Ada kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, di mana kisah tersebut memberikan
pelajaran kepada kita bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah. Meskipun dia
istri dan anak nabi yang selalu diajak untuk menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya, tapi hanya Allah-lah yang bisa memberi hidayah apakah orang
tersebut akan menempuh jalan kesesatan atau menempuh jalan yang lurus. Orang
yang dimaksud dalam kisah tersebut adalah istri dan anak Nabi Nuh. Al-Qur’an
tidak menyebut nama keduanya, namun menurut para sejarawan, anak Nabi Nuh yang
disebut dalam kisah tersebut bernama Kan’an.
Nabi Nuh adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk meluruskan akidah
kaumnya. Kaum Nabi Nuh merupakan kaum yang pertama kali menyembah berhala.
Berhala-berhala yang menjadi sembahan mereka adalah Wadd,
Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.
Sesungguhnya Nabi Nuh tak mengenal lelah dalam mengajak kaumnya untuk
meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala dan hanya menyembah Allah.
Namun mereka tak mau menerima ajakan beliau. Setiap diseru oleh Nabi Nuh,
mereka menutup telinga dengan jarinya dan menutup muka dengan bajunya, meskipun
risalah disampaikan dengan cara yang lembut, bijaksana, dan penuh kesabaran.
Bahkan mereka semakin menjauh dari kebenaran dan sangat sombong.
Kaum Nuh telah mendustakan para rasul (Al-Qur’an Surat Asy-Syu’arā’
ayat 105).
Nuh
berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang,
maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan
sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau
mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan
menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan
menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru
mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku
(menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam” (Al-Qur’an
Surat Nūh ayat 5-9).
Selain menghadapi kaumnya yang tetap menolak seruannya, Nabi Nuh juga
harus menghadapi istri dan anaknya, Kan’an. Seperti kaumnya, istri dan anak
Nabi Nuh lebih senang memuja berhala daripada menyembah Allah. Mereka tak
pernah mau menerima seruan Nabi Nuh, meskipun beliau adalah suami dan ayah bagi
mereka. Istri dan anak Nabi Nuh lebih memilih jalan kesesatan.
Pada umumnya, mereka yang menolak ajakan Nabi Nuh adalah golongan orang
yang berkedudukan tinggi dan orang kaya. Mereka menganggap bahwa Nabi Nuh
adalah manusia biasa seperti halnya orang-orang pada umumnya. Sementara
orang-orang yang mau mengikuti seruan Nabi Nuh adalah golongan orang miskin dan
berkedudukan sosial rendah.
Maka
berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat kamu,
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di
antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki
sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta” (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 27).
Pembangkangan terhadap seruan Nabi Nuh juga tampak dari perkataan mereka
kepada sesama kaumnya yang mengingatkan agar jangan sekali-kali meninggalkan penyembahan
terhadap “Tuhan-Tuhan” mereka, yakni Wadd, Suwā’, Yaghuts,
Ya‘uq, dan Nasr.
Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Tuhan-Tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan
Nasr” (Al-Qur’an Surat Nūh
ayat 23).
Ratusan tahun Nabi Nuh berdakwah di tengah kaumnya. Walaupun beliau
ingin mengimankan seluruh kaumnya, namun apa daya hanya sedikit yang mau
mengikuti seruan beliau. Allah kemudian memberi tahu kepada Nabi Nuh bahwa
tidak akan ada lagi orang yang akan beriman, kecuali mereka yang telah
mengikuti ajakan beliau. Oleh karena itu, Nabi Nuh diminta untuk tidak bersedih
oleh Allah.
Dan
diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara
kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu
bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan (Al-Qur’an Surat Hūd ayat
36).
Ketika persoalan yang dihadapi oleh Nabi Nuh sudah mencapai titik nadir,
maka mengadulah beliau kepada Allah.
Maka
dia mengadu kepada Tuhannya bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan,
oleh sebab itu tolonglah (aku) (Al-Qur’an Surat Al-Qamar ayat 10).
Rasul
itu berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku” (Al-Qur’an
Surat Al- Mukminūn ayat 39).
Nuh berkata, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku
dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku”
(Al-Qur’an Surat Asy-Syu’arā’ ayat 117-118).
Nuh
berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang
kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka
tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan
melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir” (Al-Qur’an Surat
Nūh ayat 26-27).
Allah mengabulkan doa Nabi Nuh. Orang-orang kafir itu akan diazab oleh
Allah dengan cara ditenggelamkan ke dalam air bah, kecuali orang-orang beriman
yang akan diselamatkan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh
agar membuat bahtera yang terbuat dari papan dan paku.
Dan buatlah bahtera itu
dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan
Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan (Al-Qur’an
Surat Hūd ayat 38).
Nabi Nuh melaksanakan perintah Allah. Bersama para pengikutnya, Nabi Nuh
mulai membuat kapal. Setiap pemimpin kaumnya itu lewat di hadapan Nabi Nuh yang
sedang membuat perahu, mereka mengejek dan menertawakannya. Tak hanya mereka
yang mengejek dan menertawakannya, tapi istri Nabi Nuh juga turut mengejek dan
menertawakan apa yang dilakukan suaminya. Menurut anggapan mereka, Nabi Nuh
sangatlah aneh. Bagaimana mungkin perahu bisa berjalan, sementara tempat tersebut
merupakan padang pasir dan tidak ada sungai ataupun laut.
Dan
mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan
melewati Nuh, mereka mengejeknya.… (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 38).
Mendapat ejekan dari kaumnya, Nabi Nuh pun membalas ejekan mereka.
Berkatalah
Nuh, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu
sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang
menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal” (Al-Qur’an
Surat Hūd ayat 38-39).
Setelah selesai membuat perahu, Nabi Nuh mengumpulkan hewan yang
berpasang-pasangan dan kemudian menaikkan ke dalam bahtera. Istri Nabi Nuh
heran melihat yang diperbuat suaminya. Bertanyalah ia kepada suaminya tentang
maksud menaikkan banyak hewan ke dalam bahtera. Mendapat jawaban suaminya bahwa
air bah akan datang dan menenggelamkan segala yang ada, maka rasa takut dan
cemas menyelimuti dirinya. Didatangilah kaumnya dan diceritakan apa yang
dikatakan Nabi Nuh.
Ketika tiba saatnya, Allah tunjukkan kekuasaan-Nya. Allah curahkan hujan
yang sangat deras dari langit, dan Allah pancarkan mata air - mata air dari
bumi, sehingga bertemunya air-air tersebut menimbulkan bah. Allah selamatkan Nabi
Nuh dan orang-orang yang beriman dari air bah yang menenggelamkan segala yang
ada, karena telah berada di dalam bahtera yang mereka persiapkan sebelumnya. Sementara
kaum Nabi Nuh yang ingkar kepada Allah dan utusan-Nya, Ia tenggelamkan dalam
air bah.
Maka
Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan
Kami jadikan bumi memancarkan mata air - mata air maka bertemulah air-air itu
untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke
atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan
pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh) (Al-Qur’an Surat Al-Qamar
ayat 11-14)
Maka
Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh
muatan. Kemudian sesudah itu
Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal
(Al-Qur’an Surat Asy-Syu’arā’ ayat 119-120).
Bagaimana kesudahan istri dan anak Nabi Nuh yang bernama Kan’an?
Sama seperti kaumnya yang ingkar, istri Nabi Nuh juga mati ditelan air
bah karena ia tidak ikut naik ke dalam bahtera yang telah dibuat suaminya. Ia
lebih memilih bergabung dengan kaumnya yang sesat daripada mengikuti ajakan
suaminya untuk menyembah Allah. Kematian istri Nabi Nuh menjadi pelajaran bagi perempuan
bahwa ketidakpatuhan terhadap suami yang mengajak ke jalan Allah, berakibat
celaka dunia dan akhirat.
Allah
membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami;
lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu
tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan
(kepada keduanya), “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”
(Al-Qur’an Surat At-Tahrīm ayat 10)
Sementara Kan’an, ketika air bah itu datang laksana gunung, ia dipangil
oleh ayahnya untuk ikut naik ke dalam perahu yang dinaiki. Namun Kan’an masih
menyombongkan diri bahwa ia akan mencari perlindungan ke atas gunung. Kan’an
mengira bahwa air bah tidak akan menenggelamkan gunung. Itulah sebabnya ia
memilih naik ke atas gunung daripada ikut naik perahu bersama ayahnya. Nabi Nuh
masih mengingatkan anaknya, bahwa hari itu tidak ada yang dapat melindungi siapa
pun selain Allah. Belum memperoleh jawaban dari Kan’an, tiba-tiba datang gelombong
yang menghalangi pandangan ayah dan anak yang sedang berdialog. Kan’an termasuk
kaum yang mati tenggelam karena kekafirannya.
Dan
bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh
memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai
anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir”. Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang”.
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu
termasuk orang-orang yang ditenggelamkan (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 42-43).
Setelah air bah itu surut, dan orang-orang kafir itu telah mati akibat
tenggelam air bah, bahtera Nabi Nuh berlabuh di atas bukit Judi. Bersedih atas
kematian anaknya, Nabi Nuh mengadu kepada Allah bahwa anaknya adalah
keluarganya. Namun Allah menjawab bahwa dia
(Kan’an) bukanlah keluarganya, karena perbuatannya tidak baik. Oleh karena itu,
Allah mengingatkan kepada Nabi Nuh agar jangan memohon sesuatu yang tidak diketahui.
Dan
Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau
adalah hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia
bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon
kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku
memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan” (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 45-46).
DAFTAR ACUAN
Abdurrahman Navis. 2008. Bangsa-Bangsa
yang Dibinasakan. Yagyakarta: Optimus.
Dewi Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan.
Jakarta: Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.
Fatchur
Rochman A.R. 1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an. Surabaya: Apollo.
Hamid
bin Ahmad. 2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya:
Amelia.
H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman. 2013. Para Pembangkang! Kisah-Kisah Kaum Terdahulu
yang Dibinasakan Allah. Yogyakarta: Diva Press
Jabir Asysyaal.
1988. Al-Qur’an Bercerita Soal Wanita.
Jakarta: Gema Insani Press.
Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah
bagi Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia.
Ust. Labib
Mz. 2003. 10 Orang Divonis Masuk Neraka.
Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Yanuar
Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Jogjakarta: Diva
Press.
Yanuardi Syukur.
2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah
dan Sabar. Jakarta:
Al-Maghfiroh.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar