Minggu, 19 Juni 2022

DHUWIT



Gabah ditutu dadi beras

menire kanggo pakan ayam

Dhuwit digawe saka kertas

ana uga kang saka logam


Lombok cilik jenenge rawit

digeget gawe mbrabak abang

Kepengin mangan butuh dhuwit

mangkono uga pengin nyandhang


Swara entut muni makthuwit

sing kambonan trus kepet-kepet

Kabeh-kabeh mbutuhke dhuwit

ra duwe dhuwit sirah mumet


Sembadra bojone Permadi

marune peparab Srikandhi

Dhuwit ora digawa mati

ra duwe dhuwit kaya mati


Nyangking ember nggawa kumbahan

umbah-umbah neng Kali Kemit

Nadyan dhuwit dudu sembahan

ana wong kang mangeran dhuwit


Sirah plonthos arane gundhul

mangane akeh jare dremba

Direwangi ngopeni thuyul

dimen sugih tanpa makarya


Bantal empuk kapuke randhu

dienggo turu krasa penak

Kang mangkono aja ditiru

ora becik dunya akhirat.


(Jika kali ini saya menulis parikan [atau pantun dalam bahasa Indonesia], ini untuk mengenang masa lalu di mana dulu saya pernah menulis dalam bahasa Jawa di majalah-majalah berbahasa Jawa).


Jumat, 06 Mei 2022

MASJID QIBLATAIN, SAKSI BISU PERUBAHAN ARAH KIBLAT UMAT ISLAM

  

 

Sekitar 5 kilometer di sebelah barat laut Masjid Nabawi, ada sebuah masjid bernama Masjid Qiblatain. Masjid ini adalah satu-satunya masjid yang memiliki kiblat berjumlah dua. Masjid Qiblatain terletak di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di dekat istana raja ke jurusan Wadi Aqiq, atau di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah. Di dekat Masjid Qiblatain terdapat Masjid Abu Bakar, Masjid Al Fat-hu, Masjid Salman, dan Masjid Ali yang terkenal dengan nama masjid lima. Masjid Qiblatain dulu merupakan masjid milik Bani Salamah dari suku Khazraj. Masjid ini memiliki nilai sejarah karena merupakan saksi bisu perubahan arah kiblat umat Islam.  

Menurut catatan sejarah, Ka’bah bukanlah kiblat pertama bagi umat Islam. Sebelumnya, bila sedang shalat, umat Islam menghadapkan wajahnya ke arah Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina. Pada saat berada di Makkah atau sebelum hijrah ke Madinah, bila sedang shalat, Nabi Muhammad mengambil posisi sedemikian rupa sehingga tidak membelakangi Ka’bah dengan wajah menghadap Masjidil Aqsha. Namun sejak hijrah dan tinggal di Madinah, posisi shalat seperti ketika berada di Makkah sulit diterapkan karena lokasi Makkah dan Yerusalem yang berbeda arah.  

Saat di Madinah, bila sedang shalat menghadap ke Baitul Maqdis, Nabi Muhammad biasanya menengadah ke langit untuk menunggu perintah dari Allah. Beliau mengharapkan arah kiblat diubah ke arah Ka’bah. Beliau lebih menyukai (jika diperintah) melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah daripada ke arah  Baitul Maqdis.

Kisah perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis ke Masjidil Haram atau Ka’bah diawali dengan kedatangan Nabi Muhammad beserta beberapa sahabat ke rumah Salamah untuk menenangkan Ummu Bashr binti Al-Bara yang ditinggal mati keluarganya. Ketika tiba waktunya shalat, Nabi Muhammad dan para sahabat pun melaksanakan shalat di masjid milik Bani Salamah. Saat Nabi Muhammad dan para sahabat tengah melaksanakan shalat[1]), tiba-tiba Allah menurunkan wahyu.  

 

Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 144).

 

Begitu wahyu turun, Nabi Muhammad yang sedang menjadi imam, menghentikan sementara shalatnya, lalu meneruskan dengan berpindah arah kiblatnya. Jika tadinya menghadap ke Baitul Maqdis, beliau lalu berputar haluan menjadi menghadap Masjidil Haram atau Ka’bah yang diikuti oleh para sahabat.  

Menurut Ath-Thabari, mayoritas ulama mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan bulan Sya’ban, 18 bulan sejak kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah. Namun ada yang mengatakan bahwa peristiwa tadi terjadi pada hari Senin bulan Rajab tahun kedua hijriah. Riwayat lain menyebutkan, Nabi Muhammad melakukan shalat menghadap ke Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan setelah beliau hijrah ke Madinah.

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuny, sebelum Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar memindahkan kiblatnya ke Masjidil Haram, orang-orang Yahudi yang jahat biasa berkata, “Alangkah anehnya urusan Muhammad. Dia berbeda dengan kita dalam masalah agama, namun sama dalam shalatnya dengan kiblat kita. Kalau tidak karena agama kita, tentu dia tidak tahu harus menghadap ke mana ketika shalat”. Akan tetapi ketika kiblat umat Islam berpindah, orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi berkata, “Apa yang membuat membuat mereka (muslim) berpaling dari kiblat yang dahulu mereka menghadap kepadanya?”, maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus’” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 142).

Dengan adanya perubahan arah kiblat ini, beberapa sahabat ada yang bertanya, “Ya, Rasulullah. Bagaimana hukum mereka (sahabat-sahabat) yang telah meninggal terlebih dahulu sebelum terjadi perpindahan kiblat ini? Apakah amal mereka yang lalu diterima oleh Allah?”

Nabi Muhmmad tidak langsung menjawab pertanyaan para sahabat. Tak lama kemudian turunlah wahyu yang menjawab pertanyaan mereka.

 

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143).

 

Untuk mengenang bahwa Masjid Bani Salamah pernah menjadi saksi bisu perpindahan arah kiblat bagi umat Islam, maka mihrab yang awal tidak dihilangkan, kemudian dibuat mihrab baru. Dengan demikian, Masjid Bani Salamah memiliki dua arah kiblat, yakni yang awal menghadap Baitul Maqdis, sedang yang baru menghadap Masjidil Haram. Itulah sebabnya masjid ini dikenal dengan nama Masjid Qiblatain sampai sekarang. Artinya, masjid dengan dua kiblat.

Di dekat Masjid Qiblatain, ada sebuah sumur milik orang Yahudi bernama Raumah. Sumur ini dibeli oleh Usman bin Affan dengan harga 20.000 dirham dan kemudian diwakafkan untuk kepentingan bersuci, air minum, dan mengairi taman-taman di sekeliling masjid sampai sekarang.

Masjid Qiblatain mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1408 Hijriah atau 1987 Masehi pada masa pemerintahan Raja Fadh bin Abdul Aziz. Pada renovasi kali ini Masjid Qiblatain mengalami perluasan, dijadikan dua tingkat yang dilengkapi dengan dua menara dan dua kubah tinggi yang istimewa.

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

AA. Faisal dan Eddy Yantman. 2014. Berbagi Rezeki ke Tanah Suci, Bongkar Rahasia Bisnis Travel Haji dan Umrah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.  

 

Adiba A. Soebachman. 2013. Rahasia Keajaiban Ka’bah, Hajar Aswad, Masjidil Aqsho dan Masjid Nabawi. Bantul – Yogyakarta: Syura Media Utama.

 

Ahmad Albab. 2015. Mukjizat Makkah, Madinah & Air Zam-Zam. Yogyakarta: Semesta Hikmah.

 

Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.  

 

Eep Khunaefi. 2011. Meraih Haji Mabrur: Panduan Manasik Haji Plus Kajaiban Kota Mekkah dan Madinah. Cibubur: PT Variapop.

 

K.H. Moenawar Chalil. 1980. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jilid II A. Cetakan ke-4. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Mohammad Anis Adnan. 2014. Ibadah, Ziarah, Plus Wisata Jeddah, Makkah, Madinah. Semarang: Syiarmedia Publishing.  

 

Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah – Al-An’am. Jilid 1. Cetakan Kedua. Terjemahan: Munirul Abidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.  

 

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1978. Pedoman Haji. Jakarta: Bulan Bintang.  

 

Ust. Abdullah Sa’id. Tanpa Angka Tahun. Mukjizat & Keajaiban Kota Suci Makkah. Surabaya: Pustaka Giri Media Comp.

 

Ust. Labib Mz. 2009. Purnama di Bumi Madinah. Surabaya: Mitra Jaya.

 

Ust. Maftuh Ahnan Asy. 2001. Kisah Kehidupan Nabi Muhammad SAW. (Rahmatan Lil ‘Alamiin). Surabaya: Terbit Terang.

 

 

2.  Internet

 

https://news.detik.com/berita/d-5029799/sejarah-perubahan-arah-kiblat-sholat-dari-al-aqsa-ke-kakbah.



[1]) Ada yang mengatakan sedang melaksanakan shalat Duhur, tapi ada yang mengatakan sedang shalat Asar.

 

Jumat, 29 April 2022

AMR BIN JAMUH DAN BERHALA YANG BERKALI-KALI HILANG


 

Ketika orang-orang yang berbaiat kepada Nabi Muhammad di Aqabah kembali ke Yatsrib[1]) dan kemudian menyeru kerabat, kawan-kawan, dan keluarganya untuk mengikuti jalan yang mereka tempuh, banyak yang menyambut ajakan mereka. Namun demikian, ada juga yang bersikukuh pada keyakinannya. Salah seorang yang kuat keyakinannya adalah Amr bin Jamuh. Ia tetap pada keyakinan yang dianutnya selama ini, yakni menyembah berhala dan memuliakannya.

Amr bin Jamuh adalah seorang tokoh penduduk Yatsrib. Ia pemimpin bagi Bani Salamah. Ia sangat dihormati karena sifatnya yang dermawan dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Ia termasuk dermawannya para dermawan di Yatsrib.

Seperti halnya para pemimpin kaum jahiliyah pada umumnya, Amr bin Jamuh juga memiliki berhala di rumahnya. Ia memiliki berhala yang bernama Manat. Berhala ini terbuat dari kayu yang sangat bagus. Setiap hari Amr bin Jamuh selalu membersihkan patung itu dari debu, memberinya minyak wangi, dan menyembahnya dengan penuh ketundukan.

Amr bin Jamuh telah memasuki usia 60 tahun saat pancaran keimanan masuk ke rumah-rumah penduduk Yatsrib satu per satu atas peran dai pertama, Mush’ab bin Umair. Melalui sentuhan lembut tangan Mush’ab bin Umair, tiga anak laki-laki Amr bin Jamuh, yakni Mu’awidz, Mu’adz, dan Khalid memeluk agama Islam. Teman sebaya anak Amr bin Jamuh yang bernama Mu’adz bin Jabal, juga turut memeluk agama Islam. Hindun binti Amr bin Haram, istri Amr bin Jamuh, juga telah memeluk agama Islam. Akan tetapi Amr bin Jamuh tidak mengetahui keislaman istri dan ketiga anaknya.

Ketiga anak Amr bin Jamuh sangat menginginkan ayahnya segera memeluk Islam. Itulah sebabnya, mereka bersama temannya, Mu’adz bin Jabal, membuat rencana agar Amr bin Jamuh bisa masuk Islam.

Mu’adz bin Jabal termasuk anak muda yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh teman seusianya, berupa kecerdasan intelektual, cepat respon dan tangkas dalam berpikir, bagus dalam menjelaskan, dan memiliki semangat yang tinggi. Di samping tampan, ia juga berbudi peketi baik. Matanya lentik, rambutnya keriting, giginya mengilap, dan hatinya menyenangkan.

 Ketiga anak Amr bin Jamuh bersama Mu’adz bin Jabal berencana menjadikan berhala milik ayahnya sebagai barang mainan dan hinaan. Pada suatu malam, mereka menyelinap ke dalam rumah, lalu mengambil berhala yang dijadikan sembahan Amr bin Jamuh. Berhala Manat tersebut kemudian dilemparkan ke lubang tempat kotoran. Benda yang dijadikan sembahan itu terkapar dengan bagian kepala di bawah di antara sampah dan kotoran manusia.

Pagi harinya, Amr bin Jamuh terkejut ketika mengetahui berhala sembahannya raib dari tempatnya. Dicarinya berhala yang selalu disembahnya itu.  Tatkala berhala itu ditemukan di tempat kotoran, Amr bin Jamuh pun marah besar.

“Keparat! Siapa yang telah berani melakukan perbuatan durhaka terhadap ‘Tuhan’ kita”. omelnya.

Berhala Manatpun diambilnya. Dibersihkanlah berhala itu dari kotoran yang menempel di badannya. Setelah itu, diberi minyak wangi dan kemudian ditempatkan kembali di tempat semula.

Pada malam yang berbeda, anak-anak tadi kembali membuat ulah yang bikin dongkol Amr bin Jamuh. Berhala Manat diambilnya dari rumah Amr bin Jamuh, lalu dibuang kembali. Tentu saja perbuatan mereka menyebabkan Amr bin Jamuh marahnya kian meledak. Diambilnya berhala Manat dari tempat pembuangan, dibersihkan, diberi minyak wangi, dan ditempatkan lagi di tempat asalnya.

Kejadian semacam itu berulang kembali hingga akhirnya Amr bin Jamuh merasa kesal. Diambilnya sebilah pedang, lalu ia gantungkan pedang itu di leher berhala yang senantiasa dimuliakan dan dipujanya. 

“Wahai Manat, jika memang kau memiliki kebaikan, lindungi dirimu dari kejahatan. Kali ini kau memiliki pedang untuk melindungi diri”, pesan Amr bin Jamuh kepada berhala yang sesungguhnya tidak dapat mendengar omongan Amr bin Jamuh, apalagi membela diri, walau diberi pedang sekalipun.

Ketika anak-anak yang suka berulah itu menyakini Amr bin Jamuh telah tidur, mereka kembali melakukan aksinya. Diambilnya pedang yang menggantung di leher patung, lalu diangkatnya patung tersebut ke luar rumah. Patung Manat diikat dengan tali pada bangkai seekor anjing dan dibuang di tempat yang sama dengan yang lalu.

Heran, kecewa, dan marah bercampur aduk pada diri Amr bi Jumah. Ia tak tahu harus berbuat apa, karena berhala yang selalu disembahnya ternyata tak dapat melindungi diri.

Tidak lama berselang, beberapa bangsawan Yatsrib atau Madinah yang telah masuk Islam mendatangi Amr bin Jamuh, mengomentari peristiwa yang menimpa berhala Manat. Mereka menasihati Amr bin Jamuh dan menjelaskan perilakunya yang sesat dan menyimpang. Mu’adz bin Jabal turut serta menasihati dan membacakan Surat Al-Fatihah. Ketika mendengar bacaan surat tersebut, Amr bin Jamuh merasa terpesona oleh keindahan kata-katanya. Akhirnya, Amr bin Jamuh meninggalkan berhala dan masuk Islam.

Meskipun Amr bin Jamuh termasuk belakangan masuk Islam dibandingkan yang lain,tapi ia berusaha mengejar ketertinggalannya. Sifat kedermawanan Amr bin Jamuh yang dimiliki sejak dulu, kian meningkat setelah masuk Islam. Ia rela menyerahkan seluruh harta kekayaannya untuk agama dan kawan-kawan seperjuangan.

Tak cukup dengan menyerahkan harta kekayaan, Amr bin Jamuh merasa perlu menyerahkan jiwa aganya untuk agama. Meskipun kakinya pincang, ia ingin turut berjuang di medan perang juga seperti kawan-kawannya yang normal. Ketika umat Islam bersiap menghadapi Perang Badar, sebetulnya ia ingin ikut berperang, tapi anak-anaknya melarang. Anak-anak Amr bin Jamuh memohon kepada Nabi Muhammad agar ayahnhya menurungkan niatnya dengan kesadaan sendiri atau melalui larangan nabi. Nabi Muhammad kemudian menyampaikan kepada Amr bin Jamuh bahwa Islam membebaskankewajiban perang bagi dirinya dikarenakan kecacatannya. Amr bin Jamuh bersikukuh ingin ikut berperang. Akhirnya Nabi Muhammad memerintahkan kepada Amr bin Jamuh agar tetap tinggal di Madinah.

Perang Badar telah usai. Amr bin Jamuh harus menelan kenyataan tidak bisa ikut dalam peperangan. Ketika Uhud akan terjadi, Amr bin Jamuh mengajukan permohonan kepada Nabi Muhammad agar diizinkan turut serta dalam peperangan, meskipun anak-anaknya tidak menghalang-halanginya. Alasannya, ia berharap dapat meraih surga meskipun kakinya pincang. Kali ini sulit bagi Nabi Muhammad untuk melarang Amr bin Jamuh, karena ia bertujuan ingin meraih surga melalui perang. Amr bin Jamuhpun diizinkan berperang.

Ketika Perang Uhud yang merupakan perang kedua bagi umat Islam melawan kaum kafir itu terjadi, Amr bin Jamuh dan anak-anaknya terjun ke medan perang melawan tentara penyebar kesesatan. Ketika menghadapi lawan, ia tak kenal rasa takut. Ditebaskannya pedangnya ke kiri dan ke kanan hingga kadang mengenai lawannya. Tiba-tiba pukulan pedang lawan mengenai dirinya dengan sangat kencang. Seketika tubuhnya tersungkur tak berdaya. Keinginan Amr bin Jamuh benar-benar tercapai. Ia mati syahid di medan Perang Uhud.

Saat kaum muslimin memakamkan para syuhada, Nabi Muhammad mengeluarkan perintah, “Tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr Ibnul Jamuh di makam yang satu, karena selagi hidup, mereka adalah dua orang sahabat yang setia dan bersayang-sayang”.

Seperti dikatakan oleh Syamsul Hidayat, setelah 46 tahun di pemakaman, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan tersebut. Hal ini disebabkan adanya pengggalian sebuah mata air yang dialirkan melaui tempat itu oleh Muawiyah. Kaum muslimin pun segera memindahkan kerangka para syuhada. Mereka melukiskan, “Jasad mereka menjadi lembut dan ujung-ujung anggota tubuh mereka jadi melengkung”. Jabir bin Abdullah yang masih hidup saat itu, bersama keluarganya, ia memindahkan jasad bapaknya (Abdullah bin Amr bin Haram) dan pamannya (Amr bin Jamuh). Mereka didapati keduanya seolah-olah sedang tidur nyenyak, tak sedikitpun tubuh mereka dimakan tanah. Dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis pertanda rido dan bangga mereka menemui Allah Rabbul ‘Alamin.

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Abdurrahman Ra’fat Basya. 2019. Sirah Shahabat. Jakarta: Pustaka As-Sunah.

 

Nizar Abazhah. 2014. Sahabat Muhammad, Kisah Cinta dan Pergulatan Iman Generasi Muslim. Jakarta: Zaman.

 

Syamsul Hidayat. Tanpa Angka Tahun. Sahabat Nabi yang Sahid di Medan Peperangan. Jakarta: Nur Insani.

 

 

2. Internet

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Amru_bin_al-Jamuh

 

https://bersamadakwah.net/amr-bin-jamuh/



[1]) Nama kota Yatsrib diubah menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad setelah beliau hijrah ke daerah ini.

Kamis, 28 April 2022

HUBAL

 

 

Hubal adalah berhala yang pertama kali ditempatkan di dalam Ka’bah pada zaman jahiliyah. Berhala ini didatangkan dari Syam oleh ‘Amr bin Luhay, penguasa Makkah saat itu. Ia berasal dari kabilah Khuza’ah. Menurut Wikipedia, kekuasaan kabilah ini diperkirakan berlangsung selama kurang lebih tiga ratus tahun, kemudian digantikan oleh Qushay bin Kilab dan keluarganya dari Bani Quraisy. ‘Amr bin Luhay-lah yang menjadi pelopor penyembahan berhala di Makkah.   

Kelangkaan bukti seputar Hubal menyukarkan penyifatan peran maupun identitasnya di dalam mitologi paganisme Arab. Menurut riwayat, wujud berhala Hubal terbuat dari batu akik merah berbentuk patung manusia dengan tangan kanan telah patah. Berhala ini memiliki pahatan yang halus. Ketika Bani Quraisy berkuasa, mereka membuatkan tangan dari emas sebagai ganti tangan yang patah. Hubal ditempatkan di dalam Ka’bah dan dijadikan berhala terbesar di dalam dan di luar Ka'bah. Sebagai bawahan Hubal, dibuat pula berhala Manāt, Latta, dan ‘Uzza yang merupakan berhala penduduk lokal.

Berhala Hubal menjadi berhala yang paling dimuliakan tidak saja oleh kaum Quraisy, tapi juga oleh seluruh kabilah di Arab pada masa jahiliyah. Ia menempati posisi paling tinggi, melebihi ratusan berhala lainnya. Berhala Hubal menjadi tempat memohon bagi penduduk Makkah, selain sebagai sembahan. Mereka, mulai dari rakyat jelata hingga bangsawan, akan menyembah dan memohon kepadanya, baik memohon keberkahan maupun memohon agar terhindar dari mala-petaka.

Menurut riwayat, Abdul Muththalib juga pernah melakukan undian di dekat Hubal untuk menentukan salah satu di antara sepuluh anak laki-lakinya yang akan dikurbankan sesuai nadzar. Disarikan dari Ath-Thabari dan Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri, ketika Bani Quraisy mempersulit Abdul Muththalib dalam mengambil air zamzam, sementara saat itu ia tidak memiliki banyak anak laki-laki sehingga tidak mungkin untuk merebutnya, maka kemudian ia bernadzar. Nadzarnya, “Jika memiliki sepuluh anak laki-laki, dan telah tumbuh dewasa hingga mereka dapat melindunginya, maka akan dikurbankan salah satu anaknya kepada Allah[1]) di Ka’bah. Ketika akhirnya Abdul Muththalib betul-betul memiliki sepuluh anak laki-laki yang telah tumbuh dewasa dan mengetahui bahwa anaknya akan melindunginya, ia mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan menceritakan tentang nadzarnya. Anak-anaknya pun patuh kepada Abdul Muththalib. Anak-anaknya diminta menulis nama masing-masing pada anak panah untuk diundi. Setelah nama mereka ditulis pada anak panah, Abdul Muththalib menyerahkan anak panah mereka kepada juru undi. Ketika juru undi mengambil anak panah, Abdul Muththalib berdiri di samping Hubal. Undianpun dilakukan, dan yang keluar adalah nama Abdullah (ayah Nabi Muhammad yang saat itu belum menikah dengan Aminah). Berkat nasihat orang-orang Quraisy lainnya, Abdullah selamat tidak jadi dikurbankan, karena diganti dengan 100 ekor unta.

Ketika terjadi penaklukan kota Makkah oleh pasukan muslim, semua berhala dibersihkan oleh Nabi Muhammad. Saat itu, di sekitar Ka’bah ada 360 berhala, dan semuanya dibersihkan. termasuk berhala Hubal. Tujuannya tentu untuk menjauhkan orang-orang dari perbuatan syirik.

 

 

 

Daftar Acuan

 

 

 

1.   Buku

 

Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.

 

Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. 2018. Sirah Nabawiyah. Cetakan Ke-17. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

 

 

2.  Internet

 

http://p2k.utn.ac.id/en6/1-3069-2966/Hubal_89812_p2k-utn.html

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Khuza%27ah#

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Hubal

 

https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/13/150000379/hubal-berhala-paling-dimuliakan-masyarakat-mekkah-zaman-jahiliyah?page=all

 

https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/13/150000379/hubal-berhala-paling-dimuliakan-masyarakat-mekkah-zaman-jahiliyah?page=all

 



[1]) Terhadap kata “Allah”, Ath-Thabari memberikan catatan kaki demikian: Nama Allah diterjemahkan sebagai “Tuhan” karena harus diingat bahwa pada periode sebelum masuknya Islam tidak perlu menyebutkan “Tuhan” seperti pada aliran monoteisme, Hal ini diketahui dari Al-Qur’an (29:61-65; 39:3, 8 dan seterusnya) bahwa orang Arab sebelum masa Islam memercayai Allah sebagai Tuhan yang paling berkuasa di antara Tuhan lainnya yang juga mereka percayai. Hal ini menjelaskan bagaimana bisa Abdullah berdiri di samping Hubal sementara ia berdoa kepada Allah.

Rabu, 27 April 2022

NAMRUD, AZAR, IBRAHIM, DAN BERHALA

 

 

Nama Namrud memang tidak disebut dalam Al-Qur’an. Akan tetapi para ahli tafsir dan sejarawan menyebutkan bahwa orang yang mendebat Nabi Ibrahim tentang Tuhannya dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258 adalah Namrud.

 

Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Mematikan”, dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”. Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258).

 

Siapakah Namrud itu? Rizem Aizid menyebutkan bahwa Namrud adalah keturunan Nabi Nuh kelima. Silsilahnya: Namrud bin Kan’an bin Kush bin Ham bin Nuh[1]). Ibunya bernama Semiramis yang kelak menikah dengan Namrud. Namrud lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal setelah “berkumpul” dengan ibunya. Semiramis merupakan perempuan cantik dan cerdik. Ia mengaku belum pernah disentuh oleh laki-laki dengan tujuan agar anaknya dimuliakan dan diagungkan penduduk. Ia juga mengatakan bahwa Namrud adalah anak suci. Pengakuannya itu menjadikan Namrud dianggap sebagai anak Tuhan. Ketika Namrud menginjak dewasa, Semiramis merasa iri dengan teman perempuannya. Kecemburuannya inilah yang menyebabkan ia menikahi anaknya sendiri.

Di kemudian hari, Namrud menjadi raja di Kerajaan Babilonia. Saat Namrud berkuasa, hampir semua rakyatnya menjadi penyembah berhala. Menurut Rizem Aizid, sistem kepercayaan rakyat Babilonia saat itu cukup unik. Mereka memiliki banyak “Tuhan” yang diwujudkan dalam berbagai bentuk patung. “Tuhan-Tuhan” mereka ada di setiap kota, desa, dan kampung-kampung. “Tuhan-Tuhan” yang berada di kota memiliki derajat dan kekuasaan yang berbeda dengan “Tuhan-Tuhan” yang ada di desa dan kampung-kampung. Artinya, kekuasaan ”Tuhan” yang ada di kampung lebih kecil dibandingkan dengan kekuasaan “Tuhan” yang ada di kota. “Tuhan” yang paling besar kekuasaannya adalah “Tuhan” yang berada di ibukota negara. Marduk[2]) adalah “Tuhan” yang paling besar dan menjadi panglimanya para “Tuhan”. Selain menyembah berhala, rakyat Babilonia juga menyembah bintang-bintang, planet-planet, matahari, dan bulan yang mereka sebut dengan nama Nanar sebagai Dewa Bulan, Syamas sebagai Dewa Matahari, dan beberapa planet yang paling dikenal oleh bangsa Babilonia, yaitu Bunga, Ester, dan Mars.

Sebagai raja yang otoriter, apa yang diinginkan harus terlaksana. Oleh karena itu, ketika Raja Namrud memproklamasikan diri sebagai “Tuhan” dan kemudian memerintahkan kepada rakyatnya agar bertuhan kepada dirinya selain kepada berhala-berhala, maka rakyatpun harus tunduk. Semua perintahnya harus dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi dilanggar.

Pada suatu ketika, demikian kata Maftan dan Ust. Fatihuddin Abul Yasin, Raja Namrud bermimpi melihat seorang anak laki-laki masuk ke dalam kamarnya, lalu merampas mahkota dan menghancurkannya. Keesokan harinya, Raja Namrud memanggil tukang ramal dan tukang tenung untuk menafsirkan arti mimpinya. Menurut tukang ramal, anak laki-laki dalam mimpi itu kelak akan meruntuhkan kekuasaan sang raja. Tentu saja Raja Namrud murka. Tak ingin tahta kerajaan jatuh ke tangan orang lain, secepatnya Raja Namrud memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir.

Versi lain seperti disebutkan oleh Said Yusuf Abu Azir, pada suatu malam Raja Namrud tertidur, kemudian ia bermimpi bahwa satu bintang tiba-tiba turun dari langit, sehingga matahari sama sekali tidak memancarkan cahayanya. Bangunlah ia dengan rasa kaget yang tak terhingga. Kemudian ia memanggil para ahli sihir dan para ahli nujum untuk menakwilkan mimpinya. Mereka berkata, “Pada tahun ini akan lahir seorang bayi laki-laki di wilayah ini yang akan mengancam kekuasaanmu”. Raja Namrud kemudian memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir pada tahun tersebut.

Berbeda dengan yang disebutkan oleh Maftan dan Ust. Fatihuddin Abul Yasin serta Said Yusuf Abu Azir, Dewi Astuti dkk. menyebutkan bahwa pada suatu waktu, Raja Namrud bermimpi telah lahir seorang bayi laki-laki yang akan merampas tahtanya. Hal ini suatu pertanda bahwa kekuasaan Raja Namrud akan runtuh, bahkan ia akan mati dalam keadaan mengenaskan. Raja Namrud tidak mau hal ini terjadi. Ia memerintahkan untuk membunuh semua bayi yang dilahirkan di Babilonia

Di wilayah kekuasaan Raja Namrud, hidup seorang laki-laki yang dikenal sebagai pembuat patung, Azar namanya. Ia sering menjual patung-patung buatannya kepada penduduk Babilonia. Patung-patung buatan Azar kemudian dijadikan sebagai sembahan oleh sebagian penduduk Babilonia. Selain sebagai pembuat patung, Azar juga menyembah patung buatannya. Dikarenakan pekerjaannya itulah, Azar disukai oleh Namrud.

Azar memiliki istri yang sedang mengandung. Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Ibrahim.

Tentang di mana Ibrahim dilahirkan, ada dua pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa Ibrahim dilahirkan di rumah, kemudian dibawa ke sebuah gua di hutan guna menyelamatkan nyawa Ibrahim dari kaki tangan Raja Namrud yang mencari bayi yang baru dilahirkan untuk dibunuh, meskipun tidak disebut secara terang-terangan lahir di rumah. Mereka yang berpendapat seperti itu adalah Maftan, Ust. Fatihuddin Abul Yasin, dan Rizem Aizid. Namun ada juga yang mengatakan bahwa ibu Ibrahim melahirkan anaknya langsung di gua supaya tidak ketahuan oleh kaki tangan Raja Namrud yang sewaktu-waktu dapat mengakhiri hidup anaknya. Yang berpendapat seperti itu adalah Dewi Astuti dkk. Sementara Said Yusuf Abu Azis mengatakan ketika kelahiran telah dekat, ibu Ibrahim pergi dari wilayah tersebut dan melahirkan di sungai yang kering, lalu ayahnya menyimpan bayi tersebut di dalam sardab (sebuah gua di bawah tanah).

Menurut riwayat, bayi tersebut ditinggal di dalam gua sendirian. Seminggu kemudian, orang tua Ibrahim datang ke gua tadi dan terkejut ketika didapati anaknya masih hidup. Bagaimana bisa? Ternyata Allah-lah yang menjaga Ibrahim dari bahaya binatang buas. Allah pula yang memberikan makanan kepada Ibrahim. Atas kuasa Allah, ketika Ibrahim yang masih bayi itu menghisap jarinya, maka keluarlah susu. Ada yang mengatakan keluar madu yang banyak mengadung gizi untuk makanan Ibrahim. Selanjutnya, orang tua Ibrahim sesekali mengejuk Ibrahim dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Menurut Said Yusuf Abu Azis, pertumbuhan dan perkembangan Ibrahim sangat cepat. Dalam jangka waktu satu tahun, ia tampak seperti anak yang telah berusia tiga tahun. Tatkala Ibrahim keluar dari gua beberapa waktu kemudian, orang menyangka ia telah dilahirkan beberapa tahun yang lalu.

Di rumah orang tuanya, Ibrahim kecil selalu melihat ayahnya memahat patung untuk dijual dan disembah oleh pembelinya. Azar, ayah Ibrahim, juga menyembah patung buatan sendiri. Meskipun ayahnya seorang pembuat dan penyembah patung, demikian juga lingkungan sekitarnya, tapi Allah memberikan hidayah kepada Ibrahim untuk tidak ikut menyembah berhala. Ibrahim bahkan menolak jika diajak menyembah berhala, karena ia tahu bahwa patung hanyalah batu.

Setelah dianggap mampu membawa patung, ayahnya menyuruh Ibrahim untuk menjual patung buatannya. Sebagai anak, ia tetap melaksanakan perintah ayahnya. Namun bagaimana cara Ibrahim menawarkan dagangannya? Ketika menjajakan patung buatan ayahnya, Ibrahim berkata, “Patung, patung! Siapa mau beli patung yang tak berguna ini?”.

 Sejak kanak-kanak, Ibrahim telah memiliki kecerdasan dalam berpikir. Ibrahim heran, mengapa orang-orang menyembah patung, padahal ia tahu, patung-patung yang mereka sembah adalah buatan ayahnya. Patung-patung yang mereka sembah juga tak memiliki kemampuan apa-apa. Patung-patung itu tak dapat berbicara, melihat, mendengar, dan bahkan tak dapat menolong dirinya sendiri, apalagi menolong orang. Ibrahim pun berusaha mencari Tuhan yang sejati. Kisah Ibrahim mencari Tuhannya ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-An’ām ayat 75-82.

Ibrahim yang menganggap ayah dan kaumnya sesat, berusaha mencari Tuhannya. Allahpun memperlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin.

Ketika siang berganti malam, Ibrahim melihat sebuah bintang di langit yang gelap. Ibrahim menganggap bintang adalah Tuhan.

“Inilah Tuhanku”, kata Ibrahim.

Namun ketika bintang itu terbenam, Ibrahim kecewa.

“Aku tidak suka pada yang terbenam”.  

Suatu saat, Ibrahim melihat bulan terbit. Ia pun girang, karena ia mengganggap itulah Tuhannya. Akan tetapi ketika bulan itu terbenam, diapun kembali kecewa.

“Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”, katanya.

Ibrahim terus mencari Tuhannya. Sewaktu dia melihat matahari terbit, dia menyangka bahwa matahari adalah Tuhannya.

“Inilah Tuhanku! Yang ini lebih besar”, kata Ibrahim.

Tatkala matahari yang dikira Tuhan itu terbenam, Ibrahim kembali kecewa. Ia lalu berkata kepada kaumnya.

“Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan, mengikuti agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik”.

Ibrahim dibentak oleh kaumnya.

“Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut pada malapetaka dari apa yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?”, kata Ibrahim menjawab bantahan kaumnya.

“Bagaimana aku takut pada apa yang kamu persekutukan dengan Allah, padahal kamu tidak takut dengan apa yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Manakah dari kedua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan dari malapetaka, jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk”, lanjut Ibrahim.

Menurut al-Razi sebagaimana dikutip dalam https://tafsiralquran.id/, Ibrahim telah mengenal Tuhannya sebelum kejadian tersebut dengan mengantongi bukti empiris[3]). Adapun bukti yang sahih sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya:   

 

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, ”Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai ‘Tuhan’? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata” (Al-Qur’an Surat Al-An’ām ayat 74).

 

Itulah proses pencarian Tuhan yang dilakukan oleh Ibrahim. Setelah melalui berbagai cara dalam mencari Tuhannya, akhirnya Ibrahim dapat menggunakan akal pikirannya untuk mencari kebenaran. Tentu saja hal ini disertai dengan hidayah dari Allah, sehingga Ibrahim dapat menemukan Tuhannya, yakni Allah. Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta beserta isinya, Tuhan yang tidak akan lenyap, bahkan Dialah yang akan melenyapkan alam semesta beserta isinya.

Setelah Ibrahim menemukan Tuhannya, ia kemudian menghadapkan diri kepada-Nya. Menurut Yanuar Arifin, Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hendak memerangi syirik, ingin terlebih dulu mempertebal iman dan keyakinannya dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim. Diperintahkanlah ia menangkap empat ekor burung, memperhatikan, dan meneliti burung-burung tersebut. Setelah itu, burung-burung tersebut dipotong-potong, dan potongan-potongan burung-burung itu diletakkan di atas puncak bukit dari empat bukit yang letaknya saling berjauhan satu dengan yang lainnya. Selanjutnya, Ibrahim diperintahkan untuk memanggil burung-burung yang sudah dicincang-cincang tadi. Dengan izin Allah, datanglah empat ekor burung yang sudah mati dipotong-potong tadi dalam keadaan hidup.

Nabi Ibrahim kemudian mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan berhala dan beribadah hanya kepada Allah. Namun sebelum mengajak kaumnya, Nabi Ibrahim terlebih dahulu mengajak keluarganya untuk meninggalkan penyembahan berhala.

Meskipun ayahnya kafir dan sesat, tapi Nabi Ibrahim tidak berlaku kasar terhadap ayahnya. Nabi Ibrahim menyeru ayahnya dengan lembut dan sopan. Kelembutan dan kesopanan Nabi Ibrahim terhadap ayahnya, dapat dilihat dari perkataannya yang tetap memanggil “Wahai, ayahku!”, dan bukan “Wahai, Azar!”. Dialog antara anak dan ayahnya itu diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Maryam ayat 42-48.

“Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?”

“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus”.

“Wahai ayahku! Janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih”.

“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir engkau akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi teman bagi setan”.

Meskipun diinggatkan dengan lembut dan sopan oleh anaknya, Azar sama sekali tak menghiraukan seruan Nabi Ibrahim, bahkan berkata kasar dan mengusirnya.

“Bencikah engkau kepada ‘Tuhan-Tuhanku’, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam. Tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama”.

Nabi Ibrahim harus menerima kenyataan bahwa ayahnya menolak mentah-mentah ajakannya untuk beribadah hanya kepada Allah. Bahkan jika ajakannya diteruskan, ia akan dirajam. Nabi Ibrahim pun diusir oleh ayahnya sendiri. Meskipun demikian, Nabi Ibrahim masih tetap mendoakan ayahnya.

“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”, kata Nabi Ibrahim.

“Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau sembah selain Allah. Aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”, lanjut Nabi Ibrahim.

Nabi Ibrahim memintakan ampunan untuk ayahnya sebagaiman yang ia janjikan kepadanya. Namun setelah jelas bagi Nabi Ibrahim bahwa ayahnya adalah musuh Allah, maka ia melepaskan diri dari ayahnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah.

 

Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 114).

 

Kepada kaumnya, Nabi Ibrahim juga selalu mengingatkan mereka agar meninggalkan penyembahan berhala dan mengajaknya hanya untuk menyembah Allah.  

“Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan”.

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu. Mintalah rezeki kepada Allah. Sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan. Jika kamu mendustakan, maka sungguh, umat sebelum kamu juga telah mendustakan para utusan Allah. Kewajiban utusan Allah itu hanyalah menyampaikan agama Allah dengan jelas”.

“Berjalanlah di muka bumi, dan perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan makhluk, kemudian Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di akhirat. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.

“Allah mengazab siapa yang Dia kehendaki, dan memberi rahmat kepada siapa yang Dia kehendaki pula. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan”.

“Kamu sama sekali tidak dapat melepaskan diri dari azab Allah baik di bumi maupun di langit, dan tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah”.

"Orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, mereka berputus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu akan mendapat azab yang pedih”.

Orang-orang kafir itu terdiam. Tak ada jawaban sama sekali selain mengatakan, “Bunuhlah atau bakarlah dia!”.

“Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah, hanya untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan di dunia, kemudian pada hari kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk. Tempat kembalimu ialah neraka, dan sama sekali tidak ada penolong bagimu”, kata Nabi Ibrahim.

Kabar tentang Nabi Ibrahim yang suka menghina “Tuhan-Tuhan” mereka, terdengar sampai ke telinga Raja Namrud. Tentu saja Raja Namrud marah, karena ia juga termasuk orang yang sesat. Meskipun demikian, Nabi Ibrahim tetap melakukan dakwah.

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?”, tanya Nabi Ibrahim.

“Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya”, jawab orang-orang kafir.

“Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”.

“Apakah engkau datang kepada kami membawa kebenaran atau engkau main-main?, tanya mereka.

“Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan pemilik langit dan bumi. Dialah yang telah menciptakannya, dan aku termasuk orang yang dapat bersaksi atas itu. Demi Allah, aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya”.

Menurut suatu riwayat, penduduk Babilonia setiap tahunnya memiliki tradisi keluar kota secara beramai-ramai pada hari raya yang dianggap keramat. Tradisi tersebut dilakukan oleh raja dan seluruh penduduk yang ada. Saat tradisi tersebut dilaksanakan, Ibrahim tidak ikut. Alasannya, sedang kurang enak badan. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim dimaklumi jika tidak ikut meramaikan tradisi tersebut.

Ketika kota sudah sepi, apa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya bahwa “Aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya”, betul-betul dilaksanakan. Dengan diam-diam Nabi Ibrahim mendatangi berhala-berhala yang ada. Setelah berada di dekat berhala, Nabi Ibrahim berkata kepada berhala-berhala tersebut.

“Apakah kamu tidak makan? Mengapa kamu tidak menjawab?”

Perkataan Nabi Ibrahim ini dimaksudkan menanyakan pada berhala-berhala tersebut, “mengapa tidak makan”, padahal di dekatnya banyak sesaji yang diperuntukkan baginya oleh kaum musyrik. Nabi Ibrahim lalu menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh kaumnya dengan kapak. Ada satu berhala yang sengaja tidak dihancurkan oleh Nabi Ibrahim, yakni berhala yang paling besar. Diletakkanlah kapak yang dipakai untuk menghancurkan berhala-berhala yang ada, di bahu berhala yang paling besar.

Sewaktu penduduk kota beserta raja kembali dari luar kota setelah selesai melaksanakan tradisi, mereka terkejut begitu melihat keberadaan “Tuhan-Tuhan”-nya hancur berkeping-keping, kecuali berhala yang paling besar. Penduduk kota marah. Tak kalah besar amarahnya dari penduduk kota adalah Raja Namrud. Sebagai penguasa, ia merasa dihina “Tuhan-Tuhan”-nya dihancurkan orang. Raja Namrudpun memerintahkan kepada para prajurit dan rakyatnya untuk mencari siapa orang yang berani menghancurkan sembahannya.

“Siapakah yang telah berani menghancurkan ‘Tuhan-Tuhan’ kami? Sungguh, dia benar-benar orang yang zalim, karena lancang melecehkan ‘Tuhan-Tuhan’ kita”, kata mereka kepada sebagian yang lain.

“Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala kita. Namanya Ibrahim”, kata yang lain.

“Kalau begitu, bawalah dia ke sini. Perlihatkan kepada orang banyak, agar mereka menyaksikan pengakuannya”, kata pemuka kaum musyrikin.

Nabi Ibrahimpun dicari. Setelah ditemukan, Nabi Ibrahim dijadikan tersangka dan dihadapkan kepada pemimpin mereka. Penduduk merasa senang, karena sang penghancur berhala tentu akan dihukum. Sebaliknya, Nabi Ibrahim tetap tenang menghadapi sidang pengadilan.  

“Apakah engkau yang melakukan perbuatan ini terhadap ‘Tuhan-Tuhan’ kami, wahai Ibrahim?”

Nabi Ibrahim berpura-pura tidak mengaku jika dirinya yang merusak patung-patung tersebut.

“Sebenarnya patung besar itu yang melakukannya. Tanyakanlah pada patung tersebut, jika ia dapat berbicara”, jawab Nabi Ibrahim

Setelah mendengar jawaban Nabi Ibrahim, mereka kembali pada kesadaran yang jernih sesuai akal sehat dan nurani, bahwa patung-patung itu memangg tidak layak untuk disembah. Pemimpin mereka pun berkata, “Sesungguhnya kamu sekalianlah yang menzalimi diri sendiri, terus-menerus menyembah patung yang tidak bisa bicara, tidak bisa membela diri, apalagi menyelamatkan manusia”.

Sambil menundukkan kepala, mereka berkata kepada Nabi Ibrahim, “Engkau pasti tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara”.

Nabi Ibrahim mendapat peluang untuk menunjukkan kebodohan mereka.

“Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak pula mendatangkan mudharat kepadamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?”

Ketika mereka kalah dalam berdebat karena argumentasinya terpatahkan oleh Nabi Ibrahim, mereka kemudian menggunakan kekuasaannya untuk tetap menghukum Nabi Ibrahim.

“Bakarlah dia! Bantulah ‘Tuhan-Tuhan’-mu, jika kamu benar-benar hendak menolong ‘Tuhan-Tuhan’-mu”.

Merekapun membuat bangunan untuk membakar Nabi Ibrahim. Setelah api dinyalakan yang kian lama makin membesar, lalu dilemparkanlah Nabi Ibrahim ke dalam api yang menyala-nyala. Menghadapi hukuman tersebut, Nabi Ibrahim memanjatkan doa kepada Allah, “Hasbunallah wa ni’mal wakÄ«l” (Cukuplah Allah sebagai pelindung kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung). Penjagaan Allah mengalahkan segala perintah orang-orang zalim.

Allah berfirman, “Hai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim”.

Api pun tunduk pada perintah Allah. Sifat api yang panas, berubah menjadi dingin dan tidak membahayakan Nabi Ibrahim sehingga dia dapat keluar dari api dalam keadaan selamat atas izin Allah.

Setelah Ibrahim keluar dari api dengan selamat tanpa terbakar sedikitpun, maka terjadilah perdebatan antara Namrud dan Ibrahim sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 258 yang terjemahannya telah disebutkan di atas. Ini menurut pendapat Saddiy sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir. Sementara menurut riwayat Abdurrazaq yang juga dikutip oleh Ibnu Katsir, perdebatan tersebut terjadi pada saat Namrud mengadakan jamuan makan. Kisah perdebatan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud, demikian.

Kala Nabi Ibrahim menyeru kepada Raja Namrud agar beriman kepada Allah, ia menolak dan meminta bukti nyata mengenai keberadaan Allah. Ketika Nabi Ibrahim mengatakan bahwa, “Tuhanku Mahakuasa untuk menghidupkan dan mematikan”, dengan pongahnya Raja Namrud berkata, “Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan”. Raja Namrud kemudian menghadirkan dua narapidana. Salah satu dari narapidana tersebut dibebaskan hidup, sedang yang seorang lagi dipidana mati. Inilah yang dimaksud oleh Raja Namrud bahwa dirinya dapat menghidupkan dan mematikan. Namun ketika Nabi Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat”, maka bingunglah Raja Namrud, karena ia tak mampu menunjukkan sifat “Tuhan” yang Mahakuasa atas segalanya. Raja Namrud benar-benar tersudut, kehabisan bahan bicara untuk menjawab perkataan Nabi Ibrahim.

Menurut Siti Zainab Luxfiati, setelah terjadi perdebatan, karena tak mau kalah dengan Nabi Ibrahim, Raja Namrud kemudian menantangnya. Kata Raja Namrud, “Hai, Ibrahim! Aku menantang Tuhanmu. Buktikan dia bisa berperang melawanku!”. Nabi Ibrahim terkejut mendengar tantangan Raja Namrud. Beliau khawatir azab akan menimpa Raja Namrud dan para pengikutnya. Ketika Raja Namrud telah siap dengan pasukannya, tiba-tiba tampak awan hitam menggantung di langit. Ternyata itu adalah pasukan nyamuk yang jumlahnya sangat banyak. Nyamuk-nyamuk tersebut menyerang Raja Namrud dan pasukannya. Pasukan Raja Namrud mati bergelimpangan karena lemah tak berdaya digigit nyamuk. Sementara Raja Namrud yang berusaha menyelamatkan diri, dikejar oleh seekor nyamuk. Raja Namrud berhasil dikejar, dan nyamuk tersebut masuk ke hidung Raja Namrud, lalu menggigitnya. Raja Namrud berteriak kesakitan. Kepalanya serasa mau pecah. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Akhirnya raja sombong tersebut mati tak kuasa melawan seekor nyamuk.

Berbeda dengan yang dikatakan oleh Siti Zainab Luxfiati, Ibnu Katsir yang mengutip pendapat Zaid bin Aslam mengatakan bahwa Allah mengirimkan kepada raja sombong itu, malaikat yang menyuruhnya beriman kepada Allah, tetapi ia menolaknya. Lalu malaikat itu mengajaknya untuk yang kedua kalinya, hingga ketiga kalinya, tetapi ia tetap menolaknya. Kemudian malaikat itu berkata, “Kumpulkan semua yang dapat engkau kumpulkan, dan akupun akan mengumpulkan bala-tentaraku”. Raja Namrud mengumpulkan bala-tentaranya tepat pada saat matahari terbit. Kemudian Allah mengirimkan lalat yang tidak terlihat oleh mereka. Lalat-lalat itu memakan daging dan darah mereka hingga yang tersisa hanya tulang-belulang saja. Kemudian salah satu lalat dari lalat-lalat itu masuk ke dalam lubang hidung Raja Namud dan menetap di dalamnya selama empat ratus tahun. Dengan lalat itulah Allah mengazabnya. Selama itu pula ia selalu memukuli kepalanya dengan besi sehingga Allah membinasakannya.

Setelah itu, Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan Babilonia sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-‘AnkabÅ«t ayat 26.

 

Maka Luth membenarkan (kenabian Ibrahim). Dan dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku; sungguh, Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana”.

 

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

Dewi Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta: Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Fatchur Rochman AR. 1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an. Surabaya: Apollo.

 

Ibnu Katsir. 2015. Qishashul Anbiya’ (Kisah Para Nabi). Terjemahan: Moh. Syamsi Hasan. Surabaya: Amelia.

 

Labib Mz. dan Maftuh Ahnan. 1983. Mutiara Kisah 25 Nabi Rasul. Gresik: CV Bintang Pelajar.

 

Maftan. 2005. Kisah 25 Nabi & Rasul. Jakarta: Sandro Jaya.

 

Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah – Al-An’am. Jilid 1. Cetakan Kedua. Terjemahan: Munirul Abidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

 

Muhammad Fairus NA. 2011. Koleksi Kisah 25 Nabi. Surabaya: Pustaka Media.

 

Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia. 

 

Rizem Aizid. 2015. Ibrahim Nabi Kekasih Allah. Yogyakarta: Saufa.

 

Siti Zainab Luxfiati. 2007. Cerita Teladan 25 Nabi. Jilid 1. Jakarta: Dian Rakyat.

 

Ust. Fatihuddin Abul Yasin. 1997. Kisah Teladan 25 Nabi & Rasul. Surabaya: Terbit Terang.

 

Yanuar Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Jogjakarta: Diva Press.

 

Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.

 

Zen Abdurrahman. 2012. Wisata Sejarah Bersama Al-Qur’an. Jogjakarta: Diva Press.

 

 

 

2.  Internet

 

https://quran.kemenag.go.id/

 

https://tafsirweb.com/

 

https://tafsiralquran.id/kisah-nabi-ibrahim-mencari-tuhan-melalui-matahari-dalam-al-quran/

 

 



[1]) Menurut Ibnu Katsir, silsilah Namrud adalah Namrud bin Kan’an bin Kausy bin Sam bin Nuh.

[2]) Yanuar Arifin menyebutnya: Mardukh.

[3]) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata empiris diartikan: berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan).