Kamis, 19 Agustus 2021

CARA MENULIS BIOGRAFI

 

 

 

Menulis biografi pada dasarnya sama dengan menceritakan kisah hidup orang lain, baik hanya menceritakan fakta-fakta kehidupan seseorang dan peran pentingnya, maupun menceritakan kehidupan seseorang yang ditulis secara rinci dengan gaya bercerita.

 Untuk dapat menulis biografi, kita harus memiliki data-data yang diperlukan. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar data yang dibutuhkan dapat kita peroleh.

Langkah pertama adalah menentukan siapa orang atau tokoh yang akan ditulis kisah hidupnya. Ini berbeda dengan menulis autobiografi yang tokohnya adalah diri sendiri. Menulis biografi, tokoh yang diceritakan adalah orang lain. Oleh karena itu, pastikan tokoh tersebut memiliki latar belakang yang menarik bila diceritakan. Jika tokoh yang akan diceritakan masih hidup, pilihlah orang sudah Anda kenal dengan harapan dapat memiliki banyak kisah yang dapat diceritakan kembali. Akan tetapi jika tokoh tersebut tidak dikenal, pilihlah tokoh termashur, agar Anda mudah mendapatkan informasi yang sudah dipublikasikan sebelumnya, baik melalui buku, koran, majalah, tabloid, maupun internet untuk membantu memperlancar penulisan biografi. Sebaliknya, jika tokoh tersebut sudah meninggal, seyogyanya juga dipilih tokoh yang kisahnya sudah banyak dipublikasikan sebelumnya agar kita tidak kehabisan bahan cerita.

Langkah kedua adalah mengumpulkan bahan-bahan. Kita tidak akan dapat menulis biogafi seseorang jika kita tidak memiliki bahan utama maupun bahan pendukung yang berhubungan dengan tokoh tersebut. Jika tokoh yang akan kita tulis kisahnya masih hidup, wawancarailah tokoh tadi. Buatlah janji kapan bisa mengadakan wawancara. Koreklah informasi seputar kehidupan tokoh tersebut, seperti: tempat dan tanggal lahir, orangtua, saudara kandung, kehidupan masa kecil, pendidikan, pekerjaan dan aktivitas, penghargaan, isteri dan anak-anak, hobi dan sebagainya. Lengkapi dengan bahan pendukung, barangkali tokoh tersebut pernah dipublikasikan baik di koran, majalah, tabloid, jurnal, atau vidio. Jika tokoh yang akan ditulis sudah meninggal, carilah bahan-bahan yang dapat dipercaya, baik dari buku, koran, majalah, tabloid, jurnal, atau vidio.

Langkah ketiga adalah menulis kisah tokoh tadi. Langkah ini dilakukan jika bahan dirasa sudah cukup memadai. Buatlah kerangka tulisan untuk memudahkan penulisan.  Jika sudah siap, tulislah kisahnya.   

Setelah selesai menulis, langkah berikutnya adalah membaca kembali tulisan tadi. Adakan perbaikan jika terdapat kesalahan ketik. Jika ada yang ingin diubah kata-katanya atau kalimatnya karena dianggap kurang tepat, maka ubahlah tulisan tersebut agar lebih bagus lagi bahasa maupun isinya. 

 

Daftar Acuan

 


 

https://www.akupaham.com/biografi/

 

https://penerbitdeepublish.com/cara-menulis-buku-biografi/

 

https://pelitaku.sabda.org/bagaimana_menulis_biografi

 

https://www.halamanmoeka.com/menulis-biografi

Minggu, 15 Agustus 2021

PERBEDAAN ANTARA PROFIL, MEMOAR, BIOGRAFI, DAN AUTOBIOGRAFI

 

 

Jika kita membaca koran, majalah, atau tabloid, terkadang kita menemukan rubrik yang berisi tentang kisah hidup seseorang. Rubrik ini, ada yang memberinya nama “Profil”, ada juga yang menamakan “Sosok”. Yang diceritakan biasanya kisah hidup orang-orang terkenal atau orang-orang yang memiliki prestasi, ketenaran, maupun keunikan.  

Meskipun sama-sama menceritakan tentang kisah hidup seseorang, namun tidak semua tulisan semacam itu bernama “Profil” atau “Sosok”. Ada tulisan atau buku yang berisi tentang kisah hidup seseorang, tapi tulisan tadi disebut dengan istilah memoar, biografi, atau autobiografi. Lalu apa perbedaan antara profil, memoar, biografi, dan autobiografi?


 

1.   Profil


Jika kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online, kata profil diartikan: (1) pandangan dari samping (tentang wajah orang); (2) lukisan (gambar) orang dari samping; sketsa biografis; (3) penampang (tanah, gunung, dan sebagainya); dan (4) grafik atau ikhtisar yang memberikan fakta tentang hal-hal khusus. Sementara kata sosok, dalam kamus tersebut dijadikan dua entri. Dalam entri pertama, kata sosok diartikan: lubang (pada jerat dan sebagainya); lubang kancing baju; kelim (pelipit) yang berlubang (untuk memasukkan tali, tongkat, dan sebagainya); sementara dalam entri kedua diartikan: (1) bentuk wujud atau rupa; rangka (perahu dan sebagainya); (2) bentuk (rupa) tubuh;  (3) bayangan badan; (4) bakal (ladang, negeri, dan sebagainya); permulaan; dan (5) tokoh; pribadi.

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Jurnalistik, Indiwan Seto Wahjuwibowo mengatakan bahwa profil atau sosok adalah uraian tentang tahap-tahap jalan hidup seseorang menuju puncak ketenaran dalam pengertian dikotomis: yang baik dan yang buruk. Misalnya, seseorang sukses sebagai pengusaha raksasa atau menjadi penjahat ulung atau perampok hebat.

 Setiawan G. Sasongko menyebut profil seseorang lebih merupakan biografi singkat, hanya ditulis yang penting-penting saja, tapi dalam bentuk artikel. Profil tidak seperti daftar riwayat hidup yang hanya ditulis poin per poin, tapi memperkenalkan secara singkat siapa orang tersebut.

Tulisan tentang profil atau sosok, sebagaimana dikatakan oleh St. S. Tartono, adalah tulisan yang bercerita tentang tahap-tahap hidup seseorang dalam meniti karir dan mencapai puncak ketenaran atau kesuksesannya. Di dalamnya dikisahkan pergulatan, perjuangan, jatuh bangun, suka duka si tokoh dalam usahanya mencapai posisi, kedudukan, keberhasilan usaha atau bisnis yang dicita-citakannya. Namun, kesuksesan juga bisa diartikan sebaliknya, yaitu bagaimana si tokoh jatuh terseret dan akhirnya terjerembab di lembah gelap yang membawanya ke kamar kosong di balik jeruji besi alias penjara.

Menulis profil atau sosok, menurut Pepih Nugraha, adalah menulis kehidupan seseorang atau menulis tentang perjalanan hidup seseorang. Menulis profil atau sosok merupakan upaya menganalisis dan menafsirkan sejumlah peristiwa dalam kehidupan seseorang serta peristiwa luar biasa yang menimpa seseorang.

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa profil adalah bentuk singkat dari biografi yang kisahnya hanya menyangkut sebagian kecil dari sisi kehidupan seseorang, terutama bagaimana orang tersebut meniti karir dan mencapai puncak kesuksesan atau ketenarannya. Kesuksesan atau ketenaran di sini bisa dalam pengertian yang baik dan yang buruk. Adapun tujuan penulisan profil adalah untuk menginformasikan kepada khalayak sisi istimewa atau sisi kelam orang tersebut.

Peni Susilowati yang profilnya pernah saya tulis dalam buku saya berjudul Perempuan pun Pandai Berbisnis misalnya, adalah contoh orang yang mencapai puncak kesuksesan dalam pengertian yang baik. Perempuan kelahiran Jakarta, 4 November 1965 itu sebetulnya lahir dalam keadaan normal. Sebelum mengalami kebutaan, ia merupakan perempuan yang aktif dan bekerja di bidang perbankan dan properti. Namun sejak 1992 Peni Susilowati mulai merasakan sakit pada kedua matanya yang mencapai puncaknya setelah melahirkan putri bungsunya, April 1998. Sejak saat itu ia benar-benar kehilangan penglihatannya. Awalnya ia shock berat. Meskipun demikian, ia berusaha untuk bangkit. Enam bulan setelah melahirkan, ia memilih untuk belajar membaca huruf Braille. Ketika merasa sudah mahir, Peni Susilowati mulai menerjunkan diri membantu sesama tunanetra, mengajari mereka membaca huruf Braille. Selain itu, ia juga pernah mencoba usaha katering makan siang di sebuah sekolah selama setahun, usaha pengiriman Tenaga Kerja Indonesia, membantu adik yang sering kelebihan order pembuatan kaos untuk promosi, sampai menerima jahitan dari produsen pakaian anak ternama. Begitu ibunya sakit pada 2005, ia berhenti bekerja total sampai ibunya meninggal setahun kemudian. Jika di kemudian hari ia memiliki usaha busana muslim, diakui usahanya itu berdiri secara tidak sengaja. Dari usaha yang awalnya sebatas menerima order dari adiknya, pada tahun 2007 akhirnya ia berkreasi dengan busana muslim. Ternyata busana muslim karyanya yang diberi merk Shabrina, terjual laris. Lama kelamaan usahanya meningkat hingga kapasitas produksinya mencapai 5.000 - 6.000 item dengan karyawan sebanyak 100 orang. Ia juga membuat busana muslim khusus anak-anak yang diberi merk Alisha. Meskipun matanya buta, tapi Peni Susilowati mampu menjadi “cambuk” bagi orang yang memiliki fisik normal untuk bisa bersemangat dalam menghadapi kehidupan.

 Untuk ketenaran dalam pengertian yang buruk, tulisan wartawan Kompas Pepih Nugraha yang berjudul “Djamhari Kena Vonis Dua Kali” yang dimuat dalam Kompas, 27 November 1995 kiranya dapat dipakai sebagai contoh. Tulisan Pepih Nugraha ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi dan membuat senang pembacanya, tapi sebagai cerita duka atau cerita kelam seorang Djamhari yang harus masuk penjara selama 10 bulan dan nasibnya ditelantarkan pihak Perumka (sekarang berganti nama menjadi PT KAI) akibat kecelakaan kereta api pada 19 Oktober 1987 yang terkenal dengan sebutan “Tragedi Bintaro”. Djamhari sebagai Kepala Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA), saat peristiwa itu terjadi, ia bertugas di Stasiun Sudimara. Banyak versi mengenai Djamhari, apakah ia benar-benar sosok yang perlu dipersalahkan atau orang lain yang salah. Delapan tahun sesudah tragedi Bintaro, Djamhari menolak bercerita kepada Pepih Nugraha mengenai tragedi itu, kecuali bercerita tentang nasibnya yang ditelantarkan oleh pihak Perumka karena hak-haknya tidak pernah diberikan secara jelas. Dipensiunkan tidak, dipecat juga tidak. Ia hanya mendapat “uang tunggu nasib” sebesar Rp 60.000,- per bulan, dan itupun berhenti menetes setelah tujuh tahun sejak tragedi Bintaro terjadi.

Siapa yang orang yang dapat dijadikan objek tulisan profil? Pada umumnya, orang yang dijadikan objek tulisan profil memang orang-orang terkenal seperti pengusaha, selebriti, politikus, olahragawan dan sebagainya. Namun demikian, orang tidak terkenal pun dapat dijadikan objek tulisan profil sepanjang orang tersebut memiliki prestasi, keunikan, atau ketenaran meskipun dalam pengertian yang buruk seperti kisah kelam Djamhari di atas.

Kompas sebagai surat kabar berskala nasional, seperti dikatakan Pepih Nugraha, memberikan syarat penulisan sosok atau profil haruslah orang yang masih hidup dengan pencapaian prestasi terakhirnya.

Tulisan tentang profil memang tak hanya berupa profil seseorang. Setidaknya ada tiga bentuk profil seperti disebutkan oleh Setiawan G. Sasongko, yakni profil seseorang, profil daerah, dan profil perusahaan. Namun selain yang disebutkan oleh Setiawan G. Sasongko, ternyata masih ada profil yang lain seperti Profil Perempuan Indonesia, sebuah profil yang mendasarkan pada jenis kelamin. Dalam hubungannya dengan tulisan ini, profil yang dimaksudkan adalah profil seseorang.


 

2. Memoar

 

Memoar sesungguhnya hampir sama dengan profil. Keduanya sama-sama menceritakan sebagian kecil kisah hidup seseorang. Yang membedakan profil dengan memoar adalah: tulisan dalam profil tidak sekedar menceritakan kisah hidup saja, tapi juga melihat sisi istimewa dari tokoh yang diceritakan; sedangkan tulisan dalam memoar menceritakan apa saja yang dialami oleh tokoh tersebut dalam kurun waktu tertentu yang dianggap layak diceritakan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan memoar dengan: (1) kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya; dan (2) catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup seseorang. Sementara dalam Kamus Istilah Sastra susunan Panuti Sudjiman disebutkan bahwa memoar atau memoir adalah: (1) cerita atau catatan peristiwa yang berhubungan dengan pokok atau masa tertentu seperti yang diketahui pengarang atau seperti yang dihimpunnya dari sumber-sumber tertentu; dan (2) catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup seseorang.

Setiawan G. Sasongko, orang yang sudah banyak menulis biografi, menyebut memoar dengan kisah seseorang yang berkaitan dengan kejadian tertentu dan pada waktu tertentu. Jadi, memoar merupakan sepenggal kisah seseorang yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang dianggapnya sangat penting. Di pihak lain, M. Zamakh Syarifani mengartikan memoar sebagai catatan fakta-fakta sederhana tentang masa lalu penulis. 

Apabila yang ditulis dalam memoar meliputi kurun waktu yang panjang, maka memoar dapat setebal satu buku. Sebagai contoh adalah memoar yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer. Memoar yang berjudul Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer itu tebalnya mencapai 504 halaman. Buku yang terdiri atas delapan bagian, tujuh di antaranya ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer, sedang yang satu bagian ditulis oleh Soesilo Toer. Tujuh bagian yang ditulis oleh Koesalah Soebagyo Toer adalah: Bagian Pertama: Blora, Bagian Kedua: Semarang. Bagian Ketiga: Jakarta, Bagian Keempat: Moskwa, Bagian Kelima: Tahun 1965, Bagian Keenam: Tahun-Tahun yang Panjang, dan Bagian Bagian Ketujuh: Tahun-Tahun yang Pasti Berlalu. Sementara bagian kedelapan merupakan catatan Soesilo Toer. Koesalah Soebagyo Toer yang lahir pada tanggal 27 Januari 1935 memulai kisahnya sejak ia masih berada di kota kelahirannya, Blora, dan mengakhiri ceritanya pada tahun kematian Pramoedya Ananta Toer, Juli 2006. Itu adalah contoh memoar yang meliputi kurun waktu yang panjang. Sebaliknya, jika yang ditulis merupakan cukilan pendek dari kisah hidup penulisnya, maka memoar bisa ditulis hanya beberapa halaman saja.

Tidak semua buku memoar menggunakan judul memoar. Kita ambil contoh memoar Mr. Susanto Tirtoprojo[1]). Judul yang dipakai oleh Mr. Susanto Tirtoprojo adalah Nayaka Lelana ‘Pejabat Negara Berkelana’. Meskipun tidak menggunakan judul memoar, tapi Nayaka Lelana adalah sebuah buku memoar. Buku ini digubah dalam bentuk tembang dengan menggunakan bahasa Jawa. Ada dua versi pencetakan buku ini, yang satu dicetak dengan menggunakan huruf Jawa, sedang yang lainnya dicetak dengan menggunakan huruf Latin. Saya kebetulan memiliki buku Nayaka Lelana yang ditulis dengan huruf Jawa, yang judul lengkapnya: Serat Waosan Nayaka Lelana ‘Buku Bacaan Pejabat Negara Berkelana’. Buku ini menceritakan tentang pengembaraan penulisnya, Mr. Susanto Tirtoprojo yang merupakan seorang menteri. Beliau berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Kisahnya dimulai ketika ibukota negara diserang oleh tentara Belanda pada hari Minggu, 19 Desember 1948. Awalnya tentara Belanda mengebom Lapangan Kapal Terbang Maguwa (sekarang: Bandara Adisucipto) yang dilanjutkan dengan menyerang kota Yogyakarta. Saat itu Yogyakarta merupakan ibukota negara Indonesia. Sewaktu pengeboman terjadi, Mr. Susanto Tirtoprojo sedang berada di Surakarta, dalam rangka menengok keluarga. Begitu mendengar berita tersebut, ia segera bermusyawarah dengan Kasimo yang juga sedang berada di Surakarta. Mereka sepakat bergegas kembali ke Yogyakarta, memenuhi kewajiban sebagai menteri, karena dengan adanya kejadian ini tentu akan ada rapat. Jam 8 pagi, dua orang menteri itu kembali ke Yogyakarta dengan mengendarai mobil. Akan tetapi ketika perjalanan baru sampai Desa Krapyak sebelah barat daya Kartasura, Belanda menyerangnya lewat udara. Tampak dua pesawat terbang menyerang dengan sengit. Mobil yang dinaiki oleh Mr. Susanto Tirtoprojo maupun Kasimo, hancur terkena peluru. Beruntung mereka masih mendapat perlindungan Tuhan. Mengingat serangan Belanda sangat berbahaya bagi keselamatannya, maka mereka mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan menuju Yogykarta. Mereka sepakat kembali ke Surakarta dengan naik kereta api. Di Kartasura, mereka bertemu dengan Dokter Sukiman (lengkapnya: Sukiman Wiryosanjoyo) yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Dokter Sukiman juga berniat ke Yogyakarta. Oleh karena kondisinya sangat genting, akhirnya tiga menteri tersebut sepakat pulang ke Surakarta. Keesokan harinya, Senin tanggal 20 Desember 1948, tiga menteri tersebut berkumpul di balaikota Surakarta, bermusyawarah bersama walikota, residen, Gatot Soebroto, Suharjo, Suroso, dengan Sumardi sebagai notulis. Hasil musyawarah memutuskan agar pemerintah pusat harus dilanjutkan. Dasar hukumnya adalah Keputusan Kabinet tanggal 16 Desember 1948 di mana keputusan itu dibuat disebabkan presiden akan pergi ke India, sedangkan wakil presiden sedang sakit. Yang diberi mandat sebagai pimpinan pemerintah pusat, yaitu Menteri Perhubungan, Menteri Dalam Negeri (Dokter Sukiman), dan Menteri Kehakiman (Mr. Susanto Tirtoprojo). Oleh karena dua dari tiga menteri tersebut berada di Surakarta, mereka berhak memerintah. Tiga menteri itu berbagi tugas. Malam hari, mereka berjanji akan rapat lagi. Akan tetapi saat jam menunjukkan pukul 5 pagi, datang berita bahwa musuh sudah mendekat, sekitar 9 kilometer lagi dari tempat tersebut. Seketika mereka meninggalkan tempat dan batal mengadakan rapat. Waktu itu Menteri Supena baru saja datang. Mereka kemudian pergi bersma-sama menuju Tawangmangu. Singkat cerita, Mr. Susanto Tirtoprojo terus berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ditangkap Belanda, sambil berjuang untuk negara. Ketika perjalanan sampai di Piyungan, ia dijemput oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada hari Rabu tanggal 13 Juli 1949 pukul 8 pagi. Tak lama kemudian sampailah ia di Yogyakarta. Itulah memoar Mr. Susanto Tirtoprojo ketika terjadi agresi Belanda kedua.

Intinya, memoar hanya menceritakan sebagian kisah hidup seseorang dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, tak mengherankan jika seseorang dapat menulis begitu banyak memoar tentang dirinya. Jusuf Kalla misalnya, jika mau, bisa saja membuat memoar saat menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan, memoar ketika menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, memoar sewaktu menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, memoar tatkala menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, memoar waktu menjadi Ketua Umum Partai Golongan Karya, memoar saat menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan memoar ketika menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Joko Widodo. Bagi orang biasa yang bukan pejabat, bisa saja menulis memoar lebih dari satu. Misalnya, memoar pernah terjun ke parit saat belajar naik sepeda dengan menggunakan sepeda unta, memoar saat operasi amandel ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan sebagainya.


 

3.  Biografi dan Autobiografi

 

Biografi dan autobiografi tidaklah ada bedanya dari segi muatan isi. Yang membedakan hanya siapa yang menulis. Jika biografi melibatkan orang lain untuk menulis, maka autobiografi tidak memerlukan bantuan orang lain untuk menceritakan kisah hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan arti biografi dan autobiografi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya, biografi diartikan dengan riwayat hidup (seseorang) yang ditulis oleh orang lain, sedang autobiografi diartikan dengan riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri. Kamus Istilah Sastra susunan Panuti Sudjiman mengartikan biografi dengan kisah tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain, sedang autobigrafi diartikan sebagai kisah tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang yang bersangkutan. Masih disebutkan dalam Kamus Istilah Sastra, biografi modern biasanya ditulis berdasarkan penelitian yang cermat, dan oleh karenanya cenderung objektif. Biografi gaya lama biasanya disusun untuk memberi teladan kepada pembaca.

Menurut Setiawan G. Sasongko, kata biografi berasal dari kata bio dan grafi. Bio bermakna hidup, sedang grafi ada kaitannya dengan cetak atau tulisan. Jadi, secara bebas kata biografi dapat diartikan tulisan tentang si hidup. Maksudnya, kisah perjalanan hidup seseorang. Pepih Nugraha yang menyebut kata biografi berasal dari bahasa Yunani bios ‘hidup’ dan graphien ‘tulis’, mengartikannya dengan tulisan tentang kehidupan seseorang. Sementara kata autobiografi oleh Jubilee Enterprise diartikan dengan kisah nyata tentang dirimu sendiri.

Berdasarkan buku-buku biografi yang pernah dibacanya, Ana Nadhya Abrar   secara tidak langsung menyimpulkan bahwa makna biografi paling tidak ada empat, meliputi: (1) kisah perjalanan hidup, (2) sejarah anak manusia, (3) dokumentasi gagasan dan kekayaan intelektual, dan (4) wahana melancong ke masa lalu. Akan tetapi Ana Nadhya Abrar kemudian mengatakan bahwa tidak ada keharusan sebuah biografi mengandung semua makna tersebut. Bisa saja sebuah biografi hanya tampil sebagai sejarah anak manusia, bisa juga sebagai wahana melancong ke masa lalu. Namun biografi yang mengandung semua makna tersebut akan sangat memuaskan khalayak.  

Mengingat biografi menceritakan tentang kisah perjalanan hidup seseorang, maka bahan yang digunakan untuk menulis harus berasal dari ucapan, pikiran, dan tindakan tokoh tersebut. Biografi, selain dipakai untuk menceritakan perjalanan hidup orang yang masih hidup, juga dapat dipakai untuk menceritakan perjalanan hidup orang yang sudah meninggal.

Dilihat dari klasifikasinya, ada dua jenis biografi, yakni biografi singkat dan biografi panjang.  Biografi singkat hanya menceritakan fakta-fakta kehidupan seseorang dan peran pentingnya; sedangkan biografi panjang berisi kumpulan informasi kehidupan seseorang yang ditulis secara rinci dengan gaya story telling atau bercerita.

JJika autobiografi adalah kisah perjalanan hidup seseorang yang ditulis sendiri oleh orang yang bersangkutan, lalu apa bedanya dengan memaor? Jawabnya: memoar hanya menceritakan sebagian kisah hidup seseorang dalam kurun waktu tertentu, sedangkan autobiografi menuliskan keseluruhan kisah hidup seseorang sejak dari lahir hingga tulisan itu dibuat. Seseorang dapat menulis banyak memoar tentang dirinya, tapi ia hanya dapat menulis satu autobiografi.

 

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 


Ana Nadya Abrar . 2010. Bagaimana Menulis Biografi: Perspektif Jurnalisme. Sleman – Yogyakarta: CV Emerson.

 

Indiwan Seto Wahjuwibowo. Tanpa Angka Tahun. Pengantar Jurnalistik. Tanpa Nama Tempat dan Penerbit. 

 

Jubilee Enterprise. 2011. Melejitkan Otak Melalui Gaya Menulis Bebas (Freewriting). Jakarta: PT Elex Media Komputindo. 

 

Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer. 2009. Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


Mulyono Atmosiswartoputra. 2021. Perempuan pun Pandai Berbisnis. Bogor: Guepedia.

 

M. Zamakh Syarifani. 2009. Menulis dan Menerbitkan Buku Fiksi dan Nonfiksi (Panduan Bagi Pemula). Yogyakarta: Milestone. 

  

Panuti Sudjiman. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

 

Pepih Nugraha. 2013. Menulis Sosok Secara Inspiratif, Menarik, Unik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 

 

Pepih Nugraha. 2013. Ranjau Biografi. Sleman – Yogyakarta: Bentang. 

 

Setiawan G. Sasongko. 2012. Menyelamatkan Sejarah Hidup: Panduan Menulis Biografi, Profil Perusahaan, dan Buku Pemikiran.  Klaten: Pustaka Wasilah. 

 

St. S. Tartono. 2005.  Menulis di Media Massa Gampang! Tips untuk Menulis di Media Massa Cetak. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 

 

Susanta Tirtapraja. 1955. Sêrat Waosan Nayaka Lêlana. Djakarta: Djawatan Pengadjaran, Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan.

 

 


2.  Internet

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Ignatius_Joseph_Kasimo_Hendrowahyono

 

https://id.wikipedia.org/wiki/Jusuf_Kalla

 

https://kbbi.web.id/autobiografi

 

https://kbbi.web.id/biografi

 

https://kbbi.web.id/memoar

https://kbbi.web.id/profil

https://kbbi.web.id/sosok

 

https://kbbi.web.id/sosok-2

https://penerbitdeepublish.com/teknik-menulis-penerbit-buku-a15/



[1])  Dalam buku Nayaka Lelana, nama-nama tokoh, termasuk nama penulisnya yang juga tokoh cerita, ditulis sesuai dengan kaidah penulisan bahasa Jawa dengan huruf Jawa maupun huruf Latin, yakni Susanta Tirtapraja, Kasima, Gathot Subrata dan sebagainya. Agar tidak membingungkan bagi orang yang tidak paham dengan kaidah penulisan bahasa Jawa dengan huruf Jawa maupun huruf Latin, maka untuk kepentingan tulisan ini, nama para tokoh dalam buku Nayaka Lelana disesuaikan dengan penulisan yang umum dalam buku-buku atau catatan-catatan sejarah seperti: Susanto Tirtoprojo, Kasimo (lengkapnya: Ignatius Yoseph Kasimo Hendrowahyono), Gatot Subroto dan sebagainya, dengan menggunakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempunakan.