Apabila kita melewati Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, kita akan melihat sebuah rumah bergaya Art Deco yang pernah menjadi saksi bisu ketika Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subarjo merumuskan naskah proklamasi menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Rumah ini berlokasi di Kelurahan Menteng, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, dekat dengan Taman Suropati, atau sekitar 190 meter dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ke arah kiri.
Rumah dengan bangunan seluas 1.138,10 m² yang berdiri di atas tanah seluas 3.914 m² dengan arsitektur Eropa ini didirikan sekitar tahun 1920. Dalam perjalanannya, gedung ini ditempati oleh beberapa penghuni yang berbeda. Pada 1931 misalnya, gedung ini dimiliki oleh PT Asuransi Jiwasraya. Ketika terjadi Perang Pasifik, gedung ini ditempati oleh British Council General sampai Jepang menduduki Indonesia.
Saat Jepang menduduki Indonesia, gedung ini dijadikan tempat kediaman Laksamana Tadashi Maeda, Kepala Penghubung Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang. Pada zaman penjajahan Belanda, jalan di depan gedung ini bernama Nassau Boulevard. Pada masa pendudukan Jepang, namanya diganti menjadi Jalan Meiji Dori, dan kini menjadi Jalan Imam Bonjol. Laksamana Tadashi Maeda menempati rumah tersebut sampai Sekutu mendarat di Indonesia pada September 1945. Selanjutnya, gedung ini dijadikan markas tentara Inggris.
Dalam aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing di Indonesia, gedung ini kemudian diserahkan kepada Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan), namun pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Asuransi Jiwasraya.
Pada 1961, gedung ini dikontrak oleh Kedutaan Besar Inggris hingga 1981. Namun sejak 1976 pemerintah Indonesia telah merintis gedung ini untuk dijadikan monumen sejarah. Dalam perjalanan sejarahnya, akhirnya gedung tersebut ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0476/0/1992 tanggal 24 November 1992.
Ruang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Tertarik dengan perjuangan para tokoh bangsa, saya menyempatkan diri mengunjungi museum yang dulu merupakan sebuah rumah yang dijadikan tempat merumuskan naskah proklamasi. Setelah membeli tiket masuk seharga Rp 5.000,- saya lalu memasuki ruang demi ruang yang ada di museum tersebut.
Ada empat ruang yang berhubungan erat dengan peristiwa perumusan naskah proklamasi.
Pertama, "Ruang Pra Perumusan Naskah Proklamasi". Ruang ini sebenarnya ruang tamu yang juga digunakan sebagai kantor oleh Laksamana Tadashi Maeda. Itulah sebabnya ketika Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subarjo sepulang dari Rengasdengklok dan datang ke sini pada 16 Agustus 1945 sekitar pukul 22.00, diterima di ruang ini oleh Laksamana Tadashi Maeda. Kedatangan Soekarno dan kawan-kawan bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada Laksamana Tadashi Maeda tentang akan diadakannya pertemuan untuk persiapan menjelang Indonesia merdeka. Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumahnya dipakai untuk pertemuan para wakil bangsa Indonesia.
Kedua, "Ruang Perumusan Naskah Proklamasi". Ruang ini aslinya adalah ruang makan Laksamana Tadashi Maeda. Oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subarjo, ruang ini dipakai untuk merumuskan naskah proklamasi.
Ketiga, "Ruang Pengetikan Naskah Proklamasi". Ruang ini berada di bawah tangga dekat dapur. Di sinilah Sayuti Melik, dengan ditemani B.M. Diah, mengetik naskah proklamasi yang telah disetujui oleh hadirin.
Keempat, "Ruang Pengesahan/Penandatanganan Naskah Proklamasi". Ruang ini posisinya di serambi depan. Setelah naskah proklamasi selesai diketik, maka ditandatanganilah naskah tersebut oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Meskipun rumah ini tingkat, tapi ruangan yang digunakan oleh Soekarno dan kawan-kawan dalam proses perumusan naskah proklamasi hanya di lantai bawah saja. Sementara lantai atas adalah ruang pribadi Laksamana Tadashi Maeda. Itulah sebabnya ketika Soekarno dan kawan-kawan mengatakan akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekarang juga dan Laksamana Tadashi Maeda tidak mau ikut campur tangan urusan mereka, ia segera mohon diri untuk menuju ke kamarnya di lantai atas.
Lalu bagaimana dengan lantai atas saat ini?
Saat saya berkunjung, lantai atas Museum Perumusan Naskah Proklamasi dipakai untuk "Pameran Memori Antik Tokoh Proklamasi". Ada beberapa ruang di lantai atas, yang setiap ruang berisi koleksi-koleksi yang berbeda.
Ruang aktivitas misalnya, yang ditampilkan di sini adalah koleksi-koleksi berupa alat-alat pendukung aktivitas kegiatan dan pekerjaan para tokoh perumusan proklamasi, seperti mesin ketik Underwood 255, arloji merk Omega, ballpoint milik Suwiryo, dan lain-lain.
Ruang artistik menampilkan barang-barang berharga milik para tokoh yang turut hadir pada pertemuan perumusan naskah proklamasi, seperti keris, rencong, kain batik, dan bintang mahaputra milik Sutarjo, dan lain-lain.
Ruang proklamasi menampilkan koleksi yang menggambarkan semangat dan usaha yang tak kenal lelah walaupun dengan keterbatasan yang ada. Sebagai misal, di sini dipajang kaset pidato B.M. Diah dan Sayuti Melik, dan lain-lain.
Ruang atribut memamerkan atribut-atribut para tokoh ketika tampil dalam keseharian, seperti toga dan topi warna hitam milik Supomo, baju jas milik Sukarni, baju mantel milik Suwiryo, blangkon milik Sutarjo, dan sebagainya.
Di bagian belakang gedung, kita jumpai empat patung setengah dada, yakni patung Mohammad Ibnu Sayuti (Sayuti Melik), Achmad Subarjo, Soekarno, dan Mohammad Hatta. Di halaman terbuka belakang gedung terdapat bunker yang cukup dalam. Sebetulnya setiap pengunjung dapat masuk ke dalam bunker karena disediakan tangga untuk turun ke dalam bunker, tapi saya yang fobia ketinggian, tidak mau melihat bagaimana kondisi di dalam bunker tersebut.
Museum dengan Kisah yang Pendek
Setelah mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, saya memiliki kesan bahwa museum ini memiliki kisah yang pendek. Hanya peristiwa satu malam yang ditampilkan. Bila melihat nama museumnya, memang tidaklah salah jika yang dibicarakan hanya tentang perumusan naskah proklamasi. Namun demikian, peristiwa yang mendahului perumusan naskah proklamasi sebetulnya tidak kalah menarik jika ditampilkan untuk melengkapi kisah peristiwa malam itu. Saya ambil contoh, meskipun peristiwa yang melahirkan Sumpah Pemuda itu juga pendek, namun kisah yang mendahului dan sesudahnya turut ditampilkan dalam Museum Sumpah Pemuda dengan cara mengelompokkan kisah berdasarkan ruang.
Peristiwa perumusan naskah proklamasi memang terjadi di lantai bawah, namun andai saja lantai atas yang terbagi atas beberapa ruang itu dipakai untuk tata pameran peristiwa yang mendahului perumusan naskah proklamasi, maka menurut saya, pengunjung akan memperoleh banyak informasi. Jadi, pengunjung dipersilakan memasuki ruang di lantai atas terlebih dahulu agar mengetahui peristiwa-peristiwa sebelumnya, baru turun ke bawah, menyaksikan peristiwa perumusan naskah proklamasi. Namun ini menurut pemikiran saya yang tidak pernah berkecimpung di dunia permuseuman, kecuali hanya sebagai pengunjung.
Untuk memperoleh gambaran bagaimana peristiwa-peristiwa yang mendahului peristiwa penyusunan naskah proklamasi, di sini saya ingin mencoba memulai kisahnya dari janji kemerdekaan yang diberikan oleh Jepang.
Janji Kemerdekaan
Dalam bukunya berjudul Detik-Detik Proklamasi, Saat-Saat Menegangkan Menjelang Kemerdekaan Republik, Arifin Suryo Nugroho dan Ipong Jazimah mengatakan bahwa rekomendasi tentang kemerdekaan Indonesia sebenarnya pernah muncul pada bulan Maret 1944 yang disampaikan oleh Kyujiro Hayashi, seorang Penasihat Tertinggi Pemerintahan Militer Jepang di Jawa dengan judul “Penyelidikan mendesak mengenai pengumuman pemberian kemerdekaan di Jawa dan lain-lain”. Namun sayang, rekomendasi tersebut tidak diterima oleh Pemerintah Jepang. Saat itu Pemerintah Jepang memang belum ingin memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, karena keberadaan Indonesia sangat dibutuhkan oleh Jepang untuk mendukung perang, mengingat letak Indonesia yang strategis dan banyak sumber kekayaan alam.
Menurut Nur Siwi Ismawati, ketika itu situasi Jepang yang sedang berperang dengan Sekutu sedang memburuk. Kepulauan Saipan yang letaknya sangat dekat dengan Jepang jatuh ke tangan Sekutu pada bulan Juli 1944 yang disusul dengan kekalahan di berbagai medan pertempuran seperti di Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall. Akibatnya, Kabinet Tojo (Perdana Menteri Tojo) jatuh, digantikan oleh Kabinet Koiso (Perdana Menteri Koiso).
Situasi Jepang yang makin memburuk pada Agustus 1944, membuat Perdana Menteri Koiso khawatir jika dukungan rakyat negeri jajahan terhadap Jepang menjadi berkurang. Oleh karena itu, Jepang kemudian menempuh cara memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia di kemudian hari. Harapannya, dengan janji itu nama baik Jepang sebagai “saudara tua” akan tetap terjaga dan tentu tetap memperoleh dukungan dari Indonesia apabila Sekutu datang ke Indonesia karena rakyat Indonesia akan menyambut Sekutu sebagai lawan.
Janji Koiso yang diucapkan pada 7 September 1944 itu, menurut Taufik Adi Susilo, dilakukan dalam acara The Imperial Diet (badan permusyawaratan tertinggi dalam sebuah kekaisaran) ke-85 di Tokyo. Janji Koiso ini disebut juga Deklarasi Koiso.
Rakyat Indonesia menyambut dengan gembira Deklarasi Koiso. Tak hanya tokoh nasionalis saja yang dapat merasakan kegembiraan, tapi semua rakyat Indonesia turut bergembira. Bendera Merah Putih yang dulu dilarang dikibarkan, kini boleh dikibarkan bersama dengan Hinomaru (bendera Jepang. Hinomaru artinya lingkaran matahari). Kelompok Angkatan Muda Bandung bahkan berani mengibarkan bendera Merah Putih tunggal tanpa Hinomaru. Peristiwa ini terjadi saat Angkatan Muda Bandung yang dipelopori oleh Djamal Ali, Hamid, dan M. Tahir mengadakan konferensi menyambut Deklarasi Koiso pada Mei 1945 di bekas villa Isola yang berada di daerah dataran tinggi dan berhawa sejuk. Lagu Indonesia Raya yang awalnya dilarang dinyanyikan, kini boleh dinyanyikan.
Sebagai tindak lanjut dari janji tersebut, menurut A.T. Sugito, Nur Siwi Ismawati, dan Anugrah Dwi, pada 1 Maret 1945 Jenderal Kumakichi Harada mengumumkan akan membentuk suatu lembaga yang dinamakan Dokuritsu Junbai Cosakai yang dalam bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuannya adalah untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan dengan pembentukan negara Indonesia merdeka. Selanjutnya, bertepatan dengan Hari Raya Tentioosetsu atau Hari Ulang Tahun Tenne Heika Maharaja Jepang, pada 29 April 1945 dibentuklah BPUPKI lengkap dengan pengurusnya.
Mereka yang duduk dalam susunan pengurus BPUPKI adalah:
Ketua (Kaicoo) | : | Dokter K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat |
Ketua Muda (Fuku Kaicoo) | : | Ichibangase Yosio (orang Jepang, seorang anggota luar biasa Tokobetsu Iin) dan R.P Soeroso (merangkap Kepala Tata Usaha atau Zimukyoku Kucoo) |
Anggota | : | 60 orang yang terdiri atas perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia serta 4 orang dari golongan Arab dan peranakan Belanda. (Lihat lampiran 1). |
Pengurus Istimewa | : | 7 (tujuh) orang Jepang. |
Meskipun dibentuk pada 29 April 1945, namun seperti dikatakan Nur Siwi Ismawati, pelantikannya baru dilakukan pada hari Senin, 28 Mei 1945, dimulai pukul 10.00 WIB dengan agenda sebagai berikut.
1. Pengibaran bendera Jepang Hinomaru oleh Mr. A.G. Pringgodigdo.
2. Pengibaran bendera Merah Putih oleh Toyohiko Masuda.
3. Amanat Saiko Sikikan (Panglima Tentara).
4. Pelantikan anggota.
5. Nasihat dari Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer Jepang)
Selama masa kerjanya, BPUPKI bersidang sebanyak dua kali.
Sidang pertama dilakukan pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 di gedung Chup Sangi In, Jalan Pejambon 8, Jakarta (sekarang menjadi Gedung Pancasila). Agenda sidang membahas tentang dasar negara. Radjiman Wedyodiningrat sebagai Ketua BPUPKI meminta pandangan para anggotanya tentang dasar negara. Ada beberapa anggota yang memberikan pandangannya, tiga di antaranya adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Soekarno.
Menurut Anugrah Dwi dalam tulisannya yang diunggah di https://fkip.umsu.ac.id/, setelah bermusyawarah, sidang BPUPKI sepakat menjadikan Pancasila sebagai nama dasar negara Indonesia. Namun hingga sidang pertama BPUPKI berakhir pada 1 Juni 1945, belum diperoleh kesepakatan utuh tentang rumusan dasar negara. Oleh karena itu, maka dibentuklah Panitia Sembilan untuk menerima dan menengahi berbagai masukan. Panitia Sembilan tersebut terdiri atas: (1) Soekarno, (2) Mohammad Hatta, (3) Muhammad Yamin, (4) Achmad Subarjo, (5) A.A. Maramis, (6) Abdul Kahar Muzakir, (7) K.H. Wahid Hasyim, (8) H. Agus Salim, dan (9) R. Abikusno Cokrosuyoso.
Setelah sidang pertama berakhir, mereka lalu memasuki masa reses (istirahat) selama satu bulan lebih. Panitia Sembilan bertugas membahas lebih lanjut usulan dasar negara yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan mengadakan pertemuan dan menghasilkan rumusan dasar negara yang disebut dengan Piagam Jakarta1) atau Jakarta Charter, sebagai berikut.
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya..
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sidang kedua BPUPKI digelar pada 10 - 17 Juli 1945. Pada sidang kedua ini terjadi penambahan anggota sebanyak 6 (enam) orang. Agenda sidangnya membahas tentang rancangan Undang-Undang Dasar, bentuk negara, dan wilayah negara.
Pada sidang kedua ini dibentuk Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan Soekarno sebagai ketuanya. Pada 11 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-Undang Dasar menyetujui isi Preambul (Pembukaan) dari Piagam Jakarta sebagai rancangan Undang-Undang Dasar. Tanggal 14 Juli 1945 Soekarno melaporkan hasil kerja timnya yang berisi rancangan Undang-Undang Dasar yang meliputi tiga hal, yaitu: (1) pernyataan mengenai kemerdekaan Indonesia, (2) pembukaan Undang-Undang Dasar, dan (3) batang tubuh Undang-Undang Dasar atau isi.
Setelah sidang kedua selesai, Jepang menganggap bahwa BPUPKI telah menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu, BPUPKI kemudian dibubarkan pada 7 Agustus 1945, sehari setelah Hiroshima dibom atom oleh Amerika Serikat. Sebagai gantinya, Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Iinkai yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pembentukan PPKI ini sangat cepat karena melihat perkembangan politik dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik.
PPKI diketuai oleh Soekarno dengan wakil ketua Mohammad Hatta. Anggotanya berjumlah 21 orang (lihat lampiran 2), yang diangkat sebagai perwakilan dari seluruh Indonesia. Sembilan orang dari Jawa, dan dua belas orang dari daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Sunda Kecil2).
Pertemuan di Dalat
Situasi Perang Dunia II di wilayah Asia Pasifik yang oleh Jepang disebut Perang Asia Timur Raya menyebabkan Tokyo dalam kondisi tidak aman. Jepang yang telah menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, mengundang Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Dalat, Vietnam. Menurut Arifin Suryo Nugroho dan Ipong Jazimah, undangan ke Dalat berdasarkan perintah dari Tokyo tertanggal 5 Agustus 1945 yang diterima oleh Marsekal Terauchi. Sebenarnya mereka akan menerima kemerdekaan Indonesia langsung dari Pemerintah Jepang di Tokyo, namun situasi perang menyebabkan Tokyo dalam kondisi tidak aman sehingga dialihkan ke Dalat. Dalat adalah sebuah kota kecil dekat Saigon di mana Marsekal Terauchi, panglima seluruh angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, bermarkas.
Tanggal 8 Agustus 1945 Marsekal Terauchi mengundang Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke markas besarnya di Dalat. Mereka diundang karena Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai pimpinan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sedangkan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Menurut Soekarno seperti dituturkan oleh Cindy Adams dalam bukunya berjudul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Marsekal Terauchi mengundang tanpa memberitahukan maksudnya. Meskipun yang diundang hanya tiga orang, namun dengan alasan sakit, Soekarno berhasil mengajak Suharto, dokter kepercayaannya yang bisa berbahasa Jepang. Suharto oleh Soekarno diberi tugas untuk menyimak dan memperhatikan apa saja yang diperbincangkan oleh para pembesar Jepang di pesawat dan kemudian melaporkannya. Selain itu, Suharto juga diminta untuk menjadi badut, seperti menyanyikan lagu-lagu Jepang dan berjoget.
Jam lima pagi, 9 Agustus 1945, berangkatlah Soekarno ke bandara. Sebelum mereka naik pesawat, seorang kolonel melihat Suharto beramah-tamah dengan orang-orang penting Jepang, dan kemudian menegurnya.
“Tuan tidak termasuk di dalam pimpinan tertinggi dari rakyat Indonesia. Perjalanan ini adalah tugas penting. Mengapa tuan ikut?”
“Saya dokter dari Bung Karno”, jawab Suharto.
“Kami cukup dokter untuk perjalanan ini”, balas kolonel tadi.
Suharto mulai melawak. Sang kolonel kemudian kembali ke tempat duduknya dan menyampaikan kepada atasannya.
“Tidak perlu curiga. Dia hanya seorang pelawak”, kata atasannya.
Pagi hari, rombongan tersebut terbang meninggalkan Jakarta. Keberangkatannya bertepatan dengan tanggal dijatuhkannya bom atom di Nagasaki oleh Amerika Serikat.
Alasan Amerika Serikat memilih mengebom Hiroshima dan Nagasaki meskipun bukan kota besar dan ramai, menurut Rebeca Bernike Etania dan Nibras Nada Nailufar dalam tulisannya berjudul “Alasan Amerika Serikat Memilih Kota Nagasaki dan Hiroshima untuk Dibom” yang diunggah di https://www.kompas.com/, karena kedua kota itu memiliki arti penting dalam infrastruktur dan industri Jepang pada masa itu. Saat itu Hiroshima merupakan pusat produksi alat-alat perang dan menjadi tempat pertemuan militer, di samping memiliki pelabuhan yang vital untuk logistik perang Jepang. Sementara Nacb gasaki merupakan pangkalan kapal dan pusat industri pertahanan laut yang memberikan kontribusi penting dalam persiapan perang laut dan perlengkapan militer Jepang. Dengan dipilihnya dua kota kecil ini sebagai target pengeboman, Amerika Serikat berharap dapat melemahkan kekuatan militer Jepang secara signifikan.
Menurut M. Rizal dalam tulisannya yang diunggah di https://news.detik.com/ dengan judul “Perjalanan Menegangkan Sukarno-Hatta-Radjiman ke Vietnam”, keberangkatan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Dalat dikawal oleh Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penerjemah, serta 20 perwira Jepang. Penerbangan dari Bandara Kemayoran menuju Dalat itu dirahasiakan, termasuk kepada keluarga, karena sewaktu-waktu pesawat yang mereka naiki bisa saja disergap dan ditembaki oleh pesawat pemburu pasukan Sekutu.
Pesawat yang mereka naiki transit di Singapura. Mereka menginap semalam di Singapura untuk menghindari penerbangan malam hari, sebab pesawat pemburu Sekutu biasa berpatroli pada malam hari. Apalagi, pasukan Sekutu itu tidak hanya mengincar pasukan Jepang, tapi juga mengincar Soekarno dan Mohammad Hatta yang dianggap sebagai kolaborator Jepang dan sangat berbahaya.
Keesokan harinya, rombongan Soekarno melanjutkan perjalanan menuju Saigon. Mereka naik pesawat kargo. Penerbangan dari Singapura menuju Saigon mengalami kendala karena cuaca buruk, hujan lebat, dan kabut tebal. Malam itu, seperti dikatakan oleh Soekarno, dikarenakan pemandangan udara tertutup oleh hujan dan kabut tebal, pesawat mendarat 100 kilometer dari Saigon pada jam 7 malam di padang rumput yang datar. Pendaratannya terlalu keras di lapangan terbuka dan hampir menubruk seekor kerbau. Selama berjam-jam mereka menunggu hingga akhirnya datang kendaraan menjemput rombongan tersebut. Setelah lewat tengah malam rombongan baru sampai di Istana Saigon. Mereka dikawal dengan ketat.
Kecemasan mereka bertambah, karena mereka belum tahu apa maksud Marsekal Terauchi memanggilnya. Tanggal 12 Agustus 1945, pagi-pagi sekali, mereka berangkat menuju Dalat dari Saigon, karena mereka dijadwalkan bertemu dengan Marsekal Terauchi pada pukul 10 waktu setempat (Dalat).
Mohammad Hatta dalam otobiografinya berjudul Untuk Negeriku 3: Menuju Gerbang Kemerdekaan, Sebuah Otobiografi mengatakan bahwa dalam perjalanan menuju Dalat, kira-kira 300 kilometer sebelah utara Saigon, rombongan tersebut menginap semalam di Singapura dan semalam di Saigon.
Jika melihat rombongan tersebut berangkat dari Jakarta tanggal 9 dan pertemuan di Dalat tanggal 12, berarti jumlah malamnya ada tiga, yakni tanggal 9 malam 10, tanggal 10 malam 11, dan tanggal 11 malam 12. Lalu mengapa Mohammad Hata mengatakan "menginap di semalam di Singapura dan semalam di Saigon"? Munurut dugaan saya berdasarkan informasi dari Soekarno seperti disampaikan di atas, mungkin ketika pesawat mendarat darurat di padang rumput yang datar sekitar 100 kilometer dari Saigon tidak dihitung menginap di Saigon, karena rombongan tersebut sampai di Istana Saigon telah lewat tengah malam.
Saat menuju Dalat pada 12 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta menggunakan setelan jas disertai bintang kekaisaran (ratna suci) yang pernah dianugerahkan oleh Kaisar Hirohito saat berkunjung ke Jepang pada November 1943. Sementara Radjiman Wedyodiningrat menggunakan pakaian nasional.
Di Dalat, rombongan diterima oleh Marsekal Terauchi. Setelah bersalaman, Marsekal Terauchi mengucapkan pidato pendek sekali. Isi pidato menyatakan bahwa Pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
"Sekarang terserah kepada tuan. Pemerintah Dai Nippon menyerahkan proses daripada kemerdekaan rakyat Indonesia sama sekali di tangan tuan", kata Marsekal Terauchi seperti dituturkan oleh Soekarno dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adam.
Mendengar perkataan Marsekal Terauchi Terauchi, tergambar kegembiraan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wdyodiningrat di wajahnya. Marsekal Terauchi kemudian memberikan ucapan selamat kepada tokoh-tokoh Indonesia tersebut, yang diikuti oleh stafnya. Bahkan Mohammad Hatta dalam otobiografinya mengatakan bahwa ia merasa gembira sebab hari itu, tanggal 12 Agustus 1945, adalah hari ulang tahunnya. Dalam hati kecilnya ia menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah atas jasanya setelah sekian tahun berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Dalam beberapa menit, suguhan kue-kue keluar, dan merekapun menyantap bersama. Pada waktu itu Soekarno bertanya kepada Marsekal Terauchi, "Kapankah keputusan Tokyo tentang Indonesia merdeka dapat kami umumkan kepada rakyat Indonesia?". Marsekal Terauchi menjawab, "Terserah kepada tuan-tuan Panitia Persiapan. Kapan saja dapat. Itu sudah menjadi urusan tuan".
Pertemuan hari itu sangat singkat. Kira-kira kurang dari seperempat jam Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wdyodiningrat diperbolehkan pulang. Dikarenakan penerbangan dari Dalat ke Saigon pukul 12.00, sehingga mereka menunggu waktu di tempat peristirahatan sementara.
Esok paginya, 13 Agustus 1945 pukul 08.00, rombongan Soekarno terbang kembali ke Singapura. Sampai Singapura pukul 18.00.
Perdebatan Kaum Muda dan Kaum Tua
Tanggal 14 Agustus 1945 pagi, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat terbang dengan bomber ke Jakarta. Sampai di lapangan kapal terbang Kemayoran, mereka melihat Gunseikan, Sumobuco, dan beberapa pembesar menjemput di lapangan kapal terbang. Pemimpin-pemimpin Indonesia dan rakyat juga banyak yang datang. Bahkan pemimpin-pemimpin Indonesia meminta kepada Soekarno untuk menyampaikan sepatah kata.
"Apabila dulu aku katakan bahwa Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga", kata Soekarno memenuhi permintaan mereka.
Tentu saja mereka menyambut gembira dengan tepuk tangan dan bersorak, "Indonesia merdeka!".
Setelah Soekarno selesai menyampaikan pidato singkat, ternyata rombongan yang baru turun dari pesawat itu tidak bisa langsung pulang ke rumah masing-masing, karena diundang untuk datang ke istana Gunseireikan guna makan siang bersama dengan pembesar-pembesar Jepang. Sebelum makan siang, para pembesar Jepang itu menyinggung tentang tentara Rusia yang menyerbu Mancukuo.
Makan siang dibuka oleh Gunseikan. Ia berpidato pendek yang isinya menyatakan bahwa atas keputusan Tokyo yang disampaikan kepada kami oleh Marsekal Terauchi, pada hari-hari yang akan datang PPKI dapat melaksanakan Indonesia merdeka. Pidato Gunseikan disambut dengan tepuk tangan oleh hadirin. Setelah selesai makan siang, dan Gunseikan masuk ke dalam, maka pulanglah mereka. Waktu itu jam hampir menunjukkan pukul 13.30.
Ketika Mohammad Hatta sampai di rumahnya di Jalan Syowa Dori (sebelumnya Jalan Orange Boulevard, sekarang Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat) sekitar jam 14.00, ternyata ia sudah ditunggu oleh Sutan Syahrir sekitar setengah jam. Sutan Syahrir dikenal sebagai tokoh nasionalis yang tidak mau bekerja sama dengan Jepang sehingga lebih banyak melakukan perjuangannya di bawah tanah.
Setelah bersalaman, Sutan Syahrir menanyakan tentang bagaimana soal kemerdekaan Indonesia. Mohammad Hatta menjawab bahwa soal kemerdekaan, sekarang ada di tangan kita. Hanya saja, penyelenggaraannya diserahkan kepada PPKI.
Sutan Syahrir menceritakan bahwa Jepang telah meminta damai kepada Sekutu. Oleh sebab itu, Sutan Syahrir berpendapat bahwa pernyataan kemerdekaan jangan sampai dilakukan oleh PPKI. Bila Indonesia merdeka dengan cara seperti itu, maka akan dicap oleh Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang. Sebaiknya Bung Karno sendiri yang menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan perantaraan corong radio.
Mohammad Hatta setuju jika pernyataan kemerdekaan secepatnya dilakukan. Namun ia sangsi apakah Soekarno mau melakukan secara pribadi sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat, mengingat ia adalah Ketua PPKI.
Setelah bertukar pikiran, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir sepakat untuk menemui Soekarno dan menanyakan hal tersebut. Merekapun berangkat menuju rumah Soekarno. Di rumah Soekarno, Sutan Syahrir menyampaikan apa yang tadi telah dikatakan olehnya di rumah Mohammad Hatta. Soekarno mengatakan bahwa ketika di Saigon ia telah menduga jika Jepang pasti akan bertekuk lutut. Namun bahwa waktunya secepat itu, ia belum percaya meskipun Sutan Syahrir mendengar kabar dari radio luar negeri yang kebanyakan dikuasai oleh Sekutu. Oleh karena itu, ia berjanji besok akan mengecek kebenaran berita itu ke Gunseikanbu (kantor pusat pemerintahan militer Jepang di Indonesia) bersama Mohammad Hatta.
Soekarno tidak setuju dengan usul Sutan Syahrir agar memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara pribadi sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat. Alasannya karena ia tidak berhak bertindak sendiri, sebab hak itu adalah tugas PPKI. Keinginan Sutan Syahrir kandas.
Keesokan harinya (15 Agustus 1945) Soekarno dan Mohammad Hatta pergi ke Gunseikanbu dengan disertai Achmad Subarjo. Sesampai di sana, tidak ada seorang pejabat pun, kecuali seorang opsir tentara yang bertugas menjaga kantor, karena para pejabat itu dipanggil ke Gunseireibu (Markas Besar Angkatan Perang).
Atas usulan Achmad Subarjo, akhirnya mereka pergi menemui Laksamana Tadashi Maeda di kantornya. Setelah bertanya tentang kebenaran berita yang tersiar bahwa Jepang sudah meminta damai kepada Sekutu, Laksamana Tadashi Maeda terdiam sejenak, lalu menjawab bahwa berita itu memang disiarkan oleh Sekutu. "Akan tetapi", kata Laksamana Tadhasi Maeda, "kami di sini belum lagi memperoleh berita dari Tokyo. Sebab itu, berita tersebut belum kami pandang benar. Hanya instruksi dari Tokyo yang menjadi pegangan kami".
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subarjo meninggalkan kantor Laksamana Tadashi Maeda dengan keyakinan bahwa Jepang benar-benar telah menyerah. Mohammad Hatta mengusulkan kepada Soekarno agar rapat PPKI yang sedianya dijadwalkan tanggal 18 Agustus 1945 dimajukan besok, 16 Agustus 1945, karena anggotanya sudah lengkap hadir di Jakarta. Soekarno setuju. Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua PPKI dan Kepala Biro PPKI menginstruksikan kepada Achmad Subarjo sebagai pembantu utamanya untuk mengundang anggota PPKI yang semuanya menginap di Hotel des Indes agar hadir pada rapat besok pagi pukul 10.00, bertempat di Kantor Dewan Sanyo Kaigi (Dewan Penasihat) di Pejambon. Sesudah berpisah, mereka pulang ke rumah masing-masing.
Pada 15 Agustus 1945 di waktu sore, rumah Mohammad Hatta kedatangan tamu dua orang pemuda, yakni Subadio Sastrosatomo dan Subianto. Mereka mengatakan kepada Mohammad Hatta bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Mereka mendesak kepada Mohammad Hatta agar kemerdekaan Indonesia jangan dinyatakan oleh PPKI yang terkenal sebagai buatan Jepang, melainkan oleh Soekarno sendiri sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat. Apa yang mereka sampaikan sama seperti usul Sutan Syahrir sebelumnya.
Mohammad Hatta mengatakan kepada mereka bahwa Jepang telah mengakui kemerdekaan Indonesia melalui perantaraan Marsekal Terauchi di Dalat. Pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh PPKI besok pagi jam 10 di Pejambon. Namun para pemuda itu dengan lantang mengatakan bahwa hal itu harus dihalangi dan Soekarno sendiri yang harus mengucapkannya di muka corong radio atas nama rakyat Indonesia. Kepada para pemuda tersebut, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa Soekarno tidak bisa dan tidak mau merampas hak PPKI. Menurut Mohammad Hatta, sama saja pernyataan kemerdekaan itu diucapkan oleh Soekarno sebagai pemimpin rakyat atau oleh Soekarno sebagai Ketua PPKI yang sejak semula bekerja sama dengan Jepang dan oleh Belanda dituduh sebagai pengkhianat.
Pertengkaran yang memakan waktu lebih dari setengah jam itu tidak menghasilkan apa-apa akibat saling berpegang teguh pada pendapat masing-masing. Oleh karena tidak dapat meyakinkan Mohammad Hatta, mereka pergi dengan mengatakan bahwa Mohammad Hatta adalah orang yang tidak revolusioner. Mohammad Hatta tersenyum sambil mengatakan bahwa dirinya juga ingin mengadakan revolusi dan mengadakan organisasinya dahulu. Ia menganggap bahwa tindakan yang dilakukan para pemuda itu bukanlah revolusi, melainkan putsch (kudeta),seperti yang dilakukan oleh Hitler di Muenchen pada tahun 1923 dan gagal.
Tentang kemerdekaan Indonesia yang sedang dipersiapkan oleh PPKI, golongan pemuda memiliki pandangan sendiri. Setelah mendengar kabar dari radio-radio luar negeri mengenai kekalahan Jepang terhadap Sekutu, mereka berpandangan bahwa kemerdekaan harus segera diproklamasikan. Pada 15 Agustus 1945 malam, golongan pemuda mengadakan rapat rahasia di Kebon Jarak di belakang Laboratorium Bakteorologi Pegangsaan. Menurut Abu Bakar Lubis sebagaimana dikutip oleh Hendri F. Isnaeni, "Kelompok pemuda itu beranekaragam, mulai dari yang pro Jepang dan penjilat Jepang sampai yang anti Jepang, dan yang tadinya sering curiga-mencurigai, pada saat itu kelihatan bersatu, kompak, tanpa curiga, atau wasangka satu sama lain. Hal ini merupakan mukjizat dari rasa kebangsaandan cita-cita kemerdekaan". Baik Hendri F. Isnaeni, Arifin Suryo Nugoho dan Ipong Jazimah, maupun Nur Siwi Ismawati menyebut mereka yang hadir pada pertemuan yang dipimpin oleh Chairul Saleh adalah Darwis, Kusnandar, Subianto, Margono, Aidit, Johan Nur, Parjono, Abubakar Lubis, Eri Sudewo, Subadio, Suroto Kunto, Karimudin, Lukman, Adam Malik, Sukarni, Syarif Wahidin Nasution, Nasrun, Syarif Thayeb, dan yang lain. Yang datang belakangan adalah Wikana dan Armansyah.
Rapat tersebut membahas bagaimana menghadapi Soekarno dan Mohammad Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia atas kehendak rakyat, tanpa ikatan apapun dengan Jepang. Para pemuda akhirnya sepakat, sebagian ke Jalan Pegangsaan Timur menemui Soekarno, sebagian lagi ke Menteng 31.
Wikana bersama Darwis, Subadio, dan Suroto Kunto yang mendapat tugas ke Jalan Pegangsaan Timur segera bergegas menuju rumah Soekarno. Sesampai di rumah Soekarno, Wikana yang mewakili para pemuda menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu meminta kepada Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada malam itu juga, karena mereka telah mengetahui informasi bahwa Jepang telah menyerah kalah kepada Sekutu. Soekarno menolak permintaan para pemuda dengan pertimbangan tidak mau mengorbankan rakyat apabila revolusi yang dilakukan gagal.
Di tempat lain, seperti dituturkan oleh Mohammad Hatta dalam otobiografinya, malam itu sekitar pukul 9.30 malam, ketika ia sedang mengetik naskah pernyataan proklamasi yang esok paginya akan dibacakan dan dibagi-bagikan kepada anggota PPKI, datanglah Achmad Subarjo ke rumahnya. Ia diajak pergi bersama-sama ke rumah Soekarno, karena Soekarno sedang dikerumuni oleh pemuda yang mendesak supaya malam itu juga diproklamasikan kemerdekaan melalui corong radio.
Mohammad Hatta dan Achmad Subarjo pergi menuju ke rumah Soekarno. Kebetulan Buntaran juga baru saja datang. Dilihatnya para pemuda itu mendesak keras kepada Soekarno, namun Soekarno terus menolak dengan alasan: (1) Jepang telah mengambil keputusan untuk memerdekakan Indonesia, dan (2) besok, 16 Agustus 1945, PPKI akan mengadakan sidang untuk melaksanakan kemerdekaan Indonesia, dengan mengesahkan rencana Undang-Undang Dasar yang telah disiapkan oleh BPUPKI dan memilih kepala pemerintahan di pusat dan daerah. Para pemuda bersikeras bahwa semua itu tidak perlu, sebab bila melalui PPKI berarti kemerdekaan Indonesia merupakan pemberian Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan yang lepas dari pengaruh Jepang, bahkan mereka ingin pernyataan kemerdekaan itu sudah dibuat oleh Soekarno sebelum jam 12 malam.
Malam itu, di Jalan Pegangsaan Timur 56 terjadi perdebatan sengit antara perwakilan golongan muda dengan golongan tua. Suasana pun kian memanas karena tidak adanya titik temu. Sampai pada puncaknya, Wikana dari golongan muda itu mengatakan, "Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah".
Mendengar ancaman Wikana, Soekarno naik pitam. Didekatinya Wikana.
"Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok", kata Soekano sambil menunjukkan lehernya kepada Wikana.
Wikana terperanjat. Ia tidak menyangka Soekarno akan memberikan jawaban seperti itu.
"Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan, apabila kemerdekaan Indonesia tidak dinyatakan malam ini juga, besok rakyat akan bertindak dan membunuh orang-orang yang dicurigai, yang dianggap pro Belanda, seperti orang-orang Ambon dan lain-lain", balas Wikana.
Melihat situasi yang begitu panas, Mohammad Hatta meminta waktu istirahat sekitar 15 menit. Ia kemudian mengajak Soekarno, Achmad Subarjo, dan Buntaran mengundurkan diri sebentar. Mereka masuk ke rumah bagian tengah.
Mereka berempat kemudian bermusyawarah. Hasilnya, mereka sepakat apabila para pemuda itu bersikeras untuk memproklamasikan Indonesia merdeka pada malam itu juga, maka mereka dipersilakan mencari seorang pemimpin sebagai penyokong revolusi.
Pertemuan dengan para pemuda itu dilanjutkan lagi. Apa yang menjadi keputusan kaum tua itu disampaikan kepada kaum muda. Perundingan seketika macet. Para pemuda itu tidak mau mengambil jalan lain. Pertemuan malam itupun dibubarkan.
Peristiwa Rengasdengklok
Para pemuda itu kecewa karena keinginan untuk merdeka secepatnya ditolak oleh Soekarno. Meskipun kecewa, namun mereka tidak putus asa. Mereka pantang menyerah. Malam itu juga, mereka rapat tengah malam di asrama Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) yang berlokasi di Jalan Cikini 71, Jakarta. Rapat dipimpin oleh Chairul Saleh. Keputusan rapat malam itu adalah membawa Soekarno dan Mohammad Hatta ke luar kota dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang. Membawa mereka ke Rengasdengklok.
Taufik Adi Susilo menyebut beberapa orang pemuda yang terlibat peristiwa Rengasdengklok antara lain Sukarni, Yusuf Kunto, Chairul Saleh, Shodanco (komandan peleton) Singgih, Shodanco Sulaiman, Chudanco (komandan kompi) Sucipto, dan Chudanco Subeno.
Pada 16 Agustus 1945 dini hari, saat orang-orang sedang makan sahur karena waktu itu bulan puasa, para pemuda itu bergerak. Mohammad Hatta dalam otobiografinya menceritakan demikan.
"Besok paginya, waktu aku bangun untuk makan sahur, Sukarni dan kawan-kawannya sudah menunggu di luar dan ruangan tengah rumah. Sukarni menceritakan, karena Bung Karno tidak mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tadi malam, pemuda sudah memutuskan untuk bertindak sendiri. Nanti, menjelang pukul 12.00 tengah hari, 15.000 rakyat akan menyerbu ke kota dan bersama-sama dengan mahasiswa dan PETA melucuti Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta kami bawa ke Rengsdengklok untuk meneruskan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia dari sana".
Menurut Restu Gunawan dan kawan-kawan, yang mendatangi rumah Mohammad Hatta adalah Sukarni, Singgih, dan Yusuf Kunto.
Meskipun Mohammad Hatta telah meyakinkan Sukarni bahwa yang direncanakan para pemuda itu hanyalah fantasi belaka dan akan terbentur realitas, namun Sukarni teguh pada pendiriannya. Ia mengatakan bahwa ini sudah menjadi keputusan para pemuda dan tidak dapat diganggu gugat. Terbayang oleh Mohammad Hatta tentang kehancuran cita-citanya bersama kawan-kawan seperjuangan dalam menegakkan Indonesia merdeka. Oleh para pemuda, Mohammad Hatta dibawa ke rumah Soekarno.
Di tempat lain, jam 3 dini hari Soekarno belum tidur karena malam itu tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang makan untuk makan sahur sendiri. Keadaan rumah sunyi senyap. Fatmawati dan Guntur tidur. Di luar terdengar suara sayup-sayup dari balik semak-semak. Tiba-tiba segerombolan pemuda berpakaian seragam masuk dengan diam-diam.
Soekarno dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adam menceritakan:
Sukarni pakai pistol dan sebilah pisau panjang. Dengan lagak petualang dia mencabut pisaunya dan membelebab, "Berpakaianlah Bung.... sudah tiba saatnya".
"Ya!", kataku marah dengan mata menyala-nyala. "Sudah tiba saatnya untuk dibunuh! Jika aku yang memimpin pemberontakanmu ini dan gagal, aku kehilangan kepala, engkau pun juga..... begitupun yang lain-lain. Anak buah mati ada gantinya, tapi pemimpin? Kalau aku mati, coba siapa pikirmu yang akan memimpin rakyat, bila datang waktunya yang tepat?"
Menantanglah pemuda lain sambil mengayunkan pedangnya, "Oleh karena itu kami akan melarikam Bung ke luar kota di tengah malam buta ini. Sudah kami putuskan untuk membawa Bung ke tempat yang aman".
"Aaaakkkk", aku menghembuskan nafas, "Tindakanmu salah, salah samasekali. Tidakkah engkau dapat mengerti bahwa permainanmu ini akan menemui kegagalan? Aku tahu bagaimana kecintaanmu terhadap tanah air. Kuhargai semangatmu yang berkobar-kobar itu. Tapi hanya itu yang kau miliki. Engkau harus bijaksana dan bekerja dengan kepala dingin"
Soekarno darahnya menggelegak waktu berbicara. Ia tahu para pemuda itu tidak akan menyakitinya, namun ia kecewa kepada mereka karena tidak mau mendengarkan pertimbangan yang sehat.
Fatmawati yang berada di dalam kamar, segera mengintip ketika mendengar ada suara gaduh di luar. Dilihatnya ada beberapa pemuda, di antaranya Sukarni. Guntur yang masih bayi umur 9 bulan, terbangun ketika mendengar keributan.
Meskipun marah kepada para pemuda yang memaksakan kehendak, Soekarno bertindak bijaksana. Ia mau mengikuti kehendak para pemuda dan bersedia dibawa ke luar kota.
Soekarno masuk ke dalam kamar, menemui Fatmawati. Ia mengatakan kepada istrinya bahwa dirinya akan dibawa keluar kota oleh para pemuda.
"Fat ikut apa tinggal?", tanya Soekarno.
"Fat sama Guntur ikut. Ke mana mas pergi, di situ aku berada juga", jawab Fatmawati.
Sibuk mempersiapkan keperluan bayi, sampai-sampai Fatmawati tak sempat membawa pakaiannya sendiri. Guntur digendong dengan menggunakan selendang panjang.
Di luar telah menunggu sedan Fiat hitam kecil. Di dalam mobil itu telah ada Mohammad Hatta. Di belakang duduk berempat, sedang di samping sopir duduk Sukarni dan kawannya.
Mobil menerobos gelapnya malam. Sebelum sampai Karawang, terdapat simpang jalan yang menuju Rengasdengklok. Mobil berhenti. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Fatmawati bersama bayinya disuruh pindah ke mobil pick-up dengan alasan mobil sedan terlalu besar untuk melewati jalan ke Rengasdengklok.
Mohammad Hatta sebetulnya bertanya-tanya dalam hati, "Apakah benar alasan itu?". Setelah beberapa lama melewati jalan ke Rengasdengklok dengan pick-up, nyata baginya bahwa Sukarni dan kawan-kawan hanya bersiasat, supaya sopir sedan tadi tidak tahu mereka dibawa ke mana. Waktu di persimpangan jalan, sopir sedan tadi disuruh pulang ke Jakarta.
Alasan mengapa Rengasdengklok dipilih untuk mengamankan Soekarno dan Mohammad Hatta, menurut Tugiyo K.S. dkk., karena letaknya yang menguntungkan secara militer, yaitu:
1. terpencil, jauh dari jalan raya, masuk sekitar 15 kilometer;
2. setiap gerak musuh baik yang datang dari Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah dengan cepat dapat segera diketahui;
3. pengamanan dilakukan atas kerja sama anggota PETA Daidan (Batalion) Purwakarta dan Daidan Jakarta. Jalan masuk Kedung Gede diblokir oleh pasukan tentara PETA;
4. dekat laut, sehingga kalau ada apa-apa akan lebih mudah keluarnya.
Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Letaknya sekitar 20 km. sebelah utara Karawang, di sisi Sungai Citarum. Saat itu Rengasdengklok dijadikan tangsi tentara PETA di bawah Purwakarta.
Sesampainya di Rengasdengklok, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Fatmawati beserta anaknya diajak singgah di beberapa tempat hingga akhirnya singgah di rumah Djiauw Sie Siong yang sengaja dikosongkan untuk mereka.
Sebelum singgah di rumah Djiauw Sie Siong, mereka diajak singgah di asrama PETA yang menurut Mohammad Hatta penghuninya tidak lebih 40 atau 50 orang. Komandannya ialah seorang Cudanco bernama Sucipto. Mereka disuruh naik ke sebuah ruangan yang lantai papannya dialas dengan tikar pandan seluruhnya. Tidak ada sebuah kursi di dalamnya. Ruangan itu merupakan ruangan tidur prajurit PETA. Tidak lama sesudah mereka duduk bersila dalam ruangan itu, dibawa lagi masuk ke dalam rumah, seorang Camat Rengasdengklok. Ia segera mengenali Soelarno dan Mohammad Hatta.
"Buat apa kita dibawa kemari?", kata Camat Rengasdengklok.
"Kita di sini ditawan, karena pemuda mau mengadakan revolusi dan menggempur serta menangkapi Jepang yang ada di Jawa ini. Pemuda sudah mulai berani sebab Jepang sudah menyerah kepada Sekutu", jawab Soekarno.
Setelah kurang lebih satu jam di asrama PETA, mereka diajak pindah ke sebuah rumah milik tuan tanah Tionghoa yang dikosongkan untuk mereka. Jaraknya kira-kira 300 meter. Alasan mengapa tentara PETA menempatkan mereka di rumah Djiauw Sie Siong, karena rumah tersebut satu-satunya rumah dekat asrama PETA yang cukup besar untuk menempatkan mereka. Dilihat dari jalan, rumah tersebut hampir tak terlihat karena tersembunyi di bawah pohon-pohon rindang dan tanaman rindang lainnya.
Sudah lebih dari dua jam di rumah Djiauw Sie Siong, belum juga kelihatan terjadi apa-apa. Sekitar pukul 12.30 Mohammad Hatta meminta tolong kepada pemuda yang menjaga di muka pintu halaman supaya Sukarni datang ke tempat tersebut. Ketika Sukarni datang, Mohammad Hatta bertanya kepadanya apakah revolusi yang rencananya dilakukan pukul 12 siang dengan 15.000 rakyat bersama mahasiswa dan PETA yang akan menyerbu kedudukan Jepang sudah dimulai? Sukarni menjawab bahwa ia belum mendapat kabar. Oleh karena itu, Sukarni danjurkan agar menelepon ke Jakarta. Sukarni mengiyakan.
Hampir satu jam kemudian, Sukarni datang dan mengatakan bahwa ia tidak memperoleh kontak dengan Jakarta, dan Jakarta juga tidak mengirimkan kabar.
"Kalau begitu, revolusimu sudah gagal. Buat apa kami beristirahat di sini apabila di Jakarta tidak terjadi apa-apa", kata Mohammad Hatta.
Meskipun demikian, Sukarni belum yakin bahwa revolusi yang direncanakan itu sudah gagal. Ia pun meninggalkan Mohammad Hatta.
Sekitar pukul 15.00, Sukarni datang dan memberitahukan bahwa Syucokan (Residen) Sutarjo yang sedang berkeliling memeriksa persediaan beras di Rengasdengklok, sudah ditangkap dan ditahan di asrama PETA. Sukarni menanyakan, apakah Sutarjo sebaiknya dibiarkan saja di sana atau dibawa kemari. Mereka menyuruh Sukarni supaya membawa Sutarjo ke tempat tersebut. Sukarni menjemput Syucokan Sutarjo untuk dibawa ke tempat Soekarno dan Mohammad Hatta berada.
Ketika baru sampai di rumah Djiauw Sie Siong, wajah Syucokan Sutarjo tampak kusut. Namun ketika ia melihat di rumah tersebut ada Soekarno dan Mohammad Hatta, raut mukanya segera berubah. Sementara Sukarni yang mengantarkan Syucokan Sutarjo ke tempat tersebut, lalu pergi meninggalkan mereka.
Setelah bersalam-salaman, Syucokan Sutarjo menceritakan bahwa ia ditahan oleh pemuda di bawah pimpinan Sukarni saat sedang berkeliling memeriksa persediaan beras, tanpa diketahui sebab musababnya.
Di tempat lain, para anggota PPKI yang diundang untuk rapat pada hari itu (16 Agustus 1945), begitu mengetahui yang mengundang justru tidak ada, mereka kemudian mencari-cari keberadaan Soekarno dan Mohammad Hatta.
Ketika itu Achmad Subarjo mengira bahwa hilangnya Soekarno dan Mohammad Hatta terjadi atas perintah penguasa militer Jepang. Namun ternyata hal itu bukan perbuatan Jepang. Penguasa militer Jepang bahkan tidak tahu menahu tentang hal itu. Padahal Laksamana Tadashi Maeda akan menyampaikan berita resmi bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Setelah Achmad Subarjo memperoleh informasi tentang keberadaan Soekarno dan Mohammad Hatta, akhirnya ia melakukan kesepakan dengan Wikana sebagai wakil golongan muda, bahwa proklamasi akan dilaksanakan di Jakarta. Laksamana Tadashi Maeda juga berjanji akan menjaga keselamatan mereka selama berada di dalam rumahnya. Akhirnya Achmad Subarjo bersama Sudiro (asisten Achmad Subarjo) diantarkan oleh Yusuf Kunto menuju Rengasdengklok.
Kira-kira pukul 17.30, Sukarni datang lagi menemui Soekarno dan Mohammad Hatta, memberitahukan bahwa Achmad Subarjo datang. Sukarni bertanya, apakah Achmad Subarjo dibiarkan menunggu di luar atau dipersilakan datang ke tempat tersebut. Soekarno dan Mohammad Hatta menghendaki Achmad Subarjo datang ke tempat mereka berada.
Sukarni pergi dan sesaat kemudian datang kembali bersama Achmad Subarjo dan Sudiro. Achmad Subarjo lalu menceritakan keadaan di Jakarta yang tidak terjadi apa-apa. Kepada Soekarno, Achmad Subarjo berkata, "Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta".
Ketika Mohammad Hatta menanyakan apakah PPKI tadi pagi jadi rapat, dijawab oleh Achmad Subarjo, "Apa yang akan dikerjakan mereka? Saudara-saudara yang mengundang mereka rapat tidak ada, berada di sini".
Akhir pembicaraan, para pemuda berkeberatan melepaskan Soekarno dan Mohammad Hatta ketika Achmad Subarjo mengajak mereka kembali ke Jakarta. Achmad Subarjo kemudian menyampaikan hasil kesepakatan dengan Wikana kepada para pemuda tersebut, bahwa proklamasi akan dilaksanakan di Jakarta, selambat-lambatnya besok pada 17 Agustus 1945 sebelum pukul 12.00. Sebagai jaminan adalah nyawanya.
Setelah diyakinkan oleh Achmad Subarjo, akhirnya Sudanco Subeno, komandan PETA setempat, bersedia melepaskan Soekarno dan Mohammad Hatta untuk kembali ke Jakarta. Sampai Jakarta pukul 20.00.
Perumusan Naskah Proklamasi
Setelah mengantarkan Fatmawati dan anaknya pulang ke runahnya, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Mohammad Hatta. Di rumah Mohammad Hatta mereka mengatur cara bagaimana meneruskan rapat PPKI yang tadi pagi tidak jadi dilaksanakan. Mohammad Hatta meminta kepada Achmad Subarjo supaya menelepon ke pihak Hotel des Indes untuk menyediakan ruangan untuk rapat. Pihak hotel mengatakan bahwa berdasarkan aturan, hotel tidak boleh mengadakan kegiatan lagi lewat pukul 22.00.
Atas usul Achmad Subarjo, akhirnya disepakati meminjam ruangan tengah rumah Laksamana Tadashi Maeda untuk rapat. Setelah ditelepon oleh Achmad Subarjo, Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumahnya dipakai untuk rapat.
Selanjutnya, atas perintah Mohammad Hatta, Achmad Subarjo kemudian menelepon anggota-anggota PPKI yang semuanya menginap di Hotel des Indes untuk datang di rumah Laksamana Tadashi Maeda jam 24.00 untuk meneruskan rapat yang tadi pagi gagal dilaksanakan.
Setelah itu, disepakati pulang ke rumah masing-masing terlebih dahulu untuk beristirahat sebelum rapat. Namun sebelum mereka pulang, tiba-tiba telepon di rumah Mohammad Hatta berdering. Ternyata yang menelepon adalah Miyoshi. Ia menyampaikan pesan Sumobuco (Kepala Pemerintahah Umum) Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, apakah Soekarno dan Mohammad Hatta dapat menemuinya malam itu. Dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa dirinya dan Soekarno bersedia datang. Mohammad Hatta meminta kepada Miyoshi untuk bertemu di rumah Laksamana Tadashi Maeda sekitar pukul 22.00, dan dari sana berangkat bersama menuju rumah Mayor Jenderal Otoshi Nishimura.
Pukul 22.00 Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subarjo sampai di rumah Laksamana Tadashi Maeda. Di situ telah ada Miyoshi dan beberapa pejabat Jepang. Soekarno mengucapkan banyak terima kasih kepada Laksamana Tadashi Maeda yang telah bersedia meminjamkan rumahnya untuk rapat PPKI.
"Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia merdeka", jawab Laksamana Tadashi Maeda.
Mereka membicarakan tentang penyerahan tanpa syarat pemerintah Jepang kepada Sekutu serta tindakan apa yang harus dilakukan berkaitan dengan tuntutan pemuda tentang proklamasi kemerdekaan. Sementara itu, Achmad Subarjo keluar karena mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan anggota PPKI.
Setelah kira-kira setengah jam berbincang-bincang, Soekarno dan Mohammad Hatta disertai dengan Laksamana Tadashi Maeda dan Shunkichiro Miyoshi sebagai penerjemah, berangkat menemui Gunseikan. Akan tetapi rmereka hanya bertemu dengan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura. Ia mengatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak boleh dilangsungkan karena Jepang diperintahkan oleh Sekutu untuk tidak mengubah status quo. Ia juga melarang adanya rapat yang akan dilangsungkan di rumah Laksamana Tadashi Maeda.
Terjadi ketegangan dalam pembicaraan antara Mayor Jenderal Otoshi Nishimura dengan Soekarno dan Mohammad Hatta. Akhirnya Soekarno dan Mohammad Hatta sepakat untuk kembali ke rumah Laksamana Tadashi Maeda. Ternyata Laksamana Tadashi Maeda secara diam-diam telah pulang terlebih dahulu tanpa sepengetahuan mereka.
Sekitar pukul 02.30 dini hari (17 Agustus 1945), Soekarno dan Mohammad Hatta tiba kembali di kediaman Laksamana Tadashi Maeda. Kepada Laksamana Tadashi Maeda mereka menjelaskan bahwa meskipun dilarang oleh Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, mereka tetap akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sekarang juga. Laksamana Tadashi Maeda tidak turut campur tangan dan segera mohon diri untuk menuju ke kamarnya di lantai atas.
Menjelang pukul 03.00, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subarjo memasuki ruang makan. Mereka duduk mengitari meja makan panjang. Sementara Sudiro (mbah) dan B.M. Diah mengikuti dan duduk di ruang agak belakang.
Sukarno mulai mempersiapkan penanya, dan menulis draft naskah proklamasi, sedangkan Mohammad Hatta dan Achmad Subarjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Rumusan teks proklamasi ini ditulis di atas kertas bergaris biru. Setelah diberi judul "Proklamasi", dialog pertama yang dihasilkan dari kesepakatan ketiga tokoh nasional tersebut adalah "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia". Kemudian kalimat kedua ditambah oleh Mohammad Hatta, berupa pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan.
Akhirnya, draft naskah proklamasipun selesai. Terdapat beberapa coretan dalam draft tersebut, menandakan bahwa dalam perumusan terdapat pertukaran pendapat.
Setelah konsep naskah proklamasi selesai dibuat, Soekarno kemudian mengutarakannya kepada hadirin yang ikut pertemuan malam itu di serambi depan. Dibacakanlah naskah proklamasi yang telah dibuat itu secara pelan-pelan dan berulang-ulang. Setelah selesai membacakan, Soekarno kemudian bertanya kepada hadirin apakah setuju atau tidak dengan bunyi naskah proklamasi tersebut. Setelah semuanya menjawab setuju, timbul pertentangan tentang siapa yang harus menandatangani naskah proklamasi tersebut. Akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa yang menandatangani cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta.
Setelah mendapat persetujuan hadirin, Soekarno meminta kepada Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi. Dengan ditemani oleh B.M. Diah, Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi di ruang bawah tangga dekat dapur.
Ketika mengetik, Sayuti Melik melakukan perubahan terhadap tiga kata, yaitu kata "tempoh" diganti menjadi "tempo", kata "Wakil-Wakil Bangsa Indonesia" diganti menjadi "Atas nama Bangsa Indonesia", dan "17-8-'05" diganti menjadi "hari 17 bulan 8 tahun 05". Mengapa ditulis 05, dan bukan 45 (pemendekan dari tahun 1945)? Angka 05 adalah pemendekan dari tahun 2605 yang merupakan angka tahun Jepang saat itu.
Setelah selesai mengetik, konsep naskah proklamasi ditinggalkan begitu saja oleh Sayuti Melik. Beruntung B.M. Diah mengambilnya, dan kini naskah tersebut telah disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia.
Sayuti Melik membawa hasil ketikan naskah proklamasi ke tempat hadirin menunggu (di serambi depan) untuk ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Soekarno dan Mohammad Hatta menandatangani naskah tersebut di atas piano yang terdapat di bawah tangga ruangan.
Sebelum rapat ditutup, Soekarno mengingatkan bahwa hari itu juga, 17 Agustus 1945 pukul 10.00, proklamasi akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56.
Rapat bersejarah itu berakhir kira-kira pukul 03.00 dini hari, tanggal 17 Agustus 1945. Laksamana Tadashi Maeda meninggalkan kamar tidurnya lalu turun ke lantai bawah beserta pembantu-pembantunya. Mereka memberikan selamat kepada Soekarno dan teman-temannya atas hasil yang telah dicapai.
Sebelum pulang, Mohammad Hatta berpesan kepada beberapa pemuda yang berkecimpung di bidang pers, terutama Burhanuddin Diah, untuk memperbanyak teks proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh Indonesia, semampunya. Kepada yang bekerja di Kantor Domei (Kantor Berita milik Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II), sedapat mungkin kirimkan telegram berisi berita proklamasi ke seluruh dunia yang dapat dicapai.
Pekik Kemerdekaan
Pagi itu hari Jumat, 17 Agustus 1945. Rumah Soekarno dipadati oleh pemuda yang berbaris teratur dan tertib. Untuk menjaga keamanan saat pembacaan proklamasi, Muwardi memerintahkan Cudanco Latief Hendraningrat untuk menugaskan beberapa anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah Soekarno. Latief Hendraningrat memenuhi perintah Muwardi.
Suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota Jakarta, Suwiryo, memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan pengeras suara. Tentang dari mana asal-usulnya mikrofon, ada beberapa versi. Versi pertama berasal dari pernyataan Soekarno dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adam, bahwa pengeras suara itu dicuri dari stasiun radio Jepang. Versi kedua berasal dari pendapat Sudiro sebagaimana dikutip oleh Hendri F. Isnaeni, bahwa mikrofon satu-satunya yang digunakan pada waktu proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 adalah curian dari Belanda. Akan tetapi Tugiyo K.S. dkk menyebutkan bahwa ketika Wilopo diperintahkan oleh Suwiryo supaya mempersiapkan mikrofon dan pengeras suara, ia dan Nyonoprawoto pergi ke rumah Gunawan pemilik toko radio Satria di Jalan Salemba Tengah 24 untuk meminjam mikrofon. Gunawan memberikan dan mengirim seorang pemuda kepercayaannya untuk melayani pengoperasiannya.
Meskipun jam telah menunjukkan pukul 08.00, namun Soekarno masih tidur di kamarnya. Ia terserang gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi. Apalagi malam sebelumnya ia juga tidak bisa tidur. Setelah dibangunkan oleh Suharto, dokter kesayangannya, kemudian darahnya dialiri Chinineurethan Intramusculair dan minum pil brom chinine, ia tidur kembali. Jam 09.00 ia baru bangun.
Menjelang pukul 10.00 telah berdatangan orang-orang di rumah Soekarno, Di antara mereka yang hadir adalah Buntaran Martoatmojo, A.A. Maramis, Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Anwar Cokroaminoto, Harsono Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Sam Ratulangi, Otto Iskandar Dinata, K.H. Mas Mansyur, Sartono, Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, Mohammad Tabrani, Muwardi, Ali Pringgodigdo (Abdul Gaffar Pringgodigdo), S.K. Trimurti, dan lain-lain.
Ketika waktu sudah mendekati pukul 10.00 dan Mohammad Hatta belum hadir, orang-orang yang sudah hadir perasaannya kacau dan was-was. Dikarenakan desakan para pemuda, akhirnya Muwardi memberanikan diri mengetuk pintu kamar Soekarno agar cepat membacakan proklamasi kemerdekaan, akan tetapi Soekarno menolak. Bahkan Soekarno marah ketika didesak terus-menerus oleh Muwardi.
"Saya tidak akan membacakan proklamasi kalau tidak besama Bung Hatta. Kalau Mas Muwardi tidak mau tunggu, silakan baca proklamasi itu sendiri", jawab Soekarno dengan nada marah.
Mohammad Hatta yang selalu tepat waktu, lima menit sebelum jam 10.00 telah sampai di Jalan Pegangsaan Timur 56 dan langsung menuju kamar Soekano.
Beberapa menit sebelum jam 10.00, Latief Hendraningrat mengetuk pintu kamar Soekarno.
"Apakah Bung Karno telah siap?", tanya Latief Hendraningrat setelah Soekarno membuka pintu kamar.
Soekarno dan Mohammad Hatta mengangguk. Mereka keluar bersama-sama menuju tempat yang telah dipersiapkan dengan diiringi Fatmawati.
Upacara berlangsung tanpa protokoler. Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda untuk berdiri. Ia kemudian mempersilakan Soekarno dan Mohammad Hatta untuk maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Soekarno kemudian mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
"Saudara-saudara sekalian! Saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi, jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam zaman Jepang, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakikatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri yang akan dapat berdiri dengan kuatnya, Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:
PROKLAMASI Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, dieselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta,
hari 17 bulan 8 tahun 05 Atas
nama bangsa Indonesia Soekarno
/ Hatta (tanda
tangan Soekarno) (tanda
tangan Hatta) |
Demikianlah saudara-saudara!
Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita! Negara merdeka, negara Republik Indonesia merdeka, kekal dan abadi. Insya Allah. Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, selanjutnya dikibarkan bendera merah putih. Yang mengibarkan bendera adalah Latief Hendraningrat dan S. Suhud. Mereka yang hadir spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Usai upacara yang dilaksanakan dengan lancar itu, para tokoh yang hadir kemudian saling bertukar pendapat sebentar. Setelah dirasa cukup, mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing.
====0====
Lampiran 1
Anggota BPUPKI
1. Soekarno | 31. R. Buntaran Martoatmojo |
2. Muhammad Yamin | 32. Liem Koen Hian |
3. R. Kusumah Atmadja | 33. J. Latuharhary |
4. R. Abdulrahim Pratalykrama | 34. R. Hindromartono |
5. R. Aris | 35. R. Sukarjo Wiryopranoto |
6. Ki Hajar Dewantara | 36. Haji Ah. Sanusi |
7. Ki Bagus Hadikusumo | 37. A.M. Dasaad |
8. M.P.H. Bintoro | 38. Tan Eng Hoa |
9. Abdul Kahar Muzakir | 39. R.M.P. Surachman Cokroadisuryo |
10. B.P.H. Puruboyo | 40. R.A.A. Sumitro Kolopaking Purbonegoro |
11. R.A.A. Wiranatakusuma. | 41. K.R.M.T.H. Wuryaningrat |
12. R. Asharsutejo Munandar | 42. A. Subarjo |
13. Oei Tjiang | 43. R. Jenal Asikin Wijayakusumo |
14. Mohammad Hatta, | 44. Abikusno Cokrosuyoso |
15. Oei Tjong Hauw | 45. Parada Harahap |
16. H. Agus Salim, | 46. R.M. Sartono |
17. M. Sutarjo Kartahadikusumo | 47/ K.H. M. Mansur |
18. R.M. Margono Joyohadikusumo | 48. K.R.M.A. Sosrodiningrat |
19. K.H. Abdul Halim | 49. R. Suwandi |
20. K.H. Masykur | 50. K.H.A. Wachid Hasyim |
21. R. Sudirman | 51. P.F. Dahler |
22. P.A.H. Djajadiningrat | 52. Sukirman |
23. Supomo | 53. K.R.M.T. Wongsonegoro |
24. Suseno | 54. R. Otto Iskandar Dinata, |
25. R.P. Singgih | 55. A. Baswedan |
26. Ny. Maria Ulfah Santoso | 56. Abdul Kadir |
27. R.M.T.A. Surjo | 57. Sanusi |
28. R. Ruslan Wongsokusumo | 58. A.A. Maramis |
29. R. Susanto Tirtoprojo | 59. Samsudin |
30. Ny. R.S.S. Sunaryo Mangunpuspito | 60. R. Sastromulyono |
(Dikutip dari buku Dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat, Hasil Karya don Pengabdiannya tulisan A.T. Sugito)
Lampiran 2
Susunan Pengurus PPKI
Ketua | : | Soekarno |
Wakil Ketua | : | Mohammad Hatta |
Anggota | : | 1. Supomo |
|
| 2. Radjiman Wedyodiningrat |
|
| 3. R.P. Suroso |
|
| 4. Sutarjo |
|
| 5. Wahid Hasyim |
|
| 6. Ki Bagus Hadikusumo |
|
| 7. Otto Iskandar Dinata |
|
| 8. Abdul Kadir |
|
| 9. Suryohamijoyo |
|
| 10. Puruboyo |
|
| 11. Yap Tjawn Bing |
|
| 12. J. Latuharhary |
|
| 13. Amir |
|
| 14. Abdul Abas |
|
| 15. Mohammad Hasan |
|
| 16. Hamidhan |
|
| 17. G.S,J,J. Ratulangi |
|
| 18. Andipangeran |
|
| 19. I Gusti Ketut Puja |
(Dikutip dari buku Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tulisan Nur Siwi Ismawati)
Daftar Pustaka
1. Buku
Anonim. 2005. Buku Panduan Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Museum, Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Arifin Suryo Nugroho & Ipong Jazimah. 2011. Detik-Detik Proklamasi, Saat-Saat Menegangkan Menjelang Kemerdekaan Republik. Yogyakarta: Narasi.
A.T. Sugito. 1998. Dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat, Hasil Karya don Pengabdiannya. Edisi Ill. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dlrektorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cindy Adams. 1988. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Cetakan Kelima. Jakarta: CV Haji Masagung.
Fatmawati Sukarno. 2016. Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Yayasan Bung Karno bekerja sama dengan Penerbit Media Pressindo.
Hendri F. Isnaeni. 2013. 17 Fakta Mencengangkan di Balik Kemerdekaan Indonesia. Jakarta Selatan: Change Publication.
Mohammad Hatta. 2011. Untuk Negeriku 3: Menuju Gerbang Kemerdekaan, Sebuah Otobiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Nur Siwi Ismawati. 2008. Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tanpa Nama Tempat: Permata Equator Media.
Restu Gunawan dkk. 2015. Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Taufik Adi Susilo. 2008. Soekarno, Biografi Singkat 1901-1970. Jogjakarta: Garasi.
Tugiyono K.S. dkk. 2000. Dwitunggal Soekarno - Hatta Pahlawan Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Tanpa Nama Tempat: PT Mutiara Sumber Widya.
2. Internet
Anugrah Dwi. 2023. "Sejarah Terbentuknya BPUPKI", diunggah dalam https://fkip.umsu.ac.id/, 3 Mei 2023.
M. Rizal. 2022. "Perjalanan Menegangkan Soekarno-Hatta-Radjiman ke Vietnam", diunggah dalam https://news.detik.com/, 4 Agustus 2022.
Rebeca Bernike Etania, NIbras Nada Nailufar. 2023. "Alasan Amerika Serikat Memilih Kota Nagasaki dan Hiroshima untuk Dibom", diunggah dalam https://www.kompas.com/, 23 September 2023.
Trisna Wulandari. 2022. "Peristiwa Jepang Menyerah Tanpa pada Sekutu Tahun 1945", diunggah dalam https://www.detik.com/ 15 Agustus 2022.
Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti. 2024. "Kenapa Bali, NTB, dan NTT Disebut Sunda Kecil?". diunggah dalam https://www.kompas.com/, 4 Mei 2024.
------------------------------------------------------------------------
1) Perubahan dari Piagam Jakarta ke Pancasila (yang kemudian tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945) terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945 saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang. Perubahan tersebut, yang awalnya berbunyi, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan tersebut merupakan hasil kompromi politik demi menjaga persatuan bangsa Indonesia yang beraneka-ragam.
2) Bangsa Portugis ketika datang pertama kali ke Asia Tenggara pada awal abad ke-16 belum mengenal istilah Nusantara. Dengan berbekal istilah yang disebut oleh ahli geografi Yunani kuno bernama Claudius Ptolemaeus dalam karyanya berjudul Geographike Hyphegesis pada tahun 150 Masehi, Bangsa Portugis menyebut Nusantara sebagai Sunda. Pulau-pulau besar di bagian barat seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan disebut Sunda Besar; sedangkan pulau-pulau kecil di bagian timur seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur disebut Sunda Kecil.