Senin, 29 Januari 2024

ISTRI DAN ANAK NABI YANG MEMILIH JALAN KESESATAN

 

 

Ada kisah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, di mana kisah tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah. Meskipun dia istri dan anak nabi yang selalu diajak untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, tapi hanya Allah-lah yang bisa memberi hidayah apakah orang tersebut akan menempuh jalan kesesatan atau menempuh jalan yang lurus. Orang yang dimaksud dalam kisah tersebut adalah istri dan anak Nabi Nuh. Al-Qur’an tidak menyebut nama keduanya, namun menurut para sejarawan, anak Nabi Nuh yang disebut dalam kisah tersebut bernama Kan’an.

Nabi Nuh adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk meluruskan akidah kaumnya. Kaum Nabi Nuh merupakan kaum yang pertama kali menyembah berhala. Berhala-berhala yang menjadi sembahan mereka adalah Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.  

Sesungguhnya Nabi Nuh tak mengenal lelah dalam mengajak kaumnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala dan hanya menyembah Allah. Namun mereka tak mau menerima ajakan beliau. Setiap diseru oleh Nabi Nuh, mereka menutup telinga dengan jarinya dan menutup muka dengan bajunya, meskipun risalah disampaikan dengan cara yang lembut, bijaksana, dan penuh kesabaran. Bahkan mereka semakin menjauh dari kebenaran dan sangat sombong.

 

Kaum Nuh telah mendustakan para rasul (Al-Qur’an Surat Asy-Syu’arā’ ayat 105).

 

Nuh berkata, “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam” (Al-Qur’an Surat Nūh ayat 5-9).

 

Selain menghadapi kaumnya yang tetap menolak seruannya, Nabi Nuh juga harus menghadapi istri dan anaknya, Kan’an. Seperti kaumnya, istri dan anak Nabi Nuh lebih senang memuja berhala daripada menyembah Allah. Mereka tak pernah mau menerima seruan Nabi Nuh, meskipun beliau adalah suami dan ayah bagi mereka. Istri dan anak Nabi Nuh lebih memilih jalan kesesatan.

Pada umumnya, mereka yang menolak ajakan Nabi Nuh adalah golongan orang yang berkedudukan tinggi dan orang kaya. Mereka menganggap bahwa Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti halnya orang-orang pada umumnya. Sementara orang-orang yang mau mengikuti seruan Nabi Nuh adalah golongan orang miskin dan berkedudukan sosial rendah. 

 

Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta” (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 27).

 

Pembangkangan terhadap seruan Nabi Nuh juga tampak dari perkataan mereka kepada sesama kaumnya yang mengingatkan agar jangan sekali-kali meninggalkan penyembahan terhadap “Tuhan-Tuhan” mereka, yakni Wadd, Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr.

 

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-Tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwā’, Yaghuts, Ya‘uq, dan Nasr” (Al-Qur’an Surat Nūh ayat 23).

 

Ratusan tahun Nabi Nuh berdakwah di tengah kaumnya. Walaupun beliau ingin mengimankan seluruh kaumnya, namun apa daya hanya sedikit yang mau mengikuti seruan beliau. Allah kemudian memberi tahu kepada Nabi Nuh bahwa tidak akan ada lagi orang yang akan beriman, kecuali mereka yang telah mengikuti ajakan beliau. Oleh karena itu, Nabi Nuh diminta untuk tidak bersedih oleh Allah.

 

Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 36).

 

Ketika persoalan yang dihadapi oleh Nabi Nuh sudah mencapai titik nadir, maka mengadulah beliau kepada Allah.

 

Maka dia mengadu kepada Tuhannya bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu tolonglah (aku) (Al-Qur’an Surat Al-Qamar ayat 10).

 

Rasul itu berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku” (Al-Qur’an Surat Al- Mukminūn ayat 39).

 

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku;  maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mukmin besertaku” (Al-Qur’an Surat Asy-Syu’arā’ ayat 117-118).

 

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir” (Al-Qur’an Surat Nūh ayat 26-27).

 

Allah mengabulkan doa Nabi Nuh. Orang-orang kafir itu akan diazab oleh Allah dengan cara ditenggelamkan ke dalam air bah, kecuali orang-orang beriman yang akan diselamatkan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh agar membuat bahtera yang terbuat dari papan dan paku.

 

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 38).

 

Nabi Nuh melaksanakan perintah Allah. Bersama para pengikutnya, Nabi Nuh mulai membuat kapal. Setiap pemimpin kaumnya itu lewat di hadapan Nabi Nuh yang sedang membuat perahu, mereka mengejek dan menertawakannya. Tak hanya mereka yang mengejek dan menertawakannya, tapi istri Nabi Nuh juga turut mengejek dan menertawakan apa yang dilakukan suaminya. Menurut anggapan mereka, Nabi Nuh sangatlah aneh. Bagaimana mungkin perahu bisa berjalan, sementara tempat tersebut merupakan padang pasir dan tidak ada sungai ataupun laut.

 

Dan mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewati Nuh, mereka mengejeknya.… (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 38).

 

Mendapat ejekan dari kaumnya, Nabi Nuh pun membalas ejekan mereka.  

 

Berkatalah Nuh, “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh azab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal” (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 38-39).

 

Setelah selesai membuat perahu, Nabi Nuh mengumpulkan hewan yang berpasang-pasangan dan kemudian menaikkan ke dalam bahtera. Istri Nabi Nuh heran melihat yang diperbuat suaminya. Bertanyalah ia kepada suaminya tentang maksud menaikkan banyak hewan ke dalam bahtera. Mendapat jawaban suaminya bahwa air bah akan datang dan menenggelamkan segala yang ada, maka rasa takut dan cemas menyelimuti dirinya. Didatangilah kaumnya dan diceritakan apa yang dikatakan Nabi Nuh.

Ketika tiba saatnya, Allah tunjukkan kekuasaan-Nya. Allah curahkan hujan yang sangat deras dari langit, dan Allah pancarkan mata air - mata air dari bumi, sehingga bertemunya air-air tersebut menimbulkan bah. Allah selamatkan Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman dari air bah yang menenggelamkan segala yang ada, karena telah berada di dalam bahtera yang mereka persiapkan sebelumnya. Sementara kaum Nabi Nuh yang ingkar kepada Allah dan utusan-Nya, Ia tenggelamkan dalam air bah.

 

Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air - mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku, yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh) (Al-Qur’an Surat Al-Qamar ayat 11-14)

 

Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal (Al-Qur’an Surat Asy-Syu’arā’ ayat 119-120).

 

Bagaimana kesudahan istri dan anak Nabi Nuh yang bernama Kan’an?

Sama seperti kaumnya yang ingkar, istri Nabi Nuh juga mati ditelan air bah karena ia tidak ikut naik ke dalam bahtera yang telah dibuat suaminya. Ia lebih memilih bergabung dengan kaumnya yang sesat daripada mengikuti ajakan suaminya untuk menyembah Allah. Kematian istri Nabi Nuh menjadi pelajaran bagi perempuan bahwa ketidakpatuhan terhadap suami yang mengajak ke jalan Allah, berakibat celaka dunia dan akhirat.

 

Allah membuat istri Nuh dan istri Lut perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya), “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)” (Al-Qur’an Surat At-Tahrīm ayat 10)

 

Sementara Kan’an, ketika air bah itu datang laksana gunung, ia dipangil oleh ayahnya untuk ikut naik ke dalam perahu yang dinaiki. Namun Kan’an masih menyombongkan diri bahwa ia akan mencari perlindungan ke atas gunung. Kan’an mengira bahwa air bah tidak akan menenggelamkan gunung. Itulah sebabnya ia memilih naik ke atas gunung daripada ikut naik perahu bersama ayahnya. Nabi Nuh masih mengingatkan anaknya, bahwa hari itu tidak ada yang dapat melindungi siapa pun selain Allah. Belum memperoleh jawaban dari Kan’an, tiba-tiba datang gelombong yang menghalangi pandangan ayah dan anak yang sedang berdialog. Kan’an termasuk kaum yang mati tenggelam karena kekafirannya.

 

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 42-43).

 

Setelah air bah itu surut, dan orang-orang kafir itu telah mati akibat tenggelam air bah, bahtera Nabi Nuh berlabuh di atas bukit Judi. Bersedih atas kematian anaknya, Nabi Nuh mengadu kepada Allah bahwa anaknya adalah keluarganya. Namun  Allah menjawab bahwa dia (Kan’an) bukanlah keluarganya, karena perbuatannya tidak baik. Oleh karena itu, Allah mengingatkan kepada Nabi Nuh agar jangan memohon sesuatu yang tidak diketahui.

 

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya”. Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan” (Al-Qur’an Surat Hūd ayat 45-46).

 

 

DAFTAR ACUAN 

 

 

Abdurrahman Navis. 2008. Bangsa-Bangsa yang Dibinasakan. Yagyakarta: Optimus.

 

Dewi Astuti dkk. Tanpa Angka Tahun. Si Penyebar Fitnah, 38 Pelajaran Hidup dari Orang-Orang Pilihan. Jakarta: Penerbit Kalil (Imprint PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Fatchur Rochman A.R. 1995. Kisah-Kisah Nyata dalam Al-Qur’an. Surabaya: Apollo.

 

Hamid bin Ahmad. 2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya: Amelia.

 

H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman. 2013. Para Pembangkang! Kisah-Kisah Kaum Terdahulu yang Dibinasakan Allah. Yogyakarta: Diva Press

 

Jabir Asysyaal. 1988. Al-Qur’an Bercerita Soal Wanita. Jakarta: Gema Insani Press.

 

Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia. 

 

Ust. Labib Mz. 2003. 10 Orang Divonis Masuk Neraka. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.

 

Yanuar Arifin. 2014. Mereka Memilih Jalan Kesesatan. Jogjakarta: Diva Press.

 

Yanuardi Syukur. 2014. Kisah Perjuangan Nabi-Nabi Ulul Azmi, Teladan Hidup Tabah dan Sabar. Jakarta: Al-Maghfiroh.

Jumat, 26 Januari 2024

KAUM YANG MENUKAR KENIKMATAN DENGAN KESENGSARAAN

 


Al-Qur’an menginformasikan kepada kita, ada suatu kaum yang diberi kenikmatan oleh Allah dengan hidup aman dan makmur. Sayangnya, kaum tersebut kufur kepada-Nya. Mereka tidak pandai bersyukur dan bahkan menyekutukan Allah. Akibatnya, Allah timpakan kepada mereka banjir besar, sehingga mereka yang awalnya hidup dengan penuh kenikmatan, berubah menjadi hidup sengsara. Mereka adalah kaum Saba’.


Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir” (Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 17).

Saba’ selain dipakai untuk menyebut nama suatu kaum, juga untuk menyebut nama suatu negeri. Menurut para ahli sejarah, Saba’ adalah kaum yang pertama memerintah Yaman. Nama asli Saba’ adalah Abdu Syam bin Yasyjud bin Ya’rub bin Qahthan. Dinamakan Saba’, karena ia adalah raja pertama dari Arab yang menawan musuh-musuhnya. Saba’ berarti menawan atau menangkap. Ada juga yang menyebutnya Ra’isy, sebab ia memberikan harta kepada orang lain karena kedermawanannya.

Saba’ memiliki sepuluh anak. Enam orang tinggal di Yaman, yakni Madzhaj, Kandah, Azd, Asy’ariyyun, Anmar, dan Humair; sedang yang empat orang lagi tinggal di Syam, yaitu Lakham, Jadzam, ‘Amilah, dan Ghassan.

Kaum Saba’ diperkirakan hidup sekitar 1000 – 750 SM. dan hancur sekitar 500 SM. setelah melalui penyerangan selama 2 abad, dari Persia dan Arab. Meskipun demikian, kaum Saba’ baru mulai mencatat kegiatan pemerintahannya sekitar 600 SM.

Negeri Saba’ beribukota di Ma’rib yang sangat dekat dengan Sungai Adhanah. Berkat letak geografisnya yang menguntungkan, menjadikan Saba’ sebagai negeri yang makmur. Ma’rib merupakan salah satu kota termodern saat itu. Pinly, seorang penulis Yunani yang telah mengunjungi daerah ini, memuji keadaan kawasan tersebut yang sangat hijau.

Saba’ memiliki sebuah bendungan ysng merupakan momentum terpenting kaum tersebut. Bendungan Ma’rib, demikian nama bendungan tersebut, dibangun dengan teknologi yang sangat maju saat itu, sehingga kaum Saba’ menjadi pemilik sistem pengairan yang luas dan maju. Betapa tidak, ketinggian Bendungan Ma’rib mencapai 16 meter, lebar 60 meter, dan panjang 620 meter. Adapun total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan tersebut sekitar 9.600 hektar.

Bendungan Ma’rib yang berada di antara dua gunung, airnya dipakai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kaum Saba’. Di antara dua gunung tersebut terdapat dua kebun. Mereka menanam pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan dalam jumlah banyak dan bagus. Apabila ada perempuan berjalan di bawah pohon tersebut dengan membawa semacam keranjang di atas kepalanya, maka ia tak perlu bersusah-payah memetiknya, karena buah-buahan yang ada di atas kepalanya jatuh dengan sendirinya ke dalam keranjang tersebut. Di negeri Saba’ juga tidak ada lalat, nyamuk, kutu, kalajengking, maupun ular. Kaum Saba’ benar-benar hidup dalam sebuah kondisi yang penuh kenikmatan dan kemakmuran. Allah tidak menuntut apa-apa dari mereka, kecuali agar mereka bersyukur kepada-Nya.  

 

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): 'Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun’ (Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 15).

Selain makmur, Saba’ juga termasuk negeri yang aman. Antara kampung yang satu dengan kampung yang lain saling berdekatan. Pohon-pohon yang tumbuh sangat rindang dan buahnya banyak. Orang-orang yang bepergian tak perlu membawa bekal makanan dan minuman, karena di manapun mereka singgah, mereka sangat mudah mendapatkan air bersih dan buah yang manis. Ketika harus bermalam di kampung lain pun, mereka bisa memperoleh apa yang mereka perlukan selama dalam perjalanan. Mereka tidak ada rasa takut mendapat kezaliman atau kelaparan dan kehausan.

 

Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman  (Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 18).

 

Meskipun kaum Saba’ telah diberi kenikmatan yang banyak, mereka bukannya beriman kepada Allah, melainkan justru berpaling dan tak mau bersyukur kepada-Nya. Kedustaan, kekufuran, dan keingkaran mereka kepada Allah itulah yang menyebabkan mereka diazab. Allah kirim tikus besar untuk melubangi bendungan Ma’rib dari bawah, sehingga bendungan tersebut bobol. Arus air yang sangat deras menyebabkan kebun-kebun yang mereka miliki tenggelam dilanda banjir besar. Begitu juga rumah-rumah mereka. Tak hanya itu. Setelah banjir itu surut, kebun-kebun mereka yang semula menghasilkan buah yang manis, kini justru yang tumbuh adalah pohon-pohon yang berbuah pahit, pohon Atsel, dan sedikit pohon Sider. Pohon Atsel adalah sejenis pohon cemara, sedang pohon Sider adalah sejenis pohon bidara.

 

Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsel dan sedikit dari pohon Sider (Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 16).

 

Meskipun kaum Saba’ telah dianugerahi nikmat oleh Allah dengan keadaan yang aman, dengan jarak yang dekat antara kampung yang satu dengan kampung yang lain, namun mereka justru meminta agar jarak perjalanan mereka diperjauh. Oleh karena itu, pasca banjir, keinginan mereka pun dikabulkan. Allah jauhkan jarak perjalanan yang mereka tempuh. Perjalanan yang semula terasa dekat, kini jadi terasa jauh. Mereka juga menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Itulah hukuman yang diterima oleh kaum Saba’ yang kufur terhadap nikmat yang Allah berikan dan tak mau beriman kepada-Nya.

 

Maka mereka berkata: 'Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami', dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur (Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 19).

 

 

Daftar Pustaka

 

 

Abdurrahman Navis. 2008. Bangsa-Bangsa yang Dibinasakan. Yagyakarta: Optimus.

 

Hamid bin Ahmad. 2010. Hukuman dan Azab bagi Mereka yang Zalim. Surabaya: Amelia.

 

H. Muhammad Yusuf bin Abdurrahman. 2013. Para Pembangkang! Kisah-Kisah Kaum Terdahulu yang Dibinasakan Allah. Yogyakarta: Diva Press

 

Said Yusuf Abu Azis. 2005. Azab Allah bagi Orang-orang Zalim. Bandung: Pustaka Setia. 

 

Shalah Al-Khalidy. 2000. Kisah-Kisah Al-Qur’an, Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu. Jilid 3. Jakarta: Grma Insani.