Perbudakan telah ada jauh sebelum agama Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad turun ke bumi. Perbudakan telah menjadi suatu sistem yang diakui di seluruh dunia, bahkan merupakan bagian dari kegiatan ekonomi dan sosial. Sampai tahun 1800, perbudakan bahkan masih terjadi di Indonesia. Sebuah foto yang dipajang di Museum Sejarah Jakarta menunjukkan bahwa di Batavia pada tahun tersebut masih terdapat lelang budak.
Meskipun dia manusia, tapi budak tak ubahnya seperti barang dan hewan yang dapat diperjualbelikan. Ia juga boleh dicambuk, dipukul, atau disiksa dalam bentuk yang lain tanpa ada yang dapat menghentikan jika majikannya masih berkehendak menyiksanya. Budak tak memiliki hak sama sekali untuk mengajukan tuntutan atau pengaduan, sebab tak ada satu pun pihak yang mau mengakui hak mereka. Bahkan dalam undang-undang Romawi tempo dulu, budak tidak lebih tinggi nilainya dibandingkan binatang, karena apa yang dilakukan majikannya adalah benar belaka.
Ketika Islam datang, masalah perbudakan yang sedang berkembang dan diterima semua orang, sedikit demi sedikit dihapuskan. Sebagai misal, Islam menganggap budak sebagai wujud manusia yang memilik hak kehormatan dan kehidupan. Dalam hal ini, Islam menjelaskan bahwa sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.
Islam juga menyamakan antara budak dengan manusia lain menyangkut semua hak dan kewajiban, kecuali dalam beberapa hal seperti meringankan sanksi hukuman bagi seorang budak, yaitu menjadikannya separuh dari sanksi orang merdeka karena pertimbangan psikologis, sosial, dan kemanusiaan sebagaimana dikatakan oleh Abdullah Nashih ‘Ulwan dalam bukunya berjudul Jawaban Tuntas Masalah Perbudakan.
Islam memperlakukan budak dengan perlakuan manusiawi dan mulia. Islam telah membuat beberapa wasiat yang baik dan manhaj (sistem) ilmiah dalam memperlakukan budak secara baik sehingga dapat dijadikan kebanggaan oleh generasi Islam sepanjang sejarah dan masa. Dua contoh di antara beberapa wasiat yang berhubungan dengan budak adalah:
1. hendaknya majikan memberi makan kepada budak dari apa yang ia makan dan memberi pakaian kepadanya dari pakaian yang ia pakai. Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda, “Barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangan (kekuasaan)-nya maka hendaklah ia memberi makan kepadanya dari apa yang ia makan dan memberi pakaian kepadanya dari pakaian yang ia pakai.
2. majikan tidak boleh membebani pekerjaan yang tidak mereka sanggupi. Rasulullah bersabda, “Dan janganlah kalian membebani mereka dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak mereka sanggupi; jika kalian membebani tugas kepada mereka hendaklah kamu menolongnya”
Betapa Islam memperlakukan budak dengan perlakuan manusiawi dan mulia dapat kita lihat dari peristiwa yang dialami oleh budak milik Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Ubay bin Salul adalah gembong munafik Madinah. Meskipun ia menyatakan diri masuk Islam, tapi itu hanya pura-pura. Di dalam hatinya ada rasa dengki dan dendam kepada Rasulullah. Dia tidak rela pendukungnya berpaling kepada Rasulullah. Itulah sebabnya dia menjalankan rencana busuknya dengan cara halus dan konspiratif.
Dalam perang Uhud yang terjadi pada 3 Hijriah misalnya, Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan konspirasi dengan menyusun rencana busuk agar pasukan Rasulullah mengalami kekalahan. Diam-diam dia melakukan propaganda dan mengajak sekitar 300 pasukan muslim Madinah mengundurkan diri dari barisan Rasulullah. Ini dilakukan ketika pasukan muslim melakukan perjalanan menuju bukit Uhud. Sewaktu pasukan tersebut sampai di tempat bernama Syawath (versi lain: Asy Syauth), ia membelot bersama pengikutnya.
Abdullah bin Ubay bin Salul juga pernah menyebarkan berita bohong tentang Aisyah ke masyarakat Madinah, bahwa istri Rasulullah itu telah berbuat mesum dengan seorang sahabat bernama Shafwan. Aisyah yang memang tidak melakukan apa yang dituduhkan olehnya, dibersihkan nama baiknya oleh Allah melalui Surat An-Nūr ayat 11-20.
Ketika terjadi pertempuran antara pasukan Rasulullah dengan pasukan Yahudi Bani Nadhir, Abdullah bin Ubay bin Salul justru berkhianat. Ia bersama gerombolan munafik mendekati pimpinan Yahudi Bani Nadhir dan berjanji akan membantu mereka.
Sewaktu terjadi pertengkaran antara Jahjah ibn Mas’ud Al-Ghifariy dari kalangan Muhajirin dengan Sinan ibn Wabr Al-Juhaniy dai kalangan Anshar hingga situasi menjadi keruh, Abdullah bin Ubay bin Salul justru memanfaatkan kekeruhan suasana untuk memprovokasi. Dia mencoba membangkitkan sentimen kelompok di tengah-tengah para sahabat agar perpecahan makin meluas.
Lalu bagaimana perlakuan Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap budak perempuannya? Gembong munafik ini memiliki beberapa tempat prostitusi. Di tempat tersebut ia menampung beberapa perempuan cantik dan menggiurkan yang disediakan bagi laki-laki hidung belang. Sebagai orang yang tidak suka terhadap Rasulullah, ia berusaha menyesatkan pemuda Islam dari jalan Allah.
Di depan tempat prostitusi dipasang bendera merah agar mudah dikenal. Di antara para perempuan yang disediakan untuk laki-laki hidung belang, terdapat budak muslimah yang dipaksa menjual diri oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Bahkan budak perempuan tersebut telah dipaksa melacur sejak lama, sebelum umat Islam berhijrah ke Madinah. Jabir Asysyaal menyebut budak perempuan tersebut bernama Masīkah, sedangkan Misran dan Armansyah mengatakan bernama Musaikah. Bahkan Sri Suhandjati Sukri mengatakan ada dua orang budak perempuan yang dilacurkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, yaitu Masīkah dan Amimah.
Budak perempuan tersebut secara diam-diam memang telah masuk Islam, berkat sering berkumpul dan berdekatan dengan perempuan Anshor yang telah terbuka hatinya untuk memeluk agama Islam. Ia banyak mendengar ayat-ayat Al-Qur’an sehingga lama kelamaan hatinya condong pada Islam. Ia pun sering bertanya tentang ajaran Islam, termasuk pelajaran tentang dosa dan cara bertobat, sehingga menyadarkannya bahwa selama ini ia berada di jalan yang salah. Jalan yang penuh noda dan dosa. Ia ingin bertobat, tapi apalah daya karena ia seorang budak?
Pada suatu hari, Masīkah (Sri Suhandjati Sukri menyebut Masīkah dan Amimah) datang menghadap kepada Rasulullah. Ia mengadu bahwa dirinya disuruh majikannya, Abdullah bin Ubay bin Salul, untuk menjadi pelacur dan menyetorkan sebagian uang hasil pelacuran itu kepada tuannya. Mereka sebenarnya tidak mau melakukan hal itu, tapi dipaksa. Budak perempuan tersebut mengadukan permasalahannya kepada Rasulullah. Dikarenakan adanya pengaduan tersebut, maka Allah lalu menurunkan petunjuk yang berisi larangan menyuruh budak-budak perempuannya untuk menjadi pelacur.
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki, yang mengingin-kan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu) (Al-Qur’an Surat An-Nūr ayat 33).
Dengan turunnya ayat tersebut, menunjukkan bahwa Islam memperlakukan budak dengan perlakuan manusiawi dan mulia. Meskipun ia budak, tapi majikannya dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang seperti memaksa budaknya untuk menjadi pelacur, padahal pekerjaan tersebut sangat tidak disukai oleh budak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1, Buku
Abdullah Nashih ‘Ulwan. 1988. Jawaban Tuntas Masalah Perbudakan. Jakarta: Al Ishlahy Press.
Jabir Asysyaal. 1988. Al-Qur’an Bercerita Soal Wanita. Jakarta: Gema Insani Press.
Misran dan Armansyah. 2018. Para Penentang Muhammad SAW. Bandung: Safina.
Sri Suhandjati Sukri. 2005. Perempuan Menggugat, Kasus dalam Al-Qur’an & Realitas Masa Kini. Semarang: Pustaka Adnan.
2. Internet
https://mulyonoatmosiswartoputra.blogspot.com/2025/04/museum-sejarah-jakarta-beribu-cerita.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar