Sejak diutus sebagai rasul, Muhammad selalu berdakwah dengan berbagai strategi. Mula-mula Rasulullah berdakwah secara senbunyi-sembunyi di Makkah selama sekitar tiga tahun. Setelah itu, beliau berani berdakwah secara terang-terangan baik di Makkah maupun di Madinah hingga akhir hayat.
Selama sekitar tiga tahun pertama, Rasulullah berdakwah secara personal dan tertutup kepada keluarga dan sahabat terdekatnya. Orang yang pertama menyambut seruan Rasulullah adalah Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta Rasulullah.
Di rumah Rasulullah, ada juga Ali bin Abi Thalib. Ia anak paman Rasulullah, Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib diasuh oleh Rasulullah sejak kecil, karena ayahnya kurang mampu secara finansial, sementara anaknya banyak. Dulu, waktu Rasulullah masih kecil, beliau pernah diasuh oleh Abu Thalib. Meskipun usia Ali bin Abi Thalib masih sangat muda, namun ia berketetapan untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Zaid bin Haritsah termasuk orang yang mengimani pada saat orang masih sedikit yang beriman. Ia dulu merupakan budak Rasulullah, tapi kini sudah dimerdekakan. Kemudian ada Ummu Aiman yang langsung beriman ketika anak asuhnya diangkat sebagai rasul oleh Allah. Ummu Aiman adalah perempuan yang pernah mengasuh Rasulullah sejak kecil. Ummu Aiman awalnya adalah budak milik Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Rasulullah. Setelah menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Rasulullah kemudian membebaskan Ummu Aiman dari status budaknya. Begitu dekatnya hubungan Rasulullah dengan Ummu Aiman, sampai-sampai beliau memanggil “ibu” kepada mantan pengasuhnya itu.
Selain mereka, yang termasuk orang yang pertama beriman dan menyambut risalah Rasulullah, di antaranya adalah Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lain.
Mereka diajak untuk hanya menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala, karena Allah-lah yang menciptakan manusia dan segala yang ada di bumi dan langit. Mereka juga diajak untuk meninggalkan perbuatan keji.
Dalam bukunya berjudul Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan bahwa di antara wahyu yang pertama-tama turun adalah perintah shalat. Dengan mengutip pendapat Muqatil bin Sulaiman, ia mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada petang hari pada awal Islam, yang didasarkan pada firman Allah dalam Surat Al-Mukmin ayat 55, “Dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu pagi dan petang”. Sementara menurut Ibnu Hajar, sebelum Isra’, Rasulullah sudah pernah shalat, begitu juga para sahabat. Apabila waktu shalat tiba, seperti disebutkan oleh Ibnu Hasyim, Rasulullah dan para sahabat pergi ke tempat yang terpencil lalu secara sembunyi-sembunyi mengerjakan shalat agar tidak dilihat oleh kaumnya. Suatu ketika Abu Thalib melihat Rasulullah mengerjakan shalat bersama anaknya, Ali bin Abi Thalib, lalu ia menanyakan tentang shalat. Setelah mendapat penjelasan yang cukup memuaskan, Abu Thalib menyuruh Rasulullah dan anaknya agar menguatkan hati.
Ketika itu, orang-orang kafir Quraisy sudah mendengar kabar tentang dakwah Islam, namun mereka masih tidak memedulikan. Mereka mengira Muhammad hanyalah salah seorang di antara mereka yang peduli terhadap agama. Namun lama-kelamaan timbul perasaan khawatir di hati mereka, karena pengaruh tindakan Rasulullah. Oleh karena itu, mereka mulai menaruh perhatian terhadap dakwah beliau.
Sewaktu pengikut Rasulullah telah mencapai 30 orang lebih, beliau lalu menggunakan rumah Arqam bin Abi al-Arqam sebagai pusat aktivitas dakwah. Dipilihnya rumah Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat pertemuan, pengajaran, dan pembinaan umat Islam pada masa awal, karena rumah yang berada di Bukit Shafa dan terpencil ini dianggap aman dari pengintaian mata-mata kaum kafir Quraisy. Hal ini untuk menghindari tindakan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap “Tuhan-Tuhan” mereka seperti Latta dan Uzza. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Darul Arqam.
Setelah tiga tahun dakwah disampaikan secara sembunyi-sembunyi, akhirnya Rasulullah mendapat perintah agar berdakwah secara terang-terangan. Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah mengundang Bani Hasyim yang merupakan klan Rasulullah. Bani Hasyim merupakan salah satu klan dalam Suku Quraisy, suku bangsa Rasulullah di Makkah.
Dalam pertemuan tersebut, sebelum Rasulullah berbicara, Abu Lahab, salah satu paman Rasulullah, sudah mendahului berbicara. Intinya, Abu Lahab melarang Rasulullah berdakwah, menyebarkan agamanya. Rasulullah hanya diam dan tidak berbicara sepatah kata pun dalam pertemuan tersebut.
Rasulullah mengundang kembali mereka esok harinya. Kali ini, Rasulullah berhasil menyampaikan dakwahnya, namun mereka menolak dakwah beliau. Saat mereka hendak meninggalkan tempat pertemuan, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib bangkit seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membantu engkau. Aku akan lawan siapa saja yang menentang engkau”.
Sebelum meninggalkan tempat tersebut, sebagian orang yang hadir tersenyum geli, sebagian lagi tertawa terbahak-bahak begitu mendengar perkataan Ali bin Abi Thalib yang masih kanak-kanak dan belum balig. Meskipun Abu Thalib tidak melarang kedua anak laki-lakinya, Ja’far dan Ali, menjadi pengikut Rasulullah, namun ia enggan meninggalkan agama nenek-moyangnya.
Penolakan dakwah oleh keluarganya, tak menyurutkan langkah Rasulullah untuk terus berdakwah. Pada kesempatan lain Rasulullah naik ke atas Bukit Shafa dan menyeru kepada orang-orang Makkah. Langkah yang diambil oleh Rasulullah menyebabkan Abu Lahab, paman Rasulullah, marah. Sejak itu Abu Lahab memusuhi kemenakannya sendiri, disebabkan Rasulullah mengajak orang-ora0ng untuk hanya menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Bahkan istri Abu Lahab, Ummu Jamil, turut memusuhi Rasulullah juga.
Semakin lama jumlah pengikut Rasulullah kian bertambah. Saat itu, mulailah timbul tantangan dan rintangan dakwah. Orang-orang kafir Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Jahal, para bangsawan, dan hartawan Quraisy yang senang berhura-hura mulai merasa bahwa ajaran Rasulullah menjadi ancaman besar bagi kedudukan mereka.
Orang-orang yang mengingkari ajaran-ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah berusaha menghentikan dakwah yang dilakukan beliau. Abu Thalib, paman Rasulullah yang memiliki pengaruh dan kedudukan yang tertinggi dalam bangsa Quraisy, didatangi oleh orang-orang yang menolak ajakan dakwah Rasulullah. Mereka meminta kepada Abu Thalib untuk menghentikan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah.
Menghadapi permintaan orang-orang tersebut, Abu Thalib berkata kepada Rasulullah.
“Wahai kemenakanku, para pemuka Quraisy telah mendatangi dan menyuruhku agar kau berhenti berdakwah dengan agama barumu itu dan berhenti mencela ‘Tuhan-Tuhan’ yang mereka sembah”.
Mendengar perkataan pamannya, Rasulullah menjawab, “Wahai pamanku, demi Allah, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”.
Mendengar jawaban Rasulullah, Abu Thalib meneteskan air mata. Tatkala Rasulullah hendak beranjak meninggalkan tempat, Abu Thalib memanggilnya.
“Pergilah kemenakanku, dan katakan apa pun yang engkau suka. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan dirimu kepada siapapun”, kata Abu Thalib.
Hari demi hari terus berjalan. Orang-orang kafir Quraisy yang menghendaki Rasulullah menghentikan dakwahnya, ternyata luput dari harapan mereka. Rasulullah tak pernah berhenti berdakwah. Oleh karena itu, mereka mendatangi Abu Thalib kembali, sambil membawa Ammarah bin Al-Walid bin Al-Mughirah. Mereka meminta kepada Abu Thalib agar menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh, dan mereka akan menukarnya dengan Ammarah bin Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang pemuda yang tampan.
Abu Thalib menolak tawaran orang-orang kafir Quraisy yang dianggap menjijikan itu. Ia tak mau menyerahkan kemenakannya kepada mereka untuk dibunuh, dan kemudian mengasuh anak orang lain sebagai gantinya.
Tak berhasil memengaruhi Abu Thalib, orang-orang kafir Quraisy kembali bersikap keras dan bahkan semakin bengis. Mereka tidak hanya keras terhadap Rasulullah yang tidak mau menghentikan dakwahnya, tapi juga keras terhadap pengikut Rasulullah.
Abu Thalib yang merasa khawatir kemenakannya akan dibunuh oleh kaum kafir Quraisy, meminta kepada keluarganya dari Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan Abdi Manaf untuk bersedia melindungi anak saudaranya. Mereka menyanggupi permintaan Abu Thalib, baik yang sudah muslim maupun yang masih kafir. Yang tidak mau bergabung dalam kesanggupan melindungi Rasulullah adalah Abu Lahab, saudara satu ayah dengan Abu Thalib dan Abdullah, ayahanda Rasulullah. Abu Lahab memilih bergabung dengan orang lain daripada melindungi kemenakannya.
Melihat kesetiaan keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib melindungi Rasulullah, orang-orang kafir Quraisy mengurungkan rencana membunuh Rasulullah. Mereka kemudian membuat rencana baru untuk menghadang laju dakwah Rasulullah dan kaum muslimin. Akhirnya mereka membuat kesepakatan bersama, yaitu melarang menikah, jual beli, berteman, berkumpul, memasuki rumah, dan berbicara dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, kecuali jika kedua bani tersebut secara sukarela menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh. Kesepakatan itu mereka tulis di selembar papan yang kemudian digantungkan di tembok bagian dalam Ka’bah.
Rasulullah dan keluarga serta kaum muslimin betul-betul diboikot oleh orang-orang kafir Quraisy. Tak hanya sehari dua hari mereka diboikot oleh orang-orang kafir Quraisy, tapi selama tiga tahun. Tak mengherankan jika mereka kelaparan, karena tidak bisa melakukan jual beli, sehingga tidak ada yang dimakan. Untuk menyambung hidup, orang-orang yang diboikot tersebut terpaksa memakan dedadunan dan kulit binatang. Tak jarang terdengar suara tangis anak-anak yang memilukan karena kelaparan.
Tak tega melihat kondisi seperti ini, sebagian tokoh Quraisy ada yang secara sembunyi-sembunyi membawakan makanan untuk mereka yang diboikot. Di antara tokoh-tokoh yang suka mengirim makanan adalah Hisyam bin ‘Amr dari Bani Amir bin Lu’ay. Ia juga memengaruhi tokoh-tokoh Quraisy lain seperti Zuhair bin Abi Umayyah (Bani Makhzum), Muth’im bin ‘Ady (Kabilah Naufal), Abu al-Bukhturi dan Zam’ah bin Al-Aswad (Bani Asad) untuk melakukan apa yang ia lakukan. Usaha Hisyam bin ‘Amr tidak sia-sia. Banyak orang yang tidak suka dengan tindakan orang-orang Quraisy yang memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib.
Desakan dari beberapa tokoh Quraisy terkemuka untuk mengakhiri pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib semakin kuat dan sulit dibendung. Mereka tidak tega melihat penderitaan orang-orang yang diboikot, sehingga meminta agar piagam kesepakatan kezaliman itu dirobek.
Di pihak lain, Allah mengisyaratkan kepada Rasulullah bahwa piagam pemboikotan itu telah dimakan rayap. Mendapat isyarat dari Allah, Rasulullah kemudian memberitahukan hal tersebut kepada pamannya, Abu Thalib.
Abu Thalib yang sudah diberi tahu oleh Rasulullah, segera menemui orang-orang Quraisy. Ia mengatakan bahwa kemenakannya telah mengabarkan ihwal rayap-rayap yang menggerogoti piagam pemboikotan. “Jika kemenakanku bohong”, kata Abu Thalib, “kalian boleh menyingkirkannya. Akan tetapi jika dia benar, maka kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami”.
Mereka sepakat, dan kemudian menghampiri piagam pemboikotan. Ternyata benar! Piagam tersebut telah habis dimakan rayap. Yang tersisa hanya tulisan “bismika Allahumma”. Akhirnya, Rasulullah dan orang-orang yang ikut diboikot bebas dari pemboikotan.
Beberapa bulan setelah berakhirnya pemboikotan, Abu Thalib, paman Rasulullah yang selalu melindunginya, jatuh sakit. Usia Abu Thalib memang sudah tua, lebih dari 80 tahun. Apalagi sebelumnya telah mengalami pemboikotan bersama kemenakannya yang menyebakan penderitaan yang luar biasa, tak mengherankan jika raga yang sudah rapuh itu akhirnya tumbang.
Ketika sakit Abu Thalib semakin parah dan ajal hendak menghampirinya, Rasulullah menemui pamannya yang terbaring lemah. Saat itu, di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah.
“Wahai pamanku, katakan lā ilāha illallah, satu kalimat yang akan aku gunakan melakukan pembelaan untukmu di hadapan Allah”, kata Rasulullah kepada Abu Thalib.
Mendengar permintaan Rasulullah kepada Abu Thalib, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah yang ada di tempat tersebut menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci dan akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”.
Rasulullah terus mengajarkan kalimat tauhid itu kepada Abu Thalib. Sebaliknya, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata yang menyuruh agar Abu Thalib tidak meninggalkan agama Abdul Muththalib. Abu Thalib benar-benar enggan mengucapkan kata lā ilāha illallah, dan dia memilih berkata, “Aku tetap berada pada agama Abdul Muththalib”.
Mendengar ucapan pamannya, Rasulullah berkata, “Demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya untukmu”.
Dilatarbelakangi oleh peristiwa tersebut, maka Allah lalu menurunkan Surat At-Taubah ayat 113,
Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Selain itu, Allah juga menurunkan Surat Al-Qashash ayat 56.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima ptunjuk.
Itulah akhir hidup Abu Thalib, paman Rasulullah. Meskipun ia sangat mencintai Rasulullah dan selalu melindunginya, namun ternyata hatinya tak mau menerima sinar kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Asrifin An Nakhrawie. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.
Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.
K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan dkk. 2000. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran.wz Cetakan ke-6. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Martin Lings. 2018. Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Muhammad Chirzin. 2011. Buku Pintar Asbabun Nuzul, Mengerti Peristiwa dan Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Jakarta: Zaman.
Saiful Hadi El-Sutha. 2013. Muhammad, Jejak-Jejak Keagungan dan Teladan Abadi "Sang Nabi Akhir Zaman". Jakarta: As@-Prima Pustaka.
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. 2008. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ust. Maftuh Ahnan Asy. 2001. Kisah Kehidupan Nabi Muhammad SAW (Rahmatan Lil ‘Aalamiin). Surabaya: Terbit Terang.
https://www.facebook.com/notes/mulyono-atmosiswartoputra/darul-arqam/10216253885482006/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar