Bagi yang tidak suka melihat benda-benda kuno, mengunjungi museum mungkin dianggap sebagai suatu hal yang membosankan. Akan tetapi bagi yang mau memperhatikan dan mau mempelajari benda-benda yang dipamerkan atau dipajang di museum, justru akan memperoleh manfaat mengunjungi museum. Mengunjungi Museum Sejarah Jakarta misalnya, dari koleksi-koleksi yang dipamerkan, kita dapat mengetahui sejarah Jakarta sejak zaman prasejarah hingga setelah Indonesia merdeka.
Bagi saya, kunjungan kali ini adalah kunjungan yang ketiga kalinya ke Museum Sejarah Jakarta. Meskipun demikian, saya merasa tidak sia-sia berkunjung ke sini lebih dari satu kali, karena beribu cerita ditemukan di museum yang dulu merupakan Balai Kota Batavia. Bedanya, jika pada kunjungan-kunjungan sebelumnya saya tak pernah mendokumentasikan apa yang saya lihat dan perhatikan, maka pada kunjungan kali ini saya mencoba mendokumentasikan dalam bentuk tulisan agar hasilnya tidak hilang sia-sia.
Bagi yang belum pernah berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta, museum ini terletak di daerah yang bernama Kota Tua Jakarta. Disebut demikian, karena daerah tersebut memang termasuk kota yang sudah berumur tua. Hal ini dapat dilihat dari bangunan-bangunan yang ada di sekitar Museum Sejarah Jakarta, yang merupakan bangunan peninggalan Belanda, termasuk bangunan yang dijadikan museum. Museum Sejarah Jakarta juga biasa disebut Museum Fatahillah, karena museum ini terletak di Jalan Taman Fatahillah. Dulu, pintu masuk ke museum menghadap ke Taman Fatahillah seperti tampak pada foto di atas, tapi sekarang pintu masuknya lewat samping kiri.
Untuk menuju ke Museum Sejarah Jakarta, bagi yang tidak membawa kendaraan sendiri, entah itu motor ataupun mobil, dapat naik commuterline (kereta listrik), bisa juga naik bis Transjakarta. Bila naik commuterline, turunnya di Stasiun Jakarta Kota. Yang naik commuterline dari Stasiun Bogor dapat langsung turun di Stasiun Jakarta Kota. Akan tetapi bagi mereka yang naik dari Stasiun Cikarang, Bekasi, Rangkasbitung, dan Tangerang, harus transit terlebih dahulu. Yang dari Stasiun Cikarang dan Bekasi, transit di Stasiun Manggarai. Yang dari Stasiun Rangkasbitung, transit di Stasiun Tanahabang dan Manggarai. Sementara yang dari Stasiun Tangerang (Kota Tangerang), transit di Stasiun Duri dan Manggarai.
Bagi yang rumahnya jauh dari stasiun, dapat naik bus Transjakarta bila ingin ke Museum Sejarah Jakarta. Halte yang terdekat dengan Museum Sejarah Jakarta adalah Halte Busway Kota, Halte Busway Kali Besar, dan Halte Busway Museum Sejarah Jakarta.
Baik dari Stasiun Jakarta Kota maupun halte-halte busway ke Museum Sejarah Jakarta jaraknya tidak jauh, sehingga bagi yang ingin berkunjung ke tempat tersebut cukup berjalan kaki.
Tarif masuk ke Museum Sejarah Jakarta Rp 10.000,- untuk dewasa; Rp 5.000,- untuk anak-anak, anak sekolah, dan mahasiswa; dan Rp 50.000,- untuk wisatawan mancanegara. Sementara bila rombongan, tiketnya lebih murah, dengan catatan rombongan tersebut paling sedikit 30 orang.
Sejarah Museum Sejarah Jakarta
Gedung yang dijadikan Museum Sejarah Jakarta bukanlah bangunan baru. Gedung ini sudah ada ratusan tahun yang lalu. Dulu, gedung ini merupakan Stadhuis van Batavia atau Balai Kota Batavia.
Menurut catatan sejarah yang ada, Stadhuis van Batavia dulu letaknya bukan di tempat yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Stadhuis van Batavia pertama kali dibangun di sebelah timur Sungai Ciliwung, tidak jauh dari jembatan Jungkit yang sekarang disebut jembatan Kota Intan. Stadhuis van Batavia pertama kali dibangun tahun 1920 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen.
Ketika itu, Jan Pieterszoon Coen (yang menjadi gubernur jenderal sejak 1618-1629) berambisi ingin menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk menandingi Macao di Cina yang ketika itu dikuasai oleh kongsi dagang Inggris.
Gedung yang dibangun oleh Jan Pieterszoon Coen hanya mampu berdiri selama enam tahun, lalu diganti Stadhuis van Batavia yang kedua. Gedung baru ini dibangun di sebelah selatan halaman utama kota Batavia, yakni tempat yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Stadhuis van Batavia yang kedua ini, dulu diduga hanya satu lantai atau tidak tingkat dengan atap datar. Gedungnya mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan. Lama kelamaan gedung ini dianggap sudah tidak cocok lagi dan dianggap tidak pantas lagi untuk kota yang terkenal seperti Batavia. Apalagi ketika Sultan Agung Hanyakrakusuma (raja Mataram) menyerang Batavia sebanyak dua kali, yaitu pada 1628 dan 1929, dan pada serangan kedua berhasil membakar gedung Stadhuis van Batavia, maka semakin menambah tidak cocok dan tidak layak.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut kian lama makin bertambah menyedihkan. Pada 1648 kondisi gedung Stadhuis van Batavia sudah sangat buruk. Tanah di Batavia yang labil dan beban gedung yang berat menyebabkan bangunan gedung turun dari permukaan tanah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda tidak mengubah pondasi yang ada, tapi menaikkan lantai sekitar dua kaki (56 cm).
Pada 1649 dibuat lima ruang gelap bawah tanah yang digunakan sebagai penjara. Tahun 1665, gedung utama diperluas dengan menambah satu ruangan di sebelah barat dan satu ruangan di sebelah timur.
Selanjutnya, pada 25 Januari 1707 Gubernur Jenderal Joan van Hoorn mulai membangun gedung baru. Lokasinya masih tetap di tempat tersebut. Gedung Stadhuis van Batavia yang besar dan megah itu pembangunannya baru selesai pada 1710, saat pemerintahan dipegang oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Setelah selesai dibangun, gedung lalu diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck pada 10 Juli 1710.
Di samping digunakan sebagai Stadhuis atau Balai Kota, gedung berlantai dua tersebut juga digunakan untuk aneka urusan, seperti Kantor Dewan Urusan Perkawinan, panitia kesejahteraan anak-anak yatim piatu, Kantor Balai Harta (Jawatan Pegadaian), Dewan Kotapraja (College van Scheepenen), Dewan Pengadilan (Raad van Justitie) dan lain-lain.
Awal mula Stadhuis van Batavia berubah menjadi Museum Sejarah Jakarta, ceritannya demikian.
Ketika kota Batavia (sekarang Jakarta) berumur 300 tahun pada 1919, warga kota Batavia, khususnya orang-orang Belanda, mulai memiliki perhatian pada sejarah kota Batavia. Tahun 1930 didirikan sebuah yayasan bernama Oud Batavia (Batavia Lama) dengan tujuan mengumpulkan segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah kota Batavia.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, yayasan tadi lalu membeli gudang milik Perusahaan Geo Wehry & Co yang berada di sebelah timur Kali Besar. Gudang tersebut dibangun kembali sebagai Museum Oud Batavia (Museum Batavia Lama), dan dibuka untuk orang-orang yang ingin berkunjung, pada 1939. Museum Oud Batavia termasuk lembaga swasta yang berada di bawah naungan Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Ikatan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).
Koleksi museum kebanyakan merupakan peninggalan masyarakat Belanda yang berdomisili di Batavia sejak awal abad ke-16, seperti: mebel, perabot rumah tangga, senjata, keramik, peta, dan buku-buku.
Sayangnya, selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), Museum Oud Batavia tidak terurus. Setelah Indonesia merdeka, Museum Oud Batavia di bawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) dan diganti namanya menjadi Museum Jakarta Lama. Tahun 1968, museum tadi diserahkan ke Pemda DKI Jakarta.
Tanggal 30 Maret 1974, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, meresmikan Museum Sejarah Jakarta yang menempati bekas gedung Stadhuis van Batavia. Seluruh koleksi Museum Jakarta Lama dipindah ke Museum Sejarah Jakarta, ditambah dengan koleksi dari Museum Nasional. Adapun bekas Museum Jakarta Lama dijadikan Museum Wayang yang diresmikan tanggal 13 Agustus 1975. Museum Wayang masih berdiri hingga sekarang.
Mulai tahun 1999, Museum Sejarah Jakarta digagas bukan hanya sekedar tempat untuk merawat dan memamerkan benda-benda dari zaman penjajahan, tapi harus dapat menjadi tempat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman tentang sejarah Jakarta, dan dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Oleh karena itu, Museum Sejarah Jakarta berusaha menyediakan berbagai informasi mengenai sejarah Jakarta sejak zaman prasejarah sampai sekarang dengan bentuk yang lebih kreatif.
Ruang Mural
Jika dulu pintu masuk Museum Sejarah Jakarta menghadap ke Taman Fatahillah, kini pintu masuknya melalui samping kiri. Setelah membeli tiket masuk, ruang yang saya kunjungi pertama kali adalah “Ruang Mural”. Yang dimaksud dengan mural yaitu gambar di tembok. Sesuai dengan namanya, tembok pada ruang ini penuh dengan gambar. Yang melukis adalah Harijadi Sumodidjojo, salah satu seniman realis yang paling berbakat pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia.
Waktu itu Harijadi Sumodidjojo disuruh menggambar suasana Kota Batavia oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Ali Sadikin. Kanvas ukuran 20 meter sudah disiapkan sebagai media untuk menggambar. Akan tetapi di benak Harijadi Sumodidjojo kemudian timbul gagasan memilih menggambar suasana Kota Batavia di tembok museum. Keempat sisi tembok di ruang tersebut lalu digambar oleh Harijadi Sumodidjojo.
Ruang Tarumanagara - Sunda
Dari “Ruang Mural”, dengan melewati halaman terbuka di luar gedung, saya kemudian memasuki “Ruang Tarumanagara - Sunda”. Seingat saya, enam bulan yang lalu ketika saya berkunjung ke sini, ruang ini merupakan ruang kosong di depan pintu masuk. Ketika saya cek foto-foto dan catatan pribadi saya ketika berkunjung ke sini enam bulan yang lalu, juga tidak ditemukan foto dan catatan tentang "Ruang Tarumanagara - Sunda".
Di ruang yang baru ini kita disuguhi informasi tentang sistem kepercayaan Tarumanagara dan empat patung kecil yang dianggap ada hubungannya dengan Tarumanagara.
Menurut informasi yang terpampang di “Ruang Tarumanagara - Sunda”, tingggalan dari masa Tarumanagara memperlihatkan masa-masa awal masuknya pengaruh agama Hindu dan Budha dari India. Tinggalan bercorak Hindu ditemukan di Jakarta berupa arca-arca Hindu dan juga dua sisa candi Hindu di Cibuaya, Karawang, yang memperlihatkan kepercayaan pada Dewa Wisnu. Kemudian di Jakarta, juga ditemukan arca Siwa, Ganesha, dan Uma (bentuk lain dari Dewi Parwati). Selain dua candi di Cibuaya, juga terdapat satu kompleks besar di Batujaya, di tepi Sungai Ciliwung, yang memperlihatkan corak Budhisme yang terwujud dalam bentuk stupa dan bentuk arsitektur tempat pemujaan lain yang terbuat dari bata tanah liat.
Penemuan benda-benda bersejarah yang dilakukan oleh arkeolog sejak tahun 1960-an misalnya arca dan mantra budhis di lapisan budaya yang berada di atas lapisan budaya dari akhir masa prasejarah. Di lapisan tersebut situs yang sama ditemukan manusia prasejarah yang dijelaskan di Ruang 1A03 ("Wilayah Tinggalan Kebudayaan Buni" dan "Dari Buni ke Jabodetabek") dan juga sisa kepercayaan megalitik berupa susunan menhir.
Adapun arca kecil yang dipamerkan di "Ruang Tarumanagara - Sunda" adalah arca Wisnu Cibuaya 1, Wisnu Cibuaya 2, Durga-Kali dari Tanjung Priok pesisir utara Jakarta, dan Ganesha dari Warung Buncit (Pasar Minggu, Jakarta Selatan).
Adapun keempat arca yang ada di "Ruang Tarumanagara - Sunda", menurut informasi yang menyertai patung tersebut, demikian.
Arca Wisnu Cibuaya 1, walaupun berasal dadi abad ke-8 Masehi, dianggap dapat melengkapi prasasti-prasasti Purnawarman. Situs tempat penemuannya di Cibuaya yang tidak jauh dari situs Batujaya serta pemujaan terhadap Wisnu yang dianut oleh Purnawarman menjadi benang merah yang menghubungkan temuan ini, Gaya ikonografi arca ini memperlihatkan adanya beberapa persamaan dengan arca yang ditemukan di Semenanjung Tanah Melayu, Siam, dan Kamboja dengan pengaruh langgam seni Pala di India Selatan dari abad VII-VIII Masehi, atau barangkali dengan gaya masa Calukya.
Arca Wisnu Cibuaya 2, juga ditemukan di Desa Cibuaya, tetapi tempat aslinya tidak dapat dipastikan. Berdasarkan persamaan-persamaan yang ada, arca ini memiliki kemiipan dengan arca-arca dari seni Pala abad VII-VIII Masehi dan sepertinya arca ini berasal dari masa yang sama. Kesimpulan ini sesuai dengan berita Cina yang mengatakan bahwa pada abad VII Masehi masih ada sebuah negara bernama To-lo-mo, yang dianggap merupakan pelafalan Tongkok dari Taruma.
Arca Durga-Kali dari Tanjung Priok pesisir utara Jakarta merupakan arca batu granit. Arca ini ditemukan di sebelah timur Pelabuhan Tanjung Priok tahun 1883. Sosok Durga Kali yang berukuan tinggi 65 cm. ini digambarkan dalam posisi duduk bersila dan memiliki empat lengan. Kedua pasanga lengan bagian bawahnya sudah patah sehingga kita tidak dapat mengetahui atribut laksana apa saja yang dipegang olehnya. Sebagaimana penggambaran Durga-Kali pada umumnya, arca ini memiliki wajah yang menakutkan dengan mata membelalak dan rambut berantakan terurai di bahu hingga punggungnya. Berdasarkan atribut yang dikenakan, kemungkinan tokoh ini terkait dengan komunitas Rsi (orang suci Hindu), ditandai oleh Upawita yang ia pakai (kalung manik-manik yang dipakai secara diagonal pada torsonya). Durga merupakan bagian dari panteon dari kepercayaan agama Hindu yang juga banyak ditemukan di situs-situs arkeologi masa Hindu - Budha di Jawa dan Sumatera, khususnya pada situs-situs yang menjadikan Siwa (pasangan dari Durga) menjadi dewa utama. Tidak banyak Durga-Kali atau Kali yang ditemukan di Jawa, apalagi yang berhubungan dengan komunitas Rsi. Sayangnya belum ada penelitiam lebih lanjut mengenai arca ini.
Pada tahun 1990 di Warung Buncit, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, secara tidak sengaja ditemukan sebuah patung batu Ganesha dalam penggalian pondasi bangunan. Ganesha ini ditemukan di kedalaman tiga meter. Ganesha adalah bagian lain dari keluarga inti Siwa dan Uma atau Parwati atau Durga. Dia adalah anak lelaki mereka yang berkepala gajah, dibentuk dengan kekuatan ibunya. Menurut mitologinya, kepala gajah tersebut berasal dari kesalahpahaman antara Siwa dan istrinya. Ketika Ganesha menjaga jalan ke tempat mandi ibunya, Siwa, yang belum pernah melihat Ganesha sebelumnya, mengira dia sebagai penyusup. Siwa memenggal kepalanya. Setelah istrinya menjelaskan, Siwa mengganti kepala yang terpenggal dengan kepala seekor gajah yang kebetulan lewat. Arca-arca Ganesha yang ditemukan di Pulau Jawa biasanya bersama dalam satu set dengan Siwa, Durga, dan Mahaguru. Terdapat kemungkinan bahwa Ganesha ini juga merupakan bagian dari sebuah set. Penanggalan kronoligis yang lebih akurat dari arca ini belum diteliti lebih lanjut. Diduga arca Ganesha ini berasal dari masa Kerajaan Sunda.
Ruang Tarumanagara
Ruang berikutnya yang saya masuki adalah "Ruang Tarumanagara". Di ruang ini koleksi yang dipamerkan adalah: (1) informasi tentang wilayah Kerajaan Tarumanagara, (2) Prasasti Tugu, (3) Prasasti Ciaruteun, dan (4) Prasasti Kebon Kopi.
Enam bulan yang lalu, ketika saya berkunjung ke sini, peta wilayah Kerajaan Tarumanagara tidak dipajang di "Ruang Tarumanagara", tapi justru dipampang di tembok “Ruang Masa Bercocok Tanam & Perunggu - Besi”. Kini, peta wilayah Kerajaan Tarumanagara yang dipampang di tembok “Ruang Masa Bercocok Tanam & Perunggu - Besi” telah dilepas, karena memang tidak satu kurn waktu. Di "Ruang Tarumanagara", peta wilayah Kerajaan Tarumanagara dipasang menjadi satu dan berdampingan dengan informasi tentang wilayah Kerajaan Tarumanagara seperti tampak pada foto di atas. Sementara foto di bawah ini adalah peta wilayah Kerajaan Tarumanagara yang dulu dipajang di "Ruang Masa Bercocok Tanam & Perunggu - Besi".
Tentang wilayah Kerajaan Tarumanagara, disebutkan bahwa Tarumanagara termasuk salah satu kerajaan tertua di Nusantara (abad ke-5 Masehi), selain Kutai (abad ke-4 Masehi) yang meninggalkan prasasti-prasasti Yupa di Kalimantan Timur. “Taruma” artinya biru indigo (biru tua). Dalam bahasa Sunda kata tersebut memiliki makna yang sama. Tradisi Sunda mengenal nama ini sebagai warna alami yang berasal dari daun tarum yang dipakai sejak dulu untuk mewarnai pakaian.
Sumber sejarah Kerajaan Tiongkok pada masa yang sama menyebutkan adanya utusan dari To-lo-mo, kerajaan di selatan yang dalam deskripsinya mengisyaratkan lokasi di barat Pulau Jawa. Lokasi wilayah kekuasaan Tarumanagara terbentang dari ujung barat (ditandai oleh Prasasti Cidanghiyang, Lebak, Banten) kemudian meliputi area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sekarang (ditandai oleh Prasasti Tugu, Jakarta Utara) dan prasasti-prasasti di Bogor (Ciaruteun, Bukit Koleangkak, Pasir Awi, Muara Cianteun, dan Kebon Kopi), serta sebaran kompleks percandian di Batujaya, Karawang di sisi timur Sungai Ciliwung.
Melihat dari bentuk-bentuk prasasti yang ditinggalkan serta kedekatan lokasi penemuan dengan tinggalan akhir masa prasejarah, terlihat bahwa temuan di sisi barat dan selatan menandakan daerah pinggiran yang berbatasan dengan masyarakat pendukung tradisi masa prasejarah berbeda dengan prasasti Tugu yang dikerjakan secara istimeswa mulai dari pembentukan batu yang disiapkan hingga berbentuk bulat sempurna seperti telur juga penulisan melingkar hingga penggambaran tongkat regalia.
Ada tiga prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara yang dipamerkan di sini, yaitu Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun, dan Prasasti Kebon Kopi.
Menurut informasi yang menyertai prasasti tersebut, Prasasti Tugu yang disimpan di Museum Sejarah Jakarta bukan prasasti asli, tapi replika. Aslinya disimpan di Museum Nasional Indonesia. Pemindahan Prasasti Tugu dari tempat ditemukannya ke Museum Nasional Indonesia yang dulu bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dengan nomor inventaris D.124 seperti dijelaskan dalam buku Petunjuk Museum Sejarah Jakarta, atas prakarsa P. de Roo de la Faille pada 1911.
Prasasti Tugu merupakan prasasti paling panjang yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara. Prasasti yang ditemukan pada 1878 di Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara ini dipahatkan pada sebuah batu bulat telur dan merupakan satu-satunya prasasti Tarumanagara yang ditemukan di pesisir utara Jawa Barat.
Prasasti Tugu menerangkan bahwa Sri Maharaja Purnawarman dulu pernah memerintahkan menggali Sungai Candrabhāgā. Pada masa pemerintahannya yang ke-22, ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati yang panjangnya 6.122 tombak (± 12 km.). Penggalian dilakukan sejak tanggal 8 paro-petang bulan Phālguna dan berakhir tanggal 13 paro-terang bulan Caitra, selama 21 hari. Penggalian sungai ini merupakan salah satu upaya untuk menghindari banjir yang saat itu menjadi ancaman pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purnawarman, sekaligus untuk mengatasi kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. Selamatan untuk hal tersebut dilakukan oleh para brahmana dengan disertai hadiah 1.000 ekor sapi.
Penemuan Prasasti Tugu ini ikut menguatkan kisah sejarah bahwa Jakarta di masa lalu merupakan bagian dari kerajaan tertua dan sangat berpengaruh, yaitu Tarumanagara sebelum kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Sunda. Sementara Sungai Candrabhāgā yang disebut dalam Prasasti Tugu, oleh para ahli dihubungkan dengan Sungai Bekasi pada zaman sekarang.
Berdasarkan bunyi Prasasti Tugu tadi, Slamet Muljana dalam bukunya berjudul Dari Holotan ke Jayakarta menduga bahwa ibukota Taumanagara berada di Bekasi.
Prasasti kedua adalah Prasasti Ciaruteun. Prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Ciaruteun, anak Sungai Cisadane di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, tahun 1863.
Tahun 1893, dikarenakan banjir bandang, batu Prasasti Ciaruteun hanyut beberapa meter dari tempat semula, dan batunya terbalik sehingga posisi tulisannya menjadi di bawah. Tahun 1903, prasasti tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengangkat dan memindahkan Prasasti Ciaruteun dari tempatnya semula, Sungai Ciaruteun, agar tidak terseret banjir kembali. Bahkan prasasti yang diletakkan di dekat Prasasti Kebon Kopi ini juga dibuatkan cungkup untuk melindungi prasasti dari panas, hujan, dan tangan-tangan jahil.
Prasasti yang dibuat dari batu sungai dengan berat 8 ton ini memiliki ukuran 200 cm. x 150 cm. Adapun tulisannya menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.
Prasasti Ciaruteun dibuatkan replika sebanyak tiga buah yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Sri Baduga Bandung.
Adapun bunyi Prasasti Ciaruteun, demikian.
vi kkrā nta syā va ni pa teḥ
śri ma taḥ pū rṇṇa va rmma ṇaḥ
tā rū ma na ga re ndra sya
vi ṣṇo ri va pa da dva ya m
Terjemahannya kurang lebih:
Inilah (tanda) sepasang telapak kaki yang seperti kaki Dewa Wisnu (pemelihara) ialah telapak kaki yang mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia.
Menurut El-Ibrahim dan Moh. Noor, gambar sepasang “pandatala” (jejak kaki) menunjukkan tanda kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Dalam hal ini kedudukan Purnawarman diibaratkan Dewa Wisnu, sehingga ia dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Fungsi “pandatala” seperti “tanda tangan” pada masa sekarang,
Prasasti ketiga adalah Prasasti Kebon Kopi. Prasasti ini ditemukan tidak jauh dari tempat ditemukannya Prasasti Ciaruteun di Desa Ciaruteun Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Prasasti Kebon Kopi ditemukan tahun 1863, ketika di tempat tersebut sedang diadakan penebangan hutan untuk lahan kebon kopi. Itulah sebabnya prasasti tersebut dinamakan Prasasti Kebon Kopi. Dikarenakan pada prasasti tersebut terdapat pahatan telapak kaki gajah, sehingga Prasasti Kebon Kopi disebut juga Prasasti Tapak Gajah. Sampai sekarang, prasasti tersebut masih berada di tempat ditemukannya.
Prasasti Kebon Kopi ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi prasasti intinya menerangkan bahwa telapak kaki gajah yang ada pada prasasti tersebut adalah milik Airrawata yang dipercaya sebagai tunggangan Purnawarman, penguasa Tarumanagara.
Sebetulnya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Purnawarman tidak hanya tiga buah, tapi yang dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta hanya tiga, meskipun semuanya replika. Selain ketiga prasasti tersebut, Sri Maharaja Purnawarman juga mengeluarkan: (1) Prasasti Jambu atau Prasasti Pasir Koleangkak yang ditemukan di perkebunan jambu di Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, sekitar 30 km. sebelah barat Kota Bogor; (2) Prasasti Muara Cianten yang ditemukan di Bogor; (3) Prasasti Pasir Awi yang ditemukan di daerah Leuwiliang; dan (4) Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Lebak yang ditemukan di Kampung Lebak di tepi Sungai Cidanghiyang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Tiga Ruang Masa Prasejarah di Jakarta
Dari "Ruang Tarumanagara", saya lalu masuk ke ruang yang menyimpan atau menginformasikan hal-hal yang berhubungan dengan masa prasejarah di Jakarta. Jika melihat kurun waktunya, mestinya ruang ini yang dimasuki terlebih dahulu oleh pengunjung sebelum memasuk "Ruang Tarumanagara". Namun karena adanya perubahan pintu masuk, sehingga ruang ini dimasuki setelah "Ruang Tarumanagara".
Ada tiga ruang yang memamerkan koleksi berupa benda-benda, lukisan atau foto, dan informasi zaman prasejarah, yaitu: (1) Ruang Masa Bercocok Tanam dan Perunggu - Besi, (2) Ruang Kebudayaan Buni, dan (3) Ruang dari Buni ke Jabodetabek.
a. Ruang Masa Bercocok Tanam & Perunggu - Besi
Koleksi yang dipamerkan di “Ruang Masa Bercocok Tanam & Perunggu - Besi” terdiri atas: (1) lukisan lebar yang menempel di dinding tembok yang menggambarkan beberapa orang sedang bercocok tanam, (2) alat serpih dalam bingkai yang dilekatkan pada dinding tembok, (3) etalase berisi benda-benda zaman neolitikum, dan (4) informasi tentang cara pembuatan alat batu. Dari koleksi-koleksi tersebut, kita memperoleh informasi demikian.
Masa bercocok tanam ditandai dengan munculnya kemampuan bercocok tanam dan menjinakkan hewan yang menyebabkan manusia mulai menetap di perkampungan-perkampungan. Artinya, sudah tidak berpindah-pindah tempat (nomaden). Dari segi teknologi muncul kemampuan mengasah alat-alat batu dan membuat gerabah sederhana.
Sementara masa perunggu dan besi ditandai dengan munculnya kelompok masyarakat yang memiliki kepandaian khusus, seperti pembuatan gerabah yang sudah maju dan artefak logam, serta pengerjaan kayu dan perahu.
Situs-situs yang ditemukan di sekitar Jakarta memperlihatkan kedua masa penghunian tersebut. Masa penghunian prasejarah yang paling tua, yaitu Masa Berburu dan Meramu sejauh ini belum pernah ditemukan di wilayah Jakarta.
Selain itu, kita juga diberi informasi tentang cara pembuatan dan cara pemakaian alat batu.
Alat-alat batu sederhana, seperti serpih dibuat dengan memukulkan perkutor (a;at pemukul) dari batu kerakal atau tanduk pada sebongkah batu yang akan dijadikan alat. Pecahan-pecahan yang dihasilkan memiliki berbagai bentuk dan ukuran, di sebut serpih. Serpih yang memiliki bagian tajaman yang baik kemudian dijadikan alat tanpa dimodifikasi. Kadangkala, bagian tajaman diserpih (diretus) lebih lanjut agar dapat berfungsi lebih baik.
Alat batu yang lebih maju, seperti beliung dibuat dalam beberapa tahap. Pada tahap petama batu inti yang menjadi calon beliung dipangkas untuk mengasilkan bentuk dasar suatu beliung. Calon beliung ini bentuknya persegi dan seluuh permukaannya menunjukkan faset-faset pelepasan serpih. bila ukuran dan bentuk yang diinginkan telah diperoleh, batu calon beliung ini diupam sampai menghasilkan bentuk akhirnya. Pengupaman biasa dilakukan dengan menggosok calon beliung pada permukaan batuan yang tidak sekeras bahan calon beliung tersebut.
Cara pemakaian alat serpih, baik yang diretus (dihaluskan) maupun tidak, biasanya memiliki ukuran yang nyaman dipegang dengan tangan, terutama dengan telunjuk, jari tengah, dan jempol. Sementara alat serpih berukuran besar dipakai dengan cara digenggam dengan seluruh tangan. Alat serpih dapat digunakan untuk mengiris, memotong, meraut atau mengupas sesuatu.
Di ruang ini kita juga bisa melihat benda-benda prasejarah lainnya dari zaman neolitikum yang ditata rapi dalam sebuah etalase, seperti kapak beliung, belincung, bandul jala, kapak logam, dan serpihan batu. Serpihan batu tersebut merupakan serpihan hasil membuat kapak beliung atau kapak persegi.
b. Ruang Kebudayaan Buni
Seperti halnya "Ruang Masa Bercocok Tanam dan Perunggu - Besi", ruang ini juga berbicara zaman prasejarah
Koleksi yang dipamerkan di ruang ini adalah: (1) peta wilayah tinggalan kebudayaan Buni yang ditempelkan di tembok dinding, dan (2) etalase berisi hasil temuan beberapa gerabah Buni.
Apa itu kebudayaan Buni?
Menurut Wikipedia, kebudayaan Buni yaitu kebudayaan benda-benda yang dibuat dari tanah liat zaman prasejarah yang berkembang di pesisir utara Jawa Barat, Jakarta, dan Banten sekitar tahun 400 Sebelum Masehi sampai 100 Masehi. Kebudayaan ini dinamakan berdasarkan situs arkeologi yang ditemukan petama kali, yaitu situs yang ada di Desa Buni, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, sebelah timur Jakarta.
Bila melihat peta yang dipasang di ruang ini, wilayah tinggalan kebudayaan Buni selain terdapat di Buni, juga terdapat di Batujaya, Dongkal, Karangjati, Kedungwaringin, Puloglatik, Wangkal, Batujaya, Utanringin, Kampung Kramat, Kebon Nanas, Cawang, Cililitan, Rawa Kodok, Condet-Balekambang, Tanjung Timur, Pasar Rebo, Kelapa Dua, Tugu Kulon, Pejaten, Pasar Minggu, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Srengseng Sawah, Pondok Cina, dan Depok. Wilayah-wilayah tersebut terletak di pesisir utara Jawa Barat dan aliran Sungai Ciparaga, Citarum, Bekasi, Ciliwung, dan Cisadane. Sementara gerabah yang ditemukan di wilayah Jakarta umumnya menunjukkan ciri yang hampir sama dengan gerabah Buni
Di ruang ini dipamerkan juga temuan gerabah Buni yang ditempatkan pada sebuah etalase. Gerabah Buni ditemukan di berbagai tempat di pesisir utara Jawa Barat, dan dari timur ke barat pada daerah aliran Sungai Ciparaga, Citarum, Bekasi, Ciliwung, dan Cisadane. Persebarannnya ke barat sampai ke Anyer termasuk Jakarta. Gerabah Buni dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu gerabah yang berwana kemeahan dan gerabah yang berwarna keabu-abuan. Gerabah-gerabah ini dibuah dengan teknik tatap pelandas.
Pola hias yang dianggap ciri lokal gerabah Buni adalah unsur hias berbentuk persegi yang ditempelkan di bagian tengah lingkaran, sementaa pada bagian luar lingkaran terdapat garis-garis pendek seperti pancaran sinar.
Gerabah yang ditemukan di wilayah Jakarta umumnya menunjukkan ciri yang serupa dengan gerabah Buni, Pejaten, Kampung Kramat, dan Condet - Balekambang menghasilkan berbagai jenis gerabah yang menunjukkan kesamaan, baik bentuk maupun hiasan. Gerabah berhias dibuat dengan teknik digores dalam bentuk pola sisir, garis-garis lengkung, dan lingkaran-lingkaran kecil. Selain itu, hiasan dikerjakan juga dengan teknikpukul tatap yang berhias ukiran atau lilitan tali, maupun dengan teknik tekan.
c. Ruang dari Buni ke Jabodetabek
Ruang dari Buni ke Jabodetabek masih membicarakan kebudayaan Buni juga. Di ruang ini dipamerkan foto kerangka manusia dari situs Batujaya, Karawang.
Situs Batujaya merupakan salah satu situs penting dalam catatan sejaah bangsa Indonesia, terlebih lagi sejarah Jakarta. Situs yang letaknya tidak jauh dari garis pantai utara Laut Jawa ini merupakan situs percandian masa Hindu - Budha yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi. Artinya, Situs Batujaya merupakan situs masa klasik yang tertua di Jawa yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanagara. Di situs ini selain ditemukan stuktur bangunan candi dari bata, juga ditemukan berbagai temuan arkeologis lain seperti amulet (jimat), fragmen prasasti, manik, dan rangka manusia. Dua rangka manusia dari situs Batujaya diketahui berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, ditemukan beserta bekal kuburnya, dan berdasakan bekal kubur tersebut, terutama manusia dari situs Batujaya ini menjadi penting dalam sejarah Indonesia, karena mengindikasikan sistem penguburan prasejarah dalam konteks budaya Buni. Sebaran temuan arkeologis dari Situs Buni yang ditemukan tidak jauh dari Situs Batujaya sendiri semakin memperkuat dugaan bahwa manusia-manusia yang ditemukan itu adalah pendukung budaya Buni. Di masa kemudian, daerah Batujaya dikenal dengan situs yang memiliki karakteristik temuan arkeologi dari masa Hindu - Budha yang kental.
Terkait dengan gerabah, peninggalan arkeologi yang ditemukan di Jakarta dan sekitarnya memiliki ciri yang serupa dengan Kompleks Gerabah Buni, yaitu terutama temuan berupa gerabah dari berbagai bentuk dan ukuran, maupun beliung persegi, artefak logam, batu asah, gelang batu, dan manik-manik. Situs pertama yang memperlihatkan ciri seperti ini terdapat di Desa Buni, Bekasi. Namun demikian, temuan dengan ciri serupa tersebar sampai ke daerah alian Sungai Citarum dan Sungai Bekasi, termasuk wilayah Jakarta, bahkan sampai ke Banten.
Ruang dari Batavia ke Jakarta
Dari lantai 1, saya lalu naik ke lantai 2, melihat koleksi-koleksi yang dipamerkan di “Ruang dari Batavia ke Jakarta”.
Di ruang ini dipamerkan bermacam-macam uang zaman dahulu. Ada uang kertas zaman pendudukan Jepang, ada berbagai jenis uang kertas bergambar Jenderal Sudirman, ada uang kertas era setelah kemerdekaan, ada uang koin keluaran tahun 1951-1954, ada uang koin Rp 750,- yang hanya dicetak sebanyak 4.900 koin dengan gambar garuda dan barong Bali. Penyebab uang koin Rp 750,- hanya dicetak terbatas karena hanya untuk memperingati kemerdekaan Indonesia yang ke-25 (tahun 1970).
Tak hanya uang Indonesia, di ruang ini dipamerkan juga beberapa uang koin mancanegara, seperti Arab, Belanda, Inggris, dan Spanyol.
Selain uang, di ruang ini juga dipamerkan alat ukur genteng, alat ukur bata, batu pemberat (bandul timbangan), alat ukur bahan bangunan, tempat takaran beras, kotak untuk menyimpan, miniatur kursi, dan miniatur kursi panjang.
Berdasarkan informasi yang menyertai koleksi yang dipamerkan, sebelum abad ke-18, bentuk dan ukuran genteng di Batavia sangat beragam. Untuk membuat satu bentuk baku, pemerintah menunjuk salah seorang juru tera supaya membuat standar ukuran genteng. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti kata tera adalah: cap pengujian yang dibubuhkan oleh Jawatan Tera pada timbangan, takaran, dan ukuran yang dipakai dalam perdagangan; tanda uji pada alat timbangan dan sebagainya yang sudah diperiksa kebenarannya oleh Jawatan Tera.
Seluruh tukang yang akan mendirikan bangunan resmi pemerintahan harus mengikuti standar yang telah ditetapkan. Alat ukur genteng ini disebut juga slaper.
Selain membuat standar ukuran genteng, juru tera juga ditugaskan untuk membuat standar ukuran bentuk bata yang digunakan untuk mendirikan bangunan. Juru tera yang ditugaskan membuat standar ukuran bata adalah Abraham Crena pada 1709. Bentuk alat ukurnya berupa bingkai persegi panjang dengan hiasan cantik berupa kepala naga. Bagian dalam bingkai inilah yang dijadikan sebagai standar bentuk bata.
Pada abad ke-18 di Batavia ternyata sudah mengenal sistem timbangan dengan menggunakan pemberat yang disebut batu pemberat. Pemberat itu sendiri dibuat oleh pemerintah Batavia dalam satu set. Batu pemberat (bandul timbangan) tersebut memakai tanda X, V, IIII, III, dan II K yang sama dengan ukuran berat 5 kg., 2,5 kg., 2 kg., 1,5 kg., 1 kg. Bila diperhatikan, pada setiap batu pemberat (bandul timbangan) terdapat ukiran pedang dan bunga mawar yang menjadi simbol resmi Pemerintah Batavia untuk bandul timbangan yang mereka buat.
Masih pada abad ke-18, alat ukur bahan bangunan juga sudah ada. Alat tadi berupa wadah kayu yang berbentuk menyerupai ember dan dihiasi cincin kuningan. Alat tersebut digunakan untuk mengukur berat bahan-bahan bangunan seperti semen, kerikil, dan lain-lain. Wadah ini berbeda-beda ukurannya, mulai dari tiga gantang sampai lima gantang. Segantang itu seimbang dengan 8 kg. (Namun bila kita lihat di internet, rupanya ukuran gantang pada setiap daerah itu berbeda-beda besarnya). Seperti halnya alat ukur yang lain, alat ini juga dibuat berdasarkan perintah dari kepala pemerintahan pada waktu itu dan dikerjakan oleh seorang juru tera bernama Hendrik van der Crap pada 1739.
Di ruang ini terdapat juga wadah timbangan beras. Wadah ini selain untuk menakar beras, juga untuk menakar kacang-kacangan. Alat tersebut dibuat dari kuningan dan pada bibirnya terdapat corong. Umumnya orang-orang mengenal alat tersebut dengan nama timbangan bebek, karena bentuk corongnya seperti paruh bebek (itik). Wadah timbangan beras tersebut mengingatkan saya ketika masih kecil, antara tahun 1960-an akhir dan 1970-an awal, di mana wadah untuk menakar beras kala itu terbuat dari tempurung kelapa atau tempurung buah maja. Ternyata jauh sebelum itu, Pemerintah Kolonial Belanda telah memiliki wadah timbangan beras yang lebih modern.
Pada abad ke-17, di rumah bangsawan Belanda banyak ditemukan kotak penyimpanan yang berfungsi untuk menyimpan perhiasan seperti kalung, gelang, dan lain-lain. Tempat tersebut dibuat dari kayu yang dihiasi kuningan, yang di dalamnya terdapat laci kecil. Di samping itu, di rumah-rumah bangsawan Belanda umumnya juga dihiasi ornamen yang menggunakan bahan kayu, seperti miniatur kursi dan miniatur kursi panjang yang dipamerkan di ruang ini.
Yang menarik perhatian, di ruang ini juga dipamerkan lukisan kecil yang menggambarkan tiga kejadian pengadilan yang berbeda.
Gambar sebelah kiri menceritakan Raja Persia, Cambyses, memerintahkan agar hakim yang korupsi, Sisamnes namanya, dikelupas kulitnya. Selanjutnya, anak Sisamnes diangkat sebagai hakim, menggantikan kedudukan ayahnya. Kulit ayahnya dipakai melapisi kursi hakim. Ini sebagai peringatan bagi hakim yang korupsi.
Gambar tengah, menceritakan Raja Solomon (ada yang menyebut Salomo) mengadili dua orang perempuan yang memperebutkan seorang bayi. Mereka sama-sama mengaku sebagai ibu dari bayi tersebut. Raja mengatakan akan membelah bayi tersebut menjadi dua, sehingga masing-masing akan mendapatkan setengahnya. Salah satu dari dua perempuan tadi seketika menangis, karena tidak ingin bayi itu dibelah yang akan menyebabkan kematian bagi bayi tersebut. Oleh kaena itu, ia merelakan bayi itu untuk perempuan yang satunya lagi agar bayi tersebut selamat. Sang raja kemudian memutuskan bahwa perempuan yang menangis itulah ibu asli dari bayi tersebut.
Gambar sebelah kanan, Raja Zaleukos dari Lokri (Yunani) rela mengorbankan salah satu matanya untuk menyelamatkan satu mata anaknya yang seharusnya ditusuk kedua-duanya karena melakukan zina. Hal ini dilakukan oleh Raja Zaleukos, karena peraturan tersebut dibuat oleh dia sendiri.
Ruang Balai Kota (Stadhuis)
Di Stadhuis (Balai Kota), kantor pemerintahan yang penting adalah College van Schepenen (Dewan Kotapraja) dan Raad van Justitie (Dewan Pengadilan). “Ruang Balai Kota utawa Stadhuis” inilah yang dulu dipakai sebagai Dewan Kotapraja dan Dewan Pengadilan.
Di ruang ini ada beberapa kursi, meja berbentuk elips, dan tiga almari yang dulu dipakai menyimpan arsip. Saat saya berkunjung ke sini enam bulan yang lalu, jumlah kursinya ada enam.
Namun ketika kali saya berkunjung lagi, kursinya hanya ada empat seperti tampak pada foto di bawah ini. Lalu di mana yang dua kursi lagi? Bisa jadi dipindah ke tempat lain atau sedang dalam perawatan.
Sebagian isi ruangan ini berasal dari Kasteel (Benteng) Batavia yang lokasinya hanya 500 meter di sebelah utara Stadhuis (Balai Kota), seperti almari-almari besar, meja, dan kursi. Tidak diketahui seperti apa bentuk mebel-mebel yang ada di ruang ini tempo dulu. Yang dipamerkan saat ini, berasal dari abad ke-18 dan menurut dugaan dibuat oleh tukang di Batavia.
Pada mulanya, Raad van Justitie (Dewan Pengadilan) jika mengadakan sidang dilakukan di dalam Kasteel (Benteng) Batavia, namun kemudian dipindah ke Stadhuis (Balai Kota).
Ruang ini dulu dipakai sebagai tempat sidang oleh para hakim, untuk memutuskan apakah terdakwa akan dihukum mati, dibuang, atau bebas. Namun kebanyakan mendapat hukuman mati.
Pahlawan yang pernah menjalani sidang di ruang ini yaitu Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dhien. Para pahlawan tersebut diputuskan dihukum buang. Pangeran Diponegoro dibuang ke Makassar, sedangkan Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang.
Sementara almari yang berjumlah tiga buah, selain untuk menyimpan arsip penting, juga untuk menyimpan buku-buku yang menjadi bahan bacaan petinggi Belanda tempo dulu.
Ruang ini selain sebagai ruang Raad van Justitie (Dewan Pengadilan), juga untuk ruang College van Schepenen (Dewan Kotapraja). Di ruang ini College van Schepenen (Dewan Kotapraja) sidang tiga kali dalam seminggu.
Sejak berdirinya pada tahun 1620, College van Schepenen (Dewan Kotapraja) terdiri atas lima warga kota yang diangkat oleh pemerintah ditambah empat pejabat Kompeni. Tidak ada demokrasi waktu itu. Keputusan College van Schepenen (Dewan Kotapraja) selalu bisa diubah oleh gubernur jenderal dan para penasihatnya yang ada di dalam Beteng Batavia. Wewenang College van Schepenen (Dewan Kotapraja) mencakup semua perkara pidana dan perdata.
Selain ada meja, kursi, dan almari, di ruang ini juga terdapat gambar beserta informasi terkait Stadhuis (Balai Kota), bordes, dan Stadhuis (Balai Kota) kembar yang ditempelkan di tembok.
Menurut informasi tersebut, sejak pembentukan Gemeente Batavia pada 1905, De Oude Stadhuis (Balai Kota Tua) berfungsi menjadi pusat administrasi Batavia, sebelum kini menjadi museum.
Pada masa VOC dan Hindia Belanda, gedung ini berfungsi sebagai tempat pemerintahan, pengadilan, catatan sipil, dan peribadatan pada hari libur. Gedung ini berubah menjadi pusat administrasi Kotapraja Jakarta sampai kepindahan kantor kotapraja ke Tanah Abang tahun 1913 (dan kemudian pindah ke Koningsplein Zuid atau Jalan Merdeka Selatan sekarang).
Gedung De Oude Stadhuis (Balai Kota Tua) kemudian beralih fungsi sebagai Kantor Residen Jawa Barat sampai 1942, ketika Indonesia dijajah Jepang. Jepang tidak menggunakan gedung tersenut sebagai kantor pemerintahan, tapi menggantikannya sebagai pusat logistik.
Setelah kemerdekaan, bangunan ini dijadikan kantor pemerintahan lagi, yaitu Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Markas Komando Militer I Kota, hingga 1961. Tahun 1970, Gubenur Ali Sadikin menetapkan gedung ini sebagai benda cagar budaya dan menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Tentang bordes, dijelaskan bahwa sebelum bordes diperluas di bagian depan gedung, pemerintah kota menyediakan panggung kayu yang dikeluarkan dari gudang dan dipasang di lapangan depan Balai Kota. Pada abad ke-19, bordes diperbesar untuk menjadi panggung eksekusi yang lebih mudah dilihat masyarakat.
Eksekusi hukum biasanya dilakukan pagi hari, saat semua pintu kota masih ditutup, jembatan-jembatan masih terangkat, dan pasukan militer siaga. Setelah lonceng di menara Balai Kota dibunyikan, para terdakwa dipanggil ke ruang besar untuk kedua kalinya dan yang terhukum berpakaian putih, dibawa ke panggung kayu di depan. Setelah lonceng berbunyi untuk ketiga kalinya, para hakim menuju ruang balkon yang berada di atas pintu masuk Balai Kota. Sekretaris Dewan lalu membacakan vonis di depan jendela terbuka. Setelah itu, pendeta lalu naik ke panggung dan membaca doa terakhir dalam bahasa terdakwa dan mengikatnya untuk bertobat, kemudian algojo melaksanakan tugasnya. Sesudah eksekusi selesai, para hakim menuju ke kastil dan membuat laporan kepada Gubernur Jenderal. Beberapa jam kemudian jenazah digantung atau dipajang pada roda sampai jenazah hancur sendiri.
Menurut informasi yang menyertai gambar di atas, Stadhuis yang ada di Batavia memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Stadhuis yang ada di Amsterdam. Persamaannya adalah: (1) memiliki ciri khas arsitektur yang ditemukan di bangunan-bangunan pada paruh kedua abad ke-18; (2) bagian tengah ditopang enam pilar bergaya Doric; dan (3) gedung dimahkotai sebuah menara kecil octagonal dilengkapi dengan tiang dan salib yang dipasang di puncaknya. Adapun perbedaannya:
Stadhuis Batavia | Stadhuis Amsterdam |
1. Dua lantai | 1. Tiga lantai. |
2. Memiliki bordes di bagian depan yang merupakan tambahan dan berfungsi sebagai panggung eksekusi hingga 1896. | 2. Tidak memiliki bordes. |
3. Patung Dewi Justitia diletakkan di dalam sebuah ceruk di tengah bagian fronton saat masih memiliki fronton berbentuk setengah lingkaran. | 3. Patung Dewi Justitia diletakkan di puncak fronton (bentuk segi tiga di bagian depan gedung). |
4. Bagian fronton sebelumnya berbentuk melengkung setengah lingkaran sebelum direnovasi menjadi segitiga pada 1830. Pada kesempatan ini lambang VOC dan lambang negara dibongkar dan Justitia dipindah ke puncak fronton. | 4. Bagian fronton selalu berbentuk segitiga sejak awal. |
5. Di bagian muka atas terdapat lambang Batavia. | 5. Di bagian muka atas terlihat lambang Serikat Republik Belanda. |
6. Memiliki tulisan “Gouverneurskantoor” (artinya Kantor Gubernur) di bagian depan. | 6. Bagian depan tidak bertulisan. |
Ruang dari Utara ke Selatan
Koleksi yang dipamerkan di ruang ini berupa dua tumpukan kotak yang masing-masing berjudul “Kota Para Pendatang” dan “Batavia: Ratu dari Timur”, sekat ruangan, almari kaca, dan meja kecil dengan dua kursi di kanan dan kirinya. Selain itu, terdapat juga beberapa informasi, seperti informasi tentang: (1) sejarah bangkrutnya VOC dan kemunduran Batavia; (2) VOC dalam lintas sejarah Indonesia; (3) masalah wabah di Batavia; dan (5) masalah lingkungan di Batavia.
Untuk koleksi yang berupa tumpukan kotak, hampir setiap kotak terdapat empat gambar, kecuali beberapa kotak yang isinya bukan gambar, melainkan informasi tentang sesuatu. Sementara judul dari gambar yang ada pada kotak-kotak yang ditumpuk, ditulis pada salah satu sisi kotak paling atas.
Tumpukan kotak yang berjudul “Kota Para Pendatang” menerangkan bahwa Jakarta sebagai kota pendatang menekankan pada gambaran kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang beragam di lingkungan kota. Keragaman itu kemudian menjadi landasan perkembangan kehidupan kota Batavia.
Memasuki awal abad ke-20, dua dari tiga penduduk kota Batavia merupakan pendatang dari Eropa, Timur Tengah, Asia, dan Asia Timur, serta dari Jawa dan luar Jawa. Sensus tahun 1930 menunjukkan jumlah para pendatang mencapai 340.138 jiwa, melibihi jumlah penghuni lama dari etnis Betawi yang berjumlah 192.877 jiwa.
Gambar yang dipamerkan pada kotak-kotak tersebut adalah tramrijtuig, met Passagiers Batavia; suasana lelang lukisan di salah satu galeri; haji/Arab haji Batavia; pengantin Cina di Batavia; para penumpang trem di Batavia; suasana di Tanjung Priok sekitar tahun 1920; dua orang perokok opium; pembantaian orang Cina di Batavia tahun 1740; Gubernur Jenderal Adrian Valckenie; perempuan penenun; Pecinan di Jalan Pintu Kecil; dan tuan tanah ditandu.
Pada tumpukan kotak “Kota Para Pendatang”, selain berisi foto-foto, juga terdapat informasi mengenai Geger Pecinan di Batavia pada 1740. Pada tahun tersebut banyak etnis Cina di Batavia yang dibunuh oleh VOC. Awal-mula peristiwa tersebut terjadi, karena harga gula di wilayah Asia dan Eropa jatuh. Akibatnya banyak penggilingan gula di Ommelanden (wilayah di luar tembok kota Batavia) yang ditutup sebab bangkrut.
Ditutupnya penggilingan gula menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan menimbulkan keresahan di antara para bekas buruh penggilingan gula yang sebagian besar etnis Cina. Apalagi ditambah isu yang beredar bahwa pemerintah kota Batavia akan mengirim para pengangguran ke Ceylon (sekarang Sri Lanka), tapi dalam perjalanan menuju Ceylon, para buruh tadi akan ditenggelamkan di laut.
Kerusuhan yang terjadi di penggilingan-penggilingan gula di Ommelanden menyebabkan VOC menutup kota Batavia dan membunuh etnis Cina yang tinggal di dalam kota. Diperkirakan sekitar 10.000 etnis Cina tewas dalam peristiwa tersebut. Orang yang dianggap bertanggung jawab atas pembantaian terhadap etnis Cina tadi yaitu Gubernur Jenderal Adrian Valckenier.
Tumpukan kotak kedua yang berjudul “Batavia: Ratu dari Timur” menerangkan bahwa kota Batavia memiliki penampilan fisik yang lebih mirip dengan kota-kota pelabuhan di Eropa daripada kota-kota pelabuhan di Asia. Meskipun dibangun di pantai utara Pulau Jawa bagian barat, kota Batavia menimbulkan kesan yang tidak asing bagi para pendatang dari Eropa yang melihatnya untuk pertama kali dari arah laut. Setelah berlayar sekitar tujuh bulan, para pendatang dari Eropa tadi akan terkesan oleh penampilan fisik Batavia yang berupa kota yang memiliki benteng lengkap dengan kastilnya, namun berada di daerah tropis.
Sampai dengan akhir dekade ketiga abad ke-18, Batavia adalah sebuah kota yang sehat dan indah. Namun kemakmuran dan keindahan Batavia berakhir pada tahun 1733 ketika kota ini dilanda wabah penyakit malaria. Akibat dari merajalelanya penyakit malaria tadi ada ribuan penduduk Batavia yang menjadi korban. Setiap tahun, sejak 1733, ada sekitar 2.000 penduduk Batavia yang meninggal karena terserang penyakit malaria.
Adapun gambar yang ditampilkan di kotak-kotak tersebut adalah kastil Batavia dilihat dari arah tenggara; panorama Balai Kota di Batavia (ada dua foto yang berbeda); Ville de Batavia, circa 1780; Balai Kota dan gereja Belanda; sisi dalam Stadhuis; pemandangan dari Bastion Gelderland di Kasteel Batavia; lelang budak di Batavia tahun 1800; pemandangan Kasteel Batavia dari Koningsplein Square; Konsulat Kota Bremen di Kali Besar; pedagang Arab di Batavia; staf Hotel Des Indes, Batavia; dan Kerkstraat op Meester Cornelis (sekarang Jalan Jatinegara Timur).
Selain dua tumpukan kotak, ada juga koleksi berupa sekat ruangan berupa ukir-ukiran yang sangat indah. Sekat ruangan bergaya barok ini dulu dipakai sebagai penghias pada ruang sidang Dewan Hindia Belanda di Kastil Batavia. Sekat yang dibuat abad ke-18 ini pada bagian atas terdapat enam lambang kota yang membentuk VOC, sedangkan lambang yang berada di tengah merupakan lambang Kota Batavia. Bagian tengah sekat berhiaskan ukiran seorang satria yang memegang perisai dengan hiasan kepala Medusa (tokoh mitologi Yunani) yang buruk rupa. Sekat ruangan ini, ketika saya berkunjung ke sini enam bulan yang lalu, berada di "Ruang Orang Betawi - Orang Jakarta". Entah sejak kapan sekat ruangan ini di pindah ke ruang ini.
Di ruang ini ada juga koleksi berupa almari kaca dan meja kecil dengan dua kursi. Almari kaca dengan gaya "Renaissance" yang ada di ruang ini terbuat dari kayu jati dan kaca, berasal dari abad ke-18 dan dibuat di Batavia. Biasanya digunakan untuk menyimpan barang-baang pajangan di uang tengah. Sementara tentang meja kecil dan dua kursi, tidak ada infomasi yang berhubungan dengan koleksi tersebut.
Di samping dipamerkan benda-benda koleksi museum, di ruang ini dipampang informasi tentang sejarah bangkrutnya VOC dan kemunduran Batavia yang ditempelkan di tembok. Informasi tersebut sepeti di bawah ini.
Masa keemasan Batavia pada abad ke-17, bersamaan dengan masa keemasan VOC. Sementara proses keruntuhan kota pelabuhan ini sebagai salah satu pusat perdagangan terpenting di Asia sejak petengahan abad 18, juga berlangsung dalam periode yang sama dengan kemunduran VOC. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa Batavia tidak pernah dibiarkan oleh VOC untuk menjadi kota yang benar-benar independen. Administrasi kota Batavia menyatu dengan administrasi VOC, sehingga kebobrokan dalam birokrasi VOC juga menular ke dalam birokrasi kota.
Saat ini hanya sedikit yang tertinggal dari masa-masa kejayaan kota Batavia pada abad ke-17 dan 18. Tembok kota maupun kastil Batavia sudah dihancurkan ketika masa pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1818). Yang masih tersisa dari masa keemasan kota Batavia yaitu gedung Balai Kota, bekas galangan kapal, menara syahbandar, dan bekas gudang VOC di pasar ikan. Meskipun demikian, peninggalan Belanda sebagai salah satu kota dagang terpenting di Asia tidak hilang. Walaupun dalam konteks yang berbeda, Jakarta dengan Pelabuhan Tanjung Priok saat ini masih terus melanjutkan peran Batavia sebagai salah satu titik simpul penting dalam jaringan perdagangan Asia.
Masih di “Ruang dari Utara ke Selatan”, selain informasi tentang sejarah bangkrutnya VOC dan kemunduran Batavia, juga dipampang informasi tentang VOC dalam lintas sejarah Indonesia sejak berdiri hingga bangkrut.
Ø 1602 Berdirinya VOC;
Ø 1610 VOC menduduki Batavia, kemudian dijadikan pusat kantor VOC pada tahun 1619;
Ø 1615 VOC memiliki 50 kapal dagang yang berlayar pada jalur-jalur perdagangan VOC (kemudian menjadi 150 kapal pada akhir abad ke-17);
Ø 1652-1654 Perang antara Inggris dengan Belanda yang pertama;
Ø 1653 VOC mendirikan kantor dagang di Cape Town, Afrika Selatan;
Ø 1661-1662 VOC kehilangan kontrol atas Formosa. (Formosa atau yang sekarang dikenal dengan nama Taiwan, dulu pernah dikuasai oleh VOC);
Ø 1665-1667 Perang antara Inggris dengan Belanda yang kedua;
Ø 1667 VOC kehilangan klaim atas Cape Town akibat perang antara Inggris dengan Landa yang kedua;
Ø 1672-1673 Perang antara Inggris dengan Belanda yang ketiga. Monopoli VOC atas perdagangan lada mendapat tantangan dari British East India Company (EIK);
Ø 1780-1784 Perang antara Inggris dengan Belanda yang keempat. Inggris memblokade semua kapal VOC yang mendekati (negara) Belanda;
Ø 1783 VOC kehilangan semua kapal;
Ø 1799 VOC dinyatakan bangkrut.
Informasi lain yang terpampang di ruang ini adalah tentang wabah di Batavia dan masalah lingkungan di Batavia.
Pada tahun 1733, wabah penyakit malaria melanda Batavia. Setiap tahun, sejak tahun 1733, ada sekitar 2.000 penduduk Batavia yang meninggal karena terserang penyakit malaria. Pada tahun 1734 pemerintah kota Batavia mengadakan doa bersama untuk mengakhiri wabah penyakit. Namun upaya itu tidak banyak membawa hasil dan bahkan pada tahun 1735 Gubernur Jenderal Dirk van Cloon turut menjadi korban wabah penyakit ini.
Ketidaksehatan Batavia sebenarnya tidak tidak terjadi tanpa sebab. Ada beberapa penjelasan yang pernah diberikan untuk menjawab pertanyaan mengapa kota Batavia menjadi tidak sehat sejak tahun 1733.
1. Semakin banyak wilayah di utara kota Batavia yang dijadikan tambak ikan oleh para nelayan. Air yang tergenang dikatakan menjadi tempat ideal bagi berkembang-biaknya nyamuk malaria.
2. Perkembangan industri gula di Ommelanden yang tidak terkendali. Penggilingan gula memerlukan banyak bahan bakar kayu dalam proses memasak air gula untuk mengubahnya menjadi kristal. Keperluan kayu bakar dalam jumlah besar menyebabkan terjadinya penggulan hutan. Sebagai akibatnya debit air yang masuk ke kota Batavia di musim kemarau menjadi sangat berkuang. Kanal-kanal yang airnya sedikit dan tidak mengalir, menuut penjelasan ini, telah menjadi sarang ideal bagi nyamuk malaria.
3. Lemahnya kontrol pemerintah Batavia terhadap pembangunan berbagai bendungan selokan, dan saluran untuk kegiatan pertanian di Ommelanden. Akibatnya menyebabkan air sungan dan kanal yang mengalir masuk ke kota Batavia menjadi mengering. Air yang terjebaj di dalam sungai dan kanal selama musim panas mendatangkan bau yang tidak sedap dan menjadi sarang nyamuk malaria.
Ruang Orang Betawi - Orang Jakarta
Di ruang ini, koleksi-koleksi yang dipamerkan adalah: (1) sebuah meja bundar dengan beberapa kursi, penyekat, dan almari; (2) beberapa informasi yang berhubungan dengan orang Betawi dan penggusuran perkampungan kumuh yang ditempelkan di tembok dinding; dan (3) perhiasan pengantin Betawi, alat cetak kue satu.
Penyekat ukir-ukiran
(Foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Sekat ruangan di ruang ini berupa ukir-ukiran yang sangat indah. Sekat ruangan bergaya barok ini dulu dipakai sebagai penghias pada ruang sidang Dewan Hindia Belanda di Kastil Batavia. Sekat yang dibuat abad ke-18 ini pada bagian atas terdapat enam lambang kota yang membentuk VOC, sedangkan lambang yang berada di tengah merupakan lambang Kota Batavia. Bagian tengah sekat berhiaskan ukiran seorang satria yang memegang perisai dengan hiasan kepala Medusa (tokoh mitologi Yunani) yang buruk rupa.
Sementara tentang meja bundar, kursi, dan almari, kita tidak memperoleh informasi.
Tentang orang Betawi dan penggusuran perkampungan kumuh, kita memperoleh informasi demikian.
Menurut Yasmin Zaki Shahab, salah seorang antropolog dari Univesitas Indonesia, etnis Betawi diperkirakan baru ada sekitar tahun 1815-1893. Dugaan ini didasarkan atas studi sejarah demografi yang dilakukan oleh sejarawan Australia, Lance Castle.
Orang Betawi terbentuk dari pernikahan antar kelompok etnis yang sudah berada di Jakarta ketika masih menggunakan nama Batavia. Nama “Betawi” itu sendiri berasal dari “orang Batavia”. Di antara kelompok-kelompok etnis tadi, yaitu orang Ambon, Bali, Banda, Bugis, Buton, Flores, Jawa, Melayu, Sunda, dan Sumbawa. Selain itu, percampuran juga terjadi dengan para budak dan pekerja yang didatangkan Belanda dari luar Nusantara, seperti Coromandel, Marabal, dan pesisir Bengali dari India, Arakan (Burma), dan juga Filipina.
Menurut Shahab, masyarakat Betawi terbagi menjadi empat kelompok besar, yaitu:
1. Betawi Tengah, mendiami wilayah Jakarta Pusat (sekitar Gambir, Menteng, Senen, Kemayoran, Sawah Besar, dan Taman Sari);
2. Betawi Pinggir, mendiami wilayah (yang dulu merupakan) pinggiran kota, di sekitar Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pasar Minggu, Tebet, Pasar Rebo, Jatinegara, Pulo Gadung, Cakung, Kramat Jati, Matraman, Cempaka Putih, dan Grogol Petamburan.
3. Betawi Udik, yang mendiami wilayah sekitar batas administrasi Jakarta, yaitu Tangerang, Cengkareng, Kebon Jeruk, Ciledug, Ciputat, Kebayoran Lama, Cilandak, Sawangan, Cimanggis, Batu Ceper, Kramat Jati, Cakung, Pondok Gede, dan Bekasi. Orang Betawi Udik terbagi menjadi dua tipe yang dipengaruhi oleh kebudayaan Cina dan kebudayaan Sunda;
4. Betawi Pesisir, yang mendiami pinggiran pantai Jakarta, yaitu Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda, dan Kepulauan Seribu.
Sejak 1930-an pemerintah kota mengembangkan inisiatif Kampung Verbeteringen (Perbaikan Kampung) melalui pembangunan sistem sanitasi, pengelolaan sampah, dan sarana jalan mengatasi perkampungan kumuh yang menjadi bagian tak terpisah dari perkembangan Jakarta. Program ini terus digulirkan Gubernur Ali Sadikin sejak dekade 1960-an. Memasuki dekade 1970-an, populasi penduduk kota Jakarta meningkat di luar kendali dan kemunculan kantong-kantong pemukiman kumuh menjadi fenomena tak terhindarkan. Pemukiman-pemukiman baru di bantaran kali dan lingkungan tanah negara menyebabkan pemerintah terpaksa melakukan relokasi atau penggusuran. Hal ini menjadi bagian tak terpisah dari kisah kemajuan Jakarta sebagai sebuah kota.
Informasi lain yang kita peroleh adalah bahwa pada tahun 1733, Batavia pernah terkena wabah. Ribuan penduduk Batavia mengalami kematikan diakibatkan wabah. Bukan hanya rakyat jelata saja yang meninggal, tapi Gubernur Jenderal Drik van Cloon juga ikut meninggal.
Amanda Rachmadita dalam tulisannya yang berjudul “Gubernur Jenderal VOC Jadi Korban Wabah Penyakit” yang diunggah di https://historia.id/, wabah yang menyerang Batavia pada abad ke-18 tak hanya mengakibatkan kematian ribuan orang, tapi juga mengubah kota tersebut dari kota yang terkenal dengan nama Koningen van het Oosten (Ratu dari Timur), menjadi Graf de Hollanders (kuburan orang Belanda).
Gubernur Jenderal Drik van Cloon.
(Sumber foto: https://historia.id/)
Terjadinya wabah tadi, seperti dijelaskan di papan informasi yang ditempelkan di dinding tembok, disebabkan tiga hal.
1. Semakin banyaknya wilayah di sebelah utara kota Batavia yang dijadikan tambak ikan oleh nelayan, sehingga air yang menggenang menjadi tempat berkembang-biaknya nyamuk malaria.
2. Berkembangnya industri gula di Ommelanden yang tidak dapat dikendalikan. Penggilingan gula membutuhkan banyak kayu bakar, sehingga banyak hutan yang ditebangi sebagai bahan bakar. Akibatnya, air yang mengalir ke kota Batavia ketika musim kemarau menjadi sedikit. Parit-pait yang airnya sedikit dan tidak mengalir, menjadi tempat yang menyenangkan bagi nyamuk malaria.
3. Kurang kontrolnya pemerintah Batavia terhadap pelaksanaan pembuatan bangunan segala macam bendungan, selokan, dan irigasi untuk kegiatan pertanian di Ommelanden, sehingga menjadikan air sungan dan parit yang mengalir masuk kota Batavia menjadi kering. Air yang menggenang di sungai dan parit selama musin kemarau mengakibatkan bau yang tidak sedap dan menjadi sarang nyamuk malaria.
Ruang Gaya Indies
Kata “Indies” sering dipakai untuk menyebut karya seni atau arsitektur adaptif yang dihasilkan pada zaman Hindia Belanda (sejak 1799 sampai 1942). Yang unik dari gaya Indies yaitu perpaduan antara gaya lokal Nusantara yang dipengaruhi gaya Eropa. Terkadang dipengaruhi gaya Indies dari wilayah koloni Belanda lainnya. Salah satu peninggalan dari gaya seni ini yang masih dapat dilihat selain arsitektur adalah koleksi furnitur yang menjadi salah satu fokus pengoleksiam di Museum Sejaah Jakarta.
Salah satu bentuk awal mewakili perkembangan arsitektur modern di ruang publik yang mengadaptasi lingkungan tropis adalah gedung Nederlandsche-Indische Levensverzekering en Lijfrente (Nillmij). Gedung ini diancang dan dibangun pada 1909 dan kemudian disusul oleh pembangunan Kunstkring pada 1913. Keduanya adalah hasil karya P.A.J. Moojen yang dianggap sebagai pionir aliran rasionalis di Hindia saat itu. Kini, seperti Stasiun Jakarta Kota, sejumlah gedung masih bertahan sampai sekaang dan menjadi landmark penting kota Jakarta.
Di Jakarta, bangunan yang memakai gaya Indies, misalnya: Istana Negara Presiden, Istana Merdeka, Gedhung A.A. Maramis, Gedhung Kesenian Jakarta (GKJ), Kantor Pos Pasar Baru, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Wayang, dan Stasiun Jakarta Kota. Semua bangunan tersebut fotonya dipampang di tembok ruang ini dalam ukuran lebar.
Selain foto-foto, juga dipajang kursi ukiran-ukiran, almari-almari kecil, dan lukisan Van der Parra. Tidak ada keterangan tentang kursi ukir-ukiran dan almari-almari kecil.
Lalu siapa Van der Parra yang lukisannya dipajang di ruang ini? Nama lengkapnya Petrus Albertus van der Parra. Ia salah seorang gubenur jenderal di Batavia. Lukisan Van der Parra ini dibuat sekitar tahun 1761 hingga 1775 oleh seorang pelukis yang tidak dikenal namanya. Pada masa Peang Dunia II, lukisan ini disimpan di rumah Jan Frank, seorang konservator lukisan pemerintah dan sejak tahun 1950 menjadi koleksi Museum Batavia Lams, sekarang Museum Sejaah Jakarta. Van der Parra digambarkan dalam posisi berdiri gagah dengan memegang tongkat komando. Ia tampak mengenakan pakaian mewah yang mencerminkan kekuasaannya. Di belakangnya terdapat pemandangsn bangunan tepi laut, kemungkinan besar merupakan Kota Batavia. Van der Parra sendiri memimpin Batavia pada tahun 1761. Ia merupakan sosok yang sangat religius. Meskipun begitu, ia juga dikenal sebagai seorang yang menyukai kemewahan dan kekayaan. Lima orang anggota Dewan Hindia pernah menuliskan keluhan dalam dokumen rahasia akan nepotisme dan korupsi yang dilakukannya. Beragam fasilitas dan keuntungan diberikan kepada anggota keluarganya, sedangkan korupsi berkembang pesat pada masa kepemimpinannya. Van der Parra sendiri meninggal dunia pada 1773 di Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat).
Ruang Kampongs Ommelanden
Yang disebut dengan Ommelanden yaitu wilayah di luar tembok kota Batavia yang sekarang menjadi wilayah Jakarta yang lebih luas dari wilayah Kota Tua sekarang, sampai wilayah Detabek (Depok, Tangerang, Bekasi).
Orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut oleh VOC dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan etnis orang tersebut.
Sebagian besar di antara oang-orang yang datang pertama dan tinggal di Ommelanden yaitu para perjurit VOC, baik yang masih bekerja maupun yang sudah pensiun. Di antaranya kelompok pertama perjurit Indonesia yang menetap di Ommelanden yaitu para perjurit Ambon yang datang pada tahun 1656.
Datangnya perjurit Ambon yang disusul datangnya kelompok-kelompok etnis lainnya yang juga bekerja sebagai perjurit di Dinas Militer VOC. Etnis-etnis tersebut misalnya: Bugis, Makassar, Buton, Bali, dan Melayu. Kepada orang-orang tersebut VOC memberi tanah di Ommelanden yang lalu ditempati dan menjadi kampung-kampung.
Tidak salah jika Jakarta dikatakan merupakan suatu kampung besar, sebab Jakarta dulu berasal dari kumpulan kampung-kampung yang terbentuk sejak lama, baik berdasarkan kelompok etnis tertentu atau yang terbentuk dengan alami. Pembentukan kampung sebagai satuan komunitas dengan latar belakang etnik yang sama sering dianggap sebagai salah satu bentuk dari penerapan kebijakan segregasi oleh pemerintah kolonial. Penempatan kampung-kampung terpisah di daerah sekitar kota tidak hanya terdapat di Batavia, namun juga di kota-kota lain di pantai utara Jawa. Tidak ada suatu pola yang jelas dalam pengaturan penempatan kampung di daerah sekitar Batavia.
Penempatan kampung lebih ditentukan oleh ketersediaan lahan-lahan kosong milik VOC. Lahan-lahan yang disediakan untuk perkampungan pada umumnya terletak tidak jauh dari kota. Lahan-lahan tersebut terutama berada di sekitar enam benteng kecil (redoubt) yang mengitari sisi luar tembok kota dalam jarak satu hingga dua kilometer. Akan tetapi kesan segregasi itu sendiri tidak terlihat karena masing-masing kampung tidak membatasi interaksi dengan kampung lain dan banyak orang yang berpindah-pindah kampung hingga kini banyaknya nama kampung-kampung ini tidak merefleksikan populasi etnis di dalamnya.
Ommelanden dihuni oleh berbagai macam etnik, baik yang datang maupun didatangkan ke Batavia. Mereka kemudian membentuk kelompok-kelompok masyarakat dan menempati lahan-lahan yang kemudian bekembang menjadi perkampungan di Ommelanden. Berdasarkan catatan sejarah, jumlah penduduk Ommelanden dari berbagai kelompok masyarakat pada tahun 1669 sebagai berikut.
Ø Orang Eropa = 475
Ø Orang berdarah campuran = 507
Ø Orang Ambon = 719
Ø Orang Melayu = 2.222
Ø Orang Tionghoa (Cina) = 4.395
Ø Mardijker = 5.515
Ø Orang Makassar dan Bugis = 6.045
Ø Orang Bali dan Jawa = 15.649
Di samping menginformasikan tentang Ommelanden, ruang ini juga menginformasikan tentang kelompok masyarakart di Batavia.
J.P. Coen menemukan dan membangun Batavia sebagai pusat kantor dagang dan administrasi VOC, dan tidak pernah ditujukan sebagai tempat bermukim orang-orang Belanda. Tidak heran, tidak ada gelombang migrasi dari keluarga-keluarga Belanda ke Batavia dan hanya ada sedikit perempuan-perempuan Belanda di Batavia. Meski jumlah mereka kecil, namun warga Eropa merupakan kelompok sosial dominan di dalam kehidupan sosial kota Batavia.
Selain orang Eropa, Batavia terdiri atas berbagai kelompok masyarakat yang datang atau didatangkan dari tempat-tempat lain di luar Batavia. Percampuran antarmasyarakat turut membentuk kelompok masyarakat baru yang mewarnai kehidupan sosial di Batavia. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut menjadi bagian dari sejarah pembentukan identitas sosial sebuah kota, yang hingga kini masih dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kota Jakarta.
Di ruang ini dipajang juga meja bundar dengan empat kursi, tiga almari sedang, satu tempat penyimpanan (seperti peti), dan beberapa perlengkapan rumah tangga di Batavia yang ditempatkan secara khusus di dinding tembok seperti tampak pada foto berikut ini.
Ruang Lahirnya Sebuah Kota
Dari “Ruang Kampongs Ommelanden” saya lalu masuk ke “Ruang Lahirnya Suatu Kota”. Di ruang ini dipajang benda-benda kuno, seperti: lumpang, pekinangan, botol keramik, dan tempat tinta serta bel meja.
Dari kiri ke kanan: lumpang, pekinangan, botol keramik, dan tempat tinta dengan bel meja.
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Di ruang yang tanpa nama ini, isinya informasi tentang kota Jakarta masa kini.
Ruang Kalapa - Jakarta
Di ruang ini tidak ada pajangan benda peninggalan sejarah, kecuali informasi tentang kedatangan Portugis di Melaka.
Pada tanggal 11 September 1508, demikian keterangan tersebut menjelaskan, Raja Portugal Manuel, mengirim Lopez de Squieira dengan rombongan yang mendarat di Melaka. Awalnya, utusan tersebut disambut baik oleh Sultan Melaka. Namun orang Portugis itu, sebanyak 18 orang, akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Melaka. Rombongan Portugis akhirnya meninggalkan Melaka setelah permohonan untuk melepaskan tawanan ditolak pihak Melaka.
Pada tahun 1509 Portugis untuk pertama kalinya melancarkan serangan, namun tidak berhasil menghancurkan Melaka.
Pada 24 Juli 1511, Melaka jatuh ke tangan Portugis saat Sultan Mahmud Syah dan putranya, Sultan Ahmad, melarikan diri ke Johor. Sejak itu berakhirlah riwayat Kesultanan Melaka yang berdiri di Kota Melaka selama 111 tahun.
Ruang Sultan Agung
Dari lantai 2, saya turun ke lantai 1 lagi, bertemu "Ruang Sultan Agung". Di ruang ini ada koleksi lukisan besar dan lebar. Lukisan hasil karya S. Sudjojono ini mulai dibuat tahun 1973, selesai bulan April 1974.
Guide sedang menerangkan kepada siswa
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Lukisan terbagi menjadi tiga bagian. Di sebelah kiri berupa lukisan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram ketiga, dihadap oleh pembesar kerajaan dan sentana, membahas masalah keinginan merebut Batavia.
Lukisan yang berada di tengah menggambarkan prajurit Mataram berperang dengan serdadu VOC (Kompeni Belanda). Sementara lukisan sebelah kiri yaitu Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dan utusan Mataram (Kyai Rangga, Bupati Tegal), yang ditugasi mengamat-amati benteng-benteng Kompeni sebelum Mataram menyerang Batavia 1628.
Apabila melihat sejarah, Sultan Agung Hanyakrakusuma memang pernah menyerang Batavia sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629, namun penyerangan tersebut tidak pernah meraih kemenangan.
Ruang Terjadinya Batavia
Di ruang ini selain berisi infomasi tentang terjadinya wujud Batavia, juga ada sebagian peninggalan VOC, patung Raden Wijayakrama, dan meriam Cirebon.
Meriam Cirebon
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Meriam Cirebon dibuat dari perunggu, jenis logam yang paling baik untuk membuat meriam zaman dulu, Meriam yang panjangnya 234 cm., lebar 76 cm., dan tinggi 79 cm., termasuk jenis Coak.
Di sudut ruangan, ada patung Raden Wijayakrama. Lalu siapakah Raden Wijayakrama, sehingga patungnya dipajang di tempat tersebut?
Raden Wijayakrama adalah penguasa Jayakarta pada awal abad ke-17. Dia menjadi bawahan Kesultanan Banten. Nama aslinya Tubagus Sungerasa Jayawikarta.
Sebagai penguasa Sunda Kelapa atau Jayakarta, dia juga diberi gelar Pangeran Jayakarta, tepatnya Pangeran Jayakarta III, sebagai pengganti penguasa wilayah Sunda Kelapa atau Jayakarta mulai dari Pangeran Jayakarta I (Fatahillah) dan Pangeran Jayakarta II (Ratu Bagus Angke).
Bulan Desember 1618, Laksamana Thomas Dale (dari Inggris) mengusir Jan Pieterszoon Coen dari Pelabuhan Jayakarta. Coen lari ke Maluku, yang waktu itu menjadi pangkalan utama VOC.
Dale, dengan dibantu Raden Wijayakrama, mengepung benteng VOC pada Januari 1619. Prajurit VOC sebetulnya ing menyerah. Beruntung bala tentara Banten membantunya. Dale lari menuju kapal, sedangkan Wijayakrama lari ke bukit di sebelah selatan Jayakarta.
Selain benda-benda kuno tersebut, di ruang ini juga ada linimasa yang dimulai tahun 1512 dan diakhiri tahun 1527 seperti di bawah ini.
Tahun 1512 dan 1521 Sri Baduga dari Kerajan Sunda mengutus putra mahkota, Surawisesa, supaya ke Malaka (Penang, Malaysia sekarang) menemui Portugis. Intinya, Kerajan Sunda akan mengadakan perjanjian dagang lada dengan Portugis dan Kerajan Sunda memberi izin pada Portugis membangun benteng pertahanan di Kalapa.
Tanggal 21 Agustus 1522 Portugis dan Kerajaan Sunda menandatangani perjanjian yang dibuat rangkap dua, satu untuk Kerajaan Sunda, sedang yang satunya lagi untuk raja Portugis. Isi perjanjian tadi, Portugis diberi izin mendirikan kantor dagang berupa benteng di Sunda Kalapa.
Di tempat tersebut, Portugis lalu mendirikan padrao (dibaca: padrong) di tanah yang akan dibangun benteng di aliran Ciliwung (sekarang pojok Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I). Padrao dalam bahasa Portugis artinya batu peringatan. Padrao ini berbentuk persegi panjang, dengan panjang atau tinggi 150 cm. dan lebar 30 cm. Di padrao ini terdapat ukir-ukiran peta bulat disertai tulisan dan angka tahun. Di ujung ada salib dengan bentuk lembaran daun.
Tahun 1523 Portugis tidak dapat kembali ke Kalapa pada tahun berikutnya untuk membangun benteng karena sedang menyelesaikan pemasalahan di Goa (India) yang menjadi wilayah koloni.
Namun menurut https://www.museumnasional.or.id/1899/, perjanjian tadi tidak terlaksana karena pada 1527 Fatahillah berhasil mengalahakan Sunda Kalapa.
Padrao
(Sumber foto: https://www.museumnasional.or.id/1899/)
Ini sesuai dengan linimasa yang dipajang di ruanh tersebut yang mengonformasikan bahwa sekitar bulan Desember 1526 Fatahillah menyerang Sunda Kalapa dengan prajurit gabungan antara Demak dan Cirebon.
Awal tahun 1527 kapal Portugis mendekati pelabuhan Kalapa, tapi sebagaian prajuit lalu diusir dan dibunuh oleh prajurit Fatahillah sehingga kapal kembali ke Malaka.
Llinimasa
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Ruang Interaksi dengan Bangsa Eropa
Ruang ini beisi informasi terkait perjanjian antara Kerajaan Sunda dengan Portugis pada 1522.
Informasi tentang perjanjian antara Kerajaan Sunda dengan Portugis
(Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
….…….
Ruang Orientasi
Bila melihat yang dipamerkan di ruang ini, kemungkinan ruang ini sifatnya temporer seperti halnya “Temporary Room” di Museum Multatuli, Rangkasbitung. Mengapa saya menduga seperti itu, sebab yang dipamerkan hal-hal yang berkaitan dengan Melaka, seperti Pendirian Melaka, Kesultanan Melayu Melaka, Kekaisanan Melayu Melaka, Melaka Pusat Penyebaran Islam di Kawasan Melayu, Bangunan Balai Kota (Stadhuis), keris Semenanjung, dan lukisan kedatanga pedagang Arab di Tanah Melayu.
Pertama, Pendirian Melaka. Menurut informasi yang ada di ruang ini, Melaka didirikan oleh Parameswara, putra raja Palembang sekitar tahun 1400 (beberapa pendapat ahli menyatakan tahun 1262). Nama Melaka sendiri berasal dari sebatang pohon, yaitu pohon Melaka. Kisah nama Melaka berkaitan dengan anjing-anjing pemburu Parameswara yang ditendang oleh seekor kancil putih dan kemudian anjing-anjing tersebut tercebur ke dalam sungai. Takjub dengan peristiwa ini, Parameswara merasa kalau wilayah ini cocok untuk dibuat menjadi sebuah kerajaan. Nama “Melaka” sendiri dipilih karena baginda bersanda di batang pohon saat menyaksikan peristiwa tersebut.
Kedua, Kesultanan Melayu Melaka. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1400 dan berakhir pada tahun 1511, saat Portugis datang dan menjajah Melaka. Sepanjang periode, Kesultanan Melayu terdapat tujuh sultan yang memerintah Melaka, yaitu:
Ø 1400 - 1424 → Parameswara yang bergelar Iskandar Syah;
Ø 1424 - 1444 → Sultan Muhammad Syah yang bergelar Seri Maharaja;
Ø 1444 - 1446 → Seri Parameswara Dewa Syah;
Ø 1446 - 1456 Sultan Musaffar Syah;
Ø 1456 - 1477 Sultan Mansyur Syah;
Ø 1477 - 1488 Sultan Ala’uddin Riayat Syah; dan
Ø 1488 - 1511 Sultan Mahmud Syah.
Ketiga, Kekaisaran Kesultanan Melayu Melaka. Kebijaksanaan pemerintah dan pembesar, kemantapan sistem roda pemerintahan serta kedudukan geografi yang strategis merupakan faktor pendukung yang mendominasi politik di Selat Malaka. Kerajaan Melaka merupakan penguasa dan pelindung atas negeri-negeri Melayu di pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Lingga serta seluruh Semenanjung Tanah Melayu. Pelabuhan Melaka merupakan pelabuhan yang besar dan memiliki hubungan niaga dari belahan dunia timur dan barat dengan beragam barang yang diperdagangkan. Hal ini dibuktikan melalui catatan yang menyatakan terdapat 84 jenis bahasa yang digunakan di Pelabuhan Melaka. Di Melaka juga terdapat undang-undang yaitu Undang-Undang Melaka dan Undang-Undang Laut Melaka. Undang-undang ini menjanjikan ketentraman dan keselamatan bagi rakyat serta para pedagang untuk melaksanakan kegiatan harian dan perdagangan. Hubungan baik Melaka dan Tiongkok juga telah mewujudkan keamanan lalu lintas di wilayah ini dari ancaman musuh utamanya, yaitu Siam.
Keempat, Melaka: Pusat Penyebaran Islam di Kawasan Melayu. Kedatangan saudagar-saudagar dari Arab dan India (muslim) telah menyebabkan agama Islam berkembang di Melaka. Melaka menjadi pusat penyebaran agama Islam di kawasan Melayu. Kitab seperti Durr al-Manzum dan Umm al-Barahim merupakan beberapa kitab tasawuf yang diajarkan di Melaka.
Keenam, Bangunan Balai Kota (Stadhuis). Bangunan yang dimaksudkan untuk Balai Kota diatur oleh Pemerintah Belanda pada 1650, setelah mengambil alih Melaka dan Portugis pada 1641. Bangunan ini memiliki empat lantai mengikuti kontur Bukit Melaka (Bukit St. Paul) seluas 49.200 kaki persegi. Balai Kota menjadi pusat pemerintahan dan tempat tinggal Gubernur Belanda di Melaka dari abad ke-17 hingga tahun 1824. Semasa pemerintahan Inggris bangunan ini terus berfungsi sebagai pusat pemerintahan Inggris. Bangunan Balai Kota masih dijadikan sebagai pusat pemerintahan negara bagian Melaka hingga akhir tahun 1979. Warna awal yang digunakan untuk bangunan ini adalah putih. Pada sekitar tahun 1910, wananya diubah menjadi merah dan sampai kini dijuluki sebagai Bangunan Merah. Kini, bangunan Balai Kota diubah menjadu Museum Sejarah Melaka dan Museum Etnografi yang dikelola oleh “Perbadanan Muzium Melaka” (PERZIM).
Di belakang bangunan Museum Sejarah Jakarta terdapat penjara bawah tanah. Lokasinya masih bisa dilihat dari luar bangunan, karena berhadapan langsung dengan ruang terbuka, di belakang patung Hermes. Penjara ini sangat kecil dan gelap. Penjara untuk laki-laki dipisah dengan penjara untuk perempuan. Letaknya tidak terlalu berdekatan.
Di depan bangunan Museum Sejarah Jakarta, terdapat sebuah bangunan yang menyembul seperti kubah timah. Ternyata, bangunan ini dulu merupakan Sumber Air Kota Batavia. Sumber air ini menjadi instrumen penting bagi penyediaan air bersih saat kota ini mengalami problematika lingkungan dan air bersih. Namun kini bangunan tersebut sudah tidak memiliki fungsi sebagai sumber air, kecuali hanya sebagai penghias taman saja.
Dulu, bangunan ini sebagai penyedia air bersih (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)
Daftar Pustaka
1. Buku
El-Ibrahim dan Moh. Noor. 2009. Jelajah Kerajaan Nusantara I: Kerajaan Tertua di Nusantara. Semarang: PT Bengawan Ilmu.
Khalila Prajnaparamita dkk. 2023. “Wisata Kelam Di Museum Sejarah Jakarta”, artikel dalam Responsive: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Bidang Administrasi, Sosial, Humaniora, dan Kebijakan Publik, Volume 6, Nomor 4, Desember 2023
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Slamet Muljana. 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Jakarta: Yayasan Idayu.
Tim Penyusun. 2012. Petunjuk Museum Sejarah Jakarta. Jakarta: Museum Sejarah Jakarta.
2. Internet
https://asosiasimuseumindonesia.org/anggota/64-museum-sejarah-kota-jakarta-museum-fatahillah.html
https://historia.id/urban/articles/gubernur-jenderal-voc-jadi-korban-wabah-penyakit-P3oj7
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Fatahillah
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan_Buni
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Wayang
https://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Ciaruteun
https://www.museumnasional.or.id/1899/