Sabtu, 22 Februari 2025

MONUMEN NASIONAL DAN MUSEUM SEJARAH NASIONAL: Perjalanan Panjang Sejarah Nasional Indonesia


Berbicara tentang Monumen Nasional atau yang lebih terkenal dengan sebutan Monas, sebetulnya bukan sesuatu yang asing bagi saya. Lima belas tahun saya bekerja di Jalan Merdeka Barat (Gambir, Jakarta Pusat), sebuah jalan yang ada di sebelah barat Monas, setelah sebelumnya saya bekerja di Jalan Cilacap (Menteng, Jakarta Pusat), dan Jalan Jenderal Sudirman (Senayan, Jakarta Selatan).

Meskipun pada momen tertentu saya sesekali upacara di Monas bersama pegawai lain dari beberapa kementerian/lembaga yang ada di Jalan Merdeka Timur, Merdeka Selatan, Merdeka Barat, dan Merdeka Utara, atau sesekali berolahraga di situ, tapi saya belum pernah masuk ke Museum Sejarah Nasional yang ada di bawah tanah atau di bawah Monas. Setelah pensiun saya justru baru mengunjungi museum tersebut.

Sejarah Berdirinya Monas

Munculnya gagasan untuk membangun sebuah tugu peringatan besar yang dapat disejajarkan dengan Menara Eiffel milik Bangsa Perancis atau Patung Liberty milik Bangsa Amerika berasal dari Presiden Soekarno. Ia ingin membangun Monumen Nasional (Monas) sebagai monumen peringatan untuk mengenang perjuangan dan perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Selain itu, dibangunnya Monas juga sebagai wahana untuk membangkitkan semangat patriotisme generasi pada masa kini dan yang akan datang.

Tahun 1954 Presiden Soekarno memerintahkan pembentukan panitia pembangunan Monas. Yang dipercaya sebagai ketua panitia pembangunan adalah Sarwoko dengan Muhtarom sebagai sekretaris dan Murtadi sebagai bendahara.

Untuk memiliki rancangan Monas yang mempunyai nilai seni dan filosofisnya, negara kemudian mengadakan sayembara yang diikuti oleh 51 peserta. Dari rancangan-rancangan yang masuk, panitia kemudian mengadakan seleksi ketat. Terpilihlah rancangan yang dibuat oleh Friedrich Silaban. Meskipun demikian, tidak berarti rancangan tersebut langsung dijadikan acuan untuk mendirikan bangunan. Diterimanya rancangan dari Friedrich Silaban karena rancangannya merupakan satu-satunya yang sesuai dengan kriteria sayembara dan dapat bertahan kokoh hingga hitungan abad dan mewakili karakter bangsa Indonesia.

Ketika gagasan membangun Monas akan direalisasikan oleh Presiden Soekarno pada 1955, banyak kritikan baik yang dilontarkan melalui mulut ke mulut maupun melalui tulisan di surat kabar dan majalah. Mereka mengecam, mengapa harus mendirikan bangunan tugu yang menghabiskan banyak biaya dan tidak menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki gang-gang di Jakarta yang masih becek?

Menghadapi kritikan tersebut, Presiden Soekarno menjawab bahwa memperbaiki gang becek tetap dilakukan oleh negara, namun membangun monumen besar juga perlu dilakukan untuk menjaga agar semangat juang bangsa Indonesia tetap tinggi dan tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan asing yang ingin menguasai Indonesia.

Untuk pembangunannya, Presiden Soekarno mengatakan akan diusahakan dari gotong royong rakyat Indonesia. Inisiatif tersebut akhirnya mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyalurkan bantuannya. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1961 Presiden Soekarno berhasil memancangkan tiang pertama pembangunan Monas, berkat terkumpulnya sumbangan dari masyarakat sebesar Rp 5 miliar pada saat itu.

Untuk mengerjakan pembangunan Monas, Presiden Soekarno memilih dua arsitek kenamaan, yaitu Soedarsono dan Friedrich Silaban untuk memodifikasi design lingga dan yoni dengan didampingi pakar konstruksi Prof. Rooseno.

Seperti apa sosok Monas yang didambakan oleh Presiden Soekarno? Menurut Waluyo Utomo dalam bukunya berjudul Ada Apa dengan Monas? Sebuah Kesaksian, dalam panduan yang diberikan oleh Presiden Soekarno disebutkan dengan tegas dan jelas bahwa design Monas harus menggunakan dasar filosofi lingga dan yoni, yaitu simbolisasi bersatunya laki-laki dan perempuan. Laki-laki disimbolkan dengan lingga, sedang perempuan disimbolkan dengan yoni. Konsep filosofi lingga dan yoni adalah pasangan universal, merupakan simbol penciptaan manusia yang menjadi kepercayaan masyarakat sejak zaman dahulu.

Dalam budaya Indonesia di kalangan masyarakat petani, alu (alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu memanjang) biasa digunakan bersama lumpang atau lesung untuk menumbuk padi agar sekam terpisah dari beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Begitulah gambaran Monas. Tugu yang menjulang tinggi menggambarkan alu, sedangkan cawan (pelataran bawah) menggambarkan lumpang. Dengan kata lain, tugu yang menjulang tinggi adalah lingga, sedang cawan adalah yoni.

Di bawah ini perbandingan lingga dan yoni koleksi Museum Trowulan yang merupakan peninggalan Majapahit, dengan Monas yang digagas oleh Presiden Soekarno.

Lingga dan yoni koleksi Museum Trowulan
(Sumber foto: https://buddhazine.com/menyimak-sisa-keagungan-majapahit-di-museum-trowulan/))

Monas
Tugu yang menjulang tinggi menggambarkan lingga, sedangkan bagian bawah menggambarkan yoni 
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Bangunan berbentuk lingga dan yoni tak hanya ditemukan di Pulau Jawa, tapi juga ditemukan di situs Wadu Pa’a, Bima, Nusa Tenggara Barat. Situs ini terletak di tepian Teluk Bima, sehingga dikenal dengan nama Candi Tebing.    

Selain menggambarkan lingga dan yoni, Monas juga mempunyai ukuran atau jumlah tertentu dengan makna tersendiri. Cawan atau pelataran bawah atau tatakan raksasa misalnya, yang di tengahnya ditancapkan tugu raksasa, memiliki ukuran 45 x 45 meter persegi. Angka ini sebagai simbol tahun kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu 1945. Pelataran bawah yang memiliki ketinggian 17 meter dari permukaan tanah halaman Monas, merupakan lambang tanggal proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ruang Museum Sejarah Nasional yang ada di bawah tanah setinggi 8 meter merupakan lambang bulan kemerdekaan, yaitu Agustus. Sementara anak tangga Monas yang mengitari keempat sisinya berjumlah 26, melambangkan jumlah provinsi di Indonesia kala itu. Sekarang jumlah provinsi ada 38, yang tidak menutup kemungkinan akan bertambah, karena sudah ada wacana pemekaran provinsi.

Badan tugu yang menjulang tinggi dengan patung lidah api di puncaknya melambangkan dan menggambarkan semangat yang berkobar dan tak kunjung padam di dalam dada bangsa Indonesia. Patung lidah api yang memiliki ketinggian 17 meter dengan diameter 6 meter ini terbuat dari tembaga seberat 12 ton dengan lapisan emas murni 24 karat seberat 32 kilogram.

Waluyo Utomo sebagai orang yang pernah menyaksikan proses pembangunan Monas, melihat bahwa di empat penjuru mata angin dibuatkan patung banteng sebagai simbol penjaga Monas. Pembuatannya diserahkan kepada Edhi Soenarso. Namun disayangkan, proses selanjutnya setelah kerangka banteng yang terbuat dari kayu itu selesai dibuat, justru tidak pernah terwujud sampai saat ini. Padahal, tatakan beton berlapis marmer untuk tempat banteng itu ditempatkan masih setia menunggu datangnya banteng sampai sekarang.

 

Kemungkinan bangunan berpintu yang ada di setiap sudut cawan Monas ini yang dimaksud sebagai tatakan banteng oleh Waluyo Utomo
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Diorama Museum Sejarah Nasional

Ketika saya berkunjung ke Monas, sebetulnya saya ditawari oleh petugas mau naik ke puncak Monas atau tidak. Akan tetapi karena saya fobia ketinggian, saya jawab cukup berkunjung ke Museum Sejarah Nasional saja. Padahal, jika saya baca tulisan orang-orang yang pernah naik ke puncak Monas, dari ketinggian Monas dapat melihat pemandangan Jakarta hingga jarak jauh.

Harga tiket masuk ke Museum Sejarah Nasional sebesar Rp 3.000 untuk anak-anak, Rp 5.000 untuk mahasiswa, dan Rp 8.000 untuk dewasa. Sementara bila ingin naik ke puncak Monas, tiketnya sebesar Rp 6.000 untuk anak-anak, Rp 13.000 untuk mahasiswa, dan Rp 24.000 untuk dewasa.

Seperti halnya di museum lain, saat saya berkunjung ke Museum Sejarah Nasional yang berada di bawah tugu Monas juga banyak rombongan anak sekolah yang berkunjung. Kemungkinan pihak sekolah sengaja menggalakkan siswa-siswanya untuk menambah ilmu dengan cara berkunjung ke museum. Terbukti, saya lihat anak sekolah itu sibuk mencari informasi yang ada di diorama untuk menjawab lembaran pertanyaan yang mereka pegang di tangannya. 

Di dalam Museum Sejarah Nasional, pengunjung dapat melihat diorama yang berada di sisi timur, selatan, barat, dan utara. Diorama yang berada di ruangan seluas 6.400 meter persegi itu menampilkan berbagai peristiwa sejarah. Setiap sisi berisi 12 adegan. Dengan demikian, seluruh sisi berisi 48 adegan. 

Di bawah ini saya sampaikan diorama yang ada di Museum Sejarah Nasional beserta penjelasannya yang saya kutip dari keterangan yang menyertai diorama tersebut.

 

DIORAMA SISI 1 (SEBELAH TIMUR)

 

Adegan Pertama: Masyarakat Indonesia Purba, 3000 – 2000 SM.

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pada zaman megalithikum sudah hidup dalam masyarakat teratur, peninggalan budaya tersebar di seluruh Indonesia, antara lain ditemukan di Pasemah, Besuki, Gilimanuk, dan Cabenge yang berkembang antara 2000 SM – 500 SM. Hasil budaya megalithikum yang terpenting adalah alat serpih, menhir, dolmen, sarcophagus, kubur batu, punden berundak-undak, dan arca.

 

Adegan Kedua: Bandar Sriwijaya, Abad Ke-7 – 13.

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Terletak pada jalur pelayaran antara Indonesia, Cina, dan India, berperan penting dalam kegiatan perdagangan sehingga menguntungkan bagi Kerajaan Sriwijaya. Kapal-kapal asing banyak berlabuh, dan pendeta-pendeta Budha dari Cina sering singgah untuk waktu yang lama mempelajari agama Budha. Bandar Sriwijaya akhirnya berkembang menjadi pusat niaga dan budaya.

Diorama di atas menggambarkan kegiatan bongkar muat barang-barang yang diperdagangkan. Tampak para saudagar Cina dan India sedang terlibat transaksi jual beli di Bandar Sriwijaya.

 

Adegan Ketiga: Candi Borobudur, 824 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari keluarga Sailendra dengan bantuan sumbangan para penganut agama Budha secara gotong royong. Keseluruhan bangunan berbentuk stupa raksasa dan mencerminkan alam semesta.

Diorama di atas menggambarkan tahap akhir pembangunan Candi Borobudur. Tampak Candi Borobudur ada di belakang. 

 

Adegan Keempat: Bendungan Waringin Sapta, Awal Abad Ke-11 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Setelah Raja Airlangga berhasil menyatukan wilayah kekuasaannya, kemakmuran rakyat ditingkatkan. Sungai Brantas dibendung dekat Kelagen untuk irigasi serta menanggulangi banjir. Rakyat setempat ditunjuk untuk memelihara bendungan dan sebagai imbalan, daerah tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Akibatnya, pelayaran di Sungai Brantas bertambah ramai dan Pelabuhan Hujung Galuh menjadi pusat perdagangan antar pulau.

Diorama di atas menggambarkan saat Sungai Brantas sedang dibendung dekat Kelagen, dan diawasi oleh Raja Airlangga.

 

Adegan Kelima: Candi Jawi, Perpaduan Siwaisme – Budhisme, 1292

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Perpaduan Siwaisme dan Budhisme sebagai hasil sinkretisme dapat dilihat pada Candi Jawi yang terletak di Gunung Welirang di sebelah barat daya Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Candi ini dibangun pada masa Raja Kertanegara, raja terakhir Singasari. Puncaknya berbentuk Ratnastupa, pada bagian atas terdapat arca Budha Akshobya dan di bagian bawah arca Siwa Mahadewa.

Diorama di atas menggambarkan ketika pemimpin agama Budha dengan pembantu-pembantu dan pengikut-pengikutnya sedang mengadakan persajian di Candi Jawi.

 

Adegan Keenam: Sumpah Palapa, 1331 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Sesudah Gajah Mada berhasil menyelesaikan Perang Sadeng pada 1331, maka untuk membela keutuhan Negara Majapahit, dia bersumpah tidak akan makan Palapa sebelum Nusantara dapat dipersatukan. Sumpah Palapa adalah pendahulu cita-cita persatuan Indonesia yang kemudian diperjuangkan oleh para perintis kemerdekaan sejak 1908.

Diorama di atas menggambarkan Patih Gajah Mada dengan menggenggam sebilah keris mengucapkan Sumpah Palapa di hadapan prajurit-prajuit Kerajaan Majapahit.

 

Adegan Ketujuh: Armada Perang Majapahit, Abad Ke-14 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Sepeninggal Gajah Mada, timbul kesulitan dalam pemerintahan Hayam Wuruk. Pemerintah yang baru berusaha untuk mempertahankan keutuhan Nusantara dengan mengambil tindakan yang ditujukan kepada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah-daerah. Hal ini dibuktikan dengan memperkuat armada perang untuk menjaga keutuhan Nusantara dan mengatasi usaha pengacauan antara lain oleh armada Cina.

Diorama di atas menggambarkan armada Majapahit sedang menghadang kapal-kapal Cina di perairan Nusantara.

 

Adegan Kedelapan: Utusan Cina ke Majapahit, 1405 


(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Sejak Majapahit mengalami zaman keemasan, hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan baik. Pengakuan terhadap kedaulatan Majapahit oleh Cina ditandai dengan kunjungan Cheng Ho pada tahun 1405 yang diterima oleh Wikramawardhana.

Diorama di atas menggambarkan Raja Wikramawardhana disaksikan oleh para pembesar Majapahit menerima kedatangan utusan Kaisar Cina, Cheng Ho dan para pembantunya.

 

Adegan Kesembilan: Peranan Pesantren dalam Penyatuan Bangsa, Abad Ke-14 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Salah satu cara menyiarkan Islam di Indonesia adalah melalui pendidikan di pesantren atau pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama atau ulama. Kegiatan pesantren-pesantren beserta guru-guru agama atau ulama dalam penyebaran agama Islam dan pengembangan pendidikan masyarakat mempunyai peranan penting dalam proses penyatuan bangsa.

Diorama di atas menggambarkan suasana pengajaran di pondok pesantren yang dipimpin oleh Sunan Giri yang memakai sorban putih.

 

Adegan Kesepuluh: Pertempuran Pembentukan Jayakarta, 1527 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Untuk membendung pengaruh Portugis yang sejak awal abad ke-16 telah berkuasa di Malaka, Sultan Trenggono (raja Demak) mengirim Fatahillah dengan pasukannya dan pada 1527. Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa sebelum Portugis mendirikan benteng di Pelabuhan Sunda Kelapa sesuai perjanjian dengan Raja Pajajaran pada 1522. Dalam pertempuran tanggal 22 Juni 1527 di Pelabuhan Sunda Kelapa, Fatahillah berhasil mengalahkan ekspedisi Fransisco de Sa yang dikirim Portugis untuk mendirikan benteng. Nama Sunda Kelapa kemudian diganti menjadi Jayakarta, artinya kota kemenangan.

Diorama di atas menggambarkan pertempuran yang berlangsung di Teluk Sunda Kelapa, 22 Juni 1527.

 

Adegan Kesebelas: Armada Dagang Bugis, Abad Ke-15 

Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pelayaran orang-orang Makassar dan Bugis pada abad ke-15 sudah meliputi seluruh perairan Nusantara. Gambaran tentang luasnya daerah-daerah yang dikunjungi terlihat dengan jelas pada tulisan tentang hukum laut Amanna Gappa dan peta laut Bugis.

Diorama di atas menggambarkan armada dagang Bugis.

 

Adegan Keduabelas: Perang Makassar 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Sultan Hasanuddin membuka pelabuhan Makassar untuk negara-negara yang ingin berhubungan dengan Makassar. Perkembangan Makassar dan sikap Hasanuddin yang  menjalankan politik perdagangan bebas dengan negara-negara lain menimbulkan pertentangan dengan Belanda yang menjalankan monopoli perdagangan sehingga akhirnya timbul peperangan. Pada tanggal 8-9 Agustus 1668, Sultan Hasanuddin memimpin pertempuran mempertahankan benteng Sumbaopu dari serbuan Belanda.

Diorama di atas menggambarkan Sultan Hasanuddin sedang memimpin pertempuran mempertahankan benteng Sumbaopu.

 

DIORAMA SISI 2 (SEBELAH SELATAN)

 

Adegan Pertama: Perlawanan Pattimura, 1817 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Berdasarkan Konvensi Londen 1814, Belanda berkuasa kembali di Indonesia, serta mengulangi menjalankan monopoli perdagangan dan segala sesuatu yang bersifat eksploitasi dilaksanakan kembali. Rakyat Maluku tidak mau menerima politik monopoli Belanda dan kemudian mengadakan perlawanan di bawah pimpinan Pattimura. Pada tanggal 15 Mei 1817 Pattimura bersama rakyat menyerbu benteng Duurstede di Saparua dan berhasil merebutnya.

Diorama di atas menggambarkan serbuan rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura.

 

Adegan Kedua: Perang Diponegoro, 1825 -1830 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Perang yang dicetuskan oleh Pangeran Diponegoro pada 1825 merupakan salah satu perlawanan rakyat semesta yang berlangsung secara terus-menerus sehingga Belanda kehilangan 15.000 tentara. Dalam pertempuran di sekitar Sungai Bogowonto, Pangeran Diponegoro berhasil mengalahkan pasukan kavaleri Belanda. Dengan perangkap berkedok perundingan, akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830.

Diorama di atas menggambarkan pertempuran di tepi Sungai Bogowonto. Pangeran Diponegoro berhasil mengalahkan Belanda.

 

Adegan Ketiga: Perang Imam Bonjol, 1821-1837 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Sekembalinya para ulama dari tanah suci, mereka melihat bahwa keadaan kehidupan masyarakat tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Para ulama yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang ditentang oleh kaum adat. Untuk memperkuat kedudukannya, Belanda kemudian memihak kaum adat. Menyadari kekuasaan Belanda makin luas, akhirnya perlawanan terhadap Belanda dilakukan oleh kaum ulama bersama kaum adat. Tuanku Imam Bonjol menghimpun kekuatannya antara lain dengan membuat parit-parit pertahanan.

Diorama di atas menggambarkan tatkala Tuanku Imam Bonjol menghimpun kekuatan, antara lain dengan membuat parit-parit pertahanan.

 

Adegan Keempat: Perang Banjar 1859 - 1905

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Untuk menjaga agar hasil bumi Kalimantan seperti batubara, minyak, karet, dan lain-lain tidak jatuh ke tangan bangsa lain, Belanda berusaha untuk menguasai Banjar melalui campur tangan dalam pemerintahan Kesultanan Banjar. Hal ini menjadi alasan bagi rakyat Banjar untuk mengangkat senjata melawan Belanda di bawah pimpinan Pangeran Antasari. Penyerangan terhadap kapal Belanda Onrust di Lontartur dilakukan oleh Pangeran Suropati, saudara Pangeran Antasari.

Diorama di atas menggambarkan penyerangan rakyat Banjar terhadap kapal uap Belanda Onrust di Lontartur.

 

Adegan Kelima: Perang Aceh 1873 - 1904  

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Aceh menolak tuntutan Belanda agar menghentikan hubungannya dengan negara-negara lain. Belanda segera mengirim ekspedisi yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler. Serangan pertama Belanda gagal, bahkan panglimanya, Kohler, gugur dalam pertempuran di halaman Masjid Agung Baiturrahman, Banda Aceh. Pembakaran Masjid Agung Baiturrahman semakin menumbuhkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Diorama di atas menggambarkan pertempuran rakyat Aceh dengan Belanda di halaman Masjid Agung Baiturrahman, 13-14 April 1873.

 

Adegan Keenam: Perlawanan Sisingamangaraja, 1877 - 1907 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Dengan dalih bahwa zending sering diganggu oleh pasukan Sisingamangaraja, Belanda melalukan ekspansi ke Tapanuli. Bentrokan pertama dengan Belanda terjadi pada 15 Februari 1878, setelah Sisingamangaraja memberi peringatan kepada pasukan Belanda agar meninggalkan Tapanuli. Perlawanan terhadap Belanda kemudian mendapat bantuan rakyat Aceh dan Minangkabau. Dalam pertempuran di Tanggabatu dekat Balige pada tahun 1884, Sisingamangaraja dapat memukul mundur pasukan Belanda.

Diorama di atas menggambarkan pertempuran di Tanggabatu pada 1884, dan Sisingamangaraja dapat memukul mundur pasukan Belanda.

 

Adegan Ketujuh: Pertempuran Jagaraga, 1848 - 1849 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pada 1841, Belanda memaksakan penghapusan peraturan Tawan Karang yang diakui sebagai lembaga hukum adat di Bali, tetapi ditolak oleh Kerajaan Buleleng dan Karangasem. Walaupun dalam serangan tahun 1840 Buleleng dan Karangasem dapat diduduki oleh Belanda, namun semangat juang rakyat tetap berkobar dan mereka menyiapkan pertahanan di Jagaraga. Pertempuran di muka Pura Dalem Jagaraga berakhir dengan gugurnya seisi pura yang lebih dikenal sebagai puputan Jagaraga.

Diorama di atas menggambarkan pertempuran di muka Pura Dalem Jagaraga.

 

Adegan Kedelapan: Tanam Paksa, 1830 - 1870 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Perang Diponegoro mengakibatkan krisis keuangan bagi Belanda. Untuk mengatasi krisis tersebut, Gubernur Jenderal Van Den Bosch memaksa rakyat di tanah Jawa agar sebagian besar tanah mereka ditanami tanaman yang laku di Eropa seperti nila, kopi, teh, lada, gula, dan kayu manis. Rakyat yang tidak memiliki tanah dipaksa bekerja di perkebunan-perkebunan. Bagi rakyat Indonesia, tanam paksa merupakan eksploitasi yang luar biasa, mengakibatkan timbulnya kelaparan karena mereka tidak mempunyai kesempatan menggarap sawah ladang mereka.

Diorama di atas menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia yang dipaksa untuk bekerja keras di daerah perkebunan disertai dengan siksaan fisik.

 

Adegan Kesembilan: Kegiatan Gereja Protestan dalam Penyatuan Bangsa 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Gereja Protestan dengan zendingnya giat mengadakan propaganda terutama di daerah-daerah yang keadaannya masih terbelakang. Tahun 1930 berdiri Perserikatan Kaum Christen dan Partai Kaum Masehi Indonesia. Keduanya merupakan bagian gerakan nasional. Selain bergerak dalam bidang agama, juga giat dalam bidang pendidikan dan sosial hingga secara langsung membantu menyatukan bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses penyatuan bangsa.

Diorama di atas menggambarkan kegiatan umat Kristen Protestan dalam bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan.

 

Adegan Kesepuluh:  Kartini, 1979 - 1904

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Gerakan mengejar kemajuan pada akhir abad ke-19 terbukti dari kebutuhan pendidikan. Kartini tampil sebagai pendekar kaumnya ketika pandangan umum masih dihinggapi konservatisme yang kuat bagi anak perempuan. Buah pikiran Kartini untuk membebaskan kaumnya dari keterbelakangan tercermin dalam surat-surat yang dikirim kepada sahabat-sahabat karibnya di negeri Belanda yang kemudian dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Diorama di atas menggambarkan Kartini sedang mengajar kaum perempuan di sekolah yang didirikan oleh Kartini sendiri.

 

Adegan Kesebelas: Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Politik kolonial Belanda tidak menghendaki rakyat Indonesia menjadi cerdas, karena hal itu akan membahayakan kedudukan Belanda. Akhirnya pendidikan modern terpaksa diberikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga terdidik dan untuk meningkatkan masyarakat Indonesia sebagai pasar bagi industri Belanda. Kebangkitan kaum terpelajar Indonesia menimbulkan kesadaran nasional untuk merdeka. Cita-cita Dokter Wahidin Sudirohusodo untuk menghimpun tokoh-tokoh pergerakan nasional diwujudkan oleh Dokter Sutomo dan kawan-kawan dengan membentuk Boedi Oetomo.  

Diorama di atas menggambarkan suasana Kongres Boedi Oetomo I yang diadakan di Yogyakarta.

 

Adegan Keduabelas: Taman Siswa, 3 Juli 1922

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Politik pendidikan pada zaman penjajahan tidak dapat dipisahkan dari kepentingan kolonial. Sebagai reaksi, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta yang kemudian berkembang dengan pesat sehingga mengkhawatirkan Belanda. Semangat nasionalisme sangat menjiwai kehidupan Taman Siswa. Pada 1935 berlangsung Kongres Pendidikan Nasional yang pertama dengan tujuan hendak menggalang persatuan dan mencari perumusan tentang pendidikan yang bersifat nasional.

Diorama di atas menggambarkan suasana perguruan Taman Siswa.

 

DIORAMA SISI 3 (SEBELAH BARAT)

 

Adegan Pertama: Muhammadiyah, 18 November 1912 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Keadaan masyarakat Islam pada abad XIX dan permulaan abad XX sangat menyedihkan. Agama Islam telah banyak bercampur dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari Al-Qur’an dan hadits. Bertolak dari keadaan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan tujuan pokok mengadakan pembaharuan kehidupan agama Islam. Kegiatannya meliputi bidang-bidang keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan.

Diorama di atas menggambarkan suasana kegiatan di bidang pendidikan.

 

Adegan Kedua: Perhimpunan Indonesia, 1922 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Perjuangan mencapai Indonesia merdeka di luar negeri dipelopori oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Pada bulan Februari 1927 Perhimpunan Indonesia berjuang di forum internasional dengan mengambil bagian dalam Kongres Liga Anti Kolonialisme di Brussel. Selanjutnya propaganda Perhimpunan Indonesia semakin berani dan tajam sehingga pemerintah Belanda mengadakan penangkapan terhadap 4 orang pimpinannya yaitu Mohammad Hatta, Abdul Madjid, Ali Sastroamidjojo dan Nasir Datuk Pamuntjak, tetapi oleh pengadilan mereka dinyatakan tidak bersalah.

Diorama di atas menggambarkan suasana pertemuan Perhimpunan Indonesia yang dipimpin oleh Mohammad Hatta di Belanda.

 

Adegan Ketiga: STOVIA (Sekolah Dokter Bumi Putera), 1898 - 1926 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Gagasan yang didengungkan dari Gedung STOVIA, tempat lahir Boedi Oetomo untuk mempertinggi derajat bangsa mendapatkan dukungan di berbagai kota. Konsolidasi segera diadakan, yaitu dengan menyelenggarakan kongres pada tanggal 4-5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Dalam perkembangan selanjutnya, Boedi Oetomo tumbuh menjadi perhimpunan nasional yang umum dan besar sehingga apa yang telah dilakukan mahasiswa STOVIA dalam rapat tanggal 9 Mei dianggap sebagai lahirnya pergerakan nasional Indonesia.

Diorama di atas menggambarkan pertemuan yang diadakan mahasiswa STOVIA di ruang anatomi gedung STOVIA.

 

Adegan Keempat: Digul, 1927

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pergerakan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan menyebar ke seluruh Indonesia. Pada 1926 dan 1927 timbul pemberontakan terhadap Belanda di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat, akan tetapi dapat ditumpas dengan kejam. 13.000 orang ditangkap, di antaranya 1.300 orang dibuang ke Tanah Merah, Digul. Dalam perkembangan selanjutnya, Digul menjadi tempat pengasingan bagi tokoh-tokoh pergerakan nasional, antara lain Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir.

Diorama di atas menggambarkan sebagian tokoh pergerakan nasional Indonesia di tempat pengasingan Digul Atas, Papua.

 

Adegan Kelima: Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Dalam lingkungan pergerakan nasional Indonesia, para pemuda telah melahirkan berbagai ragam organisasi pemuda yang pada umumnya masih bersifat kedaerahan dan satu dengan yang lain tidak mempunyai hubungan. Iklim persatuan Indonesia memengaruhi dan mendorong untuk membina satu pergerakan pemuda yang berjiwa nasional kesatuan. Usaha ke arah itu dilakukan dalam serangkaian kongres pemuda. Pada Kongres Pemuda yang kedua dicetuskan Sumpah Pemuda dan dikumandangkan untuk pertama kali lagu Indonesia Raya.

Diorama di atas menggambarkan suasana Kongres Pemuda kedua di Jakarta.

 

Adegan Keenam: Romusya, 1942 - 1945 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, Subang. Untuk memenangkan perang, Jepang kemudian secara paksa mengerahkan seluruh tenaga dan kekayaan bumi Indonesia. Rakyat dikerahkan untuk melaksanakan kerja paksa pada objek vital dan sarana militer. Mereka mengalami siksaan dan tidak mendapat makanan yang cukup, sehingga berakibat perpuluh-puluh ribu romusya menemui ajal di tempat-tempat mereka bekerja.

Diorama di atas menggambarkan bagaimana para romusya dipaksa kerja berat di bawah mandor-mandor Jepang.

 

Adegan Ketujuh: Pemberontakan Tentara PETA di Blitar, 14 Februari 1945 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pada bulan Oktober 1943 Pemerintah Pendudukan Jepang membentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) untuk membela tanah Jawa yang mendapat sambutan dari para pemuda. Perasaan benci tehadap Jepang semakin mendalam ketika mereka bertugas membangun kubu-kubu pertahanan bersama para romusya. Menyaksikan penderitaan rakyat serta aspirasi untuk merdeka, Supriyadi memimpin batalyon PETA di Blitar mengadakan pemberontakan dengan menyerbu markas militer Jepang.

Diorama di atas menggambarkan serangan tentara PETA terhadap markas militer Jepang di Blitar pada pukul 3.30 dinihari.

 

Adegan Kedelapan: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Mengetahui bahwa Jepang kalah perang, rakyat Indonesia baik para pemuda maupun para pemimpin pergerakan kebangsaan berpacu dengan waktu untuk mewujudkan cita-cita perjuangan, yakni mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selekas mungkin. Dalam pertemuan rahasia pada malam hari tanggal 16 Agustus 1945 di Jalan Imam Bonjol Jakarta, naskah proklamasi dirumuskan, ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 Soekarno didampingi Mohammad Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Diorama di atas menggambarkan peristiwa detik-detik proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.

 

Adegan Kesembilan: Pengesahan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, para pemimpin bangsa dengan segera menyusun tatanan kehidupan negara. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di Pejambon, Jakarta. Rapat menghasilkan keputusan yang sangat penting mengenai ketatanegaraan Republik Indonesia, mengesahkan Pancasila sebagai landasan falsafah negara dan Undang-Undang Dasar 1945. Rapat juga memilih Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Diorama di atas menggambarkan suasana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

 

Adegan Kesepuluh: Hari Lahir ABRI, 5 Oktober 1945 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pada tanggal 22 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan pembentukan Barisan Keamanan Rakyat untuk memelihara keamanan dan ketertiban umum di daerahnya masing-masing. Dalam perebutan kekuasaan terhadap Jepang dan perlawanan terhadap Sekutu serta untuk memperkuat perasaan keamanan umum disadari perlu suatu Angkatan Bersenjata yang tangguh, maka pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mendekritkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat.

Diorama di atas menggambarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman sedang memeriksa pasukan yang belum seluruhnya memiliki seragam lengkap.

 

Adegan Kesebelas: Pertempuran Surabaya, 10 November 1945 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pasukan Sekutu termasuk tentara dan opsir-opsir NICA mendarat di Surabaya pada bulan Oktober 1945, sehingga menimbulkan beberapa insiden yang kemudian meningkat menjadi pertempuran. Setelah Brigjen Mallaby terbunuh, ultimatum dikeluarkan kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata mereka. Rakyat tidak menghiraukannya dan pada tanggal 10 November 1945 pecah pertempuran hebat ketika Sekutu mengerahkan kekuatan darat, laut, dan udara untuk membinasakan para pejuang Surabaya yang bertempur dengan semangat pantang mundur. Oleh rakyat Indonesia pertistiwa tersebut diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Diorama di atas menggambarkan Pertempuran Surabaya, 10 November 1945.

 

Adegan Keduabelas: Kegiatan Gereja Katolik Roma dalam Proses Penyatuan Bangsa 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Gereja Katolik Roma melalui misinya mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai suku dan daerah, sehingga terbentuk suatu masyarakat Katolik Roma yang di dalamnya bersemi semangat nasionalisme. Kegiatannya dalam bidang pendidikan dan sosial secara langsung membantu bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses penyatuan. Terhadap cita-cita Indonesia Merdeka, Perhimpunan Politik Katolik Indonesia ikut menandatangani petisi Soetardjo 1936 yang menuntut pemerintah kolonial untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Diorama di atas menggambarkan suasana perayaan Natal yang diadakan di suatu kampus mahasiswa di Semarang.

 

DIORAMA SISI 4 (SEBELAH UTARA)

 

Adegan Pertama: Gerilya Mempertahankan Kemerdekaan, 1945 - 1949

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan menggunakan peralatan perang sederhana, bergerilya bersama rakyat menghadapi musuh yang hendak menegakkan kembali kekuasaan Belanda. Untuk menegakkan kekuasaan Republik Indonesia di daerah-daerah yang dikuasai musuh disusun kantong-kantong gerilya yang dapat melaksanakan pertahanan secara berdiri sendiri dengan integrasi segenap kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer.

Diorama di atas menggambarkan keberhasilan sejumlah kecil pasukan gerilya menghadapi dan menghancurkan iring-iringan pasukan Belanda di suatu daerah di Jawa Tengah.

 

Adegan Kedua: Jenderal Sudirman, 1948 


(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Yogyakarta Ibukota Republik Indonesia direbut Belanda dalam aksi militer kedua tanggal 19 Desember 1948 dan pemimpin pemerintahan ditangkap. Mereka dipindahkan ke Bukit Tinggi dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Jenderal Sudirman yang waktu itu dalam keadaan sakit parah memimpin gerilya untuk melanjutkan perjuangan membela kemerdekaan. Jenderal Sudirman baru kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949 setelah pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta sesuai dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda.

Diorama di atas menggambarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman memimpin gerilya dan memberikan semangat kepada prajurit TNI, walau ia dalam keadaan sakit paru-paru.

 

Adegan Ketiga: Pengakuan Kedaulatan, 27 Desember 1949

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Perjuangan gigih rakyat Indonesia melawan agresi militer Belanda serta tekanan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memaksa Belanda kembali ke meja perundingan. Di Jakarta pada tanggal 7 Juli 1949 tercapai persetujuan untuk mempersiapkan suatu Konferensi Meja Bundar yang akan membicarakan pengakuan kedaulatan Indonesia. Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan di Indonesia pada Republik Indonesia Serikat. Upacara pengakuan kedaulatan di Jakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX ditandai dengan pengibaran Sang Merah Putih.

Diorama di atas menggambarkan peristiwa pengakuan kedaulatan Republik Indonesia yang ditandai dengan pengibaran Sang Merah Putih di halaman Istana Merdeka, Jakarta.

 

Adegan Keempat: Kembali ke Negara Kesatuan, 1950 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Rakyat di setiap daerah menuntut pembubaran Negara Serikat. Dikarenakan tuntutan rakyat secara spontan, beberapa Negara Bagian menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia yang merupakan Negara Bagian dari Republik Indonesia Serikat. Dalam perundingan antara Republik Indonesia Serikat dengan Negara Bagian Republik Indonesia tercapai kesepakatan tentang penghapusan bentuk federal dan berdiri kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian diumumkan oleh Mr. Supomo pada tanggal 17 Agustus 1950.

Diorama di atas menggambarkan Mr. Supomo berpidato di hadapan massa menandai kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Adegan Kelima: Indonesia menjadi Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, 28 September 1950 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Dalam kehidupan bersama dan bermasyarakat di dunia, kerja sama antar bangsa dalam suatu wadah sangat berguna untuk memelihara perdamaian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi bawahannya bermanfaat untuk mengatasi sengketa negara-negara yang telah merdeka dan mempercepat proses dekolonisasi. Menyadari hal itu, dan mengingat bantuan dalam menyelesaikan sengketa Indonesia - Belanda, Indonesia terdorong menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Diorama di atas menggambarkan pengibaran Sang Saka Merah Putih berdampingan dengan bendera anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat,

 

Adegan Keenam: Konferensi Asia - Afrika, 18 - 24 April 1955 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhir Perang Dunia II, sewaktu-waktu dapat meletus menjadi perang nuklir. Menyadari bahaya ini, 30 negara Asia - Afrika mengadakan konferensi yang menghasilkan resolusi Dasasila Bandung. Asia - Afrika menjadi suatu kekuatan yang dapat menjadi penengah antara Blok Barat dan Blok Timur.

Diorama di atas menggambarkan suasana pembukaan Konferensi Asia - Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Tampak Soekarno sedang menyampaikan sambutan, berdiri di mimbar.

 

Adegan Ketujuh: Pemilihan Umum Pertama, 1955

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pemerintah menyadari bahwa Pemilihan Umum harus dilaksanakan sebagai salah satu sarana demokrasi. Pada tahun-tahun pertama berdirinya, Republik Indonesia harus menghadapi musuh dari luar sehingga Pemilihan Umum sulit dilaksanakan. Pemilihan Umum dilaksanakan di seluruh Indonesia diikuti oleh 48 partai politik untuk memilih wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 September 1955 dan untuk memilih wakil-wakil rakyat di Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955.

Diorama di atas menggambarkan suasana Pemilihan Umum pertama.

 

Adegan Kedelapan: Pembebasan Papua Barat, 1 Mei 1963   

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Upaya mengembalikan Papua Barat ke pangkuan Republik Indonesia melalui perundingan selalu gagal. Ketika Belanda bermaksud membentuk pemerintah boneka di Papua Barat, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Setelah Komando Mandala melancarkan operasi militer, Belanda terpaksa menyerahkan Papua Barat melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara penyerahan Papua Barat kepada Indonesia yang diwakili oleh Sudjarwo Tjondronegoro di Jayapura.

Yang dimaksud dengan Papua Barat di sini adalah wilayah Papua di sebelah barat, untuk membedakan dengan Papua Nugini yang ada di sebelah timur. Wilayah ini pernah berganti-ganti nama mulai dari Papua Barat, Irian Barat, Irian Jaya, dan kemudian kembali ke nama semula: Papua.  

Diorama di atas menggambarkan suasana penyerahan Papua Barat kepada Indonesia yang diwakili oleh Sudjarwo Tjondronegoro. Upacara penyerahan berlangsung di Jayapura.

 

Adegan Kesembilan: Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 1965 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Pancasila merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah berkali-kali mengalami percobaan, diuji kebenaran, keampuhan, dan kesaktiannya. Pada tanggal 1 Oktober 1965, G-30-S/PKI melancarkan pemberontakan dan pengkhiatan dengan membunuh pimpinan TNI-AD, kemudian merebut kekuasaan negara. Keberhasilan ABRI dan rakyat yang berjiwa Pancasila di bawah pimpinan Mayor Jenderal Soeharto menggagalkan dan menumpas kudeta G-30-S/PKI merupakan kemenangan Pancasila. Pada 4 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto memimpin pengangkatan jenazah para pahlawan dari sumur di Lubang Buaya.

Diorama di atas menggambarkan saat-saat jenazah para Pahlawan Revolusi diangkat dari sumur di Lubang Buaya.

 

Adegan Kesepuluh: Aksi-Aksi Tri Tuntutan Rakyat, 1966 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Sejak kudeta berdarah G-30-S/PKI berhasil digagalkan dan ditumpas dalam waktu singkat, Pemerintah Orde Lama menjadi goyah karena menghadapi krisis politik dan ekonomi yang semakin parah. Mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang disokong oleh segenap kekuatan Pancasila di dalam ABRI, partai-partai politik dan orgnisasi-organisasi massa mengadakan demonstrasi tanggal 11 Januari 1966 - 11 Maret 1966 dengan mengajukan Tri Tuntutan Rakyat.

Diorama di atas menggambarkan puncak gelombang demonstrasi, mengajukan Tri Tuntutan Rakyat.

 

Adegan Kesebelas: Surat Perintah 11 Maret 1966 

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Krisis yang menggoncangkan sendi-sendi negara sesudah kudeta G-30-S/PKI digagalkan menyebabkan Pemerintah kehilangan kepercayaan rakyat. Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen. Soeharto untuk memulihkan kewibawaan pemerintah dan keamanan nasional. Letjen. Soeharto dengan cepat melaksanakan Surat Perintah 11 Maret 1966 dengan memenuhi dua di antara Tri Tuntutan Rakyat, yakni membubarkan Partai Komunis Indonesia dan membersihkan kabinet dari menteri-menteri yang ada indikasi terlibat G-30-S/PKI.

Diorama di atas menggambarkan tiga orang Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Mayjen. Basuki Rachmat, Brigjen. M. Yusuf, dan Brigjen. Amir Machmud) sedang melaporkan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Letjen. Soeharto yang sedang terbaring sakit di rumah kediamannya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta.


Adegan Keduabelas: Penentuan Pendapat Rakyat Papua Barat, 1969

(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)


Untuk melaksanakan Persetujuan New York 1962 tentang penyerahan Papua Barat kepada Indonesia diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dilakukan dengan sistem perwakilan setiap kelompok melalui pemilihan secara bertingkat. Keputusan Dewan Musyawarah PEPERA dengan suara bulat memilih Papua Barat tetap bagian Republik Indonesia yang kemudian disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 19 November 1969 dengan 84 suara setuju, 6 menolak, dan 30 suara abstain.

Diorama di atas menggambarkan suasana sidang PEPERA di Papua Barat, Juli 1969.

Ganti Penguasa, Ganti Diorama

Apakah diorama yang ada di Museum Sejarah Nasional seperti itu sejak awal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik untuk menyimak penjelasan sejarawan Asvi Warman Adam dalam bukunya berjudul Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa.

Menurut Asvi Warman Adam, tahun 1964 telah dibuat rancangan diorama untuk Museum Sejarah Nasional yang ada di Monas. Namun karena sejak 1965 (sejak terjadi Pemberontakan G-30-S/PKI) secara bertahap terjadi peralihan kekuasaan (dari Orde Lama ke Orde Baru), maka baru pada 1970 diorama selesai dibuat, yakni pada masa Orde Baru. Ada perubahan diorama dari rancangan tahun 1964 dengan 1970. Perubahan tersebut:

1. Rancangan tahun 1964 terdapat diorama Soekarno di depan pengadilan kolonial. Diorama ini pada tahun 1970 dihilangkan.

2. Diorama Pemberontakan 1926-1927 pada rancangan tahun 1964, diganti dengan Digul, 1927. (Lihat diorama sisi 3 atau sebelah barat, adegan keempat). Pemberontakan 1926-1927 mengambil adegan penyerbuan rakyat ke penjara Glodok tahun 1926 yang mengingatkan orang pada penyerbuan penjara Bastille di Paris, 14 Juli 1789, semasa Revolusi Perancis. Sementara diorama Digul menandaskan bahwa tahan politik di sana bukan semuanya komunis, tapi dari berbagai paham.

3. Diorama Dekrit Presiden dan Ganefo dalam rancangan 1964 juga dihilangkan pada tahun 1970.

4. Rancangan diorama Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 pada tahun 1964 diganti dengan diorama Pengesahan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, 18 Agustus 1945 pada tahun 1970.

5. Diorama yang tidak ada pada rancangan 1964 kemudian ditambahkan pada tahun 1970 di antaranya adalah Gerilya dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman Memimpin Gerilya 1948, Hari Kesaktian Pancasila, dan Surat Perintah 11 Maret 1966.

Tentang diorama Surat Perintah 11 Maret 1966, Asvi Warman Adam mengatakan demikian.

Diorama Supersemar itu dibuat pada tahun 1976 dengan melakukan rekonstruksi terlebih dahulu di Jalan Agus Salim, rumah Soeharto, tahun 1965. Rekonstruksi itu dihadiri sendiri oleh Presiden Soeharto, Jenderal Amirmachmud, Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Nugroho Notosusanto.

Namun menurut seniman yang membuat diorama itu, terjadi diskusi apakah Soeharto dalam peristiwa digambarkan memakai seragam lengkap tentara atau memakai piama.

Kalau memakai seragam, tampaknya itu kurang masuk akal karena diberitakan bahwa tanggal 11 Maret 1966 Soeharto tidak menghadiri sidang kabinet gara-gara sakit. Sebaliknya kalau memakai piama, tampaknya kurang berwibawa. Namun, pada akhirnya digambarkan Soeharto sedang terbaring di tempat tidur, sedangkan tiga orang jenderal duduk di kursi di samping ranjang. Ini untuk memperlihatkan kepasifan Soeharto (McGregor, 2002, halaman 117) bahwa sebetulnya ia tidak berniat, apalagi bernafsu, untuk mengambil kekuasaan.

 

Daftar Pustaka

 

1. Buku

Asvi Warman Adam. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Badan Pengelola Monumen Nasional. 1989. Monumen Nasional dengan Museum Sejarah Nasionalnya. Jakarta: Badan Pengelola Monumen Nasional.

Edi Dimyati. 2010. Panduan Sang Petualang, 47 Museum Jakarta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Waluyo Utomo. 2018. Ada Apa dengan Monas? Sebuah Kesaksian. Tangerang Selatan: Yayasan Pustaka Anak Bangsa.

2. Internet

https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210115155725-241-594266/jejak-lingga-yoni-simbol-kejantanan-dan-kesuburan-dalam-seni#