Minggu, 07 September 2025

KEMATIAN ABU THALIB

   

Sejak diutus sebagai rasul, Muhammad selalu berdakwah dengan berbagai strategi. Mula-mula Rasulullah berdakwah secara senbunyi-sembunyi di Makkah selama sekitar tiga tahun. Setelah itu, beliau berani berdakwah secara terang-terangan baik di Makkah maupun di Madinah hingga akhir hayat.

Selama sekitar tiga tahun pertama, Rasulullah berdakwah secara personal dan tertutup kepada keluarga dan sahabat terdekatnya. Orang yang pertama menyambut seruan Rasulullah adalah Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta Rasulullah.

Di rumah Rasulullah, ada juga Ali bin Abi Thalib. Ia anak paman Rasulullah, Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib diasuh oleh Rasulullah sejak kecil, karena ayahnya kurang mampu secara finansial, sementara anaknya banyak. Dulu, waktu Rasulullah masih kecil, beliau pernah diasuh oleh Abu Thalib. Meskipun usia Ali bin Abi Thalib masih sangat muda, namun ia berketetapan untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Zaid bin Haritsah termasuk orang yang mengimani pada saat orang masih sedikit yang beriman. Ia dulu merupakan budak Rasulullah, tapi kini sudah dimerdekakan. Kemudian ada Ummu Aiman yang langsung beriman ketika anak asuhnya diangkat sebagai rasul oleh Allah. Ummu Aiman adalah perempuan yang pernah mengasuh Rasulullah sejak kecil. Ummu Aiman awalnya adalah budak milik Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Rasulullah. Setelah menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, Rasulullah kemudian membebaskan Ummu Aiman dari status budaknya. Begitu dekatnya hubungan Rasulullah dengan Ummu Aiman, sampai-sampai beliau memanggil “ibu” kepada mantan pengasuhnya itu.

Selain mereka, yang termasuk orang yang pertama beriman dan menyambut risalah Rasulullah, di antaranya adalah Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lain.

Mereka diajak untuk hanya menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-berhala, karena Allah-lah yang menciptakan manusia dan segala yang ada di bumi dan langit. Mereka juga diajak untuk meninggalkan perbuatan keji.

Dalam bukunya berjudul Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri mengatakan bahwa di antara wahyu yang pertama-tama turun adalah perintah shalat. Dengan mengutip pendapat Muqatil bin Sulaiman, ia mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat dua rakaat pada pagi hari dan dua rakaat pada petang hari pada awal Islam, yang didasarkan pada firman Allah dalam Surat Al-Mukmin ayat 55, “Dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu pagi dan petang”. Sementara menurut Ibnu Hajar, sebelum Isra’, Rasulullah sudah pernah shalat, begitu juga para sahabat. Apabila waktu shalat tiba, seperti disebutkan oleh Ibnu Hasyim, Rasulullah dan para sahabat pergi ke tempat yang terpencil lalu secara sembunyi-sembunyi mengerjakan shalat agar tidak dilihat oleh kaumnya. Suatu ketika Abu Thalib melihat Rasulullah mengerjakan shalat bersama anaknya, Ali bin Abi Thalib, lalu ia menanyakan tentang shalat. Setelah mendapat penjelasan yang cukup memuaskan, Abu Thalib menyuruh Rasulullah dan anaknya agar menguatkan hati.

Ketika itu, orang-orang kafir Quraisy sudah mendengar kabar tentang dakwah Islam, namun mereka masih tidak memedulikan. Mereka mengira Muhammad hanyalah salah seorang di antara mereka yang peduli terhadap agama. Namun lama-kelamaan timbul perasaan khawatir di hati mereka, karena pengaruh tindakan Rasulullah. Oleh karena itu, mereka mulai menaruh perhatian terhadap dakwah beliau.

Sewaktu pengikut Rasulullah telah mencapai 30 orang lebih, beliau lalu menggunakan rumah Arqam bin Abi al-Arqam sebagai pusat aktivitas dakwah. Dipilihnya rumah Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat pertemuan, pengajaran, dan pembinaan umat Islam pada masa awal, karena rumah yang berada di Bukit Shafa dan terpencil ini dianggap aman dari pengintaian mata-mata kaum kafir Quraisy. Hal ini untuk menghindari tindakan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap “Tuhan-Tuhan” mereka seperti Latta dan Uzza. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Darul Arqam.

Setelah tiga tahun dakwah disampaikan secara sembunyi-sembunyi, akhirnya Rasulullah mendapat perintah agar berdakwah secara terang-terangan. Langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah mengundang Bani Hasyim yang merupakan klan Rasulullah. Bani Hasyim merupakan salah satu klan dalam Suku Quraisy, suku bangsa Rasulullah di Makkah.

Dalam pertemuan tersebut, sebelum Rasulullah berbicara, Abu Lahab, salah satu paman Rasulullah, sudah mendahului berbicara. Intinya, Abu Lahab melarang Rasulullah berdakwah, menyebarkan agamanya. Rasulullah hanya diam dan tidak berbicara sepatah kata pun dalam pertemuan tersebut.

Rasulullah mengundang kembali mereka esok harinya. Kali ini, Rasulullah berhasil menyampaikan dakwahnya, namun mereka menolak dakwah beliau. Saat mereka hendak meninggalkan tempat pertemuan, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib bangkit seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membantu engkau. Aku akan lawan siapa saja yang menentang engkau”.

Sebelum meninggalkan tempat tersebut, sebagian orang yang hadir tersenyum geli, sebagian lagi tertawa terbahak-bahak begitu mendengar perkataan Ali bin Abi Thalib yang masih kanak-kanak dan belum balig. Meskipun Abu Thalib tidak melarang kedua anak laki-lakinya, Ja’far dan Ali, menjadi pengikut Rasulullah, namun ia enggan meninggalkan agama nenek-moyangnya.

Penolakan dakwah oleh keluarganya, tak menyurutkan langkah Rasulullah untuk terus berdakwah. Pada kesempatan lain Rasulullah naik ke atas Bukit Shafa dan menyeru kepada orang-orang Makkah. Langkah yang diambil oleh Rasulullah menyebabkan Abu Lahab, paman Rasulullah, marah. Sejak itu Abu Lahab memusuhi kemenakannya sendiri, disebabkan Rasulullah mengajak orang-ora0ng untuk hanya menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Bahkan istri Abu Lahab, Ummu Jamil, turut memusuhi Rasulullah juga.

Semakin lama jumlah pengikut Rasulullah kian bertambah. Saat itu, mulailah timbul tantangan dan rintangan dakwah. Orang-orang kafir Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Jahal, para bangsawan, dan hartawan Quraisy yang senang berhura-hura mulai merasa bahwa ajaran Rasulullah menjadi ancaman besar bagi kedudukan mereka.

Orang-orang yang mengingkari ajaran-ajaran yang dibawakan oleh Rasulullah berusaha menghentikan dakwah yang dilakukan beliau. Abu Thalib, paman Rasulullah yang memiliki pengaruh dan kedudukan yang tertinggi dalam bangsa Quraisy, didatangi oleh orang-orang yang menolak ajakan dakwah Rasulullah. Mereka meminta kepada Abu Thalib untuk menghentikan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah.

Menghadapi permintaan orang-orang tersebut, Abu Thalib berkata kepada Rasulullah.

“Wahai kemenakanku, para pemuka Quraisy telah mendatangi dan menyuruhku agar kau berhenti berdakwah dengan agama barumu itu dan berhenti mencela ‘Tuhan-Tuhan’ yang mereka sembah”.

Mendengar perkataan pamannya, Rasulullah menjawab, “Wahai pamanku, demi Allah, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”.

Mendengar jawaban Rasulullah, Abu Thalib meneteskan air mata. Tatkala Rasulullah hendak beranjak meninggalkan tempat, Abu Thalib  memanggilnya.

“Pergilah kemenakanku, dan katakan apa pun yang engkau suka. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan dirimu kepada siapapun”, kata Abu Thalib.

Hari demi hari terus berjalan. Orang-orang kafir Quraisy yang menghendaki Rasulullah menghentikan dakwahnya, ternyata luput dari harapan mereka. Rasulullah tak pernah berhenti berdakwah. Oleh karena itu, mereka mendatangi Abu Thalib kembali, sambil membawa Ammarah bin Al-Walid bin Al-Mughirah. Mereka meminta kepada Abu Thalib agar menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh, dan mereka akan menukarnya dengan Ammarah bin Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang pemuda yang tampan.

Abu Thalib menolak tawaran orang-orang kafir Quraisy yang dianggap menjijikan itu. Ia tak mau menyerahkan kemenakannya kepada mereka untuk dibunuh, dan kemudian mengasuh anak orang lain sebagai gantinya.

Tak berhasil memengaruhi Abu Thalib, orang-orang kafir Quraisy kembali bersikap keras dan bahkan semakin bengis. Mereka tidak hanya keras terhadap Rasulullah yang tidak mau menghentikan dakwahnya, tapi juga keras terhadap pengikut Rasulullah.

Abu Thalib yang merasa khawatir kemenakannya akan dibunuh oleh kaum kafir Quraisy, meminta kepada keluarganya dari Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan Abdi Manaf untuk bersedia melindungi anak saudaranya. Mereka menyanggupi permintaan Abu Thalib, baik yang sudah muslim maupun yang masih kafir. Yang tidak mau bergabung dalam kesanggupan melindungi Rasulullah adalah Abu Lahab, saudara satu ayah dengan Abu Thalib dan Abdullah, ayahanda Rasulullah. Abu Lahab memilih bergabung dengan orang lain daripada melindungi kemenakannya.

Melihat kesetiaan keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib melindungi Rasulullah, orang-orang kafir Quraisy mengurungkan rencana membunuh Rasulullah. Mereka kemudian membuat rencana baru untuk menghadang laju dakwah Rasulullah dan kaum muslimin. Akhirnya mereka membuat kesepakatan bersama, yaitu melarang menikah, jual beli, berteman, berkumpul, memasuki rumah, dan berbicara dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, kecuali jika kedua bani tersebut secara sukarela menyerahkan Rasulullah untuk dibunuh. Kesepakatan itu mereka tulis di selembar papan yang kemudian digantungkan di tembok bagian dalam Ka’bah.

Rasulullah dan keluarga serta kaum muslimin betul-betul diboikot oleh orang-orang kafir Quraisy. Tak hanya sehari dua hari mereka diboikot oleh orang-orang kafir Quraisy, tapi selama tiga tahun. Tak mengherankan jika mereka kelaparan, karena tidak bisa melakukan jual beli, sehingga tidak ada yang dimakan. Untuk menyambung hidup, orang-orang yang diboikot tersebut terpaksa memakan dedadunan dan kulit binatang. Tak jarang terdengar suara tangis anak-anak yang memilukan karena kelaparan.

Tak tega melihat kondisi seperti ini, sebagian tokoh Quraisy ada yang secara sembunyi-sembunyi membawakan makanan untuk mereka yang diboikot. Di antara tokoh-tokoh yang suka mengirim makanan adalah Hisyam bin ‘Amr dari Bani Amir bin Lu’ay. Ia juga memengaruhi tokoh-tokoh Quraisy lain seperti Zuhair bin Abi Umayyah (Bani Makhzum), Muth’im bin ‘Ady (Kabilah Naufal), Abu al-Bukhturi dan Zam’ah bin Al-Aswad (Bani Asad) untuk melakukan apa yang ia lakukan. Usaha Hisyam bin ‘Amr tidak sia-sia. Banyak orang yang tidak suka dengan tindakan orang-orang Quraisy yang memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib.

Desakan dari beberapa tokoh Quraisy terkemuka untuk mengakhiri pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib semakin kuat dan sulit dibendung. Mereka tidak tega melihat penderitaan orang-orang yang diboikot, sehingga meminta agar piagam kesepakatan kezaliman itu dirobek.

Di pihak lain, Allah mengisyaratkan kepada Rasulullah bahwa piagam pemboikotan itu telah dimakan rayap. Mendapat isyarat dari Allah, Rasulullah kemudian memberitahukan hal tersebut kepada pamannya, Abu Thalib.

Abu Thalib yang sudah diberi tahu oleh Rasulullah, segera menemui orang-orang Quraisy. Ia mengatakan bahwa kemenakannya telah mengabarkan ihwal rayap-rayap yang menggerogoti piagam pemboikotan. “Jika kemenakanku bohong”, kata Abu Thalib, “kalian boleh menyingkirkannya. Akan tetapi jika dia benar, maka kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami”.

Mereka sepakat, dan kemudian menghampiri piagam pemboikotan. Ternyata benar! Piagam tersebut telah habis dimakan rayap. Yang tersisa hanya tulisan “bismika Allahumma”. Akhirnya, Rasulullah dan orang-orang yang ikut diboikot bebas dari pemboikotan.

Beberapa bulan setelah berakhirnya pemboikotan, Abu Thalib, paman Rasulullah yang selalu melindunginya, jatuh sakit. Usia Abu Thalib memang sudah tua, lebih dari 80 tahun. Apalagi sebelumnya telah mengalami pemboikotan bersama kemenakannya yang menyebakan penderitaan yang luar biasa, tak mengherankan jika raga yang sudah rapuh itu akhirnya tumbang.

Ketika sakit Abu Thalib semakin parah dan ajal hendak menghampirinya, Rasulullah menemui pamannya yang terbaring lemah. Saat itu, di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah.

“Wahai pamanku, katakan lā ilāha illallah, satu kalimat yang akan aku gunakan melakukan pembelaan untukmu di hadapan Allah”, kata Rasulullah kepada Abu Thalib.

Mendengar permintaan Rasulullah kepada Abu Thalib, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah yang ada di tempat tersebut menyela, “Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci dan akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”.

Rasulullah terus mengajarkan kalimat tauhid itu kepada Abu Thalib. Sebaliknya, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah tak pernah berhenti mengucapkan kata-kata yang menyuruh agar Abu Thalib tidak meninggalkan agama Abdul Muththalib. Abu Thalib benar-benar enggan mengucapkan kata lā ilāha illallah, dan dia memilih berkata, “Aku tetap berada pada agama Abdul Muththalib”.

Mendengar ucapan pamannya, Rasulullah berkata, “Demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang melakukannya untukmu”.

Dilatarbelakangi oleh peristiwa tersebut, maka Allah lalu menurunkan Surat At-Taubah ayat 113,

Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.

Selain itu, Allah juga menurunkan Surat Al-Qashash ayat 56.

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima ptunjuk.

Itulah akhir hidup Abu Thalib, paman Rasulullah. Meskipun ia sangat mencintai Rasulullah dan selalu melindunginya, namun ternyata hatinya tak mau menerima sinar kebenaran.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Wahidi an-Nisaburi. 2014. Asbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an. Surabaya: Amelia.

Asrifin An Nakhrawie. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.   

Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod. 

K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan dkk. 2000. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran.wz  Cetakan ke-6. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.  

Martin Lings. 2018. Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Muhammad Chirzin. 2011. Buku Pintar Asbabun Nuzul, Mengerti Peristiwa dan Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Jakarta: Zaman. 

Saiful Hadi El-Sutha. 2013. Muhammad, Jejak-Jejak Keagungan dan Teladan Abadi "Sang Nabi Akhir Zaman". Jakarta: As@-Prima Pustaka. 

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. 2008. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 

Ust. Maftuh Ahnan Asy. 2001. Kisah Kehidupan Nabi Muhammad SAW (Rahmatan Lil ‘Aalamiin). Surabaya: Terbit Terang. 

https://www.facebook.com/notes/mulyono-atmosiswartoputra/darul-arqam/10216253885482006/ 

Rabu, 03 September 2025

ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ PADA MASA JAHILIYAH

 

1. Silsilah Abu Bakar

Abu Bakar bernama asli Abdullah bin ‘Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luayyi bin Ghalib bin Fihr. Bapaknya, Utsman bin Amir, lebih akrab dipanggil dengan nama Abu Quhafah. Sementara ibunya bernama Salma binti Shahr bin Amir, tapi biasa dipanggil Ummul Khair. Ayah dan ibu Abu Bakar masih saudara sepupu, yakni sama-sama cucu Amir bin ‘Amr. Abu Bakar dilahirkan dua tahun lebih beberapa bulan setelah Tahun Gajah, yakni tahun di mana Abrahah dengan pasukan bergajahnya datang ke Makkah hendak menghancurkan Ka’bah, tapi tidak berhasil karena Abrahah dan bala-tentaranya diserang oleh gerombolan burung yang melemparkan batu panas1). Tahun Gajah ini merupakan tahun kelahiran Rasulullah2). Jadi, selisih umur Rasulullah dengan Abu Bakar tidak berbeda jauh3), lebih tua Rasulullah.

Nasab4) Abu Bakar dengan nasab Rasulullah bertemu pada kakeknya yang bernama Murrah. Jika kita buat garis keturunan dari Murrah ke bawah, maka akan tampak seperti di bawah ini.


2. Kehidupan Abu Bakar pada Masa Jahiliyah

Sejak zaman jahiliyah Abu Bakar tak pernah mau minum khamr (minuman yang memabukkan). Meskipun teman-temannya senang minum khamr, Abu Bakar tak terpengaruh sedikit pun. Ia tak mau terbawa arus kehidupan masyarakat. Penyebabnya, suatu ketika ia melewati seseorang dari kaumnya yang mabuk setelah minum khamr, lalu orang tersebut meletakkan tangannya di atas kotoran dan mendekatkan kotoran tersebut ke mulutnya. Ketika tercium bau busuk, orang tersebut kemudian menjauhkannya. Itulah sebabnya Abu Bakar tak mau minum khamr. Apalagi setelah masuk Islam, beliau jelas lebih menjauhi khamr, sebab benda tersebut diharamkan oleh Islam.

Di samping itu, seperti dituturkan oleh Imam Suyuthi yang dikutip oleh Fuad Abdurahman dan Ali Sudansah, pada zaman jahiliyah Abu Bakar tak mau minum khamr dikarenakan untuk menjaga kehormatan dan wibawanya. Menurut Abu Bakar, sesungguhnya orang yang minum khamr, sama dengan membuang kehormatan dan wibawanya sendiri.

Selain tidak minum khamr, selama hidup Abu Bakar juga tak pernah menyembah berhala. Keutamaan Abu Bakar inilah yang membedakannya dengan para sahabat Rasulullah yang lain, karena hampir semua sahabat pernah menyembah berhala pada masa jahiliyah.  

Ada sebuah kisah, suatu ketika ayahnya menarik tangan Abu Bakar dan mengajaknya ke tempat berhala-berhala.

“Ini adalah sesembahanmu yang maha tinggi”, kata ayahnya, lalu pergi meninggalkan Abu Bakar seorang sendiri.

Abu Bakarpun mendekati berhala itu seraya berkata, “Sungguh saya ini lapar. Berilah saya makan!”.

Berhala itu diam tak menjawab. Abu Bakarpun berkata lagi pada berhala tadi.

“Sungguh, saya tidak memiliki pakaian. Berilah saya pakaian!”.

Namun lagi-lagi berhala itu tak menjawab permintaan Abu Bakar. Diam-diam Abu Bakar kemudian melempar berhala tadi dengan batu besar. Berhala itu pun jatuh tersungkur di hadapannya.

Sebelum masuk Islam, Abu Bakar merupakan salah seorang tokoh pembesar bangsa Quraisy. Ia mempunyai garis keturunan yang mulia. Ia juga terkenal dengan kebaikan, keberanian, kokoh pendirian, selalu memiliki ide-ide yang cemerlang dalam keadaan genting, banyak toleransi, penyabar, dan paling mengerti garis keturunan Arab dan berita-berita mengenai mereka. Itulah sebabnya ia sering dijadikan rujukan oleh para tokoh Quraisy untuk meminta pengarahan, karena kejeniusan dan sikapnya yang luwes terhadap orang lain, termasuk karena kesuksesannya dalam berbisnis.

Sejak kecil Abu Bakar telah bersahabat dengan Muhammad. Abu Bakar tahu persis bahwa sahabatnya itu memiliki akhlak yang terpuji dan menjunjung tinggi kejujuran. Sahabatnya itu juga orang yang tak pernah menyembah berhala dan tak mau minum khamr, sama seperti dirinya. Tak mengherankan ketika Muhammad diangkat sebagai rasul oleh Allah, Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang masuk Islam. Itulah sebabnya ia digolongkan sebagai assabiqunal awwalun ‘orang-orang yang awal masuk atau memeluk Islam’. Nama Abu Bakar sendiri konon berasal dari predikat pelopor dalam Islam. Bakar berarti dini atau awal.

3. Ciri Fisik Abu Bakar

Mengenai ciri fisik Abu Bakar, kita memiliki informasi yang cukup lumayan seperti pernah dituturkan oleh putrinya, ‘Aisyah. Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang berkulit putih, berbadan kurus, bercambang tipis, agak condong, pinggangnya kecil (sehingga kainnya selalu turun dari pinggangnya karena kurus), wajahnya selalu berkeringat, keningnya lebar, matanya hitam dan cekung, selalu mewarnai jenggotnya dengan memakai hinai maupun katam.


------------------------------------

1)   Peristiwa datangnya pasukan bergajah yang hendak menghancurkan Ka’bah diabadikan            dalam Al-Qur’an Surat Al-Fīl.

2)   Menurut Mahmud Pasya, seorang ahli falak, Rasulullah lahir pada hari Senin, 9 Rabi’ul               Awwal atau tanggal 20 April 571 Masehi sebagaimana dikutip oleh Hasan Ibrahim Hasan.

3)   Beberapa buku yang terkait dengan sejarah Abu Bakar menyebutkan bahwa Abu Bakar               lahir pada tahun 573 Masehi.

4)  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata nasab diartikan ‘keturunan (terutama dari             pihak bapak)’; ‘pertalian keluarga’. 


Daftar Acuan

 

Abdul Aziz bin Abdur Rahman Asy-Syatsri. 2007. Rahasiaku Masuk Surga. Surabaya: La Raiba Bima Amanta (eLBA).

Fauziah Rachmawati. 2015. 10 Kunci Rezeki Ala Sahabat Rasulullah. Jakarta: Qibla.

Fuad Abdurahman dan Ali Sudansah. 2018. The Great of Abu Bakar Ash-Shidiq: Keping-Keping Mozaik Menakjubkan Kehidupan Khalifah Pertama. Solo: Tinta Medina.

Hasan Ibrahim Hasan. 2015. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid 1. Cetakan Keempat. Jakarta Pusat: Kalam Mulia.

Ustadz Dja’far Amir. 1985. Sejarah Khulafaur Rasyidin. Solo: Ramadhani.

Ustadz Imam Mubarok bin Ali. 2019. Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya. Yogyakarta: Laksana.

Ustadz Rachmat Ramadhana Al-Banjari. 2012. Karamah-Karamah Super Dahsyat Para Sahabat Nabi. Jogjakarta: Najah.

Yanuar Arifin. 2012. Rekam Jejak Para Sahabat Kaya Raya. Yogyakarta: Sabil.

https://kbbi.web.id/nasab


Rabu, 27 Agustus 2025

RASULULLAH DITINGGALKAN JAMAAH SAAT SEDANG BERKHOTBAH


 

Sebetulnya perintah untuk melaksanakan shalat Jumat diturunkan di Makkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Namun karena saat itu jumlah umat Islam masih sedikit dan mendapat banyak intimidasi dari kaum kafir Quraisy, sehingga ibadah shalat Jumat belum bisa terlaksana. Perintah shalat Jumat tersebut tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 9.

9. Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Surat Al-Jumu’ah merupakan surat ke-62 dalam Al-Qur’an. Surat ini terdiri atas 11 ayat. Dilihat dari segi isinya, menurut buku Al-Qur'an dan Terjemahannya: Al-Jumanatul 'Ali, Seuntai Mutiara Yang Mahaluhur, Surat Al-Jumu’ah terdiri atas tiga kelompok, yang masing-masing kelompok membicarakan tentang:

a. pengutusan Nabi Muhammad adalah karunia Allah kepada umat manusia (ayat 1-4);

b. peringatan kepada umat Islam supaya tidak seperti orang Yahudi yang tidak mengamalkan isi kitab sucinya (ayat 5-8); dan

c. beberapa hukum yang berhubungan dengan shalat Jumat (ayat 9-11).

Dari 11 ayat yang ada dalam Surat Al-Jumu’ah, sesungguhnya hanya 3 ayat yang membicarakan tentang hari Jumat sesuai dengan nama suratnya. Ketiga ayat tersebut terdapat dalam kelompok ketiga, yakni beberapa hukum yang berhubungan dengan shalat Jumat.  

Berdasarkan ayat 9 di atas, kita tahu bahwa apabila waktu shalat Jumat telah tiba, maka kita disuruh supaya bersegera menunaikan kewajiban tersebut. Segala sesuatu yang bersifat keduniawian seperti jual-beli dan sebagainya, sebaiknya ditinggalkan. Mengapa demikian, karena mementingkan shalat Jumat itu lebih baik bagi kita daripada mementingkan bisnis atau pekerjaan lain.

Sementara ayat 10 menginformasikan: setelah shalat Jumat selesai, kita diperkenankan melakukan aktivitas kembali untuk mencari karunia Allah. Yang berbisnis silakan melakukan perniagaan kembali, yang kerja di kantor silakan meneruskan pekerjaannya kembali di kantor, dan yang memiliki pekerjaan lain silakan melanjutkan kembali pekerjaannya masing-masing.

10.   Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Shalat Jumat pertama kali dilaksanakan saat Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah. Kisahnya, setelah beristirahat selama 4 hari (yaitu hari Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis) dan membangun masjid di Quba, Rasulullah kemudian meneruskan perjalanan menuju Madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib. Dengan diiringi para sahabat Muhajirin dan Anshar, Rasulullah berangkat dari Quba pada Jumat pagi. Sebagian orang berkendaraan, sebagian lagi berjalan kaki. Ketika waktu shalat Jum'at tiba, Rasulullah tengah melewati Wadi Ranuna. Tempat ini dekat dengan perkampungan Bani Salim bin Auf. Rasulullah berhenti dan mendirikan shalat Jum'at bersama para sahabatnya. Jumlahnya sekitar 100 orang. Inilah shalat Jum'at pertama yang didirikan Rasulullah. Semenjak itu dan seterusnya, Rasulullah selalu melaksanakan shalat Jumat.

Ada kisah di mana Rasulullah ditinggalkan oleh jamaah saat sedang berkhotbah yang menyebabkan turunnya Surat Al-Jumu’ah ayat 11.

11.   Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki”.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan (Al-Bukhari dan Muslim) yang bersumber dari Jabir, ketika Rasulullah berkhotbah pada hari Jumat, datanglah kafilah yang membawa dagangan dari Syam. Orang-orang yang sedang mendengarkan khotbah keluar menjemput rombongan kafilah tersebut, sehingga tinggal 12 orang saja yang duduk mendengarkannya. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, sehingga Allah mengingatkan kepada mereka bahwa apa yang ada di sisi Allah itu jauh lebih baik daripada sekedar jual-beli. Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Jabir dikemukakan, apabila ada gadis-gadis yang menikah, biasanya akan diramaikan dengan sebuah pertunjukan yang menggunakan seruling dan alat musik lainnya, sehingga mereka pergi meninggalkan Rasulullah yang sedang berkhotbah. Itulah sebabnya turun ayat ini, yang menegaskan bahwa nikmat Allah itu jauh lebih baik daripada sekedar menonton pertunjukan.


DAFTAR PUSTAKA


Asrifin An Nakhrawie. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.  

Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur'an dan Terjemahannya: Al-Jumanatul 'Ali, Seuntai Mutiara yang Mahaluhur. Bandung: J-Art

K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan dkk. 2000. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran. Cetakan ke-6. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.  

Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. 2018. Sirah Nabawiyah. Cetakan Ke-17. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

https://news.detik.com/berita/d-5359918/sejarah-sholat-jumat-dan-asal-usulnya-kenapa-hanya-untuk-laki-laki.

Senin, 25 Agustus 2025

CELAKALAH ORANG YANG CURANG


Berdagang atau jual beli merupakan salah satu cara untuk mendapatkan rezeki. Namun untuk memperoleh rezeki itu harus dengan cara halal dan berkah. Yang dimaksud dengan cara halal adalah cara yang sesuai dengan tuntunan agama, misalnya tidak mengurangi timbangan atau takaran, riba dan sebagainya. Sementara untuk mendapatkan rezeki yang berkah, kita harus mengupayakan segala aspek kehidupan dengan cara yang baik dan benar, seperti bertakwa kepada Allah, bersyukur, maupun menjaga silaturahmi. Rezeki yang berkah bukan hanya tentang jumlah harta, melainkan lebih pada manfaat dan ketenangan hati yang dirasakan dari rezeki yang diperoleh.

Dalam kenyataannya, berdagang atau jual beli itu banyak godaan. Salah satu godaan tersebut adalah berbuat curang dalam timbangan dan takaran. Ketika ia menerima timbangan atau takaran dari orang lain, ia meminta dipenuhi atau bahkan dilebihi, tapi ketika ia menimbang atau menakar untuk otrang lain, ia menguranginya. Hal ini dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang besar.  

Kelihatannya orang yang seperti itu adalah orang yang beruntung. Namun pada hakikatnya ia adalah golongan orang yang merugi. Bahkan Allah menggolongkannya sebagai orang yang mendapatkan celaka baik ketika masih hidup di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana tecantum dalam Al-Qur’an Surat Muthaffifīn ayat 1-6.

 

1.  Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!

2.  (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan,

3.  dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.

4.  Tidakkah mereka itu mengira, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,

5.  pada suatu hari yang besar,

6.  (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.

(Al-Qur’an Surat Muthaffifīn ayat 1-6).

 

Kisah di balik turunnya ayat tersebut, menurut Muhammad Ridla Baiquni, ketika Rasulullah sudah hijrah ke Madinah. Di sana ada seorang perempuan yang mempunyai dua timbangan (takaran). Bila ia membeli barang dari orang lain, ia menggunakan timbangan yang berat timbangannya melebihi timbangan biasa. Ini dilakukan agar ia memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Sebaliknya, bila ia menjual, ia menggunakan timbangan lain yang telah direkayasa sehingga hasil timbangannya lebih ringan dari timbangan normal. Dikarenakan perbuatan tersebut merugikan orang lain, maka turunlah ayat di atas.

Sementara menurut K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan dkk. dan Asrifin An Nakhrawie yang mengutip hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih bersumber dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah sampai di Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk orang yang paling curang dalam takaran dan timbangan, sehingga Allah turunkan ayat 1, 2, dan 3 sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam menimbang. Setelah ayat ini turun, orang-orang Madinah termasuk orang yang jujur dalam menimbang dan menakar.

Ayat di atas secara tegas mengecam orang yang berbuat curang dalam timbangan dan takaran, yang meminta lebih saat membeli barang, dan mengurangi saat menjual dagangannya. Di akhirat, mereka yang curang dalam berdagang akan dimintai pertanggungjawaban karena mengurangi hak orang lain. Bahkan bagi orang yang berlaku curang, Rasulullah tidak akan mengakui mereka sebagai golongan atau umatnya. Hal ini pernah disampaikan di depan seorang pedagang yang melakukan kecurangan.

Suatu saat Rasulullah berjalan-jalan ke pasar dan memasukkan tangannya pada gundukan makanan yang ada di sana. Beliau mendapati makanan tersebut basah. Rasulullah lalu menegur pedagang tersebut.

“Wahai pemilik makanan, ini apa?” Pemilik makanan menjawab, “Kehujanan ya Rasulullah”. Beliau bersabda, “Mengapa tidak engkau simpan paling atas sehingga pembeli melihatnya? Barang siapa yang melakukan penipuan, ia tidak termasuk ke dalam golonganku” (HR. Muslim).

Selain akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat, di dunia pun mereka tercela. Reputasinya dalam dunia bisnis menjadi rusak. Pedagang yang curang kebanyakan tidak akan pernah tenteram dalam hidupnya. Ia akan selalu merasa khawatir disebabkan tindakan curangnya itu. Kalaupun ia terlihat seperti orang kaya dengan harta yang melimpah, namun kebahagian yang dirasakan hanyalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan yang menipu diri dan jiwanya.  

 

DAFTAR PUSTAKA

.

Abdullah Zein. 2016. Memikat Hati Pelanggan ala Rasulullah. Yogyakarta: Safirah

Al-Ustadz Afif Abdul Fattah Thabbarah. 2002. Tafsir Juz ‘Amma Lengkap & Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Asrifin An Nakhrawie. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.  

K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan dkk. 2000. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran. Cetakan ke-6. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Muhammad Ridla Baiquni. Tanpa Angka Tahun. Orang yang Bangkrut Dunia Akhirat. Jombang: Lintas Media.

Ust. Husnul Albab. Tanpa Angka Tahun. Jangan Coba-Coba Melanggar Larangan Allah. Surabaya: Riyan Jaya.

Kamis, 21 Agustus 2025

RASULULLAH DITEGUR ALLAH KARENA BERMUKA MASAM DAN BERPALING SAAT DITANYA OLEH ORANG TUNA NETRA

  

Saat awal Rasulullah berdakwah, para pengikutnya kebanyakan orang lemah. Mereka adalah orang-orang miskin dan berstrata sosial rendah.  Itulah sebabnya para pemimpin kaum kafir Quraisy senang sekali mencibir dengan mengatakan bahwa Muhammad hanyalah manusia biasa yang diikuti oleh orang-orang yang hina-dina, yang lekas percaya terhadap ucapannya. Oleh karena para pengikutnya kebanyakan orang lemah, maka dengan mudah para pemimpin kaum kafir Quraisy mengintimidasi dan bahkan menyiksa mereka.

Salah satu orang yang tergolong assabiqunal awwalun atau kelompok orang yang pertama kali masuk Islam adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia berasal dari suku Quraisy dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Ia sepupu dengan Khadijah binti Khuwailid dari jalur ibu. Ayahnya bernama Qais bin Zaid, sedangkan ibunya bernama ‘Atikah binti Abdullah. Ibunya dipanggil dengan sebutan Ummi Maktum, artinya “ibu dari yang tersembunyi” atau “ibu dari yang tertutup”, karena Abdullah lahir dalam keadaan matanya tidak dapat melihat.  

Seperti halnya pengikut Rasulullah yang lain, Abdullah bin Ummi Maktum juga diintimidasi dan disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy disebabkan menjadi pengikut Rasulullah, meskipun ia penyandang catat. Berbagai macam bentuk ujian dan gangguan ia alami, tak ada bedanya dengan sahabat-sahabat lain yang tidak difabel. Walau demikian, ia tak mengalami goncangan dan penurunan semangat dalam mempelajari Islam. Ia bahkan semakin bertambah keimanannya dan kesungguhan dalam berpegang teguh terhadap Islam. Ia sangat bersemangat untuk mendalami Islam dan semangat untuk menerima seruan Rasulullah.

Ada sebuah kisah tentang sahabat Rasulullah yang satu ini, di mana semangatnya untuk mempelajari Islam menjadi penyebab turunnya ayat suci Al-Qur’an.  

Pada suatu hari Rasulullah sedang berbicara dengan para pembesar kaum kafir Quraisy. Rasulullah mengajak mereka agar mau masuk Islam. Beliau berharap mereka mau menerima seruan dakwahnya, agar mereka menghentikan perbuatannya yang suka mengganggu para sahabat Rasulullah.

Saat Rasulullah sedang bercakap-cakap dengan para pembesar kaum kafir Quraisy, datang Abdullah bin Ummi Maktum.

“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepadamu”, Abdullah bin Ummi Maktum memohon kepada Rasulullah.

Dengan muka masam, Rasulullah berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum dan tetap menghadap ke para pembesar kaum kafir Quraisy. Rasulullah memang sangat berharap para pembesar tersebut mau masuk Islam agar agama Islam bertambah mulia, sekaligus mrmperkuat barisan untuk dakwah di jalan Allah.

Berkali-kali Abdullah bin Ummi Maktum memohon kepada Rasulullah untuk memberikan pelajaran, namun Rasulullah tak memedulikannya. Beliau fokus ke para pembesar kaum kafir Quraisy. Meskipun Rasulullah telah berusaha mengajak mereka, namun hati para pembesar kaum kafir Quraisy itu tak tersentuh untuk memeluk Islam. Mereka menolak.

Dikarenakan sikap Rasulullah yang seperti itu terhadap orang yang ingin mempelajari Islam meskipun dia difabel, maka turunlah ayat yang berisi teguran terhadap Rasulullah.

1.  Dia (Muhammad) bermuka masam dan dia berpaling

2.  karena telah datang kepadanya seorang buta.

3.  Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)

4.  atau ia (ingin) mendapatkan pelajaran, lalu pelajaran itu memberikan manfaat kepadanya.

5.  Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (kaya)

6.  maka kamu melayaninya.

7.  Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri (beriman).

8.  Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pelajaran),

9.  sedang ia takut (kepada Tuhannya)

10.  maka kamu mengabaikannya.

11.  Sekali-kali janganlah begitu! Sungguh ini suatu pelajaran.

(Al-Qur'an Surat 'Abasa ayat 1-11).


Sejak menerima wahyu yang berisi teguran tersebut, Rasulullah tak lagi pernah bermuka masam terhadap orang-orang miskin atau kalangan rendah. Jika bertemu Abdullah bin Ummi Maktum, Rasulullah selalu menggelar serban dan menyambut dengan gembira. Setelah itu, Rasulullah akan menanyakan apa yang dibutuhkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum.

Peristiwa tersebut menggambarkan betapa jujurnya Rasulullah. Meskipun wahyu itu berisi teguran, tapi beliau tanpa ragu sedikitpun untuk mengumumkannya. Bahkan beliau seakan-akan memperoleh cahaya baru, bahwa petunjuk rohani tak dapat diukur dari kedudukan atau strata sosial seseorang. Meskipun seseorang itu miskin, tuna netra, pincang atau memiliki kekurangan lain, bisa saja ia lebih mudah menerima ajaran Allah daripada orang yang kaya dan/atau berkedudukan atau berstrata sosial tinggi. Hal ini disebabkan wahyu Allah diturunkan untuk semua umat manusia tanpa memandang kedudukan atau strata sosial di masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman Ra’fat Basya. 2019. Sirah Shahabat. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

Al-Ustadz Afif Abdul Fattah Thabbarah. 2002. Tafsir Juz ‘Amma Lengkap & Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Al-Wahidi an-Nisaburi. 2014. Asbabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Amelia.

Asrifin An Nakhrawie. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.  

Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur'an dan Terjemahannya: Al-Jumanatul 'Ali, Seuntai Mutiara Yang Mahaluhur. Bandung: J-Art.

K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan. 2004. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Nizar Abazhah. 2014. Sahabat Muhammad, Kisah Cinta dan Pergulatan Iman Generasi Muslim. Jakarta: Zaman.

Syaikh DR. Yusuf Al-Qaradhawi. 2019. Tafisr Juz ‘Amma. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.