Sabtu, 26 Juli 2025

MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL: Di Gedung Inilah Awal Mula Tumbuhnya Rasa Nasionalisme, Persatuan, dan Kesatuan Bangsa Indonesia


Siapa tak suka rekreasi? Rasanya tak ada orang yang tak suka rekreasi. Selain dapat melepaskan kejenuhan dan stress, rekreasi juga bermanfaat untuk mendapatkan pengalaman baru, mempererat hubungan keluarga, memperkuat hubungan sosial (atau melatih bersosialisasi bagi anak-anak), sarana edukasi, mengenal budaya, waktu luang menjadi lebih berkualitas, badan menjadi sehat, meningkatkan kemandirian (atau melatih anak untuk mandiri), dan menambah intelektual.

Rekreasi tak harus pergi ke pantai yang menawarkan pesona pasir putih dengan deburan ombak yang berkejar-kejaran dengan aktivitas yang menarik di tempat tersebut. Rekreasi juga tak harus pergi ke tempat pertunjukan seni tradisional seperti tari kecak di Bali atau sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Berkunjung ke museum pun dapat digolongkan berekreasi.  

Bagi sebagian orang memang ada yang enggan untuk berkunjung ke museum karena dianggap membosankan, terkesan kuno, dan kurang menarik. Namun berkunjung ke museum sesungguhnya memberikan banyak manfaat. Selain untuk bermain-main santai, dengan mengunjungi museum juga dapat memperluas pengetahuan sejarah dan budaya hingga meningkatkan rasa cinta tanah air. Sebagai contoh, ketika saya berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional, saya merasakan memperoleh manfaat seperti disebutkan di atas.

Dinamakan Museum Kebangkitan Nasional, karena tempat ini dulu merupakan tempat lahir dan berkembangnya kesadaran nasional. Di sinilah organisasi pergerakan nasional pertama itu lahir. Namanya Budi Utomo.

Museum yang berlokasi di Jalan Abdulrahman Saleh Nomor 26, Kelurahan Senen, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat ini letaknya dekat dengan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Jaraknya sekitar 240 meter.

Untuk menuju ke Museum Kebangkitan Nasional, bagi yang naik kendaaran umum, halte-halte yang terdekat adalah Halte RSPAD 1, Halte RSPAD 2, Halte Kwitang, Halte Panti Perwira, dan Halte Toko Gunung Agung. Ketiga halte yang disebutkan terakhir saling berdekatan dan tidak jauh dari Tugu Tani. Dari Halte Kwitang, Halte Panti Perwira, dan Halte Toko Gunung Agung tinggal berjalan kaki sekitar 500 meter menuju Museum Kebangkitan Nasional. Ketika melewati Jalan Abdulrahman Saleh, kita berjalan melawan arus kendaraan, karena jalan ini satu arah. Jika dari Tugu Tani, jaraknya kurang lebih 800 meter ke Museum Kebangkitan Nasional. Sementara jika dari Halte Central Senen, jaraknya kurang lebih 600 meter berjalan kaki melalui Jalan Senan Raya lalu menggunakan jembatan penyeberangan menuju Jalan Kwini. Museum Kebangkitan Nasional berada di seberang ujung Jalan Kwini.  

Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Ruang-Ruang di Museum Kebangkitan Nasional

Setelah membeli tiket masuk seharga Rp 5.000, saya menuju ke ruang-ruang di mana koleksi museum dipamerkan. Ruang-ruang di Museum Kebangkitan Nasional dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama berhubungan dengan STOVIA dan Sejarah Gedung STOVIA1). Posisinya berada di sebelah kanan dari arah pintu masuk museum. Kelompok ini ruang-ruangnya terdiri atas 10 ruang.  

Pertama, Ruang Pengajar STOVIA. STOVIA merupakan singkatan dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Kedokteran Bumiputera. Pangajar STOVIA berjumlah 12 orang yang setiap tahun mengalami perubahan karena ada yang mendapatkan hak cuti untuk pulang ke Belanda. Mereka menempati ruang khusus untuk para pengajar saat menjelang kegiatan pembelajaran, saat istirahat sekolah, dan seusai kegiatan pembelajaran. Para pengajar biasanya dibantu oleh asisten pengajar yang berasal dari lulusan STOVIA terbaik.

Di ruang ini dipajang empat patung pengajar STOVIA, tiga orang duduk di atas kursi mengelilingi meja, sedang yang seorang berdiri sambil menerangkan sesuatu kepada teman sejawatnya. Di sudut ruangan ada dua almari, tempat menyimpan buku.  

Ruang Pengajar STOVIA (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kedua, Ruang Direktur STOVIA. Direktur STOVIA menempati ruang tersendiri karena sering menerima tamu dari berbagai instansi pemerintah dan instansi lainnya.

Di ruang ini dipajang patung H.F. Roll yang sedang berdiri dan dihadap oleh dua orang. Melihat pakaian dua orang yang duduk di depan H.F. Roll, kemungkinan besar mereka adalah pelajar (baca: mahasiswa) STOVIA atau mungkin tamu dari Jawa.

H.F. Roll adalah Direktur STOVIA yang menempati kedudukan istimewa di mata pelajar, karena sangat memperhatikan kenyamanan dan kesejahteraan pelajar selama mengikuti pendidikan. Di sebelah kanan dan kiri ruangan terdapat dua almari yang berisi beberapa buku. 

Ruang Direktur STOVIA (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Ketiga, Ruang Sekitar Kami. Ruang ini berisi beberapa patung pelajar STOVIA yang sedang berkumpul; foto beberapa pelajar STOVIA; foto-foto kegiatan pelajar STOVIA; dan almari yang berisi buku-buku. Yang dimaksud dengan “Sekitar Kami” adalah sekitar pelajar STOVIA. Karakter para pelajar tersebut sangat peduli terhadap sesama dan bertindak tanpa pamrih. Mereka sering blusukan saat memberikan pengobatan kepada masyarakat. Mereka melihat penjajahan menjadi penyebab utama penderitaan rakyat. Hal inilah yang menyebabkan tumbuhnya kesadaran untuk membantu membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Buku-buku yang dibaca dan berita media massa yang dipantau oleh pelajar STOVIA, semakin menguatkan keinginan terus berjuang bersama rakyat, meskipun harus mengorbankan kepentingan pribadi. 

Ruang Sekitar Kami (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kempat, Ruang Media Pembelajaran. Pembelajaran di STOVIA lebih menekankan praktek, sehingga dibutuhkan media pembelajaran yang memudahkan simulasi dalam  pembelajaran. Media pembelajaran ditempatkan dalam ruang tersendiri yang akan diambil oleh para pengajar pada saat akan memasuki ruang pembelajaran.

Di ruang ini hanya dipamerkan beberapa media pembelajaran seperti meja bedah yang digunakan oleh pelajar STOVIA pada saat belajar anatomi. Bahan praktek dalam bentuk jenazah manusia didatangkan dari Eropa. Selain meja bedah, ada juga mikroskop hellige, kerangka manusia, dan almari berisi buku-buku kedokteran.

Meja bedah yang di atasnya terbaring patung manusia yang dibedah dadanya sebagai media pembelajaran (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kelima, Ruang Pengobatan Tradisional. Menurut informasi yang dipampang di ruang ini, masyarakat Nusantara telah mengenal pengobatan tradisional sejak lama. Pengetahuan tersebut diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke genarasi. Masyarakat tradisional memercayai hal yang bersifat mistis atau supranatural sebagai penyebab datangnya suatu penyakit, yang proses penyembuhannya melalui bantuan dukun atau orang yang dianggap mempunyai kemampuan menyembuhkan. Dukun memiliki kedudukan terhormat di masyarakat, karena berperan penting dalam upacara ritual masyarakat.

Beragamnya penyakit pada masyarakat tradisional melahirkan beragam profesi dukun sesuai dengan kemampuannya dalam menyembuhkan penyakit, seperti dukun bayi, dukun urut, dukun sunat dan sebagainya. Masyarakat Nusantara juga mengenal pengobatan tradisional yang bersifat herbal, dengan menggunakan racikan tanaman-tanaman tertentu yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Pengetahuan tentang khasiat dan cara pembuatan obat tradisional ini didapatkan secara turun-temurun. Relief yang ada di dinding Candi Borobudur, Prambanan, dan Penataran merupakan salah satu bukti pemanfaatan tanaman sebagai obat. Racikan obat herbal di Nusantara dikenal dengan nama jamu.

Benda-benda yang dipajang atau dipamerkan di “Ruang Pengobatan Tradisional” ini adalah benda-benda yang berhubungan dengan pengobatan tradisional, seperti foto seorang perempuan yang sedang meracik jamu; foto dukun pijat yang sedang memijat pasien; foto dukun sunat yang sedang mengkhitan seorang anak; dan foto Franz Wilhelm Junghuhn, seorang botanikus asal Jerman yang berperan besar dalam produksi kina sebagai obat malaria, salah satu penyakit tropis yang menjadi momok Belanda di Indonesia.

Selain foto-foto, di ruang ini terdapat juga peralatan-peralatan yang dipakai dukun, seperti peralatan sunat; peralatan magic yang dipercaya untuk menolak bala; keris Nyai Brojol yang dipercaya dapat mempermudah ibu yang melahirkan; keris Ki Among yang pada masanya dipercaya dapat menghindarkan dari gangguan roh halus; gandik dan pipisan jamu untuk menggiling atau menumbuk bahan jamu sehingga mudah untuk diambil sari-patinya; timbangan ukuran kilogram yang biasa dipakai untuk menimbang racikan jamu; timbangan analistis; timbangan ukuran gram yang biasa digunakan untuk menimbang obat dalam bentuk tablet atau kapsul; dan timbangan miligram yang biasa dipakai untuk menimbang ramuan obat-obatan dalam bentuk bubuk.

Ruang Pengobatan Tradisional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Keenam, Ruang Sekolah Dokter Jawa. Ruang ini memamerkan benda-benda yang berhubungan dengan Sekolah Dokter Jawa, sebuah sekolah kedokteran yang di kemudian hari diubah menjadi STOVIA. Yang dipamerkan adalah replika Surat Keputusan Raja Willem II yang menyetujui dibukanya pendidikan kedokteran dengan anggaran sebesar 5.400 gulden; foto Dokter Willem Bosch, orang yang mengajukan usul kepada pemerintah untuk memberikan kursus kedokteran kepada sejumlah pemuda Jawa tepilih; foto pelajar Dokter Jawa; foto Sekolah Dokter Jawa tahun 1851; foto Sekolah Dokter Jawa tahun 1859; dan foto kegiatan dokter Jawa yang mendapatkan tugas dari pemerintah untuk mencegah terjadinya wabah penyakit menular dengan cara memberikan vaksinasi kepada masyarakat. Pada kondisi tertentu mereka juga diberikan izin memberikan pengobatan kepada masyarakat.

Di ruang ini dipajang juga foto Rumah Sakit Militer Weltevreden (kini Jakarta Pusat), tahun 1851. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus untuk merawat tentara Hindia Belanda beserta anggota keluarganya. Kini, rumah sakit tersebut bernama RSPAD Gatot Subroto.

Di ruang ini dipamerkan juga alat-alat kedokteran seperti tonsillotom (alat bantu operasi pada operasi tenggorokan), geolotine (alat untuk mengambil jaring amandel), targ/gunting operasi (alat bantu pada operasi tenggorokan), sonde/probe gigi (untuk membersihkan karang gigi), kaca mulut (alat untuk melihat gigi/gusi), biopsi (alat bantu pada operasi amandel), tang gigi (alat untuk mencabut gigi), hofman spiegel (alat untuk melihat bagian dalam telinga/lampu sorot), torgpatel (alat bantu bedah pada operasi kecil), wanghouder (alat bantu bedah pada operasi kecil), trocart (alat bantu pada operasi hidung), S.Hak (alat bantu bedah pada operasi kecil), dandang pensteril (dandang ini dipakai untuk mensterilkan peralatan kedokteran setelah digunakan praktek), alat pemecah kepala, peralatan pengikat tangan, tempat penyimpanan peralatan tes darah, tabung tes darah, alat pendeteksi jantung, pinset dan alat penggulung, tempat penyimpanan jarum suntik, alat pelapis tempat tidur/perlak, tempat penyimpan kain kasa, tempat penyimpan peralatan pembungkus untuk operasi seperti perban, dan elektroradiograf (alat pencatat detak jantung ini digunakan dalam praktek pelajar sekolah kedokteran di STOVIA).

Selain itu, sederetan nama orang yang pernah menjadi Direktur Sekolah Dokter Jawa juga dipampang di ruang ini. Mereka adalah: (1) Dokter Bleeker, 1851-1860; (2) Dokter BEJH. Becking, 1860-1863; (3) Dokter JG. TH. Bernelot Moens, 1863-1866; (4) Dokter EP. Tombrink, 1866-1868; (5) Dokter JJWE. Van Riemsdijk, 1868-1874; (6) Dokter TK. Semmelink, 1874-1876; (7) Dokter FJ. Cornelissen, 1876-1877; (8) Dokter J. Adriani, 1877-1878; (9) Dokter A. van der Elst, 1878-1884; (10) Dokter J. De Freytag, 1884-1886; (11) Dokter GB. Loewe, 1886; (12) Dokter J.K. Jacobs, 1886-1888; (13) Dokter Cristiaan Eijkman, 1888-1895; (14) Dokter H.F. Roll, 1895-1899; (15) Dokter G. Grijns, 1899; (16) Dokter W. Pauw, 1899-1900; dan (17) Dokter Kiwiet de Jonge.  

Ruang Sekolah Dokter Jawa (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Ketujuh, Ruang STOVIA. Ruang ini menceritakan perjalanan pendidikan kedokteran yang semula bernama Sekolah Dokter Jawa. Dikarenakan siswa Sekolah Dokter Jawa terus bertambah setiap tahun, akhirnya dibangun gedung baru. Pembangunan gedung sekolah tersebut sempat terhenti dikarenakan kekurangan dana. Berkat bantuan dana dari tiga pengusaha bernama J. Niewenhuys, P.W. Jansen, dan H.C. van den Honert, akhirnya pembangunan sekolah dapat diselesaikan. Nama Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi STOVIA.

Di ruang ini, selain dipajang alat-alat kedokteran seperti alat bantu pernafasan, urethroos coop (alat untuk mengambil cairan), suction (alat untuk menghisap cairan darah pada operasi), busi rektum (alat untuk melebarkan saluran anus), spooler (alat pembersih anus/usus besar dilakukan sebelum operasi agar sisa-sisa kotoran bersih), skapel (mata pisau untuk bedah), wondhaak (alat bantu operasi kulit), L.Hak (untuk membuka luka pada kulit), open drop (untuk membius dengan cara tetes), trilene inhaler (alat bius dengan cara hisap), bougie (untuk uretra laki-laki, yaitu alat untuk membuka saluran kencing dan untuk mengeluarkan urine pada penis laki-laki), kinet tulang (alat pembersih tulang sebelum dilakukan operasi), drillboor (alat untuk membuat lubang pada tulang untuk mengambil cairan darah), pinset (alat untuk mengambil jaringan lunak [atas] dan jaringan keras [bawah]), hak sisir/retractor (alat bantu operasi untuk mengaitkan kulit), dan lampu operasi. Dipajang juga tas bersisi peralatan praktek dokter, alat peraga kedokteran, buku-buku kedokteran, dan hasil karya pelajar STOVIA.

Selain hal-hal yang berhubungan dengan alat-alat kedokteran, di ruang ini juga dipamerkan replika ijazah STOVIA; foto pelajar STOVIA saat belajar di luar kelas; foto-foto fasilitas yang disediakan oleh STOVIA seperti gedung sekolah, asrama, ruang rekreasi, dan ruang gymnastic. Bahkan dipajang juga foto tiga orang pengusaha dari Deli yang namanya telah disebutkan di atas, yang menjadi donatur agar pembangunan sekolah yang sempat terhenti itu dapat diselesaikan. 

Sebagian koleksi di Ruang STOVIA (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kedelapan, Ruang Lulusan STOVIA. Di ruang ini dipajang daftar nama-nama lulusan STOVIA yang seluruhnya berjumlah 175 orang.

Yang menarik dari ruang ini adalah dipajangnya foto, patung, dan biografi singkat Marie Thomas, Anna Adeline Warouw, dan Jonas Andreas Latumeten. Siapakah mereka? Biografi singkat yang dipajang di “Ruang Lulusan STOVIA” memberikan informasi demikian.

Marie Thomas adalah pelopor dokter perempuan Indonesia. Perempuan yang lahir di Likopang, Minahasa, Sulawesi Utara pada 17 Februari 1896 ini berhasil mendapatkan beasiswa dari 

Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (SOVIA) yang kemudian menghantarkannya masuk ke STOVIA di Batavia pada 22 September 1912. Waktu itu, Marie Thomas adalah satu-satunya siswa perempuan di antara 180 siswa laki-laki di STOVIA. Pada 26 April 1922, STOVIA menyatakan Marie Thomas lulus dengan nilai yang memuaskan, sehingga berhak menyandang gelar Indhische Arts. Kelulusannya menjadi bahan berita di Hindia Belanda, karena Marie Thomas menjadi dokter perempuan pertama di tanah air.

Marie Thomas adalah sosok yang penuh talenta dengan berbagai pencapaian yang ia terima dalam karirnya sebagai dokter, termasuk spesialisasinya dalam bidang ginekologi dan kebidanan. Selain itu, Marie merupakan salah satu dokter yang pertama kali terlibat dalam kebijakan mengontrol kelahiran bayi lewat metode kontrasepsi Intrauterine Device (IUD). Marie Thomas meninggal pada tahun 1966 di usianya yang ke-70 tahun. Hingga akhir hayatnya, ia tetap mendedikasikan dirinya dalam dunia kedokteran dan pendidikan kebidanan.

Dua tahun setelah Marie Thomas masuk STOVIA, tepatnya pada 1914, berhasil masuk ke STOVIA juga Anna Adeline Warouw, gadis Minahasa kelahiran Amurang, 23 Februari 1898. Di STOVIA ia bersahabat dengan Marie Thomas. Kedua perempuan pelajar ini sering disebut sebagai “Si Kembar” (de Tweeling). Di sekolah, semua pelajar laki-laki sangat melindungi dan menyayangi kedua perempuan ini.

Setelah lulus dan menikah, Anna Adeline Warouw menemani suaminya ke Belanda untuk memperoleh sertifikat dokter dan mengambil spesialisasi otorinolaringologi yang ada di Universitas Leiden antara 1933-1935. Di zaman pendudukan Jepang, Anna Adeline Warouw menjadi dokter partikelir (bukan dokter pemerintah) ahli hidung di kompleks Rumah Sakit Semarang bersama Dokter Sardjito. Anna Adeline Warouw memutuskan kembali ke Manado untuk bekerja di laboratorium Rumah Sakit Umum Gunung Wenang dan mengajar di Universitas Sam Ratulangi. Anna Adeline Warouw meninggal di Jakarta pada 1979.

Lulusan STOVIA berikutnya yang foto, patung, dan biografi singkatnya dipajang di “Ruang Lulusan STOVIA” adalah Jonas Andreas Latumeten. Ia merupakan seorang ahli jiwa Indonesia. Laki-laki kelahiran Ambon, Maluku tahun 1888 ini masuk STOVIA pada 10 Januari 1903 dan lulus pada 19 Agustus 1911. Ia kemudian melanjutkan studi ke Belanda dan meraih gelar doktoral medis pada tahun 1925.

Jonas Andreas Latumeten pernah bertugas di beberapa rumah sakit jiwa, di antaranya di RSJ Lawang (sekarang RSJ Dokter Radjiman Wedyodiningrat), RSJ Sabang, dan RSJ Bogor (sekarang RSJ Dokter H. Marzoeki Mahdi). Setelah Indonesia merdeka, pada awal tahun 1946 ia diangkat menjadi profesor psikiatri di Sekolah Tinggi Kedokteran yang merupakan cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di usia senjanya, ia masih diprecaya menjadi inspektur rumah sakit jiwa di Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan) dan anggota Dewan Pertimbangan Agung bersama Dokter Radjiman Wedyodiningrat. Ia meninggal dunia pada 30 Mei 1948 dalam usia 60 tahun.

Di ruang ini, dipajang juga meja dan kursi Jonas Andreas Latumeten yang merupakan saksi bisu dari kesabaran dan ketekunannya dalam mengobati penderita sakit jiwa. 

Patung Jonas Andreas Latumeten, Anna Adeline Warouw, dan Marie Thomas di Ruang Lulusan STOVIA (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kesembilan, Ruang Memorial Budi Utomo. Ruang ini menjadi saksi dari peristiwa terbentuknya Oganisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. 

Ruang Memorial Budi Utomo (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kesepuluh, Ruang Asrama STOVIA. Para pelajar yang belajar di STOVIA harus tinggal di asrama. Di sinilah dulu para pelajar STOVIA itu tinggal. Asrama ini memiliki peraturan yang sangat ketat. Semua penghuni dituntut untuk hidup disiplin dan tanggung jawab. Aktivitas para pelajar diawasi oleh pengawas asrama yang dipanggil suppoost, yang setiap malam keliling asrama untuk memeriksa kondisi ruangan dan penghuninya.

Ruang Asrama STOVIA (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kelompok kedua berhubungan dengan Kebangkitan Nasional. Kelompok ini memiliki lima ruang yang ada hubungannya dengan Kebangkitan Nasional, dan dua ruang yang tidak ada hubungannya, yaitu Ruang Perpustakaan dan Ruang Tamu Museum.

Pertama, Ruang Audio Visual. Sesuai namanya, ruang ini diperuntukan bagi pengunjung yang ingin menonton film pendek terkait sejarah gedung yang kini dijadikan Museum Kebangkitan Nasional.

Audio visual sejarah Gedung Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kedua, Ruang dari Nusantara ke Hindia Belanda. Dari informasi yang terpampang di ruang ini, dapat kita ketahui bahwa pada zaman dahulu orang Eropa mengenal Nusantara dengan nama Hindia, yang kemudian diubah menjadi Hindia Timur. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Hindia Belanda ketika Nusantara dijajah oleh Belanda.

Ruang ini berisi peta dunia dan peta Indonesia sebagai bagian dari dunia, replika kapal VOC, lambang Kerajaan Belanda, koin VOC, dan koin Hindia Belanda. 

Ruang dari Nusantara ke Hindia Belanda (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Ketiga, Ruang Politik Etis. Ruang ini khusus membicarakan politik etis, seperti kebijakan politik etis yang dikeluarkan oleh Ratu Wilhelmina pada 17 September 1901; dipajangnya foto tokoh-tokoh politik etis seperti Eduard Douwes Dekker dan Conrad Theodor van Deventer; diceritakannya penyimpangan politik etis; pendidikan pada masa Hindia Belanda; munculnya elite baru; tokoh-tokoh pendidikan bangsa Indonesia seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara dengan kiprahnya masing-masing. 

Ruang Politik Etis (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Di samping itu, di ruang ini juga dipamerkan rempah-rempah yang menjadi penyebab bangsa Eropa datang dan akhirnya menjajah Indonesia, dan buku Max Havelaar karya Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker.

Kempat, Ruang Kelas STOVIA. Ruang ini menampilkan suasana belajar mengajar di kelas STOVIA dalam bentuk patung-patung seperti orang yang sedang berada di ruang kelas. Selain itu, dipajang juga foto-foto seperti foto kelas anatomi, foto minum obat cacing, foto kelas STOVIA, dan foto peresmian alat kedokteran. 

Ruang Kelas STOVIA (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Kelima, Ruang Budi Utomo, Ibu Perhimpunan. Ruang ini menceritakan tentang Budi Utomo, mulai dari pendirian, kongres, pengurus, dan ketua Budi Utomo. Selain dipameran tokoh-tokohnya dalam bentuk patung, juga dalam bentuk foto.

Ruang Budi Utomo, Ibu Perhimpunan (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

“Ruang Budi Utomo, Ibu Perhimpunan” adalah ruang terakhir dalam hubungannya dengan benda-benda yang dipamerkan di Museum Kebangkitan Nasional. Meskipun demikian, tidak berarti bangunannya hanya sebatas yang digunakan untuk ruang pameran.

Foto yang diambil dari salah satu sudut bagian dalam Museum Kebangkitan Nasional di dekat “Ruang Budi Utomo, Ibu Perhimpunan” ini menunjukkan betapa luasnya tanah yang digunakan untuk membangun gedung ini, dan betapa banyaknya bangunan yang ada. Sebuah bangunan yang tentunya tergolong megah untuk ukuran waktu itu. 

Bagian dalam Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Bila kita membaca Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional yang diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional tahun 2010, ternyata terdapat perbedaan dalam tata pameran dengan tata pameran saat saya berkunjung ke museum tersebut. Ini menandakan bahwa tata pameran dalam museum tidak monoton, tapi terkadang diubah tanpa melepaskan diri dari substansi museum itu sendiri. Tujuannya tentu agar pengunjung tidak merasa bosan. Hanya saja kapan perubahan itu terjadi, saya tidak tahu.

Adapun tata pameran pada tahun 2010, ruang-ruangnya bernama: Ruang Pengenalan, Ruang Sebelum Pergerakan Nasional, Ruang Awal Kesadaran Nasional, Ruang Pergerakan Nasional, dan Ruang-Ruang Tematik yang terdiri atas: (1) Ruang Peragaan Kelas STOVIA, (2) Ruang Peragaan Kelas Kartini, (3) Ruang Peragaan Dosen STOVIA, dan (4) Ruang Memorial.


Dari Sekolah Dokter Jawa ke STOVIA

Berbicara tentang bangunan yang kini dijadikan Museum Kebangkitan Nasional, tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendidikan kedokteran di Hindia Belanda, mulai dari Sekolah Dokter Jawa hingga STOVIA.

Berdirinya Sekolah Dokter Jawa bermula dari terjadinya wabah penyakit menular seperti tipes, kolera, desentri dan lain-lain yang tersebar di daerah Banyumas dan Purwokerto pada 1847. Penyakit tersebut tidak dapat diberantas oleh tenaga medis pemerintah Hindia Belanda yang jumlahnya sangat terbatas. Pengobatan secara tradisional yang ada pada waktu itu juga tidak mampu memberantas penyakit menular tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada 14 April 1847 Dokter Willem Bosch melalui suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.J. Rochussen mengusulkan agar pemerintah mencegah meluasnya wabah penyakit menular yang sedang melanda penduduk. Namun usulan tersebut tidak disetujui dikarenakan mahalnya biaya untuk mendatangkan tenaga medis dari negara Belanda.

Sambil terus berusaha mengatasi wabah, pada 11 Oktober 1847 Dokter Willem Bosch kembali mengajukan usul kepada pemerintah. Kali ini ia usul agar pemerintah memberikan kursus kedokteran kepada sejumlah pemuda Jawa terpilih. Usulan ini dilatarbelakangi sulitnya mendatangkan tenaga medis dari Belanda karena mahalnya biaya. Nantinya, tamatan kursus ini diharapkan dapat membantu penduduk di daerah asalnya dalam urusan kesehatan. Usulan tersebut dianggap sebagai satu-satunya usulan yang logis dan tidak banyak membutuhkan biaya. Oleh karena itu, J.J. Rochussen mendukung usulan Dokter Willem Bosch.

Pada 16 Desember 1847 Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.J. Rochussen mengirimkan laporan kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan. Tiga bulan berikutnya, tepatnya pada 23 Maret 1848, Raja Willem II mengeluarkan keputusan menyetujui dibukanya pendidikan kedokteran di Hindia Belanda dengan anggaran sebesar 5.400 gulden.

Perjuangan Dokter Willem Bosch agar pemerintah memberikan kursus kedokteran tidak sia-sia. Pada 2 Januari 1849 keluar Gouvernementbesluit atau Keputusan Pemerintah yang menetapkan bahwa 30 pemuda suku Jawa akan dididik secara gratis menjadi tenaga kesehatan dan vaccinateur (mantri cacar) di Rumah Sakit Militer Weltevreden. Untuk menjadi dokter pribumi dan mantri cacar, mereka harus mampu membaca dan menulis bahasa Melayu dan Jawa. Setelah selesai mengikuti pendidikan, mereka harus bersedia menjadi pegawai pemerintah sebagai petugas vaksin dan pengobatan di wilayah tempat asal.

Pada 1 Januari 1851 pemerintah membuka Onderwijs van Inlandsche êlèves voor de geneeskunde en vaccine (Pendidikan Kedokteran dan Vaksin Anak-Anak Bumiputera). Pendidikan ini dikenal juga sebagai Sekolah Dokter Jawa. Sekolah yang masa pendidikannya selama dua tahun ini dipimpin oleh Dokter Petrus Bleeke dan menempati salah satu bangunan yang ada di Rumah Sakit Militer Weltevreden, karena pengajarnya merangkap sebagai dokter di rumah sakit tersebut. Sekolah ini diikuti oleh 12 siswa yang semuanya berasal dari Jawa. Materi pendidikan meliputi cara mencacar dan memberikan pertolongan kepada penderita sakit panas dan sakit perut.

Sekolah Dokter Jawa meluluskan siswanya yang pertama kali sebanyak 11 siswa. Berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 10 tanggal 5 Juni 1853, mereka yang telah lulus berhak menyandang gelar Dokter Jawa. Mereka dipekerjakan sebagai mantri cacar, diperbantukan di rumah sakit, dan membantu dokter militer merangkap dokter sipil.

Sejak 1856 Sekolah Dokter Jawa mulai menerima siswa dari luar Pulau Jawa. Mereka berasal dari Minangkabau sebanyak dua siswa dan dari Minahasa sebanyak dua siswa juga. Tahun 1864 mulai dilakukan peningkatan lama pendidikan, dari dua tahun menjadi tiga tahun. Jumlah siswa dibatasi sebanyak 50 orang.

Perubahan lama pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas para dokter sehingga mampu bekerja sendiri di bawah pengawasan dokter Belanda dan Kepala Pemerintahan Daerah. Namun ketika para dokter lulusan Sekolah Dokter Jawa ini mengabdi di masyarakat, mereka mengalami penolakan oleh dokter Belanda. Sejak 1864 pemerintah kolonial mencabut wewenang praktek dokternya bagi para lulusan Sekolah Dokter Jawa, dan mempekerjakannya sebagai mantri cacar.

Sekolah Dokter Jawa (Sumber foto: https://museumkebangkitannasional.com/sejarah-museum-kebangkitan-nasional/)  

 

Tahun 1875 terjadi perubahan besar di Sekolah Dokter Jawa. Yang semula lama pendidikannya tiga tahun, ditingkatkan menjadi tujuh tahun dengan jumlah siswa sebanyak 100 orang. Jumlah siswa terus bertambah setiap tahun, sehingga aktivitas pendidikan yang berlangsung setiap hari ditambah asrama yang ada di tempat tersebut, dianggap mengganggu kenyamanan rumah sakit. Oleh karena itu, dewan pengajar memutuskan untuk memindahkan sekolah tersebut dari lingkungan Rumah Sakit Militer Weltevreden.  

Pembangunan gedung baru mulai dilaksanakan pada 1899 di dekat Rumah Sakit Militer Weltevreden, dan selesai tahun 1901. Dikarenakan pada akhir tahun 1901 di Batavia (kini Jakarta) terjadi wabah penyakit yang juga menimpa para pelajar Sekolah Dokter Jawa, akhirnya peresmian gedung baru itu dilaksanakan pada 1 Maret 1902. Namanya bukan Sekolah Dokter Jawa lagi, melainkan diubah menjadi STOVIA. Jadi, lahirnya STOVIA menandai berakhirnya Sekolah Dokter Jawa. Masa pendidikan STOVIA selama sembilan tahun. Kurikulum pendidikannya disesuaikan dengan School Voor Officieren van Gezondeid di Utrech, sehingga lulusan STOVIA diharapkan sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa.

STOVIA menjadi lembaga pendidikan pertama yang menjadi tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai daerah. Pemerintah memang memberikan kesempatan yang sama kepada anak-anak bumiputera yang memenuhi syarat untuk menjadi siswa STOVIA, yakni memiliki kecerdasan yang cukup tinggi. Proses penyeleksiannya sangat ketat.

Selama menjalani pendidikan, pelajar STOVIA diharuskan tinggal di dalam asrama. Pengelola asrama menerapkan sikap disiplin dan tanggung jawab yang ketat dengan jadwal kegiatan yang sudah ditentukan dari pagi sampai malam hari. Barang siapa melanggar ketentuan, maka ia akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.

Interaksi antarpelajar STOVIA yang terjadi dalam kehidupan di asrama menjadi media untuk mempelajari adat-istiadat etnis lain, sehingga tercipta suasana saling memahami perbedaan kehidupan sosial dan kebudayaan, Dari sini rasa persaudaraan antarpenghuni asrama mulai lahir, sehingga mereka tidak lagi memedulikan perbedaan etnis, budaya, dan agama.

Sejak berdirinya pada 1902, setiap pelajar yang masuk ke STOVIA diwajibkan membuat surat pernjajian yang isinya siap untuk bekerja pada dinas pemerintahan selama 10 tahun berturut-turut, dan siap ditempatkan di mana saja tenaganya dibutuhkan. Jika melanggar, maka ia bersama orang tua atau walinya wajib mengembalikan biaya pendidikan selama sembilan tahun kepada pemerintah. Perjanjian tersebut merisaukan dan memberatkan para pelajar yang masih melangsungkan pendidikannya. Akibatnya banyak siswa yang tidak melanjutkan pendidikan. Perjanjian tadi ditinjau kembali, dan selanjutnya diputuskan bahwa ketentuan tersebut diberlakukan hanya kepada pelajar baru. Setelah itu, proses pendidikan kembali normal.

Para lulusan STOVIA berhak menyandang gelar Inlandsch Art atau Dokter Bumiputera. Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai penyakit menular. Dalam menjalankan tugasnya, mereka dibekali tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.

Di kemudian hari, pendidikan kedokteran ini dibuka tidak hanya untuk pribumi, tapi untuk siapa saja, termasuk keturunan Timur Asing dan Eropa. Oleh karena itu, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia) pada 1913, sehingga namanya menjadi School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Ketentuannya, mereka yang bersekolah di sini akan mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial dan wajib menjalankan ikatan dinas selama 10 tahun. Apabila ada yang melanggar ketentuan, maka ia akan didenda sebesar 5.800 gulden.

Ketika jumlah pelajar STOVIA terus bertambah, pemerintah merasa perlu membangun gedung baru sebagai tempat pendidikan dan praktik pelajar STOVIA untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tahun 1919 berdirilah Centrale Buergerlijke Ziekeninrichting (yang kini menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) di Salemba, sebagai tempat pendidikan dan praktik pelajar STOVIA.Di tempat ini,sarana dan prasarananya lebih lengkap dan lebih modern.

Kegiatan pendidikan STOVIA secara resmi pindah ke gedung baru di Salemba pada bulan Juli 1920. Ruang-ruang kelas yang ada dimanfaatkan sebagai tempat belajar Sekolah Asisten Apoteker. Sementara untuk tempat tinggal, para pelajar STOVIA diberi kebebasan untuk memilih, apakah akan tetap tinggal di asrama STOVIA atau kos di rumah penduduk yang ada di sekitar Salemba.  

Sejak 1926, semua aktivitas pendidikan kedokteran dipindahkan ke Salemba, termasuk aktivitas asrama para pelajarnya. Tanggal 9 Agustus 1927, STOVIA ditetapkan menjadi pendidikan tinggi dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Selanjutnya, pada 2 Februari 1950 namanya berubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Sejarah Gedung Museum Kebangkitan Nasional

Gedung bergaya Neo-Renaissance yang kini dijadikan Museum Kebangkitan Nasional bukanlah bangunan baru. Seperti telah disebutkan di atas, jumlah siswa Sekolah Dokter Jawa yang terus bertambah setiap tahun mengakibatkan kenyamanan rumah sakit menjadi terganggu karena aktivitas pendidikan yang dilakukan setiap hari dan aktivitas pelajar di asrama. Oleh karena itu, diputuskan sekolah harus dipindah.  

Dokter H.F. Rool selaku Dikretur Sekolah Dokter Jawa pada 1899 mulai melaksanakan pembangunan gedung baru di dekat Rumah Sakit Militer Weltevreden. Namun pembangunan tersebut sempat terhenti karena kekurangan biaya. Berkat perjuangannya yang tak kenal lelah, Dokter H.F. Rool akhirnya berhasil mengumpulkan dana sebesar 178.000 gulden untuk melanjutkan pembangunan gedung tersebut. Dana tersebut diperoleh dari bantuan tiga orang pengusaha perkebunan yang nama dan fotonya dipajang di “Ruang STOVIA” Museum Kebangkitan Nasional, yakni J. Niewenhuys, P.W. Jansen, dan H.C. van den Honert. Pembangunan gedung pun dapat diselesaikan pada September 1901.

Gedung yang didirikan di atas tanah seluas 15.742 m² dengan bentuk persegi panjang yang tidak sempurna ini diperuntukkan sebagai gedung sekolah dan asrama pelajar STOVIA yang dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan oleh penghuninya. Bangunan di sebelah timur digunakan sebagai kantor direktur, kantor dewan pengajar, tata usaha, poliklinik, dan ruang kelas. Bangunan di sebelah utara, barat, dan selatan dipergunakan sebagai asrama yang dilengkapi dengan kamar mandi. Sementara di bagian tengah halaman, terdapat tiga bangunan yang digunakan untuk praktek fisika dan kimia, kegiatan senam (gymnastic), dan ruang rekreasi. Halaman gedung dipenuhi hamparan rumput diselingi dengan taman-taman yang indah. Sekolah ini sebagai pengganti Sekolah Dokter Jawa.   

Awalnya, gedung STOVIA akan diresmikan pada 5 Oktober 1901. Namun karena di Batavia (kini Jakarta) muncul wabah penyakit beri-beri dan kolera yang juga menimpa para pejalar Sekolah Dokter Jawa, sehingga peresmian gedung STOVIA menjadi tertunda. Baru pada 1 Maret 1902 gedung STOVIA diresmikan.

Seiring dengan perkembangan zaman, gedung STOVIA dianggap tidak representatif lagi untuk tempat pendidikan dokter. Oleh karena itu, pemerintah lalu membangun gedung baru untuk tempat pendidikan dan praktik pelajar STOVIA yang diberi nama Centrale Buergerlijke Ziekeninrichting. Peralatan kedokterannya sama dengan peralatan kedokteran yang ada di Eropa. Kegiatan pendidikan secara resmi pindah ke gedung tersebut pada Juli 1920.  

Setelah semua aktivitas pendidikan kedokteran, termasuk aktivitas asrama para pelajarnya dipindahkan ke Salemba pada 1926, gedung STOVIA selanjutnya dipakai sebagai sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sebuah sekolah setara Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Pada zaman pendudukan Jepang, gedung STOVIA difungsikan sebagai kamar tahanan pasukan Belanda yang melawan Jepang. Setelah Indonesia merdeka pada 1945 hingga 1973, gedung ini ditempati keluarga tentara Belanda dan beberapa keluarga asal Ambon.

Bagi bangsa Indonesia, gedung STOVIA dianggap memiliki nilai sejarah yang tinggi. Oleh karena itu, Pemerintah DKI Jakarta sejak tanggal 6 April 1973 mulai melakukan pemugaran terhadap gedung STOVIA. Setelah pemugaran selesai, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1974, gedung ini diresmikan menjadi Gedung Kebangkitan Nasional oleh Presiden Soeharto. Gedung yang terbagi menjadi empat bagian ini difungsikan sebagai Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers, dan Museum Kesehatan. Pada 7 Februari 1984 gedung ini resmi menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Pemugaran bekas gedung STOVIA (Sumber foto: https://museumkebangkitannasional.com/sejarah-museum-kebangkitan-nasional/)  

 

Dari Nusantara ke Hindia Belanda hingga Indonesia

Di Museum Kebangkitan Nasional ada ruang yang diberi nama “Dari Nusantara ke Hindia Belanda”. Di ruang ini ditampilkan peta dunia dan peta Indonesia. Peta dunia tersebut memberikan gambaran jalur pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Eropa, baik ke barat maupun ke timur. Yang ke timur, salah satunya adalah ke Indonesia.

Kala itu, istilah Indonesia memang belum dikenal. Wilayah-wilayah yang kini disebut Indonesia, pada zamam dahulu masih terdiri atas kerajaan-kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu, karena mereka saling berebut kuasa, sehingga timbul tenggelam, berganti dengan kerajaan lain yang terkadang tadinya merupakan vasal dari kerajaan tersebut. Hukum yang berlaku kala itu, yang kuat akan menjadi penguasa, sedangkan yang lemah akan menjadi vasal.

Meskipun istilah Indonesia belum dikenal, namun Gajah Mada, Patih Amangkubumi dari Majapahit, menyebut wilayah-wilayah yang terdiri atas pulau-pulau itu dengan istilah Nusantara. Hal ini bisa kita ketahui dari bunyi Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton. Demikian bunyi Sumpah Palapa seperti yang dikutip oleh Soedjipto Abimanyu.

“Sira Gajah Mada Pepatih Amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”.

Slamet Muljana dalam bukunya berjudul Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, mengartikan istilah amukti palapa dengan ‘bebas tugas’ alias ‘cuti’ atau ‘istirahat’. Maksudnya, tidak lagi menjalankan tugas. Menurutnya, ungkapan amukti palapa merupakan lawan dari ungkapan amukti wibhawa yang berarti mengenyam kekuasaan atau menikmati kekuasaan.

Berbeda dengan Slamet Muljana, Soedjipto Abimanyu mengartikan istilah amukti palapa dengan ‘melepaskan puasa’. Dalam hal ini, saya lebih condong pada pendapat Slamet Muljana. Dengan demikian, kutipan Sumpah Palapa di atas dapat diterjemahan sebagai berikut.

Beliau, Gajah Mada sebagai Patih Amangkubumi tidak ingin beristirahat (dari tugas). Gajah Mada berkata, “Bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) beristirahat (dari tugas). Bila telah mengalahkan Gurun, Seram. Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompu, Bali, Sunda, Palembang, (dan) Tumasik. Demikianlah saya (baru akan) beristirahat (dari tugas).

Secara morfologi, kata “Nusantara” berasal dari dua kata, yakni “nusa” dan “antara”. Gabungan dua kata menjadi satu seperti itu, dalam bahasa Jawa disebut tembung garba. Kata ”nusa” artinya pulau, sedangkan “antara” berarti di antara atau seberang. Jadi, secara harfiah, kata “Nusantara” berarti pulau-pulau di antara, atau seberang. Namun dalam konteks sejarah, kata “Nusantara” digunakan untuk menyebut wilayah kepulauan di luar Pulau Jawa pada masa kerajaan-kerajaan.

Tempo dulu, bangsa Eropa mengenal Nusantara dengan nama Hindia, yang kemudian diubah menjadi Hindia Timur pada masa penjelajahan samudera. Bangsa Eropa yang datang ke Nusantara, pada awalnya bertujuan untuk mencari rempah-rempah. Ketika telah sampai di negeri penghasil rempah-rempah, mereka justru bernafsu untuk menguasai dan mendapatkan kekayaan alam wilayah yang didatanginya. Oleh karena bangsa Eropa yang datang ke Nusantara tidak hanya satu, sehingga mereka saling bersaing untuk menguasai wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, bangsa Belandalah yang berhasil memenangkan persaingan. Oleh Belanda, nama Hindia kemudian diubah menjadi Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) atau Nederlandsch Oost Indie (Hindia Timur Belanda). Perubahan nama ini untuk menegaskan bahwa Kerajaan Belanda berkuasa di wilayah tersebut.

Lalu sejak kapan istilah “Indonesia” itu muncul? Saat Budi Utomo didirikan pada 1908, istilah “Indonesia” sebagai sebuah negeri yang menunjuk pada gugusan kepulauan di Asia Tenggara belumlah populer. Meskipun demikian, nama itu sudah dikenal di kalangan ilmiah, terutama sejak terbitnya karya Bastian pada 1884 yang berjudul Indonesien oder die Inseln des malayischen Archipels. Sejak saat itulah istilah “Indonesia” menjadi lazim dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu bangsa-bangsa dan ilmu bahasa. Namun berkat penemuan Kreemer, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta dalam bukunya berjudul Nama Indonesia (Penemuan Komunis?), kita sekarang tahu bahwa nama “Indonesia” (Indonesie) dan orang-orang Indonesia (Indonesiers) itu lebih tua daripada perkiraan semula. Dalam “Koloniaal Weekblad” yang terbit tanggal 3 Februari 1927 Kreemer mengemukakan bahwa penamaan-penamaan tersebut pertama kali dipakai oleh ahli ilmu bangsa-bangsa Inggris J.B. Logan dalam karangannya yang berjudul “The etnology of the India Archipelago”, yang dimuat dalam Journal of the India Archipelagoand Eastern Asia tahun 1850.

Mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Belanda, ketika mendirikan organisasi di sana pada 1908, namanya masih Indische Vereeniging. Mereka belum menggunakan istilah Indonesia. Baru sejak 1922 nama Indonesia secara konsekuen dipakai oleh mereka untuk menamakan organisasinya, yakni Indonesische Vereeniging, sebagai pengganti Indische Vereeniging. Oleh karena nama itu masih berbau kolonial, maka pada 1925 nama organisasinya diubah dengan menggunakan bahasa sendiri, yaitu Perhimpunan Indonesia.

Menurut Mohammad Hatta, bagi orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan tujuan politik. Dalam arti politik, karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan. Bukan kemerdekaan Hindia Belanda, melainkan kemerdekaan Indonesia. Negara Indonesia mustahil disebut Hindia Belanda bila merdeka pada waktu yang akan datang, pun tidak akan disebut India (Hindia) saja, karena akan dikacaukan dengan India.

Tahun 1928, istilah Indonesia untuk menyebut tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan makin berkibar ketika beberapa organisasi pemuda mengadakan Kongres Pemuda Kedua yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Para pemuda itu menyatakan:

Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.

Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


Penjajahan dan Perlawanan

Sebelum Kaisar Romawi (Konstantinopel) dikalahkan oleh Khalifah Turki Usmani (Ottoman) pada 1453, rempah-rempah masuk ke Eropa melalui saudagar-saudagar Arab di Timur Tengah. Saudagar-saudagar Portugis, Spanyol, dan Belanda menjadi pedagang perantara dalam perniagaan rempah-rempah tersebut. Mereka mengangkut rempah-rempah dari beberapa pelabuhan di perairan Laut Tengah untuk dijual di pasar-pasar Eropa Barat. Akan tetapi setelah dikalahkannya Kaisar Romawi oleh Khalifah Turki Usmani, perdagangan rempah-rempah antara Eropa dan Asia melalui Laut Tengah menjadi terputus. Padahal rempah-rempah merupakan komoditas perdagangan yang paling diminati di Eropa. Iklim yang dingin membuat bangsa Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah yang hanya dapat ditanam di Asia untuk menghangatkan tubuh dan sebagai bahan pengawet makanan. Hal inilah yang mendorong bangsa-bangsa Eropa menjelajahi samudera mencari sumber rempah-rempah sendiri.

Nusantara merupakan wilayah yang kaya rempah-rempah, yakni tumbuhan yang bagian tertentu (seperti biji, buah, kulit kayu, atau rimpang) digunakan sebagai bumbu atau penyedap makanan, serta memiliki manfaat kesehatan. Beberapa contoh rempah-rempah, misalnya: lada (merica), cengkih, kayu manis, pala, jahe, kunyit, dan kapulaga. Sebagai penghasil rempah-rempah, nama Nusantara atau Hindia (kini Indonesia) sampai juga ke telinga bangsa Eropa. Penjelajahan samudera pun mereka lakukan untuk mencari rempah-rempah ke tempat asalnya. Sesampainya di Indonesia, niat awal untuk mencari rempah-rempah lalu berkembang menjadi penaklukkan terhadap bangsa yang didatangi dan munculnya kolonialisme.

Bangsa Eropa yang datang pertama kali ke Indonesia adalah Portugis. Sebetulnya, Portugis bukanlah nama negara, melainkan nama bahasa. Nama negaranya adalah Portugal. Portugis merupakan bahasa yang digunakan oleh orang-orang di negara tersebut. Meskipun demikian, buku-buku sejarah lebih banyak menorehkan nama Portugis daripada Portugal sebagai bangsa yang pernah datang dan kemudian menjajah Indonesia.

Pertama kalinya bangsa Portugis menginjakkan kaki di Asia, tepatnya di Calicut, India, tahun 1498. Orang yang merintis jalan bagi pelayaran Portugis ke Asia adalah Vasco de Gama. Ia memang seorang pelaut yang berpengalaman. Bahkan ia sampai tiga kali berlayar ke India.

Kabar bahwa Kesultanan Melaka merupakan sebuah negeri yang makmur terdengar sampai ke telinga Raja Portugal, Manuel I. Raja Portugal itupun kemudian mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk berlayar ke Melaka dan menjalin persahabatan dengan penguasanya. Ia juga diperintahkan untuk menetap di Melaka sebagai wakil Portugal. Berangkatlah Diogo Lopes de Sequeira ke Melaka, dan sampai di sana pada 1509.

Mula-mula Diogo Lopes de Sequeira disambut dengan baik oleh Sultan Mahmud Syah, raja Melaka. Namun ketika Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque berhasil menaklukkan Goa di pantai barat India pada 1510, komunitas Islam internasional meyakinkan Sultan Mahmud Syah bahwa Portugis merupakan ancaman besar bagi Kesultanan Melaka sebagaimana yang terjadi pada Goa. Mendengar informasi tersebut, Sultan Mahmud Syah kemudian berbalik melawan Diogo Lopes de Sequeira. Beberapa orang Portugis berhasil ditawan dan beberapa yang lain dibunuh. Sultan Mahmud Syah juga mencoba menyerang empat kapal Portugis, tetapi kapal-kapal tersebut berhasil lolos.  

Belajar dari pengalaman di India, bangsa Portugis berkesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk dapat menancapkan kukunya di Melaka adalah melakukan penaklukkan. Bulan April 1511, Alfonso de Albuquerque melakukan pelayaran dari Goa menuju Melaka dengan menggunakan kapal yang dilengkapi dengan tentara, senjata ringan (senapan), dan senjata berat (meriam). Ia memimpin 17 atau 18 kapal yang mengangkut 1.200 orang. Tujuannya untuk menuntut balas pada Melaka. Setelah kapal-kapal Portugis itu mendarat, mereka menyerang Melaka. Peperangan terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli dan awal Agustus 1511, hingga akhirnya kemenangan berpihak pada bangsa Portugis. Melaka kini berada dalam genggaman kekuasaan Portugis.  

Setelah berhasil menaklukkan Melaka, Alfonso de Albuquerque mulai berupaya membangun kubu pertahanan permanen guna mengantisipasi serangan balasan dari Sultan Mahmud Syah. Sebuah benteng dirancang dan dibangun mengungkungi sebuah bukit, menyusuri garis pantai, di tenggara muara sungai, menempati bekas lahan istana Sultan Mahmud Syah.

Setelah menaklukkan Kesultanan Melaka, bangsa Portugis lalu menyasar Maluku pada 1512. Hal ini dilakukan setelah memperoleh informasi bahwa Maluku merupakan penghasil rempah-rempah. Kapal-kapal milik Portugis dibawa oleh Antonio de Albreu dan Francisco Serreão menuju Maluku. Sesampainya di Maluku, rombongan Portugis itu disambut baik oleh Sultan Bayanullah di Ternate. Saat itu Kesultanan Ternate sedang berseteru dengan Kesultanan Tidore.

Kesultanan Ternate kemudian menjalin kerja sama dengan Portugis. Sultan Bayanullah memberikan izin kepada Portugis untuk membangun benteng di Ternate yang kelak dikenal dengan sebutan Benteng São João Baptista de Ternate atau Benteng São Paulo. Benteng ini dikenal juga dengan nama Benteng Gamalama. Pemberian izin membangun benteng itu bukan tanpa alasan. Kesultanan Ternate yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Tidore, berharap mendapat dukungan militer dan persenjataan modern dari Portugis untuk memperkuat pertahanan kerajaannya. Kerja sama tersebut tampaknya menguntungkan kedua belah pihak. Namun kenyataan pihak Kesultanan Ternate justru dirugikan. Portugis yang telah mendapat izin mendirikan benteng itu menjadikannya sebagai kesempatan emas untuk mengamankan jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat mereka incar. Melalui benteng tersebut, Portugis memonopoli perdagangan rempah-rempah, mengendalikan harga, dan mencegah pedagang lain seperti dari Arab, Jawa, dan Cina, untuk bersaing serta menyebarkan agama Katolik. Bahkan Portugis semakin menunjukkan dominasinya atas Kesultanan Ternate, karena ikut mencampuri urusan internal kerajaan, seperti dalam pergantian sultan. Benteng yang semula diharapkan menjadi pengaman bagi Ternate dari serangan Tidore, justru menjadi simbol kekuasaan Portugis atas tanah Ternate. Hal ini yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan bangsawan lokal dan rakyat.

Selain Melaka dan Maluku, wilayah lain yang pernah dijajah Portugis adalah Samudra Pasai. Pada 1521, Kesultanan Samudra Pasai di bawah kekuasaan Sultan Zainal Abidin diserang Portugis hingga runtuh. Kesultanan Samudra Pasai pun akhirnya berada dalam genggaman kekuasaan Portugis. Melihat Kerajaan Samudra Pasai melemah, Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh memanfaatkan kesempatan ini dengan mengambil alih Samudra Pasai. Pada 1524 wilayah Samudra Pasai berhasil menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh. Meskipun Portugis melakukan serangan-serangan terhadap Kesultanan Aceh karena ingin menguasainya, namun semua serangan tersebut dapat ditangkis oleh Aceh. Di sisi lain, Kesultanan Aceh juga melakukan berbagai serangan untuk menggulingkan Portugis di Melaka, sehingga menghambat ekspansi Portugis di Asia Tenggara.

Ketika kekuasaan Kesultanan Ternate sudah didominasi oleh Portugis, menyusul datang ke Maluku bangsa Eropa yang lain, yakni Spanyol. Setelah berhasil mencapai Kepulauan Massava di Filipina, bangsa Spanyol melanjutkan perjalanan ke Maluku di bawah pimpinan Kapten Juan Sebastian Elcano. Dengan menggunakan kapal Trinidad dan Victoria, mereka tiba di Maluku pada 8 November 1521. Kedatangan Spanyol disambut oleh Sultan Al-Mansur di Tidore. Sultan Tidore melihat bangsa Spanyol sebagai sekutu potensial untuk menandingi kekuatan Ternate dan Portugis di Maluku. Oleh karena itu, merekapun bersekutu. Harapan Sultan Tidore adalah memperluas jaringan perdagangan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan bantuan militer dari Spanyol. Sementara Spanyol membutuhkan pasokan rempah-rempah.

Kedatangan bangsa Spanyol ke Maluku dianggap melanggar Perjanjian Tordesillas oleh Portugis. Perjanjian Tordesillas adalah perjanjian antara Kerajaan Spanyol dan Portugal yang ditandatangani di Tordesillas, Spanyol, pada 7 Juni 1494 yang menetapkan garis demarkasi untuk membagi wilayah di luar Eropa, dengan Spanyol mendapatkan hak untuk mengklaim wilayah di sebelah barat garis dan Portugal di sebelah timur. Akibat pelanggaran tersebut, terjadilah konflik antara Portugis dan Spanyol yang berujung pada Perjanjian Saragosa. Perjanjian ini memperbaharui Perjanjian Tordesillas. Isinya, memerintahkan Spanyol untuk meninggalkan Maluku dan memusatkan perdagangan di Filipina, sementara Portugis diperbolehkan untuk tetap beroperasi di Maluku.

Selain ke Maluku, bangsa Portugis dan Spanyol juga memasuki wilayah Sulawesi Utara, terutama Minahasa. Misinya adalah menyebarkan agama Nasrani. Pada 1563, Raja Siau dibaptis bersama rakyat Minahasa oleh Portugis. Misi penyebaran agama Katolik yang dilakukan oleh Portugis kemudian dilanjutkan oleh Spanyol sejak 1580.

Bangsa Eropa berikutnya yang datang ke Indonesia adalah Belanda. Di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, empat kapal Belanda mendarat di Banten pada 23 Juni 1596. Meskipun awalnya mereka datang ke Indonesia untuk berdagang, namun lambat-laun mereka merebut kekuasaan dari penguasa setempat. Seiring berjalannya waktu, bangsa-bangsa Eropa yang awalnya bersaing mendapatkan rempah-rempah dan menjajah, satu demi satu tersingkir hingga akhirnya tinggal bangsa Belanda yang menguasai jalur perdagangan rempah-rempah dan menjajah Indonesia. Sampai awal abad ke-20, hampir seluruh wilayah di Indonesia dikuasai Belanda.

Replika kapal VOC di Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Selain pernah dijajah oleh ketiga bangsa Eropa tersebut, Indonesia juga pernah dijajah oleh Inggris. Pertama kali bangsa Inggris datang ke Indonesia benar-benar dalam rangka mencari rempah-rempah. Setelah melalui perjalanan panjang hingga ke Amerika, akhirnya rombongan Inggris yang dipimpin oleh Francis Drake itu sampai juga di Maluku. Kedatangan Inggris ke Maluku pada 3 November 1579, disambut dengan baik oleh Sultan Baabullah di Ternate. Rombongan Francis Drake tinggal di situ selama lima hari. Setelah mendapatkan rempah-rempah, mereka kembali ke Inggris.

Perkembangan selanjutnya, pada 1602 Inggris mengirim utusan ke Banten untuk mengadakan hubungan bilateral. Inggris diberikan izin oleh Sultan Banten untuk mendirikan kantor dagang. Bahkan tak hanya di Banten, Inggris juga membangun sejumlah kantor dagang di tempat lain seperti Jayakarta, Makassar, Gowa, dan Aceh. Namun perilaku Inggris yang sombong dan otoriter menyebabkan penduduk lokal tak menyenangi mereka.

Inggris juga mendatangi Bengkulu pada 1647, tapi mereka belum menetap di situ. Mereka hanya datang dan pergi. Pada Juni 1685 Inggris mendapatkan izin menetap dan dapat melakukan perdagangan bebas. Perjanjian ini dilakukan oleh Inggris yang diwakili Rapl Ord dengan Pangeran Raja Muda dari Kerajaan Sungai Lemau. Kian lama Inggris mengembangkan sayapnya, sehingga beberapa wilayah di Bengkulu berada dalam genggamannya.

Tahun 1811-1816 Inggris menjajah Jawa. Awal mula Inggris menjajah Indonesia yaitu ketika Inggris berperang melawan Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis. Ia ingin menjadikan Perancis sebagai penguasa Eropa. Oleh karena itu, perang antara Perancis dengan beberapa negara di Eropa pun terjadi. Perang ini dikenal dengan nama Perang Napoleon.

Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte berhasil menaklukkan Belanda. Ia kemudian menjadikan Belanda sebagai bagian dari Kekaisaran Perancis. Adiknya, Louis Bonaparte, ditunjuk sebagai penguasa Belanda. Saat itu Belanda telah menguasai beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Pulau Jawa. Oleh karena Belanda sudah menjadi bagian dari Kekaisaran Perancis, maka secara tidak langsung Pulau Jawa juga menjadi bagian dari Kekaisaran Perancis. Itulah sebabnya ada yang menganggap bahwa Perancis juga pernah menjajah Indonesia, meskipun secara tidak langsung, karena yang berada di Indonesia tetap bangsa Belanda atas nama Perancis.

Inggris yang merupakan musuh Perancis, berniat merebut koloni Perancis. Inggris mengincar Jawa, karena Jawa merupakan wilayah yang sangat strategis baik dari segi perdagangan rempah-rempah maupun potensi militer. Perang Napoleon di Jawa ini terjadi dalam beberapa tahapan, yakni perang di Batavia, perang di Meester Cornelis, perang di Semarang, dan akhirnya terjadi perjanjian di Tuntang. Perjanjian antara Belanda (sebagai bagian dari Kekaisaran Portugis) dengan Inggris itu berisi tentang penyerahan wilayah seluruh Pulau Jawa dan semua pangkalan yang dimiliki Belanda yang terdapat di Madura, Palembang Makassar, dan Sunda Kecil. Bahkan seluruh tentara Belanda harus menjadi tawanan pemerintahan Inggris. Penjajahan Inggris ini berlangsung dari tahun 1811-1816.

Apakah penguasa lokal atau rakyat Indonesia diam ketika tanah airnya dikuasai bangsa asing? Tentu saja tidak. Perlawanan demi perlawanan mereka lakukan. Sayangnya, perlawanannya bersifat kedaerahan atau berjalan sendiri-sendiri, sehingga mudah dipatahkan oleh penjajah. Apalagi penguasa lokal atau rakyat Indonesia kalah dalam persenjataan, sehingga mereka tak mampu mengalahkan penjajah. Ditambah, penjajah itu suka berlaku curang dalam mengalahkan bangsa yang dijajah.

Perlawanan terhadap penjajah dilakukan di mana-nama. Oleh karena banyak sekali perlawanan yang dilakukan oleh penguasa lokal atau rakyat Indonesia terhadap penjajah, di bawah ini hanya diberikan beberapa contoh saja.

Di Maluku, kita mengenal perlawanan Sultan Baabullah terhadap Portugis. Kedatangan Portugis yang awalnya disambut dengan baik oleh Sultan Bayanullah di Ternate, makin lama kian kurang ajar. Portugis terlalu mencampuri urusan internal kerajaan. Sultan yang dianggap menentang kehendak Portugis, difitnah kemudian diasingkan ke negeri yang jauh atau bahkan dibunuh. Kita lihat misalnya Sultan Abu Hayat II dan Sultan Tabariji yang diasingkan, dan Sultan Khairun Jamil yang dibunuh.

Portugis melengserkan Sultan Abu Hayat II, putra Sultan Bayanullah, dengan tudingan sebagai otak pembunuhan pejabat tinggi Portugis. Ia ditangkap lalu diasingkan ke Melaka.

Dengan menggunakan pengaruhnya, Portugis mendesak dewan kesultanan agar mengangkat Pangeran Tabariji, saudara satu ayah lain ibu dengan Sultan Abu Hayat II, sebagai raja. Padahal saat itu Tabariji masih pangeran. Dalam benak Portugis, dengan diangkatnya Pangeran Tabariji sebagai sultan, maka ia akan mudah dikendalikan karena telah dibantu mengambil alih kekuasaan dari saudaranya. Namun dugaan Portugis meleset. Sultan Tabariji yang awalnya tampak kooperatif, lama kelamaan mulai memperlihatkan penentangan, bahkan memperlihatkan kebenciannya kepada Portugis. Akibatnya, belum genap dua tahun sebagai raja, Sultan Tabariji dipaksa turun tahta oleh Gubernur Tristao de Atayde dengan tuduhan melakukan pengkhianatan. Sultan Tabariji dianggap bersalah karena membiarkan muslim Galela menyerbu Mamuya (sebuah desa di Kecamatan Galela Induk, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara saat ini) dan membunuh orang-orang yang baru saja dikristenkan oleh Portugis. Sultan Tabariji pun diasingkan ke Goa di India untuk diadili.

Sebagai pengganti Sultan Tabariji, diangkatlah Khairun Jamil yang masih belia oleh Portugis sebagai Sultan Ternate. Dikarenakan usianya yang masih muda, Portugis menganggap remeh Sultan Khairun Jamil, disangka mudah dikendalikan. Kenyataannya tidaklah demikian.

Sementara Sultan Tabariji yang dalam pembuangan, ditekan oleh Portugis untuk menyerahkan sejumlah daerahnya seperti Ambon, Buru, dan Seram serta pulau-pulau lainnya dengan janji bahwa hak dan kedudukannya sebagai sultan akan dikembalikan. Tabarijipun menyetujui.

Selain terjadi perjanjian seperti disebutkan di atas, Sultan Tabariji juga dikabarkan murtad, pindah agama dari Islam ke Kristen saat dalam masa pembuangan di Goa, India. Kabar ini membuat gempar Kesultanan Ternate pada awal 1534. Ada dua versi tentang kepindahan agama Sultan Tabariji. Pertama, karena dipaksa agar masuk Kristen jika ingin berkuasa kembali di Ternate. Kedua, karena mengikuti saran De Freytes untuk memeluk Kristen sebagai bukti ia tidak terlibat persekongkolan yang dituduhkan. Versi mana yang benar, tidak dapat dipastikan.

Mendengar Sultan Tabariji dalam proses pemulangan dari Goa, India, ke Ternate, Sultan Khairun Jamil menggalang kekuatan rakyat untuk menolak kepulangan Sultan Tabariji yang telah berpindah agama. Namun belum sampai Ternate, Sultan Tabariji telah menemui ajal dalam perjalanan. Usaha Portugis untuk menjadikan raja lagi bagi Sultan Tabarijipun gagal.

Sejak diangkat sebagai gubernur baru di Ternate, Lopes de Masquita berusaha menyingkirkan Sultan Khairun Jamil. Mula-mula ia membuat sebuah gerakan provokasi di Ternate dengan mengumumkan bahwa pasukan Sultan Khairun Jamil telah menyerbu Misi Jesuit dan orang-orang Kristen lokal, membunuh, dan memaksa mereka untuk keluar dari agama Kristen. Akan tetapi sangkaan tersebut dibantah oleh Sultan Khairun Jamil. Ia menjamin bahwa wilayahnya aman bagi orang-orang Portugis.

Tak berhasil dengan cara tersebut, Lopes de Masquita merancang strategi lain. Pada 26 Februari 1570 Lopes de Masquita berpura-pura mengundang Sultan Khairun Jamil untuk berunding di Benteng Kastela. Dikarenakan menginginkan kebaikan, Sultan Khairun Jamil menyetujui ajakan Lopes de Masquita untuk berunding. Perundingan kedua belah pihak sepakat membangun kerja sama yang lebih baik demi kebaikan bersama. Perundingan itu dilakukan dengan sumpah sakral di bawah kitab suci masing-masing.

Setelah berhasil meyakinkan Sultan Khairun Jamil bahwa Portugis punya maksud baik, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Lopes de Masquita adalah berpura-pura mengundang Sultan Ternate untuk menghadiri jamuan makan malam pada 28 Februari 1570 di Benteng Kastela. Sultan Khairun Jamil yang toleran dan beritikad baik, mengabulkan permintaan Lopes de Masquita meskipun para pengawal dan bobato (pejabat atau tokoh penting) mencegahnya karena mendapat firasat buruk.

Sesampai di Benteng Kastela, ketika berada di lantai dua, rombongan Sultan Khairun Jamil dicegat oleh pengawal Portugis. Mereka mengatakan bahwa yang boleh masuk hanyalah Sultan Khairun Jamil saja, karena yang akan dimasuki adalah kamar pribadi gubernur. Para bobato dan pengawal Sultan Khairul Jamil diminta untuk kembali ke istana dan akan diberi tahu kalau jamuan makan telah usai.

Sepeninggal para bobato dan pengawalnya, Sultan Khairun Jamil melangkah masuk ke ruang audiensi gubernur. Saat itulah Sersan Antonio Pinental, keponakan Lopes de Masquita, menusuk Sultan Khairun Jamil yang berjalan seorang diri. Tusakan keris berkali-kali dari arah belakang mengakibatkan Sultan Ternate itu menemui ajal.

Setelah Sultan Khairun Jamil meninggal, tahta Kesultanan Ternate diwariskan kepada putra sulungnya, Sultan Baabullah. Portugis mengira bahwa pembunuhan terhadap Sultan Khairun Jamil akan memudahkan mengendalikan Ternate. Ternyata dugaan itu salah. Sultan Baabullah justru membalas kematian ayahnya. Sultan Baabullah melakukan pengepungan Benteng São Paulo. Sultan Baabullah memilih menunggu di luar dan mengisolasi benteng tersebut, agar orang-orang di dalam benteng kelaparan, penyakitan, dan kelelahan yang sampai pada batas tertentu akan merontokkan moral dan fisik mereka. Sementara kerajaan-kerajaan lokal yang dipimpin Ternate, mengepung akses laut menuju Melaka dan Goa agar Portugis tak bisa melaluinya.

Mengalami keterisolasian selama lima tahun, Portugis akhirnya menyerah kalah pada 26 Desember 1575. Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Maluku tanpa pertumpahan darah yang berarti.  

Bangsa Spanyol juga pernah mendapat perlawanan dari rakyat Minahasa. Awalnya, keberadaan Spanyol diterima dengan baik oleh rakyat Minahasa.

Tindakan para prajurit Spanyol yang dengan seenaknya merampas makanan, bahkan tega berbuat senonoh terhadap kaum perempuan Minahasa, sangat menyakiti hati rakyat Minahasa. Ketidaksenangan rakyat Minahasa terhadap Spanyol memuncak pada 1644, yakni ketika Spanyol sedang memasuki desa, kemudian mereka memukul dan melukai salah seorang pemimpin rakyat Minahasa yang ada di Tomohon. Dikarenakan dianggap sudah keterlaluan, maka rakyat Minahasa lalu mengangkat senjata melawan pasukan Spanyol. Dengan meminta bantuan Belanda, rakyat Minahasa berhasil mengusir Spanyol.

Perlawanan penguasa atau rakyat lokal terhadap Belanda paling banyak terjadi karena bangsa Eropa yang satu ini yang paling lama menjajah Indonesia. Beberapa contoh perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda, misalnya: Perang Padri, Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Saparua (Perang Pattimura), dan Perang Banjar. Sultan Agung Hanyakrakusama dari Mataram bahkan pernah melakukan penyerangan kepada Belanda di Batavia sebanyak dua kali. 

Kita ambil contoh bagaimana terjadinya Perang Padri melawan kolonial Belanda. Perang Padri adalah konflik bersenjata yang terjadi di Sumatera Barat antara kaum Padri (yakni ulama yang ingin menerapkan syariat Islam secara ketat) dan kaum adat (masyarakat Minangkabau yang masih memegang tradisi adat). Perang ini awalnya merupakan perang saudara. Ketika kaum adat terdesak oleh kaum Padri, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda untuk membantu melawan kaum Padri dengan harapan kekuasaannya bisa kembali. Kenyataannya, meskipun mereka diangkat sebagai penguasa, namun hanya sebagai “boneka” Belanda saja. Itulah sebabnya kaum adat yang semula bersekutu dengan Belanda, pada 1832 berbalik dan bersama-sama dengan kaum Padri, melawan Belanda. Gubernur Jenderal van den Bosch ikut turun memimpin penyerbuan. Sampai tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol. Saat ini Bonjol adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Setelah dikepung selama tiga tahun barulah Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda pada 16 Agustus 1837. Dengan kedok perundingan, Belanda dapat menjebak dan menangkap Tuanku Imam Bonjol. 

Lalu bagaimana dengan Inggris? Ketika Inggris menjajah Pulau Jawa, mereka juga mendapat perlawanan dari Kesultanan Yogyakarta. Keributan antara Inggris dan Kesultanan Yogyakarta dikenal dengan nama Perang Spoy yang oleh orang Jawa disebut Perang Sepehi.

Ketika Susuhunan Pakubuwono III di Surakarta lewat suratnya mendorong Sultan Hamengkubuwono II di Yogyakarta untuk melawan Inggris dengan janji akan mengirimkan tentara bantuan, ada yang membocorkan hal itu kepada Raffles. Diduga yang membocorkannya adalah Paku Alam, karena ia mengincar posisi tahta yang sebentar lagi akan kosong.

Persekongkolan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Sultan Hamengkubuwono II yang berencana melawan Inggris, membuat Raffles naik pitam. Rafflespun menyatakan perang kepada Kesultanan Yogyakarta. Selama dua hari terjadi banyak tembakan yang melewati alun-alun utara Yogyakarta. Sempat terjadi perundingan, namun pertempuran berlangsung lagi. Puncaknya terjadi pada 20 Juni 1812 dini hari. Istana dapat diduduki oleh Inggris. Sultan Hamengkubuwono II ditangkap beserta para pengeran yang masih ada. Perang tersebut dinamakan Perang Spoy, karena kebanyakan pasukan Inggis berasal dari Brigade Spoy.


Politik Etis dan Munculnya Kesadaran Mencerdaskan Rakyat

Di Museum Kebangkitan Nasional ada sebuah ruang yang memamerkan benda-benda yang berhubungan dengan politik etis (politik balas budi). Benda-benda tersebut berupa foto tokoh-tokoh politik etis seperti Eduard Douwes Dekker dan Conrad Theodor van Deventer, patung tokoh-tokoh pendidikan bangsa Indonesia seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara. Disinggung juga kebijakan politik etis dan penyimpangannya, serta pendidikan pada masa Hindia Belanda dan munculnya elite baru.

Berbicara tentang politik etis, tak dapat dilepaskan dari peraturan yang dibuat oleh Johannes van den Bosch, yakni Cultuurstelsel atau tanam paksa. Latar belakang munculnya peraturan ini disebabkan Belanda mengalami krisis keuangan setelah berperang melawan Pangeran Diponegoro selama lima tahun (1825-1830) yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa, dan juga perang melawan Imam Bonjol yang telah diuraikan di atas. Oleh karena itu, Belanda membutuhkan sumber pendapatan baru.

Johannes van den Bosch yang diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak akhir tahun 1829, berjanji kepada sang raja di Belanda bahwa ia bisa menyelesaikan masalah kolonial yang dihadapinya.

Pada 1830 Johannes van den Bosch membuat peraturan di mana penduduk pribumi harus menanam lada, kopi, teh, bahkan tebu, yang nantinya setelah dipanen, hasilnya akan diangkut dan dijual oleh Belanda. Peraturan yang disebut dengan nama Cultuurstelsel atau tanam paksa ini merupakan cara bagi pemerintah kolonial untuk memeras uang rakyat. Oleh karena rakyatnya miskin, tidak punya uang, maka rakyat harus dipaksa menghasilkan uang untuk pemerintah kolonial. Yang diincar adalah Pulau Jawa, karena pulau inilah yang bisa diperas; sedangkan Maluku diabaikan, karena rempah-rempah harganya sudah anjlok kala itu.

Sebenarnya aturan yang dibuat tidaklah serakah. Pemerintah hanya meminta 1/5 (seperlima) dari tanah rakyat, dan tenaga juga 1/5 (seperlima) dalam setahun (alias 73 hari). Namun dalam pelaksanaannya, tanah rakyat yang dipakai oleh pemerintah kolonial lebih dari itu. Kadang 1/3 (sepertiga), bahkan ada yang setengah dari tanah rakyat. Tanah yang dipilih untuk lahan Cultuurstelsel atau tanam paksa adalah tanah yang subur, sedangkan tanah yang gersang untuk kepentingan rakyat. Meskipun dipakai untuk Cultuurstelsel, tanah tersebut tetap dibebani pajak. Kenyataan inilah yang membuat rakyat menderita.

Tatkala Eduard Douwes Dekker menjabat sebagai Asisten Residen Lebak pada 1854, ia melihat penderitaan rakyat Lebak. Hal ini dapat kita ketahui dari novelnya yang berjudul Max Havelaar yang diterbitkan pertama kali pada 1860. Menurut Eduard Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran Multatuli ketika menulis novel tersebut, Bupati Lebak Karta Natanegara memaksa rakyatnya supaya bekerja di sawah miliknya tanpa upah, pajak dibayar oleh rakyat lebih besar daripada yang disetorkan ke negara. Ketika hal itu dilaporkan kepada atasannya, Residen Banten C.P. Bert van Kempen, ia justru diingatkan oleh atasannya itu agar dirundingkan terlebih dahulu. Kecewa atas tanggapan atasannya, Eduard Douwes Dekker kemudian mengundurkan diri. Ia hanya tiga bulan menjadi Asisten Residen Lebak.

Setelah gagal mencari pekerjaan lain di Hindia Belanda, Eduard Douwes Dekker kemudian pulang ke Eropa. Di sana ia menulis novel berjudul Max Havelaar yang menceritakan keadaan di Lebak, Banten.  

Meskipun Max Havelaar bukanlah buku sejarah, namun buku ini mampu membuat gempar negara Belanda karena menceritakan kesengsaraan rakyat Lebak yang diakibatkan oleh tindakan sewenang-wenang pemerintah kolonial. Robert Baron van Höevell, salah satu anggota Majelis Rendah Belanda yang lebih dulu memperhatikan nasib rakyat Jawa, menganggap bahwa Cultuurstelsel atau tanam paksalah yang menjadi penyebab rakyat mengalami kesengsaraan.

Selain itu, novel Max Havelaar juga mampu menimbulkan gagasan adanya politik etis. Seperti disebutkan dalam Buku Panduan untuk Pengunjung yang diterbitkan oleh Museum Multatuli Rangkasbitung, setelah membaca Max Havelaar, Robert Fruin menulis artikel tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk menaikkan taraf hidup rakyat jajahan. Dalam artikel itulah, untuk pertama kali dikenal istilah batig slot atau keuntungan dari program Cultuurstelsel atau tanam paksa yang dinyatakan sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda. Tulisan Robert Fruin kemudian memengaruhi tokoh-tokoh Belanda yang memiliki pengaruh di Hindia Belanda yang kemudian memiliki pendapat perlu adanya politik etis, seperti Conrad Theodor van Deventer dan Pieter Brooshooft.

Conrad Theodor van Deventer adalah seorang pengacara, mantan pejabat peradilan kolonial, dan kemudian anggota parlemen negeri Belanda. Pada 1899 ia menulis artikel berjudul “Een Eeresculd” (hutang budi) yang dimuat di De Gids. Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa Kerajaan Belanda memiliki kewajiban moral terhadap Hindia Belanda (Indonesia) karena kemakmuran Belanda berkat hasil eksploitasi Hindia Belanda. Oleh karena itu, Belanda memiliki hutang kehormatan kepada Hindia Belanda yang harus dibalas dengan jalan memajukan dan memperbaiki nasib rakyat Hindia Belanda. Cara praktis untuk membayar hutang kehormatan tadi adalah melalui program irigasi, emigrasi, dan edukasi. Cara-cara tersebut terkenal dengan nama trilogi van Deventer. Tulisan Conrad Theodor van Deventer tersebut menimbulkan kegemparan di kalangan orang Belanda.

Sementara Pieter Brooshooft yang seorang wartawan dan sastrawan, pada 1887 ia mengadakan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa. Hasil perjalanannya itu ia tuliskan dalam bentuk laporan yang menceritakan tentang keadaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda akibat kebijakan tanam paksa pemerintah Belanda. Pieter Brooshooft menyampaikan laporan tersebut kepada 12 tokoh politik Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal buku yang memaparkan fakta-fakta yang dicatat dan ditandatangani 1.255 orang. Ia menuntut agar dibentuk sebuah partai Hindia supaya kepentingan Hindia Belanda terwakili di parlemen.

Selain Conrad Theodor van Deventer dan Pieter Brooshooft, ada juga tokoh Belanda yang mengkritik kebijakan pemerintah Belanda yang menyengsarakan rakyat Hindia Belanda. Dia adalah Baron van Houvell, seorang pendeta yang pernah bekerja bertahun-tahun di Hindia Belanda sehingga tahu kondisi rakyat di tempat tersebut kala itu. Ketika kembali ke negeri Belanda, ia menjadi anggota parlemen dan membeberkan tentang kesengsaraan rakyat Indonesia. Ia berjuang melakukan perdebatan menegangkan mengenai kekejaman pemerintah kolonial. Ia mengusulkan agar tindakan pemerintah Belanda yang menyengsarakan rakyat pribumi di Hindia Belanda segera dihentikan.

Dikarenkan banyaknya kritik dan kecaman terhadap praktik Cultuurstelsel atau tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, maka muncullah politik etis atau politik balas budi. Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina berpidato di depan parlemen Belanda. Dalam pidato tersebut ia menegaskan bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi kepada bangsa pribumi Hindia Belanda. Oleh karena itu, ia menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi irigasi, emigrasi, dan edukasi. Irigasi dilakukan dengan membangun dan memperbaiki sarana pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian agar penduduk bisa mengolah lahannya dengan baik. Emigrasi, yakni mengajak penduduk berpindah tempat untuk pemerataan jumlah penduduk. Edukasi dilakukan dengan memperluas bidang pengajaran dan pendidikan kepada penduduk pribumi agar dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.

Meskipun tujuan politik etis untuk kesejahteraan penduduk pribumi, namun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pembangunan sistem irigasi misalnya, lebih difokuskan pada daerah-daerah yang memiliki tanah subur untuk perkebunan Belanda, bukan untuk kepentingan pertanian penduduk pribumi. Emigrasi hanya diarahkan ke daerah-daerah yang memiliki potensi perkebunan yang dikelola oleh Belanda, seperti di luar Jawa, bukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di wilayah Hindia Belanda. Sementara edukasi yang diberikan melalui sekolah-sekolah yang dibangun lebih ditekankan pada kebutuhan tenaga kerja terampil untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda dan perusahan Belanda, yakni untuk menjadi pegawai rendahan dengan gaji rendah, bukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pribumi secara menyeluruh.

Walau demikian, program edukasi mampu membawa perubahan besar pada masyarakat Indonesia. Berkat mendapat pendidikan, lalu muncul golongan terpelajar, cendekiawan, dan mahasiswa yang berjuang memelopori pergerakan nasional. Museum Kebangkitan Nasional dalam salah satu keterangannya yang dipajang di "Ruang Politik Etis", menyebut keuntungan dari adanya program edukasi ini adalah munculnya elit baru, yaitu kelompok masyarakat terdidik yang diangkat menjadi pegawai pemerintah.

Terkait pendidikan, Museum Kebangkitan Nasional memberikan keterangan tentang ragam pendidikan di Hindia Belanda, demikian.

1. Sekolah Dasar Kelas Satu (De Scholen der Eerte Klasse), khusus untuk anak bangsawan dengan lama pendidikan tujuh tahun; diintegrasikan ke Hollandsch Inlandsche School atau ke Europeesche Lagere School.

2. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Scholen der Tweede Klasse), untuk masyarakat biasa dengan lama pendidikan lima tahun.

3. Sekolah Rendah Eropa (Europeesche Lagere School), untuk bangsa Eropa dan keturunannya dan bumiputera terpilih dengan lama pendidikan tujuh tahun.

4. Sekolah Menengah (Gymnasium), lama pendidikan lima tahun. Pada 1875, sekolah ini diubah menjadi Sekolah Tinggi Warga Negara (Hogore Burger School).

5. Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool).

6. Sekolah Raja (Hoofdenschool) untuk memenuhi kepentingan adminitrasi pemerintahan. Pada 1900, Sekolah Raja diubah menjadi Opleiding School voor Inlandschen Ambtenaren (OSVIA).

7. Sekolah Kejuruan (Vokonderwijs) di bidang Pertukangan (Ambachts Onderwijs), Teknik (Technisch Onderwijs), Perdagangan (Handels Onderwijs), Pertanian (Landbouw Onderwijs), Pendidikan Kewanitaan (Meisjes Vokonderwijs), dan pendidikan tinggi (Hoger Onderwijs),

Pendidikan yang masih mendiskriminasikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, memicu munculnya lembaga pendidikan anak bumiputera yang didirikan oleh tokoh-tokoh pergerakan. Ada tiga tokoh pergerakan yang berkecimpung di bidang pendidikan yang nama dan patungnya dipajang di "Ruang Politik Etis" Museum Kebangkitan Nasional, yakni Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara.

Kartini adalah putri seorang bupati di Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat namanya. Gelar kebangsawanannya sebelum menikah adalah Raden Ajeng. Sementara setelah menikah, gelarnya berubah menjadi Raden Ayu.

Perempuan yang lahir pada 21 April 1879 ini sebetulnya ingin meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi setelah menamatkan Europeesche Lagere School (ELS). Sayangnya sang ayah tidak memberikan izin kepadanya untuk melanjutkan sekolah. Ia justru dipingit kala usianya sekitar 12½ tahun.

Kartini yang bercita-cita tinggi, kini harus hidup di ruang yang sempit sambil menunggu ada laki-laki yang datang melamarnya sesuai adat yang berlaku kala itu. Beruntung ia pernah bersekolah di ELS, sehingga selama dipingit, waktunya banyak dihabiskan untuk membaca.

Berawal dari membaca buku-buku, koran, majalah, dan korespondesi dengan sahabat penanya di Eropa selama dipingit, kesadaran Kartini mulai terbuka. Ia menyadari betapa tertinggalnya pendidikan kaum perempuan di negerinya, dibandingkan perempuan di negara tempat tinggal sahabat penanya, Belanda. Sejak saat itu timbul keinginan untuk memajukan perempuan pribumi. Pada Juni 1903 Kartini mendirikan sekolah untuk gadis-gadis priyayi bumiputera di daerah kelahirannya, Jepara. Sang ayah memberinya tempat di serambi pendopo belakang kabupaten. Oleh Kartini, murid-muridnya diberi pelajaran menjahit, menyulam, memasak dan sebagainya, tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyo Adiningrat pada 12 November 1903. Ada yang mengatakan tanggal pernikahannya adalah 8 November 1903. Setelah menikah, Kartini diberi kebebasan dan didukung suaminya untuk mendirikan sekolah perempuan yang sudah lama menjadi cita-citanya. Ia diberi tempat di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang sebagai tempat belajar mengajar. Kini bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Kartini ditakdirkan tak berumur panjang. Ia menghembuskan napas terakhir pada 17 September 1904, empat hari setelah melahirkan anak pertama dan satu-satunya pada 13 September 1904.

Di Jawa Barat juga ada perempuan yang peduli pada pendidikan kaumnya. Namanya Dewi Sartika. Sejak kecil ia dititipkan kepada pamannya, Patih Aria Cicalengka, karena ayahnya yang menentang pemerintah kolonial Belanda, diasingkan ke Ternate bersama ibunya.

Perempuan kelahiran 4 Desember 1884 itu, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sudah senang bermain sekolah-sekolahan dan ia bertindak sebagai guru. Pelajaran yang diberikan seputar berhitung, membaca, dan menulis. Alat yang digunakan untuk belajar mengajar berupa pecahan genting dan arang. Permainan sekolah-sekolahan yang dilakukan di belakang dapur Patih Aria Cicalengka itu berlangsung hampir setiap hari.

Ketika ayah Dewi Sartika, Raden Somanagara, meninggal dunia di pengasingan, ibunya kembali ke rumah orang tuanya, R.A.A. Martanegara yang menjabat sebagai bupati Bandung. Dewi Sartika yang kala itu umurnya belasan tahun, segera menyusul ibunya ke Bandung.

Di Bandung, Dewi Sartika masih terus memimpikan cita-citanya untuk mencerdaskan kaumnya. Pernah ia mengutarakan cita-citanya untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak gadis dari kalangan bangsawan dan rakyat jelata, seperti pernah dilakukan saat di Cicalengka. Ibunya tidak menghalangi, tapi juga tidak mendorongnya. Ada dua orang yang di kemudian hari mendorong keinginan Dewi Sartika. Yang pertama adalah kakeknya, R.A.A. Martanegara; dan yang kedua adalah Den Hamer, seorang Inspektur Kantor Pengajaran. Berkat bantuan kakeknya dan Van Hamer, maka dibukalah sekolah seperti yang dicita-citakan oleh Dewi Sartika.

Sekolah Istri, demikian nama sekolah tersebut yang memiliki arti Sekolah Perempuan, didirikan pada 16 Januari 1904. Sekolah ini menempati ruang sidang atau paseban yang terletak di pekarangan kabupaten, di sudut sebelah barat. Pada awalnya muridnya berjumlah 20 siswa yang menempati dua ruangan.

Apa yang dilakukan Dewi Sartika menarik perhatian para pembesar setempat untuk menyaksikan dari dekat suatu hal yang baru di wilayah tersebut. Kian lama jumlah siswanya semakin banyak sehingga gedung sekolah tidak dapat menampung murid-murid. Oleh karena itu, sekolah pindah ke tempat yang lebih luas di Jalan Ciguriang yang di kemudian hari diganti namanya menjadi Jalan Dewi.

Dalam perkembangannya, nama Sekolah Istri (Sekolah Perempuan) pun dirasakan kurang sesuai lagi, sehingga diganti menjadi Sekolah Kautaman Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Ini terjadi enam tahun setelah sekolah tersebut didirikan, atau pada 1910. Pelajarannya pun ditambah dengan memasak, mencuci, menyetrika, dan membatik.

Tahun 1911 Sekolah Kautaman Istri yang mempunyai tiga kelas itu diperluas lagi menjadi Sekolah Kelas Dua. Bagian pertama, tiga tahun pelajaran dengan bahasa pengantar bahasa Sunda, sedangkan bagian kedua menggunakan bahasa Melayu dan Belanda sebagai bshasa pengantar. Aktivitasnya menarik perhatian perempuan-perempuan di daerah lain seperti Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, dan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Bahkan perkembangan Sekolah Kautaman Istri ini menarik perhatian Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sehingga ia mengunjungi sekolah tersebut pada 1911. Dua tahun kemudian (1913), istri Gubernur Jenderal bersama putrinya juga datang ke sana.

Berkat bantuan Nyonya Tideman dan Nyonya Hillen, para istri pembesar Belanda, pada September 1929 berdiri gedung sekolah baru yang pembangunannya dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembukaan sekolah baru tersebut diramaikan dengan perayaan yang dihadiri tokoh-tokoh terkemuka kota Bandung. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Dewi Sartika, sekolah tersebut diberi nama Sekolah Raden Dewi.

Pada 14 Juli 1939, Sekolah Raden Dewi mengadakan perayaan besar-besaran dalam rangka merayakan ulang tahun ke-35. Namun ketika Bandung mengalami situasi buruk akibat agresi militer Belanda, Dewi Sartika terpaksa mengungsi ke Cineam, Tasikmalaya, pada 1947. Kegiatan belajar mengajar di sekolah yang didirikannyapun akhirnya ditinggalkan, berpindah tempat tinggal untuk mencari perlindungan. Di Cineam, kondisi kesehatan Dewi Sartika semakin menurun dan akhirnya jatuh sakit. Ia menghembuskan napas terakhir pada 11 September 1947. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineman, Tasikmalaya. Tiga tahun kemudian, jenazahnya dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Patung Kartini, Dewi Sartika, dan Ki Hajar Dewantara di Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Tokoh pendidikan ketiga yang nama dan patungnya dipajang di Museum Kebangkitan Nasional adalah Ki Hajar Dewantara. Bahkan tokoh ini dijuluki sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, dan tanggal kelahirannya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Ki Hajar Dewantara bernama asli Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Ia merupakan cucu Sri Pakualam III, penguasa Pakualaman, salah satu dari empat istana di Surakarta dan Yogyakarta. Tiga istana lain adalah Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta, serta Kasultanan Yogyakarta.

Lelaki kelahiran Yogyakarta, 2 Mei 1889 ini awalnya berkecimpung di dunia politik. Bersama E.F.E Douwes Dekker (orang Indo yang masih kerabat Eduard Douwes Dekker yang namanya telah disinggung di depan) dan Cipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Indonesia. Suwardi Suryaningrat termasuk orang yang senang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Kritikannya yang paling terkenal disampaikan melalui tulisannnya yang berjudul “Als Ik Eeens Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda), yang dimuat di surat kabat De Expres, 13 Juni 1913 saat ia berusia 24 tahun.

Artikel tersebut berisi sindiran Suwardi Suryaningrat terhadap kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda. Saat itu pemerintah Belanda akan merayakan hari kemerdekaan yang ke-100 setelah bebas dari cengkeraman Perancis. Perayaan tersebut, selain dirayakan di negeri Belanda, juga dirayakan di negeri jajahannya yang bernama Hindia Belanda. Bahkan rakyat yang dijajah disuruh menyumbangkan uang untuk dana pesta kemerdekaan mereka. Hal ini, menurut Suwardi Suryaningrat, dianggap sebagai suatu hal yang tidak pantas, suatu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh, karena rakyat yang dijajah dimintai sumbangan dan disuruh ikut bergembira merayakan kemerdekaan bangsa mereka.

Setelah Suwardi Suryaningrat yang mengkritik kebijakan pemerintah Belanda, Cipto Mangunkusumo pun menyusul mengkritik Belanda. Sementara E.F.E. Douwes Dekker melakukan pembelaan terhadap kedua kawannya dengan menulis artikel berjudul “Onze Helden: Tjipto Mangunkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat” (Pahlawan Kita: Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat).

Tak pelak, karena kritikannya itu, mereka bertiga ditangkap oleh Belanda. Pada mulanya, mereka bertiga dijatuhi hukuman buang ke tempat yang berbeda-beda. Suwardi Suryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Bangka, Cipto Mangunkusumo ke Banda, sedangkan E.F.E Douwes Dekker ke Timor (Kupang). Namun ketiganya lebih memilih dibuang ke luar negeri daripada ke wilayah lain di Hindia Belanda. Pertimbangannya, jika di buang di Hindia Belanda, mereka akan diperlakukan hukum kolonial yang kejam. Akan tetapi jika dibuang ke luar negeri, maka hukum yang diperlakukan adalah hukum internasional yang bersifat liberal dan demokratis, sehingga mereka masih dapat mempelajari masalah-masalah perjuangan di negara-negara lain. Akhirnya, mereka bertiga dibuang ke negeri Belanda pada 6 September 1913.

Kehidupan di negeri penjajah yang begitu menghimpit, mengharuskan Suwardi Suryaningrat, E.F.E. Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo mencari tambahan pemasukan keuangan. Kepandaian jurnalistik yang mereka miliki digunakan untuk menambah isi kantong.

Di Belanda, mereka juga tak berhenti berpolitik. Sebagaimana dikisahkan oleh D. van der Meulen yang dikutip oleh Irna H.N. Hadi Soewito dalam bukunya berjudul Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan, tiga tokoh politik dari negeri jajahan yang namanya akhir-akhir ini menjadi topik sejumlah surat kabar Hindia Belanda maupun negeri Belanda, diminta menjadi pembicara di Gedung Diligentia di Den Haag. Yang hadir memenuhi ruangan. E.F.E. Douwes Dekker yang diberi kesempatan sebagai pembicara pertama mengemukakan bagaimana jeleknya penghidupan di tanah kolonial. Cipto Mangunkusumo dalam pertemuan tersebut menyampaikan apa yang menjadi keinginan rakyat negeri jajahan, yaitu merdeka dan bebas dari ketergantungan pada bangsa lain. Sementara Suwardi Suryaningrat yang menjadi pembicara terakhir, tidak disebutkan pokok pembicaraanya oleh D. van der Meulen. Ia hanya menyebut bahasa yang dikemukakan halus, menunjukkan asal-usulnya. Padanya juga tidak ada kesan yang kompleks ataupun emosi. Tenang dan penuh keyakinan. Itulah yang menarik simpati publik.

Pertemuan semacam itu sering diadakan dan memberi pengertian kepada yang mau mendengar, bagaimana perjuangan rakyat untuk mencapai kemerdekaan.  

Selama dalam pengasingan di Belanda, Suwardi Suryaningrat merasa kurang tepat untuk berkecimpung di bidang politik. Ia sering naik darah karena tidak dapat mengendalikan perasaan. Istrinyalah yang menyarankan agar sang suami mempertimbangkan untuk mencari senjata lain dan mengubah taktik perjuangannya. Suwardi Suryaningrat mengikuti saran istrinya dan kemudian mengikuti Pendidikan Sekolah Guru yang disebut Lager Onderwijs, hingga berhasil mendapatkan ijazah. Sementara Sutartinah, sang istri, direlakan mengikuti kursus Pendidikan Guru Fröbel, dan kemudian mengajar di Fröbel School (Sekolah Taman Kanak-Kanak) di Weimaar.

Sebenarnya Suwardi Suryaningrat sudah dapat pulang ke tanah air sebagai orang bebas pada 17 Agustus 1917, karena keputusan pembuangan telah dicabut. Namun karena tahun itu sedang terjadi Perang Dunia I (1914-1918), maka ia baru dapat kembali ke tanah air pada 6 September 1919.

Kepulangan Suwardi Suryaningrat ke tanah air tak berarti menyurutkan langkahnya untuk tetap berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Ia tetap menulis. Tulisannya masih bersifat politis dan tajam menikam. Tak mengherankan jika ia sering berurusan dengan pihak berwajib kembali.

Ketika tengah berada di dalam penjara di Pekalongan pada 1920, istri Suwardi Suryaningrat sakit keras. Ia pun memohon izin meninggalkan penjara untuk menjenguk istrinya. Atas pengaruh Sri Pakualam IV, Belanda mengizinkan Suwardi Suryaningrat kembali ke rumah dengan pengawalan seorang sipir. Hingga masa cuti menjenguk istri habis, ternyata sang istri masih dalam kondisi yang belum membaik. Beruntung ia segera bebas dan dapat merawat istrinya yang sakit.

Setelah keluar dari penjara di Pekalongan, Suwardi Suryaningrat kemudian pindah ke Yogyakarta pada 1921. Di sini, ia bergabung dengan kelompok sarasehan Selasa Kliwonan yang dipimpin oleh Ki Ageng Suryomataram pada 1921-1922. Kelompok ini terdiri atas tokoh politik, kebudayaan, dan kerohanian. Anggota-anggotanya adalah R.M. Sutatmo Suryokusumo, Ki Sutopo Wonoboyo, R.M. Gondoatmojo, Ki Prawirowiworo, Ki Pronowidigdo, B.R.M. Subono, Ki Ageng Suryoputro (paman Suwardi Suryaningrat), R.M. Suwardi Suryaningrat, dan R.M. Suryodiputro (adik Suwardi Suryaningrat). Adapun tujuan kelompok sarasehan Selasa Kliwonan adalah: (1) mempelajari keadaan rakyat Hindia Belanda yang terjajah; dan (2) mencari jalan keluar bagaimana caranya menegakkan kepribadian dan mengisi jiwanya.

Atas hasil analisa kelompok sarasehan Selasa Kliwonan, cita-cita untuk merdeka tidak cukup hanya diupayakan melalui pergerakan politik saja. Selain melalui pergerakan politik, juga harus ditunjang dengan pendidikan rakyat yang dapat menumbuhkan jiwa merdeka di kalangan rakyat banyak. Oleh karena itu, kelompok sarasehan Selasa Kliwonan memutuskan agar Suwardi Suryaningrat memimpin pelaksanaan pendidikan anak-anak, sedang Ki Ageng Suryomataram yang memimpin pelaksanaan pendidikan orang dewasa atau orang tua untuk mencapai cita-cita dunia tertib dan damai.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pada tanggal 3 Juli 1922 didirikanlah Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa, sebuah institusi pendidikan yang berfokus memberikan pengajaran untuk anak negeri. Lembaga ini bersifat independen, menolak mentah-mentah subsidi yang ditawarkan pemerintah kolonial Belanda. Segala pembiayaan untuk keperluan Taman Siswa, sama sekali tidak menggunakan dana dari pemerintah kolonial Belanda, melainkan dari usaha-usaha yang dilakukan perguruan tersebut.

Bagian yang pertama kali didirikan oleh Perguruan Nasional Tamansiswa adalah Taman Lare (Taman Indria). Mulanya satu kelas. Gedungnya terletak di Kampung Tanjung (sekarang menjadi Jalan Gajah Mada, Yogyakarta). Kini, gedung tersebut dipakai oleh Yayasan Taman Ibu untuk persekolahan. Perguruan Nasional Tamansiswa juga membuka Taman Guru dan/atau Kursus Guru, sebagai tempat belajar calon-calon pamong Tamansiswa yang akan memberikan pendidikan di bagian-bagian Perguruan Tamansiswa yang akan dibuka.

Suwardi Suryaningrat mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa bersama para tokoh lain, seperti: Nyi Sutartinah (istri Suwardi Suryaningrat), R.M. Sutatmo Suryokusumo, Ki Ageng Suryoputro, B.R.M. Subono, Ki Pronowidigdo, Ki Sutopo Wonoboyo, dan Ki Cokrodirjo. Alasan Suwardi Suryaningrat memilih jalan pendidikan nasional, karena ia ingin membebaskan rakyat Indonesia dari kebodohan dan penindasan kolonialisme. Ia menyadari selama ini sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda hanya untuk melanggengkan kepentingan penjajah, yakni untuk membantu memperlancar kepentingan mereka.  

Tahun 1928, saat usianya menginjak 40 tahun, Suwardi Suryaningrat yang seorang bangsawan dengan gelar Raden Mas, tak ingin masyarakat terus-menerus mengenalnya sebagai seorang aristokrat Jawa. Itulah sebabnya ia kemudian mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Pada 1932 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar. Ordonansi ini mengharuskan siapun yang menyelenggarakan pendidikan, harus seizin pemerintah. Jika terbukti melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, maka pemerintah mencabut izinnya. Ordonansi ini juga mengatur para pengajar yang diharuskan membuat laporan kepada penguasa setempat. Jika melanggar, maka pengajar tersebut dikenakan hukuman penjara selama delapan hari atau denda 25 gulden. Bahkan dapat dikenakan hukuman selama satu bulan atau denda 100 gulden bila yang bersangkutan tetap melakukan kegiatan mengajar.

Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara, sang pendiri Perguruan Nasional Tamansiswa, menolak ordonansi tersebut. Berkirim telegramlah ia kepada Gubernur Jenderal De Jonge, meminta agar ordonansi tersebut dibatalkan. Dengan tegas Perguruan Nasional Tamansiswa mengancam akan melakukan lijdelijk verzet (pembangkangan) apabila ordonansi tersebut tidak dicabut. Bahkan Ki Hajar Dewantara memuat telegram tersebut di majalah Timboel pada 6 November 1932. Tak mengherankan jika UNESCO menyebut hanya ada satu negara di dunia yang kedudukannya sebagai negara terjajah tapi berani mendirikan sekolah untuk mengusir penjajah, yaitu Indonesia.  

Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Di sini, setiap pamong (yakni para guru) sebagai pemimpin dalam proses pendidikan, harus bersemboyan ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah memberi semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan). Adapun proses pendidikannya berdasarkan pada saling asih, saling asah, dan saling asuh, sehingga kodrat serta kemerdekaan para murid berkembang dengan baik, mengantarkan mereka untuk hidup selamat dan bahagia.


Budi Utomo

Dengan adanya politik etis, terutama program edukasi, mampu membawa perubahan besar pada masyarakat Indonesia, yakni munculnya golongan terpelajar, cendekiawan, dan mahasiswa yang berjuang memelopori pergerakan nasional. Mereka mulai bergerak menyuarakan hak-hak bangsa. Mereka menjadi pionir bagi masyarakat lainnya untuk sadar dan bersatu menuju kesatuan bangsa demi menghapuskan penjajahan di tanah airnya.

Kebangkitan dan pergerakan nasional lahir dari penderitaan rakyat akibat dijajah bangsa asing. Mereka miskin karena ekonominya dikuasai oleh penjajah. Mereka tertinggal di bidang pendidikan karena tidak semua orang bebas memasuki sekolah. Rakyat biasa hanya bisa memasuki sekolah rendah pribumi. Pelajarannya pun hanya seputar membaca, menulis, dan berhitung agar mereka dapat dimanfaatkan oleh penjajah sebagai pegawai rendahan dengan gaji yang kecil. Sementara pendidikan yang menggunakan sistem barat hanya diikuti oleh anak-anak pegawai yang bergaji besar, anak bangsawan, atau anak orang kaya.

Dokter Wahidin Sudirohusodo, seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa (yang di kemudian hari sekolah tersebut berganti nama menjadi STOVIA), memiliki cita-cita ingin mengangkat derajat bangsanya agar hidup layak. Ia melihat dengan mata kepala sendiri keadaan bangsanya yang miskin dan terbelakang. Ini bertolak belakang dengan bangsa Barat yang begitu maju. Oleh karena itu, ia ingin bangsanya memiliki ilmu dan teknik Barat agar dapat mencapai derajat yang sama dengan bangsa Barat.

Patung Dokter Wahidin Sudirohusodo di Ruang Budi Utomo, Ibu Perhimpunan, Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Untuk mewujudkan cita-citanya, Dokter Wahidin Sudirohusodo menghubungi kaum tua pegawai pemerintah di beberapa tempat di Jawa yang dikunjunginya. Kepada mereka, Dokter Wahidin Sudirohusodo mengemukakan ide-ide untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui studiefonds (dana pendidikan). Jika bangsa sudah cerdas, maka banyak wawasan yang timbul, sehingga tidak mudah untuk diadu domba dan diatur oleh pihak penjajah. Sayangnya, kaum tua belum dapat menerima gagasan tersebut, karena mereka masih berjiwa konservatif (bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku). Meskipun demikian, Dokter Wahidin Sudirohusodo tak berputus asa.

Pada akhir 1907, Dokter Wahidin Sudirohusodo menemui para pelajar (baca: mahasiswa) STOVIA di Batavia, di antaranya adalah Sutomo, Gumbrek, Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo, Saleh, dan Suleman. Di gedung STOVIA Dokter Wahidin Sudirohusodo mengemukakan ide-ide untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang sudah disampaikan kepada kaum tua. Setelah mendengar penjelasan Dokter Wahidin Sudirohusodo, para pelajar STOVIA itu tergerak hatinya untuk mewujudkan cita-cita Dokter Wahidin Sudirohusodo. Rencana mendirikan organisasi disosialisasikan oleh Sutomo kepada para pelajar STOVIA lainnya untuk mendapatkan tanggapan dan dukungan. Banyak pelajar STOVIA yang setuju untuk mendirikan organisasi sebagai sarana untuk memperoleh kemajuan bagi masyarakat pribumi. Begitulah, pada 20 Mei 1908, bertempat di gedung STOVIA ruang anatomi, para pelajar STOVIA itu mendirikan suatu organisasi yang diberi nama Budi Utomo (ejaan kala itu: BOEDI OETOMO, disingkat BO).

Pendirian organisasi Budi Utomo dilengkapi dengan susunan kepengurusan sebagai berikut.

Ketua : Sutomo

Wakil Ketua : Mohammad Sulaiman

Sekretaris I : Gondo Suwarno

Sekretaris II : Gunawan Mangunkusumo

Bendahara : R. Angka Projosudirjo

Komisaris : Mohammad Saleh, Suraji Tirtonegoro, Suwarno, dan Gumbrek.  

Tentang dipilihnya nama Budi Utomo, menurut anekdot, demikian.

Ketika Dokter Wahidin Sudirohusodo berpamitan kepada Sutomo dan Suraji Tirtonegoro untuk melanjutkan kampanye studiefonds-nya ke Banten, Sutomo menyatakan kepada Dokter Wahidin Sudirohusodo, “Punika satunggaling padamelan saé sarta nélakaken budi ingkang utami” (Ini salah satu pekerjaan mulia dan menunjukkan keluhuran budi). Kata-kata terakhir Sutomo inilah yang kemudian menjadi inspirasi nama organisasi yang didirikan pelajar STOVIA pada 20 Mei 1908, yakni Budi Utomo.

Dalam bahasa Jawa, kata “budi utami” adalah bentuk krama (kata penghormatan dalam percakapan) “budi utama” (baca: budi utomo), yang memiliki arti: ‘budi yang baik’, ‘budi utama’, atau ‘keluhuran budi’.

Patung para pendiri Budi Utomo di Ruang Budi Utomo, Ibu Perhimpunan, Museum Kebangkitan Nasional (Sumber foto: Mulyono Atmosiswartoputra)

 

Meskipun pada awalnya Sutomo dan kawan-kawan terpengaruh oleh gagasan Dokter Wahidin Sudirohusodo dengan studiefonds-nya, namun kemudian mereka memperluas tujuan didirikannya Budi Utomo, yakni kemajuan yang harmonis untuk nusa dan bangsa Jawa dan Madura. Pembatasan pada penduduk Pulau Jawa dan Madura karena saat itu mereka masih bersifat kedaerahan, belum mengenal persatuan antar suku bangsa. Yang mereka ketahui bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia Belanda.

Lahirnya Budi Utomo menimbulkan reaksi yang kurang enak dari orang Belanda yang tidak senang dengan lahirnya organisasi modern. Mereka mengatakan bahwa orang Jawa banyak cingcong. Akan tetapi para etisi justru mengatakan bahwa kelahiran Budi Utomo adalah wajar, dan itu merupakan renaissance atau kebangkitan di Timur. Sementara kalangan priyayi agung yang sudah mapan tidak senang terhadap lahirnya Budi Utomo, sehingga pada 1908 di Semarang, para bupati membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia untuk mencegah Budi Utomo yang dianggap mengganggu stabilitas sosial mereka. Dengan berdirinya Budi Utomo, beberapa pengajar STOVIA menuduh Sutomo dan kawan-kawannya bermaksud akan melawan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, Sutomo hendak dikeluarkan dari STOVIA. Namun teman-teman Sutomo yang tergabung dalam Budi Utomo memiliki solidaritas yang tinggi, yakni minta dikeluarkan juga dari STOVIA. Beruntung pimpinan STOVIA, Dokter H.F. Roll, membela Sutomo sehingga tidak jadi dikeluarkan.

Pada 3-5 Oktober 1908, untuk pertama kalinya organisasi Budi Utomo mengadakan kongres. Kongres yang diadakan di Yogyakarta itu dihadiri sekitar 300 orang yang mayoritas kaum priyayi. Utusan kongres terdiri atas orang-orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur serta orang Sunda dari Jawa Barat. Kongres pertama ini bertujuan mengesahkan Statuten (Anggaran Dasar) Budi Utomo yang telah direncanakan dan ditetapkan di Batavia pada 20 Mei 1908 yang lalu. Dalam kongres tersebut juga mulai dibentuk Pengurus Besar, yakni pengurus pusat dari seluruh perkumpulan Budi Utomo. Terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar adalah Raden Adipati Ario Tirtokusumo (bupati Karanganyar), sedang Wakil Ketuanya adalah Dokter Wahidin Sudirohusodo. Dipilihnya seorang bupati sebagai Ketua Pengurus Besar dengan maksud untuk menarik perhatian lebih luas dari kalangan priyayi, karena seorang bupati pada waktu itu kedudukannya sangat tinggi dan sangat penting. Sutomo dan kawan-kawan sepakat untuk menyerahkan pimpinan Budi Utomo kepada orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman. Adapun pusat organisasi berkedudukan di Yogyakarta.

Di dalam kongres tersebut terdapat dua prinsip perjuangan. Yang pertama diwakili oleh golongan muda yang cenderung menempuh jalan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial. Bagi mereka, perjuangan melalui politik dianggap tepat guna memberikan imbangan politik pemerintah kolonial. Yang kedua diwakili oleh golongan tua yang ingin tetap pada cara lama, yaitu perjuangan sosio-kultural.

Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, organisasi Budi Utomo melakukan beberapa usaha seperti :

1. memajukan pengajaran sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Dokter Wahidin Sudirohusodo;

2. memajukan pertanian, peternakan, dan perdagangan;

3. memajukan teknik dan industri;

4. menghidupkan kembali kebudayaan; dan

5. mempetinggi cita-cita kemanusiaan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa saat itu Budi Utomo belum bergerak di bidang politik. Perhatiannya ditujukan pada hal-hal yang berhubungan dengan kebudayaan dan sosial. Meskipun demikian, Budi Utomo sebagai organisasi gerakan kebangsaan pada waktu itu merupakan monopoli seluruh Indonesia. Pada 1909 Budi Utomo telah mempunyai cabang di 40 tempat dengan jumlah anggota lebih kurang 10.000 orang.

Satu tahun berikutnya, Budi Utomo mengadakan kongres kembali. Kongres kedua yang diadakan di Yogyakarta pada 10-11 Oktober 1909, dihadiri lebih dari 300 orang. Peserta bukan hanya orang Jawa, namun ada juga orang Cina, bahkan Eropa. Kongres kedua ini berjalan “kering” dan “hambar”. Tidak ada gairah dan semangat yang menggebu-gebu. Para pembicara yang tampil garang pada kongres pertama, pada kongres kedua lebih banyak diam. Sebagai Ketua Pengurus Besar, Raden Adipati Ario Tirtokusumo mengusulkan agar bahasa Melayu rendah menjadi bahasa resmi pada kongres tersebut, yang didukung penuh anggota-anggota Budi Utomo yang bukan berasal dari suku Jawa.

Setelah kongres kedua, Budi Utomo diberikan izin untuk melakukan kegiatannya oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan Keputusan Pemerintah No. 52 tanggal 28 Desember 1909. Pemberian izin ini setelah pemerintah kolonial Belanda melihat bahwa Budi Utomo berhaluan moderat.

Hal yang mengejutkan terjadi setelah berakhirnya kongres kedua dan sebelum disahkannya Budi Utomo oleh pemerintah kolonial Belanda, di mana para anggota muda berhenti sebagai anggota Budi Utomo karena kecewa terhadap jalan yang ditempuh organisasi tersebut. Sementara alasan para pelajar STOVIA keluar dari keanggotaan Budi Utomo karena ingin mencurahkan waktunya untuk belajar. Dengan demikian, Budi Utomo kini dikuasai oleh kaum tua yang konservatif.

Bupati Karanganyar itu memegang tampuk kepemimpinan Budi Utomo hingga 1911 (ada yang mengatakan hingga 1912). Menurut Slamet Muljana, di bawah kepemimpinan Raden Adipati Ario Tirtokusumo, Budi Utomo mendapatkan hasil dalam lapangan pendidikan berupa penerbitan majalah guru-desa dan perubahan pelajaran bahasa Belanda di sekolah yang semula hanya diajarkan di kelas tiga ke atas, kemudian dimulai dari kelas satu. Di lihat dari hasil yang dicapai, kemajuan itu sangat lambat. Hal ini disebabkan banyaknya tentangan dari luar, dan ia merasa tidak dapat mengikuti arus baru dalam gerakan Budi Utomo.

Ketika Raden Adipati Ario Tirtokusumo meletakkan jabatannya, jabatan Ketua Budi Utomo digantikan oleh Pangeran Ario Notodirjo dari Pakualaman, Yogyakarta. Sebagai Ketua Budi Utomo yang baru, Pangeran Ario Notodirjo berusaha agar organisasi yang dipimpinnya terus berkembang, namun kenyataannya justru perkembangannya tidak pesat lagi. Dikarenakan kesehatannya terganggu, pada 1914 ia terpaksa meletakkan jabatannya dan digantikan oleh R.Ng. Wedyodipuro (Dokter Radjiman Wedyodiningrat) yang waktu itu menjadi abdi dalem Dokter Kliwon di daerah Kasunanan Surakarta. Sampai saat itu Budi Utomo belum menyentuh dunia politik, tidak memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan kebutuhan bangsa. Budi Utomo lebih mementingkan pendidikan rakyat.

Tahun 1915 Dokter Radjiman Wedyodiningrat meletakkan jabatannya sebagai Ketua Budi Utomo dan diganti oleh Raden Mas Ario Suryo Suparto (yang kelak menjadi Mangkunegara VII).

Pada waktu meletusnya Perang Dunia I (1914-1918) di kawasan Eropa dan Timur Tengah, di Hindia Belanda (Indonesia) diusulkan adanya Inlandsche Militie (1915) yang secara harfiah berarti pasukan militer yang terdiri atas penduduk asli suatu daerah. Untuk itu, pada 1916 dibentuklah Komite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia). Sejak saat itu Budi Utomo mulai berpolitik dengan ikut aktif menjadi anggotanya. Ketika komite ini mengirimkan utusan ke negeri Belanda untuk menghadap raja Belanda (Ratu Wilhelmina), Budi Utomo juga ikut mengirimkan wakilnya, yaitu Dwijosewoyo. Oleh karena pertahanan negara termasuk persoalan politik, maka inilah tindakan Budi Utomo untuk pertama kalinya yang berhubungan dengan politik.

Tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Budi Utomo ikut duduk sebagai anggota Volksraad. Ketika di Volksraad didirikan Fraksi Radicale Concentratie, Budi Utomo pun ikut duduk di fraksi ini. Selain Budi Utomo, yang duduk di Fraksi Radicale Concentratie adalah Indische Social Demokratische Vereniging (ISDV), Sarikat Islam, dan National Indische Party (NIP) yang pada waktu itu masih bernama Insulinde. 

Ketika Budi Utomo mengadakan kongres pada 1921, terdapat tuntutan agar di Volksraad diadakan Inlandsche Meerderheid. Artinya, anggota Volksraad sebagian besar terdiri atas bangsa Indonesia. Bahkan tidak hanya di Volksraad, tapi di semua badan perwakilan juga dituntut supaya anggotanya sebagian besar terdiri atas bangsa Indonesia. Tak hanya di pusat, tapi juga di daerah-daerah.

Budi Utomo yang awalnya dimaksudkan bukan sebagai organisasi politik, namun karena terdorong oleh keadaan, maka Budi Utomo pun kemudian bergerak di bidang politik. Penyebab Budi Utomo pada awal berdirinya tidak bergerak di bidang politik, karena waktu itu ada pasal dalam Regerings-Reglement (RR) atau Peraturan Pemerintah yang berlaku sebagai Grondwet (Undang-Undang Dasar) untuk Hindia Belanda yang melarang perkumpulan politik. Indische Partij yang didirikan oleh Tiga Serangkai (E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat) misalnya, tidak diberikan izin berbadan hukum disebabkan organisasi tersebut terang-terangan bergerak di bidang politik, sesuatu yang ditakutkan oleh Belanda jika mereka melemahkan cengkeraman kolonialisme di bumi jajahan.

Pada 1923 Budi Utomo mengadakan kongres. Dalam kongres tersebut dimasukkan agenda kongres apakah Budi Utomo akan menjalankan taktik non-kooperasi atau tidak. Hasilnya diputuskan bahwa Budi Utomo menentukan sikap menolak taktik non-kooperasi. Hal ini disebabkan sebagian besar anggota Budi Utomo adalah pegawai, baik pegawai pemerintah pusat maupun daerah, sehingga sukar untuk dengan tegas menyatakan sikap tidak mau bekerja sama dengan pihak penjajah.  

Dalam kongres yang dilaksanakan pada bulan April 1926, Budi Utomo mengambil keputusan yang bersifat kompromistis. Sebagai organisasi, Bud Utomo mengambil sikap non-kooperatif terhadap pemerintah. Akan tetapi Budi Utomo tidak memaksa kepada anggotanya untuk bersikap non-kooperatif. Para anggotanya diberi kebebasan untuk menentukan sikap. Bagi anggota Budi Utomo yang duduk dalam perwakilan baik di Dewan Rakyat maupun Dewan Kota Praja atau dewan setempat, sejak keputusan tersebut berlaku, tidak diakui sebagai perwakilan Budi Utomo lagi, melainkan dianggap sebagai perwakilan perorangan.

Pada 1927, Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Sukarno berinisiatif mendirikan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Badan ini merupakan koordinasi dari bermacam-macam aliran yang bertujuan untuk menggalang kesatuan aksi melawan imperialisme. Budi Utomo ikut menjadi anggotanya.

Dalam kongres yang diadakan pada 1928, diputuskan tujuan Budi Utomo ditambah satu kalimat yang berbunyi, “Ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia”. Ini merupakan langkah penting bagi Budi Utomo yang mula-mula untuk Jawa dan Madura saja.

Dalam kongres yang diadakan di Jakarta pada April 1931, Budi Utomo mengadakan perubahan terhadap Anggaran Dasarnya, terutama perihal keanggotaan. Perubahan ini dimaksudkan untuk membuka pintu bagi semua suku bangsa Indonesia agar bisa menjadi anggota Budi Utomo. Dengan demikian, anggota Budi Utomo tidak lagi bersifat kedaerahan yang terbatas pada Jawa dan Madura, tapi telah berevolusi menjadi organisasi yang menjujung persatuan Indonesia.

Dalam konges tersebut juga diambil keputusan penting lainnya, yaitu memerintahkan kepada Pengurus Besar Budi Utomo untuk berusaha mempersatukan organisasi-organisaai yang berdasarkan kebangsaan Indonesia. Usaha Pengurus Besar untuk menyatukan organisasi-organisasi lain yang seazas dan sehaluan itu berhasil, meskipun keberhasilan itu baru tercapai pada 1935. Setelah diadakan perundingan dengan organisasi lain, maka pada bulan Desember 1935 Budi Utomo berfusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang berkedudukan di Surabaya. PBI yang didirikan pada 4 Januari 1931 ini ditokohi oleh Dokter Sutomo yang dulu mendirikan Budi Utomo bersama kawan-kawan di STOVIA. Setelah Budi Utomo berfusi dengan PBI, maka diberilah nama Partai Indonesia Raya, disingkat Parindra. Dengan melebur menjadi Parinda bersama organisasi lainnya yang seazas, maka Budi Utomo pun lenyap.

Demikianlah, meskipun Budi Utomo memiliki kekurangan karena terlalu lamban bergerak di bidang politik, namun bila dilihat dari segi nasional, ia merupakan organisasi perintis yang merintis jalan untuk pertumbuhan partai-patai politik lainnya. Ia menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan politik dan menjadi sebab bangkitnya paham-paham kebangsaan Indonesia di dalam proses sejarah pergerakan. Bahkan tanggal didirikannya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sebagai catatan tambahan, menurut keterangan yang dipajang di Museum Kebangkitan Nasional, selain Raden Adipati Ario Tritokusumo, Pangeran Ario Notodirjo, Dokter Radjiman Wedyodiningrat, dan Raden Mas Ario Suryo Suparto, yang pernah juga menjadi Ketua Pengurus Besar Budi Utomo adalah Raden Dwijosewoyo dan Raden Mas Ario Wuryaningrat.

 

Daftar Pustaka 

  

1. Buku

A.K. Pringgodigdo. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Cetakan Ke-13. Jakarta: Dian Rakyat.

Adora Kinara. 2025. VOC di Nusantara, Sebuah Sejarah Ringkas. Yogyakarta: Diva Press.

Akira Nagazumi. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustala Utama Grafiti.

Badan Pembina Pahlawan Pusat. 1978. Srikandi Bangsaku (Seri Pahlawan Wanita). Jakarta: Departemen Sosial RI.  

Dwi Supriyono. 2010. Tokoh dan Pahlawan Kebangkitan Nasional. Semarang: Aneka Ilmu.

Edi Warsidi. 2007. Meneladani Kepahlawanan Kaum Wanita. Bogor: Yudhistira.

Eliakim Tambun (editor). 2008. Seratus Tahun Kebangkitan Nasional dan Visi Masa Depan Bangsa Indonesia. Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Daerah Indonesia.

Elsuya. 2025. Geger Portugis di Tanah Ternate dan Tidore, Sebuah Sejarah Ringkas. Yogyakarta: Diva Press.

Gamal Komandoko. 2008. Boedi Oetomo, Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa. Yogyakarta: MedPress.

H. Sutrisno Kutoyo. 2004. Prof. H. Muhammad Yamin SH., Cita-Cita dan Perjuangan Seorang  Bapak Bangsa.

Irna H.N. Hadi Soewito. 1991. Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka.

Januar Adi Sagita. 2017. Dari Wacana ke Gerakan, Biografi Politik Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara Muda). Surabaya: Pustaka Saga.

J.B. Sudarmanto. 2007. Jejak-Jejak Pahlawan, Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kartono dan Susi Dyah Fatmawati. Tanpa Angka Tahun. Sumpah Pemuda. Jakarta Barat: CV Pamularsih.

LM Sitorus. 1988. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Cetakan Ke-3. Jakarta: Dian Rakyat.

M.C. Ricklefs. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

M.Z. Ranni. 1993. Perlawanan terhadap Penjajahan dan Perjuanagan Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Bumi Bengkulu. Jakarta: Balai Pustaka.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V, Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda (+ 1900 - 1942). Cetakan  

Moechtar. 2005. Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rayat Kecil, Pencari Keadilan dan Kebenaran. Jakarta: Pustaka Jaya.

Mohammad Hatta. 1980. Nama Indonesia (Penemuan Komunis?). Jakarta: Yayasan Idayu.

Muhajjah Saratini. 2025. Hindia Belanda dari Masa ke Masa, Sebuah Sejarah Singkat. Yogyakarta: Diva Press.

Mulyono Atmosiswartoputra. 1918. Perempuan-Perempuan Pengukir Sejarah. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia).

Mulyono Atmosiswartoputra. 2025. “Nlesih Sapa Sejatine Multatuli (2): Pilih Lengser saka Jabatan Ndeleng Sengsarane Pribumi”, artikel dalam majalah Jaya Baya, Nomor 37, Mimggu II, Mei 2025, hlm 14-15.

Museum Multatuli. 2024. Buku Panduan untuk Pengunjung. Cetakan Ke-4. Rangkasbitung: Museum Multatuli.

Nadhira Z.P. 2025. Kolonial Inggris di Tanah Jawa, Sebuah Sejarah ingkas. Yogyakarta: Diva Press. 

Nina H. Lubis. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Nur Khosin dkk. 2010. Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Diektorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Museum Kebangkitan Nasional.

Nyoman Dekker. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Diawali Kebangkitan Nasional pada Permulaan Abad XX. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Peter Carey dkk. 2019. Membaca Ulang Max Havelaar. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Rachmad Abdullah. 2022. Kerajaan Islam Demak, Api Revolusi Islam di Tanah Jawa (1518-1549 M). Solo: Al-Wafi.

Ruswandi Hermawan dan Sukanda Permana. 2010. Kehidupan pada Masa Pra-Indonesia, Invansi Kolonialisme. Edisi Kedua. Bandung : PT Setia Purna Inves.

Sita Acetylena. 2018. Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantaram Perguruan Taman Siswa sebagai Gagasan Taman Pengetahuan dan Etika. Malang: Madani.  

Slamet Muljana. 1983. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta: Inti idayu Press.

Slamet Mulyana. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Jilid 1. Yogyakarta: LKIS.  

Soedjipto Abimanyu. 2017. Babad Tanah Jawi, Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana.

Sri Rejeki Merdekawaty. 2011. Politik Etis dan Pengaruhnya terhadap Pergerakan Nasional. Jakarta Timur: CV. Ghina Walafafa.  

Sudiyo dkk. 1997/1998. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, dari Budi Utomo sampai dengan Pengakuan Kedaulatan. Cetakan Kedua. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Museum Kebangkitan Nasional. 

Sudiyo. 2004. Perhimpunan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adiaksara.

Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional, dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Susanto Tirtoprodjo. 1986. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan.

H. Sutrisno Kutoyo. 2004. Prof. H. Muhammad Yamin SH., Cita-Cita dan Perjuangan Seorang  Bapak Bangsa. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.

Suwarno. 2011. Latar Belakang dan Fase Awal Pertumbuhan Kesadaran Nasional. Purwokerto - Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Pustaka Pelajar Yogyakarta.

Tan-Sri Zulfikar Yusuf (editor). 2015. Ki Hadjar Dewantara: Tamansiswa Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pendidikan. Yogyakarta: UST-Press. 

Upik Dyah Eka Novianti. 2012. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.  


2. Majalah

Mulyono Atmosiswartoputra. 2025. “Nlesih Sapa Sejatine Multatuli (2): Pilih Lengser saka Jabatan Ndeleng Sengsarane Pribumi”, artikel dalam majalah Jaya Baya, Nomor 37, Mimggu II, Mei 2025, hlm 14-15.


3. Internet

Alhidayath Parinduri. 2021. “Sejarah Indonesia: Sejarah Perlawanan Rakyat Minahasa terhadap Spanyol”, diunggah di https://tirto.id/, 18 Juni 2021.

Allan Akbar. 2013. “Ki Hajar dan Sekolah Liar”, diunggah di https://www.historia.id/, 2 Mei 2013.

Anonim. 2023. “Mengenal STOVIA, Sekolah Kedoktean Pertama di Indonesia”, diunggah di https”sangjuaraschool.com/, 28 April 2023.

Anonim. 2023. “Mengenal Sejarah Penjajahan Portugis dan Spanyol di Indonesia”, diunggah di https://kumparan.com/, 13 Desember 2023.

Anonim. Tanpa Angka Tahun. “Sejarah Museum Kebangkitan Nasional: dari Sekolah Dokter Djawa ke STOVIA”, diuanggah di https://museumkebangkitannasional.com/, tanpa tanggal diunggah.

Inten Esti Pratiwi. 2021. “Sejarah Kebangkitan Nasional: Sejarah Museum Kebangkitan Nasional Sejak Tahun 1899”, diunggah di https://www.kompas.com/, 20 Mei 2021.

Juniawandahlan. 2017. “Sejarah Gedung Museum Kebangkitan Nasional”, diunggah di https://kebudayaan.kemendikbud.go.id/, 20 Mei 2017.

Ki Sunardi HS. Tanpa Angka Tahun. “Berdirinya Perguruan Tamansiswa”, diunggah di https://tamansiswapusat.com/, tanpa tanggal diunggah.

Maulia Indriana Ghani. 2021. “Hari Dokter Nasional: Sejarah Profesi Dokter di Indonesia”, diunggah di https://www.zenius.net/24 Oktober 2021.

Mulyono Atmosiswartoputra. 2024. “Indische Partij, Partai Politik Pertama di Indonesia”, diunggah di https:mulyonoatmosiswartoputra.blogspot.com/, 22 November 2024.

Mulyono Atmosiswartoputra. 2024. “Museum Multatuli: Tidak Hanya Membicarakan Multatuli, tapi Juga Kolonialisme. Lebak, dan Banten”, diunggah di https:mulyonoatmosiswartoputra.blogspot.com/, 4 Desember 2024.

Nur Umar Akashi. 2024. “Tujuan Kedatangan Bangsa Inggris ke Indonesia Beserta Rutenya”, diunggah di https://www.detik.com/, 14 November 2024

Olivia Yunita. 2025. “Kesultanan Samudera Pasai: Sejarah, Kejayaan, dan Keruntuhan”, diunggah di https’//www.ruangguru.com/, 16 Mei 2025.

Rika Pangesti. 2022. “Siapa Saja Tokoh Penentang Sistem Tanam Paksa?”, diunggah di https://www.detik.com/, 5 Januari 2022

Sevilla Nouval. Tanpa Angka Tahun. “Museum Kebangkitan Nasional: Sejarah, Koleksi Lengkap dengan Cara Pesan Tiketnya”, diunggah di https://www.gramedia.com/, tanpa tanggal diunggah.

Widya Lestari Ningsih. 2024. “Rute Perjalanan Inggris ke Indonesia”, diunggah di https://www.kompas.com/, 22 Desember 2024.

Wikipedia. 2024. “Melaka Portugis”, diunggah di https://id.wikipedia.org/, terakhir diubah pada 19 Februari 2024.

Wikipedia. 2024. “Khairun Jamil dari Ternate”, diunggah di https://id.wikipedia.org/, terakhir diubah pada 5 Mei 2024.

Wikipedia. 2025. “Pieter Brooshooft”, diunggah di https://id.wikipedia.org/, terakhir diubah pada 6 Juni 2025.

Wikipedia. 2025. “Sejarah Aceh”, diunggah di https://id.wikipedia.org/, terakhir diubah pada 12 Juli 2025.


-------------------------------------------

1) Saat itu di Hindia Belanda (sebutan untuk wilayah Indonesia saat dijajah Belanda) belum ada universitas dalam pengertian modern. Meskipun demikian, STOVIA adalah lembaga pendidikan tinggi yang menjadi cikal-bakal universitas di kemudian hari. Istilah “mahasiswa” juga belum dikenal. Meskipun waktu itu Muhammad Yamin pernah mengusulkan istilah “mahasiswa” untuk menerjemahkan kata “student”, tapi rupanya kalangan pemuda belum dapat menerima istilah baru tersebut, dan memilih menerjemahkannya dengan “pelajar” daripada “mahasiswa”. Tak mengherankan jika “student” STOVIA disebut “pelajar”, bukan “mahasiswa”.