Senin, 28 Oktober 2013

SAPIKUL SAGÈNDHONGAN



Jujur saya akui, saya tergolong salah satu orang yang awam terhadap masalah hukum. Jika pada kesempatan ini saya memberanikan diri berbicara masalah hukum, ini bukan disebabkan saya sudah merasa tahu terhadap hal tersebut, tapi semata-mata karena saya tertarik pada istilah sapikul sagèndhongan*), sebuah istilah yang erat kaitannya dengan masalah pembagian warisan dalam masyarakat Jawa.
Secara harafiah, kata sapikul sagèndhongan berarti satu pikul satu gendongan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa laki-laki mendapat bagian warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagèndhongan) dengan perempuan. Seperti halnya laki-laki yang memikul, ia membawa dua keranjang dalam pikulannya, yakni satu keranjang di depan dan satu keranjang lagi di belakang. Sementara perempuan hanya membawa satu keranjang yang ia letakkan di punggungnya, atau yang biasa disebut digendong.
Terkait dengan hukum pembagian warisan dalam masyarakat Jawa, seperti dikatakan Koentjaraningrat, para ahli etnografi sering melaporkan bahwa mereka menemui kesukaran dalam mendeskripsi adat pembagian warisan dalam masyarakat Jawa, walaupun para ahli hukum adat telah berhasil mencatat peraturan-peraturan normatif mengenai hukum adat waris Jawa dengan rapi. Norma pembagian harta warisan ini tergantung pada keadaan orang Jawa itu sendiri. Orang Jawa yang santri biasanya membagi warisan berdasarkan hukum Islam, sedangkan yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan, yaitu: berdasarkan asas sapikul sagèndhongan, atau asas bahwa semua anak mendapat warisan yang sama besarnya (Koentjaraningrat, 1994:161).
Berdasarkan keterangan di atas, kita tahu bahwa hukum pembagian warisan dalam masyarakat Jawa sedikitnya ada tiga asas, yakni hukum Islam, asas sapikul sagèndhongan, dan asas pembagian yang sama besarnya untuk semua anak.
Menurut hukum waris Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11, pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan sebanyak 2:1 (dua berbanding satu). Alasan mengapa Islam memberi bagian warisan kepada laki-laki sebanyak dua kali lipat dari perempuan, karena laki-laki harus membayar mahar waktu menikah dan memiliki kewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya, sedang perempuan tidak memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga (lihat Anwar Sitompul, 1984:39-41; Cholil Uman, 1994:99-101; Muhammad Rasyid Ridha, 2004:38-39; Zakir Abdul Karim Naik, 2004:78-82; Sri Suhandjati Sukri, 2005:40; Ust. Labib Mz., 2006: 156-157; Zaitunah Subhan, 2008:255-259; Musthafa As-Shiba’i, tth:41).
Bagi orang yang berpegang pada asas sapikul sagèndhongan dalam membagi harta warisan, adanya pembedaan proporsi jumlah harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, laki-laki dianggap memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan. Ketika hendak menikah, anak laki-laki harus mempersiapkan diri untuk melamar, memberikan mas kawin (asok tukon), dan selanjutnya bekerja untuk menghidupi keluarganya kelak. Sementara anak perempuan hanya menunggu dilamar, diberi mas kawin (asok tukon), dan mendapatkan nafkah lahiriah dari suaminya kelak. Bahkan tidak sekedar itu, laki-laki Jawa juga diharapkan dapat melaksanakan lima-A, yaitu angayani (memberi nafkah lahir dan batin), angomahi (membuatkan rumah sebagai tempat berteduh bagi anak istri), angayomi (menjadi pengayom dan pembimbing keluarga), angayêmi (menjaga kondisi keluarga agar aman, tenteram, dan bebas dari gangguan), dan yang terakhir adalah angatmajani (mampu menurunkan benih unggul) (lihat http://mazguzh.multiply.com/reviews/item/2 dan http://celotehmalik.blogspot.com/). Di pihak lain, bagi orang yang berpegang pada asas sama besar dalam membagi harta warisan, hal ini disebabkan karena mereka beranggapan bahwa semua anak adalah sama, sehingga mereka berhak mendapat warisan yang sama besarnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Jika kita melihat bahwa pembagian warisan menurut hukum Islam dan asas sapikul sagèndhongan pada dasarnya tidaklah ada bedanya, yakni sama-sama membagi warisan dua (sapikul) berbanding satu (sagèndhongan), maka kemungkinan besar hukum waris adat Jawa sapikul sagèndhongan ini mengadopsi dari hukum waris Islam (bandingkan http://www.geocities.com/triwidodowu/Bab4.rtf).
Terhadap hukum waris Islam maupun hukum waris adat Jawa sapikul sagèndhongan yang membagi warisan 2:1 (dua berbanding satu) bagi laki-laki dan perempuan, sebagian masyarakat Jawa ada yang menganggap hal ini tidak adil. Ketidakadilan ini, menurut mereka, disebabkan budaya Indonesia pada umumnya dan budaya Jawa pada khususnya, berbeda dengan budaya Arab tempat agama Islam dilahirkan. Menurut Mochammad Moealliem, budaya Arab hingga saat ini memang masih banyak yang mengikuti aturan 2:1 (dua berbanding satu). Namun demikian, perempuan di sana tidak disuruh bekerja, segala kebutuhannya ditanggung suami, termasuk kebutuhan anak-anaknya, bahkan mahar untuk perempuan yang akan dinikahi sangat mahal. Oleh sebab itu, wajar dan terhitung adil jika perempuan Arab mendapat porsi warisan satu berbanding dua dengan laki-laki, karena laki-laki Arab menanggung segala beban (http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosial-dalam.html). Sementara perempuan Indonesia, khususnya Jawa, tidak sedikit yang ikut membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan ada perempuan yang justru dialah yang mencari nafkah untuk suami dan anak-anaknya, sementara suaminya hanya mengurus rumah tangga. Itulah sebabnya mereka menganggap tidak adil jika pembagian warisan itu menggunakan asas sapikul sagèndhongan, dan memilih menggunakan sistem pembagian warisan yang sama besarnya, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi bagi orang yang mengikuti petunjuk agama Islam, mereka tidak mau memakai sistem pembagian warisan yang sama besarnya, karena hal ini dianggap menyalahi hukum agama.
Saya setuju bahwa hukum agama tidak boleh dilanggar. Namun jika kenyataan asas 2:1 (dua berbanding satu) atau asas sapikul sagèndhongan dalam pembagian warisan itu dianggap kurang adil oleh masyarakat, maka ada solusi yang ditawarkan oleh beberapa tokoh agama yang menurutnya tidak melanggar hukum agama, namun hasil pembagian warisan ini tidak menampakkan perbedaan yang cukup jauh antara yang diterima laki-laki dan perempuan. Lalu bagaimana solusinya?
Sebagaimana kita ketahui, hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan harta kekayaan dari seorang yang telah meninggal dunia (Ikin Sadikin, 1982:60). Namun demikian, tidak berarti membagi harta kepada ahli waris sebelum meninggal itu tidak diperbolehkan. Menurut Ust. Labib Mz., membagi harta kepada ahli waris sebelum meninggal itu dibenarkan dengan catatan harus bersikap adil dan bijaksana, tidak boleh pilih kasih satu dengan lainnya  (Ust. Labib Mz. 2006: 151). Akan tetapi, pembagian harta sebelum meninggal atau yang lebih popular disebut wasiat, tidak boleh melebihi 1/3 dari harta warisannya (Anwar Sitompul, 1984:61; Soedharyo Soimin, 2004:71-72). Jika hal tersebut masih dianggap kurang adil, sementara kita tidak mungkin mengubah ketentuan hukum, maka salah satu caranya adalah melalui hibah atau pemberian, sehingga jumlah yang diterima perempuan bisa sedikit seimbang dengan bagian laki-laki (lihat Sri Suhandjati Sukri, 2005:40). Selain hibah, menurut Zaitunah Subhan, bahkan sangat dimungkinkan memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan asalkan para ahli waris sepakat (Zaitunah Subhan, 2008:259). Artinya, dalam melakukan pembagian warisan ini boleh melakukan penyimpangan asal atas kesepakatan bersama (Cholil Uman, 1994:100).
Apa yang dipaparkan oleh Mochammad Moealliem dalam http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosial-dalam.html barangkali bisa memperjelas keterangan di atas. Menurut Mochammad Moealliem, pembagian harta secara hibah tidak ada aturan bahwa laki-laki harus menerima lebih banyak dari perempuan. Jadi, agar tidak terjadi kecemburuan sosial, setiap anak sebaiknya diberi bagian yang sama. Setelah harta itu dibagikan secara hibah, entah diserahkan langsung atau masih dalam catatan, tentunya mereka sudah tidak iri hati satu dengan yang lain, karena setelah orang tuanya meninggal, harta warisannya sudah tidak sebanyak dulu, sehingga ketika terjadi pembagian harta warisan 2:1 (dua berbanding satu) atau sapikul sagèndhongan, hasil pembagiannya tidak terlalu mencolok bedanya.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah ahli waris laki-laki bersedia menyumbangkan sebagian hasil pembagian harta warisannya kepada ahli waris perempuan, sehingga jumlah yang diterima masing-masing sama. Sebagai contoh, ada harta warisan sebanyak Rp 60.000.000, anak laki mendapat Rp 40.000.000, sedang anak perempuan mendapat Rp 20.000.000. Dalam kaitannya dengan yang dikatakan Zaitunah Subhan dan Cholil Uman di atas, asalkan ahli waris laki-laki ikhlas dan sepakat memberikan Rp 10.000.000 dari harta warisan yang diterimanya itu kepada ahli waris perempuan, maka yang demikian menurut Mochammad Moealliem tidaklah dilarang. Yang dilarang adalah mengubah ayat-ayat waris yang telah ditetapkan (http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosial-dalam.html). Dengan demikian, baik ahli waris laki-laki maupun perempuan sama-sama menerima bagian Rp 30.000.000.
Cara pembagian warisan seperti kedua contoh di atas memang tak semudah itu dalam pelaksanaannya, namun sedikitnya contoh-contoh di atas dapat memberikan gambaran bagaimana cara membagi harta warisan agar ahli waris laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sedikit seimbang atau bahkan mendapat bagian yang sama besarnya tanpa menyalahi hukum agama.


Catatan Kaki:
*) Kata sapikul sagèndhongan dalam bahasa lisan biasa diucapkan: sêpikul sêgèndhongan. Judul tulisan ini dan uraian yang terkait dengan hal tersebut, sengaja saya tulis sesuai dengan ejaan bahasa Jawa yang baik dan benar, yakni sapikul sagèndhongan, dan bukan ditulis sesuai dengan ucapan dalam bahasa lisan.



Daftar Acuan


1. Buku

Anwar Sitompul. 1984. Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam. Bandung: CV. Armico.

Cholil Uman. 1994. Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern. Surabaya: Menara Suci.

Ikin Sadikin. 1982. Tanya Jawab Hukum Keluarga dan Waris. Bandung: CV. Armico.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Pustaka.

Muhammad Rasyid Ridha. 2004. Perempuan sebagai Kekasih: Hakikat, Martabat, dan Partisipasinya di Ruang Publik. Jakarta: Hikmah.

Musthafa As-Shiba’i. Tth. Wanita dalam Pergumulan Syariat & Hukum Konvensional. Jakarta: Insan Cemerlang dan PT Intimedia Ciptanusantara.

Soedharyo Soimin. 2004. Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Sri Suhandjati Sukri, 2005. Perempuan Menggugat, Kasus dalam Al-Qur’an & Realitas Masa Kini. Semarang: Pustaka Adnan.

Ust. Labib Mz.  2006. Aneka Problema Wanita Moderen, Membahas Berbagai Problem Wanita dalam Bentuk Tanya Jawab. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

Zaitunah Subhan. 2008. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: El-Kahfi.

Zakir Abdul Karim Naik. 2004. Islam Menjawab Gugatan. Jakarta: Lintas Pustaka Publisher.


2. Internet




Jumat, 25 Oktober 2013

SUKSES TERKADANG BERMULA DARI MIMPI

     
     Saya mempunyai seorang kawan, umur 25 tahun dan masih gadis. Dia adalah teman seperjalanan saya di kereta api jurusan Rangkasbitung – Tanah Abang. Terkadang saya satu perjalanan dengan dia saat berangkat kerja, tapi terkadang hanya saat pulangnya saja. Dia adalah seorang pekerja di Pasar Tanah Abang, tepatnya di Blok A. Dulu ia bekerja sebagai penjaga toko mukena, tapi kini ia bekerja sebagai penjaga toko baju seragam kantor. Ia tergolong ramah dan periang, sehingga tidak mengherankan jika di kereta api ia banyak kawan. Dari pembicaraannya, saya tahu bahwa dia adalah seorang pemimpi.
Lalu apakah yang ia impikan? “Saya ingin punya suami yang mau mendukung hobi bisnis saya”, katanya pada suatu ketika. Pada kesempatan lain, sambil bercanda, ia berujar, “Saya ingin punya suami kaya, biar saya bisa mewujudkan cita-cita saya untuk memiliki usaha sendiri”. Pada saat yang berbeda ia pun pernah berkata, “Saya ingin punya toko”. Mungkin karena ia merasa sudah sangat akrab dengan saya, sehingga ia berani mengeluarkan kata-kata seperti itu lebih dari satu kali di depan saya.
Salahkah mimpi kawan saya itu? Saya kira tidak, sebab setiap orang punya hak untuk bermimpi. Hanya saja, menurut M. Hariwijaya dalam bukunya yang berjudul Proposal Bisnis, “mendambakan” dan “memimpikan” itu memiliki perbedaan. Mendambakan bersifat pasif dan menunggu, hanya selingan iseng tanpa otak, tanpa upaya untuk mewujudkannya; sedangkan memimpikan bersifat aktif dan berani mengambil inisiatif. Ia didukung oleh rencana dan tindakan untuk membuahkan hasil.
Jika kita boleh mengacu pada pendapat M. Hariwijaya di atas, maka apa yang diinginkan oleh kawan saya tadi, yakni ingin punya suami yang mau mendukung hobi bisnisnya maupun ingin punya suami yang kaya, hal ini termasuk mendambakan, bukan memimpikan, jika ia memang pasif dan hanya menunggu sampai ada laki-laki seperti itu yang mendekatinya. Akan tetapi jika ia aktif dan berani mengambil inisiatif untuk mendapatkan suami seperti yang disebutkan di atas, misalnya dengan cara banyak bergaul dengan kawan-kawan yang hidupnya sudah mapan tanpa melupakan dan meremehkan kawan-kawan yang hidupnya masih pas-pasan dengan tujuan siapa tahu salah satu di antara kawan-kawan yang hidupnya sudah mapan tadi ada yang tertarik dengan kecantikan atau kepribadiannya, maka hal ini bisa disebut memimpikan, bukan mendambakan. Demikian pula dengan keinginannya untuk memiliki toko. Keinginan tersebut bisa digolongkan mendambakan, jika ia pasif dan hanya menunggu ada keajaiban yang menyebabkan ia punya toko, tapi bisa digolongkan memimpikan, jika ia aktif dan berani mengambil inisiatif agar keinginan tersebut dapat terwujud. Tentu saja dengan cara-cara yang halal.
Pada kesempatan ini saya tidak ingin membicarakan mimpi kawan saya yang terkait dengan jodoh, tapi saya hanya ingin membicarakan mimpi kawan saya yang berhubungan dengan keinginannya untuk memiliki toko atau mempunyai usaha sendiri. Mengapa demikian, karena pada dasarnya mimpi memiliki toko atau usaha sendiri inilah yang sangat diidam-idamkan oleh kawan saya.
Banyak orang bilang bahwa sukses terkadang bermula dari mimpi. Bahkan ada yang yakin bahwa mimpi merupakan salah satu faktor pendorong suatu kesuksesan. Hal ini ada benarnya, asalkan ia tak pernah berhenti untuk mewujudkan mimpinya, tak pernah menyerah meski kegagalan menghadang di depannya. Mari kita lihat contoh bagaimana mimpi bisa menjadi salah satu faktor pendorong suatu kesuksesan.
Pada zaman sekarang, kiranya tidak ada orang yang tidak mengenal pesawat terbang, meskipun ada yang belum pernah menikmati perjalanan dengan menggunakan kendaraan yang satu ini. Pesawat terbang bisa kita lihat di bandara atau ketika ia melintas di udara, melalui tayangan televisi, maupun lewat gambar. Meskipun benda tersebut sudah sering kita lihat, tapi mungkin ada yang belum tahu bahwa terciptanya pesawat terbang bermula dari mimpi dua orang bersaudara.
Sejarah mencatat bahwa penemu pesawat terbang adalah dua orang kakak beradik, Wilbur Wright dan Orville Wright. Wilbur Wright lahir pada tanggal 16 April 1867, sedang adiknya, Orville Wright lahir pada tanggal 19 Agustus 1871. Oleh karena mereka bersaudara, kadang-kadang orang menyebut mereka dengan sebutan Wright bersaudara.
Ketika itu, Wright bersaudara mengamati bagaimana burung memainkan sayapnya untuk menjaga keseimbangan di udara. Merekapun kemudian bermimpi ingin bisa terbang seperti burung. Dengan tekad dan kemauan yang kuat, akhirnya mereka berusaha keras untuk bisa menciptakan sesuatu yang bisa terbang seperti burung.
Profesi Wright bersaudara sebenarnya adalah pengelola sebuah toko yang menjual peralatan motor dan juga melayani jasa perbaikan. Dari profesi itulah mereka memperoleh keahlian mekanik. Diawali dari mimpi ingin bisa terbang seperti burung, Wright bersaudara kemudian mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan penerbangan. Percobaan demi percobaanpun dilakukan. Mereka juga mulai membuat sejumlah mesin yang diharapkan bisa mewujudkan impiannya.
Setelah serangkaian percobaan yang cukup panjang itu dilakukan, akhirnya pada tahun 1903 Wright bersaudara berhasil menciptakan sebuah mesin yang dinamakan Wright Flyer. Mereka dapat membuktikan bahwa mimpi ingin bisa terbang seperti burung bukanlah omong kosong. Wright bersaudara waktu itu sukses menerbangkan sebuah pesawat kendali dengan jarak sepanjang 4 mil. Meskipun hanya bisa mengudara selama 12 detik dan mencapai ketinggian 37 meter, namun prestasi ini merupakan pionir atau cikal-bakal penemuan pesawat terbang yang bisa mengudara dengan efektif. Mimpi Wright bersaudara yang ingin terbang seperti burung akhirnya tercapai setelah ia berjuang sekuat tenaga untuk bisa mewujudkan impiannya itu.
Berbeda dengan mimpi Wright bersaudara yang ingin terbang seperti burung, Thomas Alva Edison memiliki mimpi ingin menerangi dunia di malam hari. Jadi, apabila saat ini rumah Anda terang-benderang di malam hari, itu adalah berkat mimpi Thomas Alva Edison yang berhasil diwujudkan.
 Untuk mewujudkan impiannya itu, Thomas Alva Edison melakukan lebih dari 9.000 percobaan sebelum akhirnya menemukan bola lampu pijar. Bahkan pada saat menemukan bola lampu pijar, dirinya telah mengalami kegagalan sebanyak 9.998 kali. Baru pada percobaannya yang ke-9.999 dia berhasil menciptakan bola lampu pijar yang benar-benar menyala terang. Tidak hanya itu, untuk melakukan percobaan tersebut, Thomas Alva Edison pun rela menghabiskan dana sebesar 40.000 dollar dalam kurun waktu 2 tahun. Inilah bentuk kesungguhan Thomas Alva Edison dalam mewujudkan mimpinya.
Sesungguhnya masih banyak contoh orang sukses yang berawal dari mimpi. Namun demikian, dua contoh di atas kiranya cukup untuk mewakili contoh-contoh yang lain.
Sekarang izinkan saya untuk sharing dengan kawanku yang sedang bermimpi.
Kawan, jika memang kau bermimpi ingin memiliki toko atau usaha sendiri, berjuanglah! Banyak jalan untuk menjadi wiraswastawan/wiraswastawati. Jika kau tidak punya modal, artinya tidak punya uang tunai di kantong, pakailah modal orang lain. Entah sadar atau tidak, kau sudah membuktikan bahwa bisnis bisa dilakukan walau tanpa modal. Masih ingat ketika bulan puasa kemarin kan? Kau ambil barang dagangan milik temanmu, kemudian kau jual, baru kau bayar ke temanmu itu setelah barang dagangan tersebut laku. Ini artinya, kau sudah melakukan bisnis dengan menggunakan modal orang lain. Sayangnya, hal itu hanya temporer. Cobalah jalin kerja sama dengan orang yang memiliki modal, lakukan seperti yang telah kau lakukan tadi. Jika sudah diberi kepercayaan oleh orang lain, jaga kepercayaan itu agar pemilik modal tidak kapok bekerja sama denganmu. Sekali kau ciderai kepercayaan itu, mungkin kau tidak akan dipercaya selamanya oleh orang tersebut.
Kawan, seperti pernah kau katakan kepadaku, di antara teman-temanmu, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa mimpimu terlalu tinggi, seolah kau tak pantas untuk meraihnya. Pesanku kawan, janganlah kau berkecil hati. Setiap impian punya tantangan dan rintangan yang berbeda. Jangan sakit hati dengan omongan temanmu tadi. Sebaliknya, jadikan omongan temanmu itu sebagai cambuk agar kau lebih bersemangat dalam meraih impian. Wright bersaudara saja tak gentar untuk mewujudkan impiannya meskipun waktu itu banyak orang yang bilang bahwa mereka sudah tidak waras. Penyebabnya adalah bahwa menciptakan sesuatu yang bisa terbang, apalagi benda itu berat, dianggap sangatlah tidak masuk akal, mengingat bumi memiliki gaya gravitasi yang bisa membuat semua benda jatuh ke tanah.
Bagaimana kawan, sanggupkah kau berjuang keras untuk meraih mimpimu? Sebaiknya kau buktikan kepada teman-temanmu bahwa mimpimu itu bukan sesuatu yang mustahil diraih oleh siapa saja asal ia memiliki kemauan keras untuk mewujudkan impiannya. Mudah-mudahan kau benar-benar bisa mewujudkan mimpimu untuk memiliki toko atau usaha sendiri, dan bukan hanya sekedar “mendambakan”.


Daftar Acuan


1. Buku

M. Hariwijaya. 2007. Proposal Bisnis. Cetakan ke-15. Bantul: Zenith Publisher.


2. Internet