Sabtu, 15 Februari 2025

PERLAK (PEUREULAK), Kerajaan Islam Pertama di Indonesia


Jauh sebelum kota Malaka ada dan berdiri, selat yang kini dikenal dengan nama Selat Malaka, memiliki peranan penting sebagai jalur pelayaran yang menghubungkan negeri India dengan Cina dan sebaliknya.

Menurut A. Daliman, pada masa Sriwijaya, tepatnya pada abad ke-7 Masehi, pelayaran dari India ke Cina belum melalui kota pelabuhan Malaka. Kota Malaka sendiri pada waktu itu belum ada dan belum berdiri, bahkan namanya juga belum disebut-sebut. Namun demikian, Selat Malaka telah menjadi jalur pelayaran. Hanya saja pelayarannya tidak melalui pantai barat Semenanjung Malaka, melainkan melalui sisi barat Selat Malaka, yakni menyisir pantai timur Sumatera. Kota pelabuhan terpenting saat itu adalah Melayu (Mo-lo-yu) yang terletak di muara Sungai Batanghari, kira-kira di kota Jambi sekarang. Pelayaran menyisir sisi barat Selat Malaka bertahan sampai timbulnya kota pelabuhan Malaka pada awal abad ke-15.

Tk. H. Ismail Yakub dalam bukunya berjudul Sejarah Islam di Indonesia menyebutkan bahwa sebelum Islam lahir, kedatangan orang Arab ke Indonesia adalah untuk berniaga. Mereka mengambil hasil bumi di negerinya untuk diperdagangkan di luar negeri. Setelah Islam lahir, kedatangan mereka ke Indonesia selain untuk berniaga, juga untuk menyiarkan agama Islam. Daerah pertama yang menerima agama Islam ialah pesisir Sumatera, karena letaknya yang paling dekat dengan mereka yang datang dari arah barat. Kian lama berkembanglah agama Islam di Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Pembawanya yaitu saudagar-saudagar Islam baik orang Arab, maupun mereka yang menyusul kemudian seperti orang Persia, Malabari, Gujarat, dan yang lain.

Para pedagang tersebut, karena menggunakan peralatan sederhana saat mengarungi samudera, yaitu kapal layar, sehingga mereka tinggal di kota-kota pelabuhan sampai berbulan-bulan sambil menunggu pergantian musim untuk berlayar kembali. Tak mengherankan jika pada tahun 684 di pantai barat Sumatera, yakni di Pelabuhan Barus, sudah terdapat perkampungan orang Arab seperti dikatakan oleh Edi S. Ekadjati. Selain Barus, orang-orang Arab juga bermukim di kota-kota pelabuhan Lamuri, Perlak, Samudera, dan Pasai.

Sebagian sarjana, seperti Edi S. Ekadjati dan A. Daliman, mengatakan bahwa Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-12. Namun Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh yang diadakan di Banda Aceh, 10-16 Juli 1978, menyimpulkan bahwa kerajaan-kerajaan Islam pertama adalah Perlak, Lamuri, dan Pasai. Kerajaan Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia didirikan pada tahun 840 Masehi sebagaimana dikatakan oleh A. Hasymy maupun Wan Hussein Azmi.  

Dalam makalahnya berjudul “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara”, A. Hasymy yang mendasarkan pendapatnya pada naskah tua berbahasa Melayu berjudul Idharul Haqq fi Ma.lakatil Al Fasy menyebutkan bahwa Kerajaan Islam Perlak didirikan pada 1 Muharam 225 Hijriah (840 Masehi) dengan raja pertamanya Sultan Alaiddin Sayid  Maulana Abdul Aziz Syah.

Sementara Wan Hussein Azmi dalam makalahnya berjudul “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” berpendapat bahwa Perlak sebagai sebuah pelabuhan perniagaan yang maju dan aman pada abad ke-7 Masehi, menjadi tempat persinggahan kapal-kapal perniagaan Arab/Parsi muslimin. Masyarakat Islam di daerah ini menjadi berkembang karena terjadinya perkawinan antara saudagar-saudagar muslimin dengan perempuan-perempuan anak negeri, sehingga lahirlah keturunan muslimin dari percampuran darah antara Arab, Parsi dengan putri-putri Perlak yang membawa pada terjadinya Kerajaan Islam Perlak yang pertama, yaitu pada hari Selasa 1 Muharam 225 Hijriah (840 Masehi). Sultan Perlak pertama adalah Syed Maulana Abdul Aziz Syah (peranakan Arab Quraisy dengan putri Meurah¹ Perlak) dengan gelar Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah². Bandar Perlak³ kemudian diganti namanya menjadi Bandar Khalifah, sebagai pengingat nama Nahkoda Khalifah yang pertama mengembangkan dakwah Islamiyah di Perlak abad ke-8 Masehi. Pada masa itu, Islam di Perlak beraliran Syi’ah.

Athallah Abel Gibrani Henarwanto berdasarkan kitab Idharul Haq fi Mamlakah Ferlak karangan Ishak Makarani Al-Pasy menyebutkan bahwa Nahkoda Khalifah merupakan kapal dagang yang membawa 100 orang yang terdiri atas orang-orang Arab, Persia, dan Hindi yang datang dengan tujuan untuk berdagang sekaligus mengislamkan wilayah Perlak. Dalam waktu setengah abad setelah kedatangan Nahkoda Khalifah, pemimpin Perlak (Meurah) dan seluruh rakyatnya secara sukarela memeluk agama Islam berkat kebijaksanaan sang Nahkoda.

Nama Perlak itu sendiri berasal dari Peureulak, nama kayu yang biasa dipakai sebagai bahan pembuatan perahu. Menurut A. Hasymy, di wilayah Aceh Timur sekarang, banyak tumbuh pohon besar yang bernama “Kayei Peureulak” (Kayu Perlak), bahkan bisa dikatakan “Rimba Peureulak”. Kayu ini sangat baik untuk bahan pembuatan perahu atau kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan kapal atau perahu. Dikarenakan daerah tersebut terkenal sebagai penghasil kayu perlak, maka daerah tersebut kemudian dinamakan negeri Perlak, dan pelabuhan tempat singgahnya kapal-kapal dagang disebut Bandar Perlak.

Tentang suasana Perlak, sebagaimana digambarkan oleh Athallah Abel Gibrani Henarwanto, merupakan profil pelabuhan sederhana dengan aktivitas cukup sibuk. Aneka bangunan yang terbuat dari kayu atau bambu berdiri di sana, sebagai suatu fasilitas yang memudahkan transaksi jual beli dan lain sebagainya. Para pedagang asing, bermalam di kapalnya dan datang ke pelabuhan hanya untuk kebutuhan administrasi maupun saat meneken suatu kesepakatan niaga.

A. Hasymy dalam bukunya berjudul Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia dan Athallah Abel Gibrani Henarwanto dalam artikelnya berjudul “Laut dan Islam: Perkembangan Kesultanan Perlak pada Abad XV” menyebutkan bahwa mulai tahun 225 Hijriah (840 Masehi) Kerajaan Perlak dipimpin oleh:

1.  Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah;

2. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdurrahim Syah;

3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah;

4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah.

Menurut Wan Hussein Azmi dan Athallah Abel Gibrani Henarwanto, pada masa kepemimpinan Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah, di Perlak terjadi  perang saudara antara kaum yang beraliran Syi’ah dengan kaum yang beraliran Sunni. Perang ini dimenangkan oleh kaum yang beraliran Sunni. Mereka kemudian mengangkat raja dari golongannya, yaitu Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat yang merupakan keturunan Meurah (bangsawan asli Perlak).

Semenjak itu Kerajaan Perlak berada di bawah kepemimpinan raja-raja dinasti Makhdum. Raja Perlak pertama dari dinasti Makhdum adalah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, yang diteruskan oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat yang sebelumnya merupakan guru di lembaga pendidikan Islam Dyah Cot Kala. Saat Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat berkuasa, ia ingin mempersatukan kembali dinasti Sayid (dinasti Aziziyah) dengan dinasti Makhdum. Cara yang dilakukannya adalah dengan mengangkat seorang keturunan Aziziyah yang bernama Sayid Maulana Abdullah.

Raja  Perlak dari dinasti Makhdum berikutnya adalah Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat. Pada masa pemerintahannya, perang saudara terjadi kembali. Kali ini perselisihan dapat diselesaikan melalui perjanjian Alue Meuh. Isi perjanjian: Perlak dibagi dua. Daerah Baroh (pesisir) dipimpin oleh dinasti Sayid (dinasti Aziziyah), sedang daerah Tumong (pedalaman) dipimpin oleh dinasti Makhdum.

Setelah perjanjian disepakati, di Perlak kini terdapat dua orang sultan, yaitu:

1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Mahmud Syah dari dinasti Sayid (dinasti Aziziyah) sebagai Raja Perlak pesisir di Baroh; dan

2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat dari dinasti Makhdum sebagai raja Perlak pedalaman di wilayah Tumong.  

Pada tahun 986, Kerajaan Sriwijaya melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Perlak pesisir (Baroh) yang menyebabkan Sultan Alaiddin Sayid Maulana Mahmud Syah gugur. Kerajaan Perlak kemudian disatukan kembali oleh Sultan Makdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, raja Perlak pedalaman, untuk melawan serangan Kerajaan Sriwijaya.

Tahun 1006 pasukan Sriwijaya memutuskan mundur dari medan peperangan. Penyebabnya, Kerajaan Sriwijaya menghadapi ancaman Raja Darmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa. Dengan mundurnya pasukan Sriwijaya, Kerajaan Perlak yang telah bersatu kembali, memperkuat posisinya di bawah kepemimpinan Sultan Makdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat. Dahwah Islam menyebar hingga ke daerah Lingga yang sekarang bernama Aceh Tengah.

Sepeninggal Sultan Makdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, Kerajaan Perlak, seperti dikatakan Wan Hussein Azmi, dipimpin oleh:

1. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat;  

2. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat;

3. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat;  

4. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat;

5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat;  

6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat;  

7. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat;  

8. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat;  

9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat; dan

10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat.  

Setelah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat mangkat pada 1292, dikarenakan tidak memiliki putra yang akan menggantikan posisinya sebagai Sultan Perlak, maka Kerajaan Perlak kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai. Saat itu yang memerintah Samudera Pasai adalah Sultan Muhammad Malik Al Dhahir.  

Lalu siapa sebenarnya Sultan Muhammad Malik Al Dhahir, sehingga Kerajaan Perlak diserahkan kepadanya? Wan Hussein Azmi dalam makalahnya mengatakan bahwa Sultan Muhammad Malik Al Dhahir adalah putra Sultan Al Malik Al Salih (Meurah Siloo) dengan Putri Ganggang (putri Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat). Jadi, Sultan Muhammad Malik Al Dhahir (raja Samudera Pasai) adalah cucu Raja Perlak (lihat nomor 9 di atas).

Jika pada awalnya Samudera Pasai dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, maka dengan ditemukannya beberapa benda peninggalan Kerajaan Perlak, kini Kerajaan Perlak-lah yang dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara. Benda-benda tersebut adalah mata uang, stempel bendahara kerajaan, dan makam.

Dalam perjalanan penelitian di Aceh Timur, A. Hasymy menemukan tiga mata uang asli dari Kerajaan Perlak.

Pertama, sebuah mata uang emas bernama “dirham”. Mata uang ini semula ditemukan oleh seorang perempuan bernama Ruhani di Kampung Paya Meuligou, kira-kira 150 meter dari Bandar Khalifah. Ruhani menemukan mata uang tersebut ketika ia sedang menggali lubang untuk menanam pohon pisang. Sayangnya, tulisan pada mata uang tersebut kurang jelas akibat terlalu lama terkubur di dalam tanah. Namun demikian, masih bisa diduga bahwa tulisan yang ada pada satu sisi koin emas itu mirip dengan “al-a’la” dalam huruf Arab. Sementara pada sisi lain terdapat tulisan yang bisa dibaca, yaitu “sultan”. A. Hasymy menduga, kemungkinan besar yang dimaksud “al-a’la” pada koin emas tersebut adalah Putri Nurul A’la yang menjadi Perdana Menteri pada masa kepemimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat. Putri Nurul A’la adalah seorang negarawan yang sangaty pandai.

Mata uang emas Kerajaan Perlak
(Sumber gambar: https://satujam.com/sejarah/kerajaan-perlak/)


Kedua, mata uang perak yang bernama “kupang”. Mata uang perak ini ditemukan oleh seorang anak bernama Mahmud sewaktu dia sedang mencangkul ladangnya di Kampung Sarah Pineung, kemukiman Blang Simpo Perlak, sebelah selatan kota Perlak. Koin tersebut, pada satu sisi terdapat tulisan “dhuribat mursyidan”, sedangkan pada sisi lain terdapat tulisan “syah alam barinsyah”. Menurut dugaan A. Hasymy, yang dimaksud dengan “syah alam barinsyah” adalah Putri Mahkota dari Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat. Ketika Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat sakit lumpuh sehingga tidak memungkinkan melaksanakan tugas lagi, sehingga kepemimpinan diserahkan kepada putrinya, Putri Mahkota Barinsyah. Ia dibantu oleh adiknya, Abdul Aziz Syah. Mata uang perak ini kemungkinan dibuat pada waktu Putri Mahkota Barinsyah memerintah sebagai Pejabat Kepala Negara.

Ketiga, sebuah mata uang tembaga yang ditemukan di bekas ibukota Bandar Khalifah oleh seorang penduduk. Mata uang tersebut bertuliskan huruf Arab yang belum sempat dipelajari oleh A. Hasymy.

Dengan adanya penemuan tersebut, menunjukkan bahwa Perlak merupakan sebuah kerajaan yang maju karena dapat membuat mata uang sebagai alat pembayaran resmi. Tidak mungkin suatu kerajaan yang biasa-biasa saja dapat membuat mata uang untuk kerajaannya sendiri, apalagi pembuatannya dengan teknik yang tinggi.

Selain mata uang, peninggalan dari Kerajaan Perlak yang lain adalah stempel Kerajaan Bendahara. Menurut cacatan sebuah naskah tua, seperti dikatakan oleh A. Hasymy, pada waktu itu Kerajaan Negeri Bendahara menjadi bagian dari Kerajaan Perlak, yang kira-kira sama dengan Negara Bagian menurut istilah sekarang.

Stempel tersebut terbuat dari perak murni dengan ukuran agak besar, kira-kira sebesar “paun ringgit”. Tulisan pada stempel tersebut menggunakan huruf Arab, dengan tulisan tenggelam yang membentuk kalimat, “Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara sanah 512”. Tulisannya sangat rapi. Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Perlak saat itu betul-betul sudah maju.

Selain mata uang dan stempel, masih ada lagi peninggalan Kerajaan Perlak, yaitu makam salah seorang Raja Benua yang terletak di tepi Sungai Tenggulon, kira-kira 40 km. di pedalaman, atau sebelah selatan kota Kuala Simpang. Menurut naskah kuno Idharul Haq, Kerajaan Banua juga merupakan Negara Bagian Kerajaan Perlak. Makam tersebut ditemukan di dalam tanah saat sedang dilakukan penggalian tanah. Batu nisannya masih terlihat baik. Di atas batu nisan tersebut, terdapat tulisan dengan huruf Arab, yang menurut penelitian Hasan Ambary sebagaimana dikutip oleh A. Hasymy, makam tersebut dibuat pada abad ke-11 Masehi.

 

----------------------------------------------------------

Catatan kaki:

1) Muhammad Muhar - Omtatok dalam tulisannya berjudul "Gelar Kebangsawanan Melayu & Gelaran Penyebutan" yang diunggah dalam https://puakmelayu.blogspot.com/ menyebutkan bahwa marah atau merah atau morah adalah gelaran kebangsawanan Aceh yang telah ada sebelum pengaruh Islam. Prof. Dr. Snouck Hurgronye (1857-1936), seorang Islamolog sebagai arsitek politik Islam Nederlandsch Indie turut melakukan perubahan penulisah ejaan di Aceh. Kata "Marah" ditulis "Meurah", kecuali di wilayah Gayo yang tetap mengeja "Marah".

2) Terdapat sedikit perbedaan penulisan nama. A. Hasymy menulis “Syah”, sedangkan Wan Hussein Azmi menulisnya “Shah”. Untuk keseragaman, selanjutnya ditulis “Syah” seperti yang umum ditulis oleh beberapa ahli sejarah.

3) Menurut Athallah Abel Gibrani Henarwanto, Bandar Perlak adalah ibukota Kerajaan Perlak



Daftar Pustaka

 

1. Buku

A. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

A. Hasymy. 1993. “Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara” dalam A. Hasymy (editor), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh). Cetakan Ketiga. Tanpa Nama Tempat: PT Al-Ma’arif.

Athallah Abel Gibrani Henarwanto. 2022. “Laut dan Islam: Perkembangan Kesultanan Perlak pada Abad XV”, dalam  Socio Historica, Journal of Islamic Social History 2022, Vol. 2. No. 2.

Edi S. Ekadjati. 1985. Penyebaran Agama Islam di Pulau Sumatera. Cetakan Kedua. Bandung: Mutiara Sumber Widya.

Tk. H. Ismail Yakub. Tanpa Angka Tahun. Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Widjaya.

Wan Hussein Azmi. 1993. “Islam di Aceh: Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A. Hasymy (editor), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran pada Seminar di Aceh). Cetakan Ketiga. Tanpa Nama Tempat: PT Al-Ma’arif.

Yusuf Abdullah Puar. 1985. Masuknya Islam ke Indonesia. Cetakan Ketiga. Tanpa Nama Tempat: CV. Indrajaya.

2. Internet

https://itjen.kemdikbud.go.id/web/kesultanan-peureulak-kerajaan-corak-islam-pertama-di-indonesia-yang-kerap-terlupakan/

https://puakmelayu.blogspot.com/2019/06/gelar-kebangsawanan-melayu-gelaran.html


Tidak ada komentar :