Aisyah merupakan salah satu istri Rasulullah. Beliau adalah putri Abu Bakar, sahabat Rasulullah yang mendampingi beliau saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Ibunya bernama Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir Al-Kinaniyyah, perempuan agung yang pernah disabdakan oleh Rasulullah, “Siapa yang ingin melihat bidadari, maka hendaklah ia melihat Ummu Ruman”.
Sebagaimana biasa dilakukan oleh Rasulullah bila hendak melakukan perjalanan, beliau selalu mengundi istri-istrinya, siapa yang akan ikut mendampingi beliau dalam melakukan perjalanan. Saat Rasulullah akan melakukan perjalanan ke perkampungan Bani Mushthaliq, beliau lalu mengundi istri-istrinya. Undian jatuh pada Aisyah. Artinya, Aisyah-lah yang mendapat giliran untuk mendampingi Rasulullah dalam melakukan perjalanan tersebut. Dengan senang hati Aisyah menerima hasil undian tersebut.
Kali ini, Rasulullah bersama pasukannya melakukan perjalanan ke perkampungan Bani Mushthaliq yang berada di antara Makkah dan Madinah, guna memerangi mereka. Penyebabnya, pada saat terjadi Perang Uhud, Bani Mushthaliq telah bersekutu dengan pasukan kaum kafir Quraisy melawan pasukan kaum muslimin. Selain itu, mereka juga menguasai jalur utama menuju Makkah, sehingga menghalangi kaum muslimin yang menuju Makkah. Bahkan Rasulullah mendapatkan kabar bahwa Bani Mushtahliq telah menghimpun pasukan untuk memerangi kaum muslimin. Itulah sebabnya Rasulullah bersama pasukannya berangkat menuju ke perkampungan Bani Mushthaliq guna menyerang mereka. Pasukan kaum muslimin bertemu dengan pasukan Bani Mushthaliq di Al-Muraisi’ yang merupakan salah satu mata air Bani Mushthaliq. Peperanganpun terjadi, dan dimenangkan oleh pasukan kaum muslimin.
Pasukan kaum muslimin yang berhasil memenangkan peperangan, kembali ke Madinah dengan penuh kegembiraan. Mereka bernyanyi, mendendangkan lagu-lagu kemenangan. Ketika mendekati Madinah, malampun tiba. Rombongan pasukan kaum muslimin itu berhenti untuk beristirahat. Aisyah yang berada dalam sekedup, keluar dan melewati para pasukan untuk buang hajat. Setelah selesai, Aisyah kembali ke tempat rombongan beristirahat, namun kalung yang dipakai ternyata terjutuh entah di mana. Aisyah kembali ke tempat semula untuk mencari kalung yang hilang.
Satelah istirahat dirasa cukup, pasukan diseru untuk meneruskan perjalanan malam itu. Mereka yang membawa sekedup tempat Aisyah duduk, mengangkat dan meletakkannya di atas unta yang dijadikan tunggangan Aisyah. Mereka mengira Aisyah berada di dalam sekedup, karena tubuh Aisyah memang ringan.
Setelah kalung ditemukan oleh Aisyah, ternyata rombongan pasukan itu sudah berangkat meneruskan perjalanan. Aisyah tertinggal. Ia berusaha untuk tetap berada di tempat rombongan tadi beristirahat. Harapannya, mereka sadar bahwa dirinya tertinggal dan kembali ke tempat tersebut untuk mencarinya. Namun rombongan yang ditunggunya itu tidak kembali juga, hingga akhirnya Aisyah tertidur.
Saat Aisyah masih tidur, tanpa diduga Shafwan bin Mu’aththal As-Sulami Adz-Dzakwani melintas. Sahabat nabi yang satu ini tertinggal dari rombongan pasukan kaum muslimin karena punya suatu keperluan. Shafwan bin Mu’aththal yang melihat ada seseorang tertidur, lalu mendekatinya. Ia yang pernah melihat Aisyah sebelum diwajibkan berhijab, segera mengenal bahwa orang yang sedang tidur itu adalah Aisyah, istri Rasulullah.
“Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’un”, ucap Shafwan bin Mu’aththal berulang-ulang dengan maksud untuk membangunkan Aisyah.
Mendengar ucapan Shafwan bin Mu’aththal, Aisyah terbangun. Aisyah segera menutup mukanya dengan jilbab. Shafwan bin Mu’aththal tak berbicara sepatah kata pun kepada Aisyah. Untuk mempersilakan Aisyah naik ke atas untanya, Shafwan bin Mu’aththal mengisyaratkan dengan cara menderumkan untanya dan memegang tali kekangnya. Setelah Aisyah naik ke atas unta, Shafwan bin Mu’aththal berjalan sambil menuntun unta yang ditunggangi Aisyah hingga berhasil menyusul rombongan pasukan kaum muslimin yang tengah berteduh pada siang hari karena panasnya terik matahari.
Melihat Aisyah datang bersama Shafwan bin Mu’aththal, mulailah tersiar kabar bahwa Aisyah telah berbuat tak senonoh dengan Shafwan bin Mu’aththal. Fitnah tersebut pertama kali dihembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Dia sengaja menyiarkan berita tersebut untuk menjatuhkan marwah Rasulullah. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai haditsul ifki.
Siapa sebenarnya Abdullah bin Ubay bin Salul? Dia adalah gembong munafik pada masa Rasulullah. Ia lahir di Yatsrib (yang kemudian diganti namanya menjadi Madinah setelah Rasulullah berhijrah ke kota tersebut). Menurut Imam Ibnu ‘Abd Al-Barr seperti dikutip oleh Misran dan Armansyah dalam bukunya yang berjudul Para Penentang Muhammad SAW, ada dua tokoh Madinah yang dengki terhadap Rasulullah, yaitu Abu ‘Amr Al-Rahib Al-Ausi dari kabilah Aus dan Abdullah bin Ubay bin Salul dari kabilah Khazraj. Namun secara teknis, pola permusuhan kedua orang tersebut dilakukan secara berbeda. Abu ‘Amr Al-Rahib Al-Ausi melakukan kedengkiannya dengan cara frontal, yakni dengan cara pindah ke Makkah pasca kedatangan Rasulullah di Madinah. Ia turut berperang bersama kaum kafir Quraisy dalam Perang Uhud melawan pasukan kaum muslimin, sehingga Rasulullah menjulukinya sebagai Al-Fasiq.
Sementara Abdullah bin Ubay bin Salul bersikap hipokrit, yakni dengan cara berpura-pura beriman, tapi sejatinya memendam kebencian dan permusuhan yang amat mendalam. Kebenciannya terhadap Rasulullah dikarenakan ia khawatir kehilangan pengaruh. Pada saat Perang Uhud, Abdullah bin Ubay bin Salul-lah yang melakukan konpirasi dengan menyusun rencana busuk agar pasukan Rasulullah mengalami kekalahan. Dialah yang mengompori orang-orang agar tidak ikut berperang, sehingga 300 orang kembali ke Madinah sebelum sampai di Jabal Uhud, tempat Perang Uhud itu berlangsung.
Kembali kepada Aisyah. Setibanya di Madinah, Aisyah jatuh sakit selama sebulan. Orang-orang berbeda dalam menanggapi berita bohong yang dihembuskan pertama kali oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Sebagian orang memilih diam, tidak berkomentar dalam menghadapi berita tadi, namun sebagian lagi ikut andil dalam menyebarkan berita bohong tersebut.
Aisyah tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperbincangkan banyak orang, karena sedang sakit. Meskipun demikian, Aisyah merasakan ada yang berbeda dengan sikap Rasulullah terhadap dirinya. Selama sakit, Aisyah tidak lagi melihat kasih sayang dari Rasulullah seperti yang pernah dirasakan jika ia mengeluh sakit. Walaupun Rasulullah selalu datang setiap saat, namun beliau hanya masuk, mengucapkan salam, lalu bertanya, “Bagaimana kabarmu?”. Setelah itu, beliau pergi begitu saja. Aisyah sendiri tidak mau menanyakan perihal sikap Rasulullah yang dirasa tidak ramah terhadap dirinya, karena ia melihat beliau tampak diam dan banyak pikiran.
Ketika sedikit pulih dari sakit, Aisyah keluar bersama Ummu Misthah untuk buang hajat. Mereka keluar pada malam hari, karena saat itu belum membangun tempat hajat di dekat rumah. Ketika berjalan, tiba-tiba Ummu Misthah tergelincir.
“Celakalah Misthah”, kata Ummu Misthah sepontan.
“Buruk sekali kata-katamu. Patutkah kau mencela seseorang yang turut serta dalam Perang Badar?”, ujar Aisyah kepada Ummu Misthah.
“Kamu ini bagaimana. Apa kamu tidak mendengar berita yang menyebar, wahai putri Abu Bakar?”
“Berita apa memangnya?”, tanya Aisyah penasaran.
Ummu Misthah kemudian menceritakan desas-desus yang beredar di seantero Madinah.
Sesampai di rumah, Rasulullah menemui Aisyah di kamar seraya mengucapkan salam. Rasulullah lalu berkata, “Bagaimana kabarmu?”
Saat itu, Aisyah meminta izin kepada suaminya untuk menemui kedua orang tuanya. Meskipun Rasulullah memberikan izin, namun Aisyah merasa sedih, sebab beliau tampak acuh tak acuh.
Sesampai di rumah orang tuanya, Aisyah bertanya kepada ibunya.
“Ibu, apa gerangan yang diperbincangkan orang tentang diriku?”
“Putriku, tabahkan dirimu. Demi Allah, jarang sekali seorang perempuan cantik yang begitu dicintai suaminya, apalagi ia memiliki banyak madu, melainkan para madunya itu akan banyak mengungkit tentang aib dan kekurangannya”, kata Ummu Ruman.
“Subhanallah! Jadi benar orang ramai-ramai membicarakan ini?”
Aisyah menangis semalaman. Ia tak bisa memejamkan mata sama sekali dan tidak bisa tidur semalam suntuk.
Menghadapi desas-desus perselingkungan Aisyah, Rasulullah meminta pertimbangan kepada para sahabatnya, apakah harus menceraikan istrinya atau tidak. Ali bin Abu Thalib menyarankan agar Rasulullah menceraikan istrinya. Yang lain juga mengisyaratkan hal yang sama meskipun tidak dikatakan secara gamblang. Usamah bin Zaid dan lainnya menyarankan agar Rasulullah tetap menjaga hubungan dengan Aisyah dan tidak mendengar ucapan musuh-musuhnya.
Ali bin Abu Thalib selanjutnya menyarankan kepada Rasulullah agar menanyakan hal tersebut kepada Barirah, budak perempuan Aisyah.
Rasulullah kemudian memanggil Barirah.
“Wahai Barirah, apakah kau melihat ada sesuatu yang mencurigakan pada diri Aisyah?”
“Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jika saya melihat pada diri Aisyah ada sesuatu yang membuatku mencemoohnya, tidak lain karena dia itu seorang gadis muda belia, yang suatu saat pernah ketiduran ketika ditugasi menjaga adonan milik keluarganya, sehingga datanglah unggas memakannya”.
Setelah meminta keterangan dari Barirah, hari itu juga Rasulullah lalu berdiri di hadapan para sahabat untuk meminta pembelaan dan dukungan dalam menyikapi Abdullah bin Ubay bin Salul. Dari atas mimbar Rasulullah berkata, “Wahai kaum muslimin, siapa yang mau membelaku dari laki-laki yang tindakan aniayanya telah menyakitiku dengan menyakiti anggota keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui pada keluargaku selain kebaikan semata. Mereka (para penebar isu) juga telah menyebut (menuduh) seorang laki-laki (maksudnya: Shafwan) yang tidak aku ketahui padanya selain hanya kebaikan semata, dan ia pun tidak pernah masuk menemui keluargaku, kecuali bersamaku”.
Mendengar perkataan Rasulullah, Sa’ad ibnu Mu’adz Al-Anshari lalu berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku yang akan membelamu darinya. Jika ia dari suku Aus, aku kupenggal lehernya; dan jika ia termasuk saudara kami, dari suku Khazraj, perintahkanlah kami, niscaya akan kami lakukan apapun perintah engkau”.
Pemuka suku Khazraj yang bernama Sa’ad ibnu Ubadah bangkit dan berkata, “Demi Allah, kau bohong! Kau tidak akan membunuhnya, dan kau tak akan mampu membunuhnya”.
Sa’ad ibnu Ubadah awalnya adalah laki-laki shalih, namun kemudian ia terbawa sikap fanatisme kesukuan.
Tidak terima sepupunya (Sa’ad ibnu Mu’adz Al-Anshari) dikata-katai, Usaid ibnu Hudhair langsung bangkit dan berkata kepada Sa’ad ibnu Ubadah.
“Demi Allah, kau telah berdusta! Sungguh kami akan membunuhnya. Kau orang munafik yang membela orang-orang munafik”.
Cekcok antara suku Aus dan suku Khazraj semakin memanas hingga hampir terjadi bentrok. Rasulullah yang masih berdiri di mimbar, terus-menerus menenangkan mereka hingga akhirnya suasana tenang kembali.
Di tempat lain, hari itu Aisyah menangis seharian. Ia tak dapat memejamkan mata untuk tidur. Kedua orang tuanya dengan setia mendampinginya. Ketika itu, seorang perempuan Anshar datang meminta izin untuk masuk. Setelah diberi izin, perempuan tersebut langsung menangis mengiringi tangis Aisyah.
Saat mereka sedang menangis, datang Rasulullah memberi salam. Meskipun sejak tersebarnya isu miring tentang Aisyah, Rasulullah tak pernah berkenan duduk di sampingnya, tapi kali ini beliau duduk di samping istrinya yang sedang bersedih itu. Padahal, hal tersebut telah berlangsung selama sebulan.
“Wahai Aisyah, aku mendapat berita tentang kamu begini begini. Jika kau memang benar-benar bersih, maka Allah pasti membersihkanmu. Namun jika engkau terlanjur berbuat dosa, maka mintalah ampunan kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya, sebab sesungguhnya jika seorang hamba mengakui dosanya, lalu ia bertobat kepada Allah, maka Allah akan menerimanya”, kata Rasulullah kepada Aisyah.
Aisyah tak menjawab perkataan Rasulullah. Air matanya terhenti seketika.
“Jawablah ayah, atas apa yang Rasulullah katakan”, Aisyah meminta kepada Abu Bakar, ayahnya.
“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah”, jawab Abu Bakar.
Aisyah mengalihkan pandangannya kepada Ummu Ruman, ibunya.
“Jawab apa yang dikatakan Rasulullah, bu”.
“Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah”, Ummu Ruman memberikan jawaban yang sama seperti Abu Bakar.
Oleh karena ayah dan ibunya tidak memberikan jawaban sesuai harapan, Aisyah kemudian memberikan jawaban sendiri.
“Demi Allah, aku tahu pasti bahwa engkau telah mendengar isu ini hingga menancap di dalam diri engkau dan engkau benarkan itu. Kalaupun aku katakan bahwa aku bersih, sementara Allah juga tahu bahwa aku memang bersih dari hal itu, pasti engkau tidak mempercayaiku. Sebaliknya, jika aku mengakui hal itu di hadapan engkau, sementara Allah tahu bahwa aku memang bersih dari hal itu, pasti engkau tetap akan membenarkan perkataanku. Demi Allah, aku tidak menemukan contoh yang tepat dalam menyikapi isu yang menimpaku ini, kecuali seperti perkataan ayahanda Yusuf kepada anak-anaknya, ‘Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan’”.
Setelah berkata seperti itu, Aisyah membalikkan tubuh, lalu berbaring di ranjang.
Rasulullah masih belum beranjak dari tempat duduknya, dan penghuni rumah juga belum ada yang keluar, ketika tiba-tiba wahyu turun kepada Rasulullah. Seperti biasanya jika Rasulullah menerima wahyu, kali ini beliau pun mendadak sangat gelisah hingga butiran keringat bagai permata yang mengucur deras dari tubuhnya, padahal hari itu sedang musim dingin.
Setelah Rasulullah tenang kembali, beliau tertawa dan berkata, “Wahai Aisyah, ketahuilah bahwa Allah telah menyatakan kamu bersih”.
Mendengar perkataan Rasulullah, Ummu Ruman, ibunda Aisyah, sepontan berseru, “Ayo berdiri, sambut beliau”.
“Demi Allah, aku tidak akan berdiri menyambut beliau. Aku tidak akan memuji selain hanya kepada Allah semata”, jawab Aisyah kepada ibunya.
Kala itu, Allah menurunkan sepuluh ayat sekaligus untuk membersihkan nama baik Aisyah, yakni Surat An-Nūr ayat 11-20.
11. Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.
12. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”.
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
14. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.
15. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
16. Dan mengapa kamu tidak berkata di waktu mendengar berita bohong itu, “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar”.
17. Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman,
18. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
19. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
20. Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar)
Masih berhubungan dengan berita dusta tentang Aisyah, turunnya Surat An-Nūr ayat 22 dilatarbelakangi oleh perkataan Abu Bakar. Kisahnya, Misthah bin Utsatsah termasuk salah satu orang yang ikut menyebarkan berita dusta tentang Aisyah. Setelah turun ayat yang membebaskan Aisyah dari tuduhan keji tersebut, Abu Bakar yang selama ini menanggung biaya hidup Misthah bin Utsatsah karena faktor kekerabatan dan kemiskinannya, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak akan lagi memberi nafkah sedikit pum kepada Misthah bin Utsatsah untuk selamanya setelah ia turut membicarakan apa yang diisukan kepada Aisyah”.
Dikarenakan perkataan Abu Bakar tersebut, Allah langsung menurunkan Surat An-Nūr ayat 22.
22. Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menanggapi turunnya ayat tersebut, Abu Bakar membatalkan niatnya tidak memberikan suntikan dana kepada Misthah bin Utsatsah.
“Demi Allah, aku lebih berharap Allah mengampuniku. Aku tidak akan mencabut pemberian dana itu”, kata Abu Bakar.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ibnu Salim Baduwilan. 2006. ‘Aisyah yang Cerdas dan yang Dicintai. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Aisyah Abdurrahman. 2019. Biografi Istri dan Putri Nabi. Cetakan Ke-3. Jakarta: Ummul Qura.
Ali Muhammad Ash-Shallabi. 2018. Peperangan Rasulullah. Cetakan Kedua. Jakarta: Ummul Qura.
Asrifin An Nakhrawi. 2011. Ringkasan Asbaabun Nuzul, Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an. Surabaya: Ikhtiar.
Bassam Muhammad Hamami. 2013. Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam. Jakarta: Qisthi Press.
K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan dkk. 2000. Asbābun Nuzūl, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran. Cetakan ke-6. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
Majid bin Khanjar al-Bankani. 2013. Perempuan-Perempuan Shalihah. Solo: Tinta Medina.
Misran dan Armansyah. 2018. Para Penentang Muhammad SAW. Bandung: Safina.
Muhammad Chirzin. 2011. Buku Pintar Asbabun Nuzul, Mengerti Peristiwa dan Pesan Moral di Balik Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Jakarta: Zaman.
Syaikh Mahmud Al-Mishri. 2019. Biografi 35 Shahabiyah Nabi. Cetakan Ketiga. Sukoharjo: Insan Kamil.
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi. Tanpa Angka Tahun. Tafsir An-Nur. Solo: At-Tibyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar