Senin, 04 November 2013

FENOMENA POLIGAMI DAN NIKAH SIRI




Membaca tulisan Ninuk Mardiana Pambudi yang berjudul “Kawin Siri: Ilegal, tetapi Masih Saja Terus Berlangsung” yang dimuat dalam Kompas, Senin, 25 Juni 2007, halaman 35, mengingatkan saya pada fakta yang ada di daerah tempat saya tinggal. Meskipun tulisan Ninuk Mardiana Pambudi itu ditulis 6 tahun yang lalu, namun poligami dan nikah siri hingga kini masih umum dilakukan oleh orang-orang di daerah tempat saya tinggal dan sekitarnya.
Di daerah yang saya tempati sekarang, saya termasuk salah satu pendatang. Saya tinggal di daerah yang dilintasi kereta api jurusan Tanah Abang – Rangkasbitung, tepatnya antara Parungpanjang – Rangkasbitung. Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di daerah yang menjujung tinggi lembaga perkawinan, saya sempat terkejut ketika pertama kali tinggal di daerah ini (tahun 1996) begitu melihat fenomena poligami dan nikah siri adalah hal yang umum. Namun seiring dengan berjalannya waktu, lama-kelamaan saya sadar mengapa hal yang demikian bisa terjadi.
Meskipun saya belum pernah mengadakan penelitian tentang poligami dan nikah siri di daerah tersebut, namun dari pengamatan saya selama ini, dapat saya ketahui mengapa fenomena tersebut sangat umum di daerah tempat saya tinggal. Sejauh yang dapat saya tangkap, ada empat penyebab mengapa poligami dan nikah siri banyak dilakukan orang di daerah ini.
Pertama, kemiskinan. Pada umumnya perempuan yang mau dimadu adalah perempuan yang berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu. Meskipun dijadikan nomor dua atau tiga sekalipun, ia tetap mau saja yang penting ada suami yang bersedia memberi nafkah. Lebih memprihatinkan lagi, nikahnya cukup hanya dengan jalan memanggil ulama yang dapat menikahkan dengan disaksikan beberapa sanak-famili dan tetangga, tanpa dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Inilah yang disebut dengan istilah nikah bawah tangan atau nikah siri oleh masyarakat. 
 Kedua, pendidikan. Pada umumnya pendidikan masyarakat di daerah ini memang masih rendah, sehingga bisa dimaklumi bila para perempuan di daerah ini mau saja dinikah secara bawah tangan atau nikah siri, tanpa berfikir panjang bahwa nikah siri sangat merugikan tidak saja bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi anak-anaknya. Kerugian bagi perempuan tersebut, misalnya, bila di tengah jalan perkawinan itu putus, maka pihak perempuan tidak dapat menuntut apa-apa dari mantan suami, karena perkawinannya dianggap tidak sah secara hukum negara disebabkan tidak memiliki bukti tertulis yang sah berupa akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA. Kerugian bagi anaknya, seperti diutarakan Ninuk Mardiana Pambudi, adalah bahwa hak anak hanya diakui dari pihak ibu, terutama bila anak tersebut dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, karena syaratnya harus memiliki akta nikah resmi dari negara. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di daerah ini sampai saat ini masih ada anak sekolah yang di akta kelahirannya hanya tercatat nama ibunya saja, tanpa disebutkan nama ayahnya, karena ketika orang tua tersebut mengurus akta kelahiran anaknya, mereka tidak bisa menunjukkan akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA.
Ketiga, status. Terkadang ada juga perempuan yang mau dimadu dan dinikah siri hanya sekedar mencari status. Ada fenomena bahwa daripada menjadi perawan tua, lebih baik cepat nikah walau nikahnya bawah tangan yang penting statusnya sudah bersuami. Yang demikian tidak saja berlaku bagi perawan, tapi juga bagi janda. Bagi janda, prinsipnya adalah daripada kelamaan menjanda lebih baik dimadu dan dinikah siri, yang penting statusnya punya suami, tidak peduli apakah perkawinannya akan langgeng atau tidak. Lebih memprihatinkan lagi, ia tidak dapat berkutik meski sering tidak diberi nafkah oleh suaminya.
Keempat, kebanggaan. Mungkin yang ini kedengarannya agak aneh, tapi pembicaraan teman adik ipar saya dapat dipakai sebagai gambaran betapa bangganya kawin cerai. Ceritanya demikian. Pada suatu ketika, sekitar tahun 1990-an, adik ipar saya (perempuan, yang lebih dulu merantau ke daerah sekitar tempat tinggal saya ini) ditanya oleh teman perempuannya.
“Mbak, sudah punya suami belum?”, tanyanya pada adik ipar saya.
“Belum. Pacar saja belum punya”, jawab adik ipar saya.
Apa kata teman adik ipar saya selanjutnya? Tanpa ditanya ia mengatakan, “Saya baru jadi janda tiga kali”. Dari pengakuannya yang menyebutkan bahwa ia BARU JADI JANDA TIGA KALI menandakan bahwa ia bangga dengan berkali-kali nikah. Dengan sering nikah, entah dengan akta nikah atau hanya nikah siri, berarti ia laku, ia cantik dan sebagainya. Fenomena semacam ini sering kita lihat dalam kehidupan masyarakat setempat.
Itulah fenomena poligami dan nikah siri yang banyak dilakukan orang di daerah tempat saya tinggal dan sekitarnya. Lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Di samping karena kurang ketatnya kontrol baik oleh aparat pemerintahan desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, juga karena faktor ekonomi dan sosial budaya. Kemiskinan terkadang memang bisa membuat orang rela melakukan apa saja yang penting ekonominya tercukupi, termasuk rela menjadi istri nomor dua, tiga, atau empat. Di samping itu, di daerah tersebut memiliki istri lebih dari satu adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang tabu, walaupun usia perkawinannya sangat pendek, karena perkawinan tersebut terkadang tidak dilandasi niat untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Bahkan ada yang bangga dengan memiliki istri banyak, tanpa berfikir apakah tindakannya itu banyak mudharatnya atau tidak.
Melihat kenyataan yang demikian, menurut saya ada hal yang perlu ditempuh oleh pihak yang berwenang, baik Kementerian Agama maupun pemerintah daerah setempat. Langkah yang perlu ditempuh adalah memberikan sosialisasi secara rutin dan berkelanjutan baik kepada aparat pemerintahan desa, para tokoh agama dan tokoh masyarakat, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral sehingga lembaga perkawinan perlu dijaga dan dijunjung tinggi. Poligami dan nikah siri memang tidak dilarang oleh agama, tapi jika perkawinan tersebut tidak dilandasi niat baik untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, maka tindakannya bisa merugikan salah satu pihak, dan kebanyakan dari mereka yang dirugikan adalah perempuan dan anak.
Mengapa sosialisasi ini penting, sebab sampai saat ini masih ada oknum aparat pemerintahan desa yang sangat menggampangkan administrasi kependudukan tanpa prosedur yang semestinya. Ada sebuah kasus, dan ini nyata-nyata terjadi belum lama ini, masih di tahun 2013, ada seorang laki-laki, sudah punya cucu, berasal dari Desa A Kabupaten X*), membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) baru di Desa B Kabupaten Y. Desa A dan Desa B, meskipun berbeda kabupaten, kebetulan lokasi kedua desa tersebut tidak terlalu jauh, karena memang kedua desa tersebut berada di wilayah perbatasan kedua kabupaten di atas. Walaupun laki-laki tadi berasal dari desa dan kabupaten yang berbeda, oleh oknum aparat pemerintahan Desa B, laki-laki tua yang sudah bercucu itu dibuatkan KTP baru dengan alamat Desa B, tanpa prosedur yang semestinya. Artinya, pembuatan KTP itu illegal, tanpa surat pindah, tanpa keterangan apapun dari Desa A. Konyolnya, status perkawinan di KTP baru itu ditulis JEJAKA. Lebih konyol lagi, usianya dikorupsi 20 (dua puluh) tahun. He...he...he... Biar tampak lebih muda gitu loh, walau fisik yang sudah tua itu tidak bisa dibohongi. Ternyata, kekonyolan itu disengaja, karena laki-laki tua itu punya niat tidak baik. Ia sengaja membuat KTP baru itu dengan maksud agar ia bisa nikah lagi dengan gadis lugu idamannya yang berasal dari Kabupaten Z yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggalnya. Kalau laki-laki tua itu pakai KTP yang berasal dari Desa A Kabupaten X tempat ia tinggal, tentu ketahuan kalau statusnya sudah nikah, dan tentunya orang tua si gadis juga tidak bakalan menyerahkan anaknya yang masih perawan ke bandot tua tadi. Itulah sebabnya laki-laki yang sudah bercucu itu menggunakan jurus tipu-muslihat agar ia bisa kawin lagi dengan perawan.
Selain aparat pemerintahan desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat juga perlu diberi pengarahan tentang pentingnya menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Nah, yang ini juga betul-betul terjadi, ada seorang amil dan Ketua Rukun Tetangga (Ketua RT) yang dengan gampang memberikan persetujuan cerai warganya tanpa tahu permasalahan. Masih berhubungan dengan kasus laki-laki tua yang sudah bercucu di atas, 10 (sepuluh) bulan (bulan lo, bukan tahun) semenjak pernikahannya dengan gadis tadi, tiba-tiba tanpa ada angin, tidak ada geledek, suatu sore si laki-laki tua itu melayangkan selembar surat cerai kepada istri barunya itu di rumah kontrakannya yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari rumah si laki-laki tua itu tinggal bersama istri tua, anak-anak, dan cucunya. Surat cerai itu diketik di atas kertas A4 yang ditandatangani oleh laki-laki tua itu dengan tiga orang saksi. Saksi yang pertama adalah amil, saksi kedua adalah Ketua RT, dan saksi yang ketiga saya lupa siapa dia. Amil dan Ketua RT yang tanda tangan di atas surat cerai tadi adalah amil dan Ketua RT di Desa A tempat si laki-laki tua itu tinggal. Padahal, ketika laki-laki tua itu nikah, amil dan Ketua RT ini tidak tahu apa-apa, karena memang pernikahan laki-laki tua itu secara diam-diam. Jangankan amil dan Ketua RT, istri dan anak-anaknya saja, awalnya tidak tahu kalau suami dan ayahnya itu nikah lagi. Sebagai amil dan Ketua RT, mestinya ketika laki-laki tua itu menyodorkan surat cerai dan meminta tanda tangan sebagai saksi, amil dan Ketua RT itu jangan gegabah memberikan tanda tangan. Mengapa? Pertama, amil dan Ketua RT itu kan tidak tahu laki-laki tua itu menikah lagi dengan siapa. Kedua, sebelum memberikan tanda tangan, mestinya mereka tanya kepada laki-laki tua itu kapan nikahnya dengan perempuan yang tertera di surat cerai, kok tiba-tiba minta tanda tangan sebagai saksi atas perceraiannya dengan istri barunya. Ketiga, perlu ditanyakan juga kepada laki-laki tua itu, sebenarnya ada maksud apa kok dulu nikah secara diam-diam, sampai-sampai istri, anak-anak, dan para tetangga tidak ada yang tahu. Keempat, mestinya amil dan Ketua RT juga perlu bertanya kepada laki-laki tua tadi, dulu nikahnya di KUA atau nikah siri. Jika yang disebutkan terakhir ini mereka tanyakan ke laki-laki tua itu, saya yakin mereka tidak akan berani memberikan tanda tangan sebagai saksi di surat cerai yang dibuat sendiri oleh si laki-laki tua tadi, sebab laki-laki tua tadi nikahnya di KUA, jadi yang berhak mengeluarkan surat cerai adalah Pengadilan Agama, bukan mereka.
Dengan adanya pengalaman ini, entah karena ketidaktahuan aparat pemerintahan desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, atau entah karena mereka menggampangkan masalah perkawinan dan perceraian, menurut saya, Kementerian Agama dan pemerintah daerah setempat sebagai pihak yang berwenang, perlu mengadakan sosialisasi secara rutin dan berkelanjutan terkait dengan perlunya kontrol terhadap warga yang akan nikah dan cerai. Apabila aparat pemerintahan desa, tokoh agama, dan tokoh masyarakat telah memiliki kesamaan pandangan tentang perlunya menjaga dan menjunjung tinggi lembaga perkawinan, maka pernikahan dan perceraian tidak semudah itu terjadi tanpa ada kontrol sama sekali.


Catatan Kaki:
*) Maaf, untuk menjaga nama baik, nama desa dan kabupatennya sengaja tidak saya sebut secara terang-terangan.

Tidak ada komentar :