghimpun ayat-ayat suci Al-Qur’an yang ditulis di atas pelepah kurma, kayu, tulang, maupun batu. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan tanpa didukung tulisan.
Di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar bin Khaththab, dan para tokoh sahabat nabi lainnya, Zaid bin Tsabit berhasil menyelesaikan tugas yang dibebankan di atas bahunya. Pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam bentuk mushaf itu dikerjakan selama satu tahun, yakni pada tahun 13 Hijriah. Mushaf Al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit tadi, kemudian diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar, dan selanjutnya disimpan hingga beliau meninggal dunia.
Sepeninggal Abu Bakar, yang menggantikan sebagai khalifah adalah Umar bin Khaththab. Ayat-ayat suci Al-Qur’an yang telah terkumpul menjadi satu mushaf, kemudian disimpan di rumah Umar bin Khaththab hingga ia meninggal. Sepeninggalnya, mushaf Al-Qur’an selanjutnya disimpan di rumah Hafsah, putri Umar bin Khaththab dan istri Rasulullah.
Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khaththab. Pada masa pemerintahannya, muncul masalah qira’ah (cara membaca Al-Qur’an) di kalangan umat Islam. Hal ini, menurut Ari Ghorir Atiq, disebabkan pada masa Rasulullah orang-orang dibebaskan dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an sesuai lahjah (dialek) masing-masing kabilah.
Pada suatu ketika, datanglah Hudzaifah bin Yaman ke hadapan Utsman bin Affan. Ia menyampaikan informasi bahwa dirinya telah menyaksikan perselisihan di kalangan kaum muslimin tentang cara membaca Al-Qur’an. Masing-masing di antara mereka mengaku dirinya yang benar dalam cara membacanya. Untuk itu, Hudzaifah bin Yaman menyarankan kepada Khalifah Utsman bin Affan agar menyeragamkan cara membaca Al-Qur’an yang nantinya dijadikan pedoman bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah.
Menanggapi usulan Hudzaifah bin Yaman, Utsman bin Affan segera membentuk lajnah (panitia) yang bertugas menyalin kembali mushaf Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar. Mereka yang mendapat tugas adalah Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al ‘Ash, dan Abdurrahman bin Al Harits. Utsman bin Affan kemudian memerintahkan seseorang untuk meminjam mushaf Al-Qur’an yang disimpan oleh Hafsah binti Umar bin Khaththab.
Keempat orang yang bertugas menyalin kembali tadi, diperintahkan untuk menyalin sebanyak 7 mushaf Al-Qur’an. Mereka diperintahkan untuk menyeragamkan dialeknya, yaitu dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan dialek Quraisy.
Setelah penyalinan selesai, mushaf-mushaf Al-Qur’an tersebut dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, dan Kufah. Tujuanya untuk menyeragamkan kaum muslimin dalam bacaan Al-Qur’an. Selanjutnya Utsman bin Affan memerintahkan agar mushaf Al-Qur’an yang dipinjam dari Hafsah binti Umar bin Khaththab tadi dikembalikan. Menurut keterangan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Ust. Mujaddidul Islam MAFA dan Ust. Jalaluddin Al-Akbar, penulisan mushaf pada masa Utsman bin Affan terjadi pada tahun 25 Hijriah.
Selain itu, Utsman bin Affan juga memerintahkan supaya mushaf Al-Qur’an lainnya yang ada di tangan sahabat dibakar. Kaum muslimin hanya diperbolehkan menyalin atau memperbanyak tulisan Al-Qur’an berdasarkan mushaf yang telah ditentuksm sebagai standar, yaitu mushaf Utsmani.
Demikian, Khalifah Utsman bin Affan berhasil mempersatukan kaum muslimin dalam bacaan Al-Qur’an dan telah memelihara kemurnian Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an yang tersebar di mana-mana di dunia, berpedoman pada mushaf Utsman bin Affan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Ahmad Syauki. 2003. Lintasan Sejarah Al-Qur’an. Cetakan Ketiga. Bandung: CV. Sulita.
Ari Ghorir Atiq. 2020. Abu Bakar Ash-Shidiq, Sebuah Biografi. Yogyakarta: Mueeza.
Fuad Abdurahman dan Ali Sudansah, 2018. The Great of Abu Bakar Ash-Shiddiq: Keping-Keping Mozaik Menakjubkan Kehidupan Khalifah Pertama. Solo: Tinta Medina.
Ibrahim Al-Abyadi. 1996. Sejarah Al-Qur’an. Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.
Kamaluddin Marzuki. 1992. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rosihon Anwar. 2007. Ulum Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Ustadz Dja’far Amir. 1985. Sejarah Khulafaur Rasyidin. Solo: Ramadhani.
Ust. Mujaddidul Islam MAFA dan Ust. Jalaluddin Al-Akbar. 2010. Keajaiban Kitab Suci Al-Quran. Tanpa Nama Tempat: Delta Prima Press.
2. Internet
https://mulyonoatmosiswartoputra.blogspot.com/2024/10/musailamah-al-kadzdzab-nabi-palsu-saka.html
https://www.facebook.com/notes/mulyono-atmosiswartoputra/haji-wada'/675733363362679/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar