Sabtu, 23 Maret 2024

JEJAK KERAJAAN MATARAM : SEJAK MERAMBAH HUTAN, MASA KEJAYAAN, HINGGA RUNTUHNYA (2)


2. BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM

 

Pada suatu hari, Sultan Adiwijaya di Pajang bersama para prajuritnya berangkat menuju Giri untuk meminta restu kepada Sunan Giri atas tindakan-tindakannya sebagai raja. Ki Ageng Pemanahan, yang telah berubah namanya menjadi Ki Ageng Mataram, ikut serta dalam rombongan tersebut. Ketika itu para bupati dari timur, seperti Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem, Tuban, dan Pati juga hadir. Ada yang menyebut para bupati yang hadir adalah Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madura, Sedayu, Lasem, dan Tuban. Mereka bermalam di tempat penginapan sementara. 

Tatkala Sunan Giri keluar pendapa, Sultan Adiwijaya, para adipati, dan pengikutnya duduk menurut tingkat kedudukan masing-masing dan memberikan hormat kepada Sunan Giri. Sultan Adiwijaya dipanggil oleh Sunan Giri agar duduk lebih dekat. Sunan Giri kemudian mengumumkan dan memberi restu kepada Sultan Adiwijaya. 

Tentang waktu kunjungan Sultan Pajang ke Giri tersebut, H.J. de Graaf (1987:64) mencatat ada dua waktu, yakni 1568 dan 1581. Yang pertama diperoleh dari Raffles, sedang yang kedua berasal dari Babad Sangkala, Babad Momana, dan Babad Tanah Jawi. Oleh karena Raffles tidak menyebutkan sumber yang dipergunakan, maka H.J. de Graaf lebih cenderung memilih angka tahun yang berasal dari tiga sumber Jawa tersebut.

Di Giri, Ki Ageng Mataram diramal oleh Sunan Giri bahwa keturunannya kelak akan memerintah seluruh rakyat Jawa, bahkan Giri juga akan patuh pada Mataram. Ki Ageng Mataram mengucapkan terima kasih kepada Sunan Giri.

Sekembalinya dari Giri, muncul reaksi atas ramalan tadi. Di Pajang, Pangeran Benawa, putra Sultan Adiwijaya ingin memadamkan bunga api (maksudnya Mataram) tersebut, sebelum menjadi api. Akan tetapi ayahnya tidak mau melanggar keputusan Tuhan, dan takut akan akibatnya. 

Sementara di Mataram, Ki Ageng Mataram segera mengabarkan berita gembira tadi kepada keluarga dan saudara-saudaranya. Ki Ageng Mataram berpesan, jika ramalan Sunan Giri tersebut terbukti di kemudian hari, maka harus diterima dengan tangan bersih, jangan besar kepala, apalagi merasa sebagai orang yang dikasihi Allah, sebab yang dikasihi Allah adalah mereka yang berbudi luhur.

Sesuai sumpah setianya kepada Sultan Adiwijaya, selama hidupnya Ki Ageng Mataram adalah petinggi bawahan Kerajaan Pajang1) yang taat dan setia kepada Sultan Pajang. Menurut H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:282), Djoko Soekiman (1992/1993:17); Purwadi dan Maharsi (2005:291), dan A. Daliman (2012:181), Ki Ageng Mataram meninggal pada 1583 atau 1584; sedangkan Soedjipto Abimanyu (2017:404) dan Peri Mardiyono (2020:40) menyebut meninggalnya Ki Ageng Mataram tahun 1584. Jenazahnya dimakamkan di Kotagede. 

Setelah Ki Ageng Mataram meninggal, Danang Sutawijaya diangkat oleh Sultan Adiwijaya sebagai petinggi di Mataram menggantikan kedudukan ayahnya, dengan gelar Senapati ing Ngalaga. 

Sebagaimana disebutkan oleh A. Daliman, Senapati ing Ngalaga (selanjutnya cukup disebut Senapati) yang masih muda, memiliki cita-cita luhur. Ia ingin mengangkat Mataram sebagai penguasa tertinggi di Jawa menggantikan Pajang. Untuk mewujudkan cita-citanya, Senapati mengambil dua langkah penting. Pertama, berusaha untuk memerdekakan diri dari Pajang; dan kedua, berusaha memperluas wilayah Mataram ke seluruh Jawa.

Babad Tanah Jawi menceritakan, sepeninggal Ki Ageng Mataram, Senapati yang ditunjuk sebagai pengganti ayahnya oleh Sultan Adiwijaya, diberi izin untuk tidak menghadap raja selama setahun. Kesempatan ini digunakan oleh Senapati untuk persiapan melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Senapati memerintahkan kepada rakyatnya agar membuat bata dengan tujuan untuk membentengi Mataram. Setelah bata tersedia, Senapati kemudian membuat tembok pertahanan bagi Mataram.

Bekas benteng Keraton (Istana) Mataram di Kotagede (Sumber gambar: https://eljohnnews.com/benteng-cepuri-reruntuhan-tersembunyi-penuh-cerita-sejarah/)


Setelah izin untuk tidak menghadap Sultan Pajang selama setahun telah lewat, tekad Panembahan Senapati untuk menjadi raja yang merdeka tidak tergoyahkan. Terbukti, sewaktu Sultan Adiwijaya mengutus Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil ke Mataram untuk menanyakan kepada Senapati mengapa tidak datang menghadap ke Pajang, mereka melihat sikap Panembahan Senapati yang saat itu sedang naik kuda di Lipura, kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Meskipun demikian, kedua utusan tersebut pandai menenangkan hati Sultan Adiwijaya dengan menyampaikan laporan yang dibuat secara halus.

Selain membuat benteng, Senapati juga menghimpun kekuatan. Sewaktu para petinggi dan mantri pamajegan dari Bagelen, Kedu, dan Majenang hendak ke Pajang untuk memberikan upeti, mereka diajak singgah ke Mataram, diperlakukan selayaknya tamu kehormatan. Mereka kemudian dibujuk untuk bersatu dengan Mataram dan membangkang terhadap Pajang. Mereka dijanjikan akan dinaikkan pangkatnya jika Mataram dapat lepas dari Pajang dan berdiri menjadi kerajaan. Upaya ini berhasil gemilang. Bahkan Ki Bocor yang berusaha membunuh Panembahan Senapati karena tidak suka kepadanya yang membujuk para petinggi dan mantri pamajegan untuk membangkang pada Pajang, akhirnya berpaling juga dari Pajang ke Mataram, setelah usaha pembunuhan tersebut gagal.

Berita bahwa Mataram telah membuat benteng, sudah sampai ke Pajang dan dilaporkan kepada Sultan Adiwijaya. Ada dugaan bahwa Mataram akan memberontak, tidak mau tunduk pada Pajang. Sultan Pajang lalu mengutus putranya, Pangeran Benawa, didampingi Adipati Tuban dan Path Mancanagara, untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Berangkatlah Pangeran Benawa, Adipati Tuban, Patih Mancanagara, dan prajuit Pajang menuju Mataram. Salah seorang mantri yang bernama Ki Pangalasan, karena cintanya kepada Panembahan Senapati, lalu utusan abdinya dengan naik kuda, untuk menyampaikan kabar bahwa Pajang telah memberangkatkan pasukannya menuju Mataram guna memastikan apakah kabar tentang Mataram akan memberontak itu benar atau tidak.

Ketika barisan Pajang telah sampai di Desa Randulawang, dari kejauhan tampak ada rombongan orang yang sepertinya akan menjemput. Setelah dekat, ternyata orang-orang tersebut adalah orang Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati.

Setelah saling tegur-sapa antara Pangeran Benawa dan Senapati, untuk menutupi niat yang sebenarnya, Senapati menyampaikan kabar yang baik-baik kepada Pangeran Benawa. Dikatakan oleh Senapati, bahwa semua miliknya adalah pemberian Sultan Pajang, sehingga ia tidak merasa memiliki Mataram. Senapati juga mengatakan bahwa rakyat Mataram akan menyambut gembira kedatangan Pangeran Benawa dan pengikutnya dengan jamuan makan dan minum. Setelah itu, mereka kemudian diajak singgah ke Mataram. 

Melihat kebaikan Senapati, Pangeran Benawa kemudian berpraduga bahwa kabar yang sampai ke Pajang tentang Mataram akan memberontak adalah tidak benar.

Sesampai di Mataram, malamnya Senapati mengadakan pertunjukan. Untuk menghormati kedatangan Pangeran Benawa, suguhan yang serba enak silih-berganti tanpa putus. Malam itu, atas usulan Adipati Tuban, diadakanlah Beksan Rangin, yakni tari perang-perangan. Prajurit Tuban tampil pada acara tersebut, mempertontonkan kepandaian dan keterampilan bermain senjata.

Raden Rangga, anak sulung Senapati, begitu melihat tingkah-polah prajurit Tuban, merasa dihina, seolah-olah hanya mereka yang pandai dan terampil, padahal ia juga tak kalah pandai dan terampil bermain Beksan Rangin. Oleh karena itu, ia meminta izin kepada ayahnya untuk diperbolehkan mengikuti Beksan Rangin. Awalnya Senapati melarang, tapi karena Adipati Tuban meminta kepadanya agar Raden Rangga diizinkan mengikuti Beksan Rangin, akhirnya Senapati mengizinkannya.  

Dalam acara tersebut, Raden Rangga berhadapan dengan salah satu prajurit Tuban yang memiliki kemampuan tinggi. Naas bagi prajurit Tuban. Dalam acara Beksan Rangin, ia tewas di tempat akibat ditempeleng oleh Raden Rangga. Gelanggang latihan pun geger seketika. Adipati Tuban lalu mengajak Pangeran Benawa dan Patih Mancanagara keluar dari tempat tersebut dan pulang ke Pajang malam itu juga.

Setelah sampai di Pajang, Pangeran Benawa melaporkan kepada ayahnya bahwa Senapati sangatlah hormat, tidak ada tanda-tanda akan memberontak. Sebaliknya, Adipati Tuban melaporkan bahwa Senapati memang benar telah membuat benteng, dan diperkirakan akan memberontak. Bahkan orang-orang Mataram sangat sombong, terbukti ada prajurit Tuban yang mati ditempeleng Raden Rangga.

Sultan Pajang membenarkan semua laporan, baik dari Pangeran Benawa maupun Adipati Tuban. Menurut anggapannya, tidaklah mungkin Senapati akan memberontak, sebab ia telah diakui sebagai anak oleh Sultan Adiwijaya. Namun laporan Adipati Tuban juga ada benarnya jika Senapati ingin menjadi raja, sebab kemungkinan dia sudah mendengar kabar terkait ramalan Sunan Giri, bahwa di Mataram kelak akan ada orang yang menjadi raja besar.

Ketika Patih Mancanagara mengusulkan kepada Sultan Adiwijaya agar menyerang Mataram, Sultan Pajang justru mencegahnya, karena jika Allah telah menakdirkan Mataram akan menjadi negara besar, siapa yang mampu menolak?

Upaya lain yang dilakukan oleh Senapati untuk memerdekakan diri dari Pajang adalah memberikan suaka kepada Tumenggung Mayang saat dijatuhi hukuman oleh Sultan Adiwijaya. Penyebab dijatuhkannya hukuman terhadap Tumenggung Mayang karena Raden Pabelan, anak Tumenggung Mayang, telah berani masuk ke keputren dan bercinta dengan Putri Sekar Kedaton, putri kesayanngan Sultan Adiwijaya. Meskipun Raden Pabelan telah dieksekusi mati, namun kemarahan Sultan Adiwijaya tak berhenti sampai di situ. Tumenggung Mayang yang dianggap tak dapat mendidik dan bahkan membantu perbuatan anaknya, dijatuhi hukuman buang ke Semarang, sedangkan istrinya tetap berada di Pajang. Begitu mendapatkan kabar bahwa Tumenggung Mayang, iparnya itu dibuang ke Semarang, Senapati segera mengirim pasukan untuk merebut Tumenggung Mayang dari tangan prajurit Pajang yang mengawalnya. Prajurit Pajang yang ketika menuju Semarang lewat Kedu, dapat disusul oleh pasukan Mataram di Desa Jatijajar. Terjadilah perkelahian antara prajurit Pajang dengan Mataram, hingga akhirnya Tumenggung Mayang dapat direbut dan dilarikan ke Mataram.

Tindakan Senapati menimbulkan kemarahan bagi Sultan Adiwijaya. Sultan Pajang lalu mempersiapkan prajuritnya untuk menggempur Mataram. Setelah siap, prajurit yang berjumlah ribuan itu berangkat menuju Mataram. Sebelum sampai Mataram, mereka beristirahat di Prambanan.

Senapati yang mendengar kabar bahwa pasukan Pajang akan menyerang Mataram, segera mengatur barisan untuk menghadang pasukan Pajang.

Sebelum pertempuran itu terjadi, tiba-tiba bencana alam melanda. Angin topan yang sangat kencang menumbangkan pepohonan, Gunung Merapi meletus, bebatuan longsor, bumi serasa diguncang, Sungai Opak banjir lahar, dan angkasa dipenuhi hujan abu. Akibatnya, prajurit Pajang yang sedang beristirahat itu merasa ketakutan.

Rencana penyerangan ke Mataram itu akhirnya diurungkan. Sultan Adiwijaya memerintahkan prajuritnya untuk kembali ke Pajang. Meskipun anak Sultan Adiwijaya, Pangeran Benawa, meminta izin kepada ayahnya untuk melakukan penyerangan terhadap Mataram, tapi ayahnya justru melarang. Sultan Adiwijaya bahkan menyuruh Pangeran Benawa agar dapat hidup rukun dengan saudara angkatnya itu.

Pagi harinya, perjalanan pulang ke Pajang sampai di Tembayat. Sultan Adiwijaya berniat sekalian berziarah ke makam Sunan Tembayat. Akan tetapi ketika hendak masuk, pintu gerbang makam tidak dapat didorong atau dibuka. Ketika hal itu ditanyakan kepada juru kunci, ia mengatakan bahwa menurut dugaannya, pintu gerbang tidak dapat didorong atau dibuka sebagai tanda bahwa Allah tidak memperkenankan lagi Sultan Adiwijaya menjadi raja. Mendengar penjelasan juru kunci, Sultan Adiwijaya terharu. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan pulang ke Pajang dengan mengendarai seekor gajah.

Di pihak lain, Senapati yang telah siap dengan prajuritnya, juga tidak melakukan penyerangan terhadap ayah angkatnya, kecuali hanya mengikuti dari belakang ketika Sultan Adiwijaya kembali ke Pajang.  

Keraton (Istana) Pajang memang sudah tak berbekas, tapi di sinilah dulu lokasinya, yang kemudian dibuat bangunan baru atas bantuan para pemerhati budaya (Sumber gambar: https://nusantarapedia.net/keraton-pajang-istana-joko-tingkir/)


Sebelum sampai di istana, Sultan Adiwijaya terjatuh dari atas gajah yang ditunggangi, hingga menyebabkan sakit. Dalam keadaan sakit, Sultan Adiwijaya tetap melanjutkan perjalanan pulang ke Pajang. Tak lama kemudian Sultan Adiwijaya meninggal dunia. Beberapa ahli sejarah seperti H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:272), Purwadi dan Maharsi (2005:270), A. Daliman (2012:174), dan Sabjan Badio (2012:23) menempatkan tahun kematian Sultan Adiwijaya2) pada 1587.

Senapati yang saat itu mengikuti dari belakang, begitu mendapat kabar bahwa Sultan Adiwijaya meninggal, ia langsung menuju istana Pajang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada raja yang mengangkat dirinya sebagai anak sewaktu kecil. Jenazah Sultan Pajang dimakamkan di Butuh. Tepatnya di Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.

Kompleks Makam Sultan Adiwijaya di Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. (Sumber gambar: https://jateng-news.id/berita/5-peninggalan-kerajaan-pajang-nomor-4-jarang-diketahui-orang/all)


Sepeninggal Sultan Adiwijaya, atas ide Sunan Kudus, yang menggantikan sebagai raja di Pajang adalah Arya Pangiri, menantu Sultan Adiwijaya yang menjadi adipati di Demak. Arya Pangiri adalah anak Sunan Prawata, raja Demak keempat yang tewas dibunuh oleh Rangkud, utusan Arya Penangsang. Sementara Pangeran Benawa yang merupakan anak Sultan Adiwijaya disingkirkan ke Jipang, sebagai adipati di sana. Tentu saja keputusan ini membuat sakit hati Pangeran Benawa.

Arya Pangiri sebagai raja Pajang yang baru, tindakan-tindakannya merugikan rakyat. Sebagai misal, sentana (sanak-saudara) dari Demak diajak ikut ke Pajang dan diberi kedudukan. Kemudian, penduduk Pajang sawahnya diambil sepertiga untuk diberikan kepada orang Demak yang ikut ke Pajang. Tak mengherankan jika kebijakan Arya Pangiri menimbulkan rasa tidak senang bagi rakyat Pajang. Mereka kemudian berani melanggar peraturan, sehingga negara menjadi tidak tenteram. 

Pangeran Benawa yang sakit hati, mempergunakan kesempatan tersebut untuk merebut kembali Pajang dari tangan Arya Pangiri. Pangeran Benawa meminta bantuan Senapati. Awalnya permintaan itu ditolak oleh Senapati dengan alasan tidak ingin ikut campur urusan keluarga yang menimbulkan pertengkaran. Akan tetapi ketika permintaan bantuan yang kedua kalinya disertai janji akan menyerahkan Pajang kepada Senapati daripada dikuasai oleh Arya Pangiri, barulah Senapati menyatakan kesediaannya.

Dua kekuatan yang bersatu padu itu, Mataram di bawah Senapati dan Jipang di bawah Pangeran Benawa, siap menggempur Pajang. Mendengar Pajang akan diserang, Arya Pangiri bersiap-siaga. Pajang betul-betul digempur oleh pasukan Mataram dan Jipang. Senapati menyerang dari arah barat, sedangkan Pangeran Benawa menyerang dari arah timur. Tak mampu menghadapi dua kekuatan, akhirnya Arya Pangiri bertekuk lutut kepada Senapati. Istri Arya Pangiri memohon kepada Senapati agar suaminya tidak dibunuh. Senapati mengabulkan permohonannya, sehingga Arya Pangiri hanya dikembalikan ke Demak. Keinginan Pengeran Benawa untuk mengusir Arya Pangiri dari Pajang betul-betul berhasil berkat bantuan Senapati. Hal ini, menurut H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:273), terjadi pada tahun 1588.

Sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, setelah Arya Pangiri dikalahkan, Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai raja di Pajang oleh Senapati. Seusai penobatan Pangeran Benawa sebagai raja, Senapati kemudian pulang dan bertindak sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati ing Ngalaga. Kejadian-kejadian tersebut, oleh H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:285), ditempatkan pada tahun 1588. Soedjipto Abimanyu (2017:404) juga menganggap tahun 1588 merupakan tahun Senapati menjadi raja Mataram. Sementara Purwadi dan Maharsi (2005:303) mengatakan bahwa Senapati dapat menganggap dirinya pengganti sah Sultan Pajang pada 1588 atau 1589.

Pangeran Benawa menjadi raja Pajang hanya selama satu tahun, lalu digantikan oleh Pangeran Gagakbaning, adik Panembahan Senapati ing Ngalaga, dan kedudukannya hanya sebagai adipati di Pajang.

Tentang Pangeran Benawa, Soedjipto Abimanyu (2017:351) menyebutkan bahwa naskah-naskah babad menceritakan versi yang berlainan berkaitan dengan akhir masa pemerintahannya. Ada yang menyebutkan Pangeran Benawa meninggal dunia tahun 15873); ada yang mengatakan turun tahta dan menjadi ulama di Gunung Kulakan bergelar Sunan Parakan; dan ada yang mengatakan pergi ke arah barat dan membangun sebuah pemerintahan yang sekarang bernama Pemalang dan meninggal di Desa Penggarit. 

Terlepas mana yang benar dari ketiga pendapat di atas, di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, memang ada desa yang bernama Penggarit, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Taman. Di desa tersebut ada sebuah makam yang diyakini masyarakat setempat sebagai makam Pangeran Benawa, putra Sultan Adiwijaya. Lokasinya kini dijadikan destinasi wisata rekreasi alam, religi, edukasi budaya, dan edukasi sejarah. Namanya Benowo Park.

Benowo Park
(Sumber gambar: Dokumentasi keluarga Mulyono Atmosiswartoputra)


Daftar Pustaka


1. Buku

A. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Djoko Soekiman. 1982/1993. Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

H.J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

Peri Mardiyono. 2020. Tuah Bumi Mataram, dari Panembahan Senapati hingga Amangkurat II. Bantul-Yogyakarta: Araska

Purwadi dan Maharsi. 2005. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.

R. Soekmono. 1987. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 3. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Kanisius.

Sabyan Badio. 2012. Menelusuri Kesultanan di Tanah Jawa. Sleman - Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Soedjipto Abimanyu. 2017. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana.

Sri Wintala Achmad. 2019. Hitam Putih Kekuasaan Raja-Raja Jawa: Intrik, Konspirasi Perebutan Harta, Tahta dan Wanita. Bantul-Yogyakarta: Araska.

Sugiarta Sriwibawa. 1976. Babad Tanah Jawa. Jilid I. Jakarta: Pustaka Jawa.

W.L. Olthof. 2019. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Runtuhnya Mataram. Yogyakarta: Narasi.


2. Internet

https://www.kompas.com/stori/read/2023/07/08/110000479/letak-kerajaan-pajang#google_vignette


-------------------------------

1) Letak Keraton atau Istana Pajang diperkirakan berada di daerah yang kini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta (atau yang dikenal sebagai Kota Solo), dan Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

2) Beberapa penulis ada yang tidak konsisten dalam menempatkan kronologi kejadian, sehingga tahun kematian Sultan Pajang ini menjadi rancu.

Pertama, Soedjipto Abimanyu. Dalam bukunya berjudul Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli, ia mengatakan bahwa kematian Sultan Adiwijaya terjadi pada 1582 (Soedjipto Abimanyu, 2017:348), tapi di halaman lain, ketika membicarakan peristiwa-peristiwa penting sejarah Mataram, ia mengatakan, "1587, Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat" (Soedjipto Abimanyu, 2017:404). Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal pada 1582 dapat melakukan penyerangan pada 1587?

Kedua, Peri Mardiyono. Dalam bukunya berjudul Tuah Bumi Mataram, dari Panembahan Senapati hingga Amangkurat II, ia mengatakan, "Karena sakitnya yang semakin parah, maka Sultan Hadiwijaya mangkat, sekitar tahun 1582" (Peri Mardiyono, 2020:87). Pada halaman lain ia mengatakan, "Namun sebelum menikmati atau menyaksikan Mataram sebagai sebuah kerajaan, pada tahun 1584, Ki Ageng Pemanahan sakit lalu meninggal dunia" (Peri Mardiyono, 2020:40). Padahal, Babad Tanah Jawi jelas-jelas menyebutkan bahwa Ki Ageng Pemanahan (yang kemudian disebut Ki Ageng Mataram) telah meninggal dunia sebelum Sultan Adiwijaya (Hadiwijaya) meninggal, bukan sebaliknya seperti disebutkan oleh Peri Mardiyono.

3) Berdasarkan uraian di atas, kita tahu bahwa kekalahan Arya Pangiri oleh Pangeran Benawa yang dibantu Senapati, terjadi pada tahun 1588. Pada tahun itu juga, Pangeran Benawa dikukuhkan sebagai raja di Pajang, sementara Senapati memproklamasikan diri sebagai raja Mataram. Dengan demikian, yang disebutkan oleh Soedjipto Abimanyu bahwa tahun 1587 sebagai tahun kematian Pangeran Benawa, kiranya terlalu dini. 

Jumat, 22 Maret 2024

JEJAK KERAJAAN MATARAM : SEJAK MERAMBAH HUTAN, MASA KEJAYAAN, HINGGA RUNTUHNYA (1)

 

1. HADIAH TANAH MATARAM

 

 

Di Pulau Jawa, ada dua kerajaan yang sama-sama bernama Mataram. Yang pertama adalah Kerajaan Mataram yang bercorak Hindu. Hal ini kita ketahui dari sebuah prasasti berangka tahun 732 Masehi yang ditemukan di Desa Canggal, sebelah barat daya Magelang. Prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sanskerta yang indah itu menerangkan didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya. Yang kedua adalah Kerajaan Mataram yang bercorak Islam. Ibukota kerajaan ini awalnya terletak di Kotagede, sekitar 6 kilometer di sebelah tenggara Kota Yogyakarta, namun kemudian pindah ke tempat lain.

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Kerajaan Mataram Islam, yang untuk selanjutnya cukup disebut Mataram, didirikan oleh Panembahan Senapati, namun yang mula-mula membuka lahan untuk pemukiman di Mataram adalah ayahnya, Ki Ageng Pemanahan.

Kisahnya kita mulai sejak kematian Sultan Trenggana, raja Demak ketiga. Sepeninggal Sultan Trenggana pada 1546, Demak mengalami kekacauan dan kemunduran akibat terjadinya perebutan kekuasaan antarkeluarga.

Sultan Trenggana mula-mula digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Prawata. Namun Sunan Prawata tidak lama memegang tampuk kekuasaan, karena mati dibunuh oleh utusan Arya Penangsang, adipati Jipang, pada 1549. Pembunuhan terhadap Sunan Prawata disebabkan Arya Penangsang balas dendam atas kematian ayahnya, Pangeran Sekar Seda ing Lepen, yang dibunuh oleh utusan Sunan Prawata. 

Sesungguhnya Pangeran Sekar Seda ing Lepen (ayah Arya Penangsang) dan Sultan Trenggana (ayah Sunan Prawata) masih bersaudara, sama-sama putra Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak. Sepeninggal Raden Patah, yang menjadi raja di Demak adalah Pati Unus. Babad Tanah Jawi versi Ng. Kertapradja (1925:31) menyebutkan:

Ing taun 1521 Pati Unus seda isih enem lan ora tinggal putra. Kang gumanti rayi let siji yaiku Raden Trenggana, jalaran rayine tumuli: Pangeran Sekar Seda Lepen, wis disedani putrane Raden Trenggana, kang aran Pangeran Mukmin.

(Pada tahun 1521 Pati Unus meninggal dunia dalam usia muda dan tidak memiliki anak. Yang menggantikan (kedudukannya sebagai raja adalah) adik selang satu, yaitu Raden Trenggana, sebab adik di bawahnya pas (tanpa selang), (yaitu) Pangeran Sekar Seda Lepen, sudah dibunuh oleh anak Raden Trenggana yang bernama Pangeran Mukmin [Sunan Prawata]).

Arya Penangsang yang merasa memiliki hak mewarisi tahta Demak, ingin menghabisi siapa saja yang dianggap menjadi penghalang bagi dirinya untuk menjadi raja. Selain membunuh Sunan Prawata, Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadirin, adipati Jepara. Pangeran Hadirin adalah suami Ratu Kalinyamat, adik Sunan Prawata. 

Masih ada satu orang lagi yang dianggap sebagai penghalang menuju tahta raja, yakni Adiwijaya di Pajang yang merupakan menantu Sultan Trenggana. Arya Penangsang telah berusaha melakukan pembunuhan terhadap Adiwijaya melalui utusannya, tapi tidak berhasil.

Sepeninggal Sultan Trenggana, seperti diberitakan Babad Tanah Jawi, Pajang kian terkenal. Wibawa Demak kalah dengan kewibawaan Pajang. Adiwijaya yang menjadi adipati di Pajang segera mengambil alih kekuasaan sepeninggal mertuanya dan terjadinya kekacauan di Demak. Ia memproklamasikan diri sebagai raja Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya. Kedudukannya sebagai sultan direstui oleh Sunan Giri, salah satu wali sanga, dan mendapatkan pengakuan dari adipati-adipati di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Gambaran pengambilalihan kekuasaan seperti di atas, menurut H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud (1986:93), terlalu sederhana. Para penulis babad di Jawa Tengah pada abad ke-17 dan ke-18 cenderung membesar-besarkan kekuasaan raja-raja di Pajang dan Mataram. Penulis babad mengorbankan kedudukan daerah-daerah para raja yang mendahului mereka, yaitu kerajaan-kerajaan pesisir, seperti Jepara di bawah Ratu Kalinyamat yang kekuasaannya sangat besar di daerah sepanjang pantai utara sebelah barat sampai Banten.

Selain memiliki kekuasaan yang besar seperti dikatakan oleh H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud, Ratu Kalinyamat juga merupakan salah satu raja perempuan yang ditakuti bangsa Portugis. Keperkasaan Ratu Kalinyamat dapat dilihat dari armada perangnya yang diperbantukan kepada Raja Johor dan Aceh. 

Pada tahun 1550, berarti satu tahun setelah kematian Sunan Prawata, Raja Johor mengirimkan surat kepada Ratu Kalinyamat yang isinya mengajak kepada sang ratu untuk melakukan jihad terhadap orang-orang Portugis. Ratu Kalinyamat menjawab ajakan tersebut dengan mengirimkan 40 buah kapal yang berisi 4.000-5.000 orang prajurit untuk memenuhi permintaan Raja Johor guna membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa.

Meskipun mengalami kekalahan melawan Portugis, tapi semangat patriotisme Ratu Kalinyamat tak pernah pudar. Ketika Sultan Aceh mengajak untuk melakukan ekspedisi dan menyerang kembali bangsa Portugis  pada 1573, semangat Ratu Kalinyamat tetap menyala di dada. Sayangnya, armada yang dikirim terlambat datang, karena baru sampai Malaka pada Oktober 1574. Keterlambatan tersebut menguntungkan Portugis, sebab sebelum prajurit Jepara itu datang, Portugis telah berhasil memukul mundur pasukan Aceh. Saat itu Ratu Kalinyamat mengirim 300 buah kapal, 80 di antaranya merupakan kapal berukuran besar yang masing-masing berbobot 400 ton dengan awak kapal sebanyak 15.000 prajurit pilihan.

Walau terlambat datang, pasukan Jepara tetap melakukan perlawanan terhadap Portugis. Dalam pertempuran tersebut, 6 kapal Jepara yang berisi perbekalan berhasil direbut oleh pasukan Portugis sehingga prajurit Jepara semakin lemah dan memutuskan untuk pulang.

Sampai sekarang, di Malaka masih terdapat kompleks kuburan yang disebut sebagai Makam Tentara Jawa yang meninggal saat melawan Portugis.

Selain mengadakan ekspedisi ke Malaka, Ratu Kalinyamat juga pernah mengirim pasukan ke Ambon pada 1565.

Pengiriman prajurit ke Malaka dalam jumlah banyak menunjukkan bahwa Ratu Kalinyamat memiliki kekuasaan yang besar, walaupun prajuritnya mengalami kekalahan melawan Portugis. Tak mengherankan jika Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2023 menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2023 tanggal 6 November 2023, karena kegigihannya melawan penjajah.

Anehnya, Babad Tanah Jawi justru menggambarkan ketidakberdayaan Ratu Kalinyamat ketika suami dan kakaknya dihabisi nyawanya oleh Arya Penangsang. Hal ini tampak dari tindakannya yang meminta bantuan kepada Adiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang, bukan melawan sendiri dengan pasukannya yang tidak sedikit. Tidak mengherankan jika H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud menganggap penulis babad di Jawa Tengah pada abad ke-17 dan ke-18 cenderung membesar-besarkan kekuasaan raja-raja di Pajang dan Mataram, meskipun Jepara juga memiliki kekuasaan yang besar.

Masih menurut Babad Tanah Jawi, sewaktu dimintai bantuan oleh Ratu Kalinyamat untuk membunuh Arya Penangsang, Sultan Pajang tidak mau berhadapan langsung dengan lawannya. Alasannya, selain karena masih kerabat, juga sama-sama saudara seperguruan, yakni sama-sama murid Sunan Kudus. Oleh karena itu, Sultan Adiwijaya lalu membuat sayembara, barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang, maka akan diberi hadiah tanah Pati dan Mataram. 

Ki Ageng Pemanahan1) dan Ki Penjawi menyanggupi sayembara yang diumumkan oleh Sultan Pajang. Dengan membawa 200 orang kerabatnya, mereka berangkat menuju ke Jipang2), tempat Arya Penangsang sebagai adipati di sana. Babad Tanah Jawi versi W.L. Olthof (2017:70-73) menggambarkan jalannya peperangan antara Pajang dan Jipang seperti di bawah ini.

Setelah pasukan sampai di sebelah barat bengawan, Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani dengan sangat hati-hati pergi tanpa pasukan. Mereka menuju padang rumput untuk mencari pencari rumput yang agak terpencil. Didekatilah pencari rumput tadi, dan ditanya oleh Ki Ageng Pemanahan.

"Kamu pencari rumput dari mana?"

"Saya tukang memelihara kuda Adipati Jipang. Saya yang bertugas mencarikan rumput untuk kuda milik Adipati Jipang yang bernama Gagak Rimang".

Mendengar jawaban seperti itu, Ki Penjawi langsung menubruk pencari rumput tadi sampai tak berkutik. 

"Saudara, saya minta telingamu sebelah ya?", Ki Ageng Pemanahan berkata sambil tersenyum. Sementara pencari rumput masih berada dalam dekapan Ki Penjawi.

"Ah, kalau seperti ini, bukan berkelahi namanya. Masa telinga mau kau minta. Lebih baik ambil saja keranjang dan sabitku, pasti kuberikan", jawab pencari rumput.

"Jika tidak boleh saya minta, saya beli telingamu. Berapa harganya?", Ki Ageng Pemanahan kembali bertanya.

"Meskipun kau beli, saya tidak boleh. Saya tidak butuh uang. Mana ada orang menjual telinga!"

"Kalau begitu, kau pilih mana: telingamu kau jual, atau kau kutikam?"

Abdi pencari rumput tak punya pilihan lain. Akhirnya ia menyerahkan telinganya kepada orang tak dikenal itu. Ki Ageng Pemanahan memberikan uang lima belas reyal, lalu memotong telinga abdi pencari rumput. Hanya sebelah. Telinga yang sebelah lagi digantungi surat tantangan, supaya disampaikan kepada Adipati Jipang.

Sambil menahan rasa sakit, abdi pencari rumput tadi lari ke sebelah timur bengawan. Setibanya di pesanggrahan, abdi pencari rumput menerobos sela-sela para abdi yang sedang menghadap Adipati Jipang. Patih Mataun terkejut melihat abdi pencari rumput berlumuran darah. Telinga abdi pencari rumput itu hilang sebelah, dan telinga yang sebelahnya lagi ada surat. Patih Mataun berusaha mencegah abdi pencari rumput yang ingin menghadap langsung Adipati Jipang yang sedang makan. 

Mendengar ada kegaduhan di luar, Adipati Jipang menanyakan apa yang terjadi kepada Patih Mataun. Patih Mataun berusaha menyabarkan junjungannya, agar menyelesaikan makannya terlebih dahulu. Belum sampai Ki Mataun melaporkan peristiwa yang terjadi, abdi pencari rumput itu berhasil lepas dari pegangan orang-orang dan menghadap langsung Adipati Jipang. Arya Penangsang, sang adipati Jipang itu terkejut melihat abdi pencari rumput berlumuran darah. 

Sambil menyembah, Patih Mataun berkata kepada Arya Penangsang, "Inilah yang menyebabkan kegaduhan di luar, gusti adipati. Abdi pencari rumput ada yang memotong telinganya sebelah, dan telinga satunya lagi digantungi surat".

Surat diambil, lalu diserahkan kepada Adipati Jipang. Surat atas nama Sultan Pajang yang berisi tantangan perang itu dibaca oleh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi memang sengaja memakai nama Sultan Pajang dalam surat tantangannya. Seketika darah Adipati Jipang itu mendidih. Ia sangat marah. Piring di hadapannya dibanting, pecah menjadi dua.

Arya Penangsang segera mengenakan pakaian perang, dan memerintahkan kepada Patih Mataun untuk menyiapkan kudanya, Gagak Rimang. Setelah kuda siap, Arya Penangsang segera naik ke atas punggung Gagak Rimang. Patih Mataun berusaha mencegahnya, agar menunggu prajurit disiapkan untuk mengiringinya. Namun Arya Penangsang tidak menggubris omongan Patih Mataun. Gagak Rimang segera dipacu menuju bengawan seperti yang disebutkan dalam surat, tempat musuhnya menunggu. Ia sendirian, tanpa prajurit.

Ada cerita orang tempo dulu, bila mereka berperang, pantang untuk menyeberang bengawan terlebih dahulu, karena yang mendahului menyeberang akan kalah.

Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Martani, Danang Sutawijaya, dan prajurit lainnya telah bersiap-siaga di sebelah barat Bengawan Sore. Ketika mereka melihat Arya Penangsang datang, senanglah hatinya.

"Hai orang-orang Pajang! Siapa yang mengirimkan surat tantangan tadi. Menyeberanglah ke timur bengawan, akan kuhadapi kalian. Kerubutlah aku, maka akan kulawan meskipun harus berhadapan dengan suluruh prajuritmu".

"Junjunganku Sultan Pajang yang telah mengirimkan surat tantangan kepadamu. Jika kau memang pemberani, menyeberanglah ke barat, akan kuhadapi satu lawan satu".

Darah Arya Penangsang kembali mendidih ketika mendengar tantangan orang-orang dari Pajang. Dihentak dan dicambuknya Gagak Rimang agar menyeberangi bengawan. Ketika Gagak Rimang sudah sampai di bibir bengawan, Arya Penangsang dihujani senjata oleh para utusan Pajang. Kuda dicambuk oleh Arya Penangsang, melompat ke darat dan menerjang barisan Pajang. Arya Penangsang mengamuk. Banyak prajurit yang luka dan tewas akibat amukan Adipati Jipang.

"Di mana Karebet3), yang katanya berani menandingi perang denganku. Mengapa tidak kelihatan?", teriak Arya Penangsang sambil terus mencari Sultan Adiwijaya, meskipun yang dicari tidak ada di tempat tersebut.

Orang-orang Pajang terus menghujani Arya Penangsang dengan tombak, dari kanan, kiri, muka, dan belakang. Arya Penangsang terluka lambung kanannya. Ususnya terburai. Usus yang keluar dari dalam perut itu disampirkan ke ukiran keris. Amukan Arya Penangsang semakin membuat pasukan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi banyak yang luka dan menemui ajal.  

Danang Sutawijaya yang masih muda, maju berhadap-hadapan dengan Arya Penangsang. Pada pertempuran tersebut, Danang Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang dengan menggunakan tombak Kyai Plered. 

Meskipun yang berhasil membunuh Arya Penangsang adalah Danang Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, tapi karena ia telah dijadikan anak angkat oleh Sultan Adiwijaya, maka yang dilaporkan dapat membunuh Arya Penangsang kepada Sultan Adiwijaya adalah Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Hal ini disebabkan, jika yang dilaporkan sesuai kenyataan, dikhawatirkan Danang Sutawijaya hanya akan diberi hadiah pakaian yang indah-indah, karena ia telah diakui sebagai anak oleh Sultan Adiwijaya. 

Sultan Adiwijaya mempersilakan Ki Ageng Pemanahan untuk memilih terlebih dahulu hadiah yang dijanjikan. Ki Ageng Pemanahan yang merasa dirinya lebih tua, mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan, sedangkan Pati yang sudah ramai, untuk Ki Penjawi yang lebih muda. Ki Penjawi setuju, Sultan Adiwijaya pun merestui keputusan mereka atas pemilihan hadiah yang menjadi haknya. 

 

Ilustrasi hutan

(Sumber gambar: https://jogja.tribunnews.com/2023/10/01/mengenal-10-hutan-paling-bebahaya-di-dunia?page=all apa-perbedaan-forest-dan-jungle.html)

 

Berbeda dengan Babad Tanah Jawi, Babad Pasundan justru menyebut Ki Penjawi menerima daerah Pati sebagai hadiah dikarenakan jasa Ki Penjawi yang memang lebih besar daripada jasa Ki Ageng Pemanahan.

Apabila hadiah tanah Pati diserahkan kepada Ki Penjawi saat itu juga, maka tidak demikian dengan hadiah tanah Mataram. Hadiah untuk Ki Ageng Pemanahan tersebut justru mengalami penundaan. Hal ini membuat Ki Ageng Pemanahan kecewa, sehingga ia pergi ke Kembang Lampir dan bertapa di sana. 

Suatu ketika Sunan Kalijaga berkunjung ke Kembang Lampir dan bertemu dengan Ki Ageng Pemanahan. Setelah berbincang-bincang, akhirnya Sunan Kalijaga mengetahui penyebab Ki Ageng Pemanahan berada di tempat tersebut.

Sunan Kalijaga kemudian mengajak Ki Ageng Pemanahan untuk menghadap Sultan Adiwijaya. Guru spiritual Sultan Adiwijaya dan Ki Ageng Pemanahan itu meminta kepada Sultan Pajang agar menepati janji, yakni menyerahkan tanah Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan, karena raja adalah teladan bagi rakyatnya. Sultan Pajang berusaha mencari-cari dalih. Awalnya Sultan Pajang mengatakan bahwa ia belum memberikan tanah Mataram karena akan memilihkan daerah yang lebih bagus untuk Ki Ageng Pemanahan. Namun akhirnya ia mengakui bahwa penyebab sebenarnya dari penundaan pemberian hadiah tanah Mataram dikarenakan pikirannya terganggu oleh ramalan Sunan Giri yang menyebutkan kelak di Mataram akan timbul seorang raja yang sama besarnya dengan Pajang. 

Setelah mengetahui penyebab  ditundanya pemberian hadiah tanah Mataram, Sunan Kalijaga lalu meminta kepada Ki Ageng Pemanahan untuk bersumpah setia kepada Sultan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan pun mengucapkan sumpah setia: jika ia memiliki niat untuk menjadi raja di Mataram, atau berkeinginan memberontak kepada Sultan Pajang, semoga tidak selamat. Entahlah di kemudian hari, (maksudnya setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal), karena siapa yang tahu kehendak Tuhan?  

Sesudah mengangkat sumpah setia di hadapan Sultan Adiwijaya yang disaksikan oleh Sunan Kalijaga, barulah tanah Mataram diserahkan kepada Ki Ageng Pemanahan. 

Bersama sanak-saudaranya, Ki Ageng Pemanahan kemudian pindah ke Mataram. Dengan meminta izin Sultan Adiwijaya, Danang Sutawijaya yang telah dijadikan anak angkat oleh Sultan Pajang itupun diajak pindah ke Mataram. 

Dalam perjalanan menuju Mataram, Ki Ageng Pemanahan dan rombongan beristirahat di Desa Taji, sebelah timur Prambanan. Kepindahan Ki Ageng Pemanahan telah didengar oleh Ki Ageng Karang Lo. Ia dan istrinya berangkat menuju Taji untuk menjemput Ki Ageng Pemanahan dan menjamu makan. Ki Ageng Pemanahan mengucapkan terima kasih kepada Ki Ageng Karang Lo dan istri atas jamuannya. Ki Ageng Pemanahan meneruskan perjalanan dan Ki Ageng Karang Lo mengantar sampai ke Mataram.

Di Mataram, tanah yang berupa hutan Mentaok itu dirambah, lalu dijadikan area pemukiman oleh Ki Ageng Pemanahan dan sanak-saudaranya. Kian lama Mataram semakin ramai. Panggilan untuk Ki Ageng Pemanahan pun berubah menjadi Ki Ageng Mataram, sesuai nama tempat tinggalnya yang baru.

 

 

Daftar Pustaka

 

1. Buku 

A. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Djoko Soekiman. 1982/1983. Kotagede. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

F. Taufiq El Jauquene. 2020. Demak Bintoro, Kerajaan Islam Pertama dari Kejayaan Hingga Keruntuhan. Bantul -Yogyakarta: Araska.

H.J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Pustaka Grafitipers.

Mulyono Atmosiswartoputra. 2018. Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia).

Ng. Kertapradja. 1925. Serat Babad Tanah Jawi. Muntilan: Tanpa Nama Penerbit.

Purwadi dan Maharsi. 2005. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Jogjakarta: Tunas Harapan.

R. Soekmono. 1987. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 3. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Kanisius.

R. Soekmono. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 2. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kanisius.

Sabyan Badio. 2012. Menelusuri Kesultanan di Tanah Jawa. Sleman - Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Soedjipto Abimanyu. 2017. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana.

Sugiarta Sriwibawa. 1976. Babad Tanah Jawa. Jilid I. Jakarta: Pustaka Jaya.

W.L. Olthof. 2019. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Runtuhnya Mataram. Yogyakarta: Narasi.


2. Internet

https://setkab.go.id/presiden-jokowi-anugerahkan-gelar-pahlawan-nasional-kepada-enam-tokoh/

ttps://www.blorakab.go.id/index.php/public/pariwisata/detail/43/petilasan-kadipaten-jipang#:


-----------------

1) Ki Ageng Pemanahan atau biasa disebut juga Kyai Gede Pemanahan adalah anak Ki Ageng Ngenis, cucu Ki Ageng Sela. Ia disebut dengan nama Ki Ageng Pemanahan karena bertempat tinggal di Desa Manahan, beberapa kilometer dari istana Pajang. Sekarang Manahan merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Banjasari, Kota Surakarta.  

2) Bekas Kadipaten Jipang berada di Desa Jipang, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Dari Blora kira-kira 45 km. ke arah tenggara. Letak Jipang persis di pinggir Bengawan Solo, sehingga Jipang di samping sebagai pusat pemerintahan, juga sebagai bandar perdagangan yang memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi.

3) Karebet atau Mas Karebet adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya, Ki Kebo Kenanga alias Ki Ageng Pengging. Dinamakan Karebet, karena ketika dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber, yakni wayang yang materi pokoknya berupa gulungan kain bergambar adegan adalam dunia pewayangan yang disebut dengan istilah krebet. Yang bertindak sebagai dalang pada waktu itu adalah Ki Ageng Tingkir. Setelah ayahnya meninggal, Karebet yang masih kecil itu diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir. Setelah tumbuh dewasa, Karebet kemudian dipanggil dengan sebutan Jaka Tingkir. Artinya jejaka dari Tingkir. Setelah mengabdi di Demak dan akhirnya menjadi adipati di Pajang, ia bergelar Adiwijaya. Setelah Demak runtuh, Adipati Pajang ini kemudian naik tahta menjadi raja Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya. 

Rabu, 20 Maret 2024

MAYONG: TEMPAT LAHIR R.A. KARTINI


 

Siapa tak kenal Raden Ajeng Kartini, pahlawan perempuan dari Jepara? Namanya tak hanya dikenal oleh orang Indonesia, tapi sudah mendunia.

Kartini adalah putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Raden Ajeng adalah gelar kebangsawanannya. Bagi bangsawan perempuan Jawa, gelar Raden Ajeng (disingkat R.A.) dipakai ketika yang bersangkutan masih gadis. Sementara jika sudah menikah, maka gelarnya berubah menjadi Raden Ayu (disingkat R.Ay.).

Mengapa Kartini tetap disebut Raden Ajeng, padahal beliau sudah menikah sebelum akhir hayat? Mengapa tidak disebut Raden Ayu Kartini? Menurut dugaan saya, karena nama beliau dikenal orang ketika masih gadis berkat surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat-sahabat penanya dari Eropa yang kemudian dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht, sehingga ia lebih dikenal dengan nama Raden Ajeng Kartini daripada Raden Ayu Kartini.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional juga menyebut nama Kartini dengan gelar Raden Ajeng. Lengkapnya: Raden Ajeng Kartini.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 tentang R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

 

Kartini lahir dari rahim seorang ibu bernama Mas Ayu Ngasirah pada 21 April 1879. Ketika Kartini lahir, ayahnya belum menjabat sebagai bupati Jepara, tapi masih sebagai wedana1) Mayong. Gelar ayahnyapun belum Raden Mas Adipati Ario, tapi masih Raden Mas.

Menurut beberapa sumber media online seperti inews.id, antaranews.com, dan detik.com, lokasi rumah ayahanda Kartini di Mayong berada di kompleks Kantor Camat Mayong yang sekarang. Tepatnya di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Sayangnya, rumah asli tempat Kartini dilahirkan itu sudah tidak ada bekasnya. Ada yang menyebutkan bahwa rumah tempat Kartini dilahirkan telah dibongkar untuk dibawa ke Jepara. Hal ini bisa dimaklumi, karena rumah zaman dahulu pada umumnya terbuat dari kayu sehingga bisa dibongkar untuk dipindahkan ke lain tempat. Yang tersisa dari bekas rumah Wedana Mayong itu hanyalah sumur dan lokasi ditanamnya ari-ari atau plasenta Kartini.  

Menurut Camat Mayong, Muhammad Subkhan seperti diberitakan antaranews.com, 21 April 2022, kebiasaan masyarakat, setelah proses kelahiran, maka ari-ari-nya ditanam di sekitar tempat tinggalnya. Kebetulan saat itu masih menempati rumah yang berada di kompleks Kawedanan Mayong. Setelah dua tahun berselang, Kartini pindah ke Jepara karena orang tuanya diangkat menjadi Bupati Jepara.

Saat ini, di tempat ari-ari Kartini ditanam, telah dibangun monumen yang disebut Monumen Ari-Ari Kartini. Di tempat itulah dahulu rumah orang tua Kartini berada.

Monumen Ari-Ari Kartini  
(Sumber gambar: https://travel.kompas.com/read/2023/04/17/223900027/tempat-lahir-ra-kartini-simak-7-fakta-kota-jepara?page=all)


Monumen yang terletak di atas tanah yang tak terlalu luas di samping Kantor Camat Mayong itu berupa bunga teratai. Monumen ini dibuat sedemikian rupa agar bermakna tanggal lahir Kartini. Kuncup kedua dari atas berjumlah 21, menunjukkan tanggal lahir. Empat lampu, menunjukkan bulan kelahiran Kartini, yakni bulan keempat atau April. Kuncup paling bawah berjumlah 18, ukiran paling bawah berjumlah 7, dan kuncup paling atas berjumlah 9. Ini menunjukkan tahun kelahiran Kartini, 1879. Jika seluruhnya dirangkai, maka menjadi 21-4-1879 atau 21 April 1879.

Masih di area monumen, selain terdapat sumur milik keluarga Kartini, juga terdapat tugu sebagai penanda bahwa di tempat tersebut dulu pernah lahir anak perempuan yang kelak menjadi pahlawan, yakni Kartini. Di tugu tersebut terdapat tulisan, “Tempat R.A. Kartini dilahirkan, 21 April 1879”, dan “10 Nopember 1951”. Tanggal yang disebutkan terakhir merupakan tanggal berdirinya tugu tersebut.


Tugu tempat Kartini dilahirkan
(Sumber gambar: https://www.antaranews.com/beita/2835457/doa-bersama-digelar-warga-jepara-di-monumen-ari-ari-katini)



Daftar Acuan



https://id.wikipedia.org/wiki/Kewedanaan

https://travel.detik.com/travel-news/d-5540070/melihat-ari-ari-ra-kartini-di-jepara-jejak-kelahiran-pahlawan-emasipasi-wanita?single=1

https://travel.kompas.com/read/2023/04/17/223900027/tempat-lahir-ra-kartini-simak-7-fakta-kota-jepara?page=all

https://www.antaranews.com/berita/2835457/doa-bersama-digelar-warga-jepara-di-menumen-ari-ari-ra-kartini 

https://www.inews.id/travel/destinasi/mengintip-monumen-ari-ari-ra-kartini-di-jepara-unik-dibangun-mirip-bunga-teratai/all


----------------------

1) Wedana adalah pejabat di bawah bupati, di atas camat. Sementara wilayah kerjanya disebut kewedanaan (bahasa Jawa: kawedanan; bahasa Belanda: district). Bentuk wilayah seperti ini berlaku juga pada masa kolonial Belanda. Setelah Indonesia Merdeka, bentuk wilayah tersebut masih berlaku di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kewedanaan dan keresidenan (wilayah yang dipimpin oleh residen yang berada di bawah gubernur, di atas bupati) dihapus pada 1963 melalui Peratuan Presiden Nomor 22 Tahun 1963 tentang Penghapusan Keresidenan dan Kewedanaan, tertanggal 25 Oktober 1963. Penghapusan tersebut dikarenakan jabatan wedana dan residen dianggap tidak efektif membantu tugas bupati (bagi wedana) atau gubernur (bagi residen). Meskipun demikian, posisi wedana di beberapa tempat masih diisi oleh pejabat yang disebut Pembantu Bupati yang tidak memiliki kewenangan pengambilan keputusan.