Jumat, 06 Mei 2022

MASJID QIBLATAIN, SAKSI BISU PERUBAHAN ARAH KIBLAT UMAT ISLAM

  

 

Sekitar 5 kilometer di sebelah barat laut Masjid Nabawi, ada sebuah masjid bernama Masjid Qiblatain. Masjid ini adalah satu-satunya masjid yang memiliki kiblat berjumlah dua. Masjid Qiblatain terletak di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di dekat istana raja ke jurusan Wadi Aqiq, atau di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah. Di dekat Masjid Qiblatain terdapat Masjid Abu Bakar, Masjid Al Fat-hu, Masjid Salman, dan Masjid Ali yang terkenal dengan nama masjid lima. Masjid Qiblatain dulu merupakan masjid milik Bani Salamah dari suku Khazraj. Masjid ini memiliki nilai sejarah karena merupakan saksi bisu perubahan arah kiblat umat Islam.  

Menurut catatan sejarah, Ka’bah bukanlah kiblat pertama bagi umat Islam. Sebelumnya, bila sedang shalat, umat Islam menghadapkan wajahnya ke arah Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina. Pada saat berada di Makkah atau sebelum hijrah ke Madinah, bila sedang shalat, Nabi Muhammad mengambil posisi sedemikian rupa sehingga tidak membelakangi Ka’bah dengan wajah menghadap Masjidil Aqsha. Namun sejak hijrah dan tinggal di Madinah, posisi shalat seperti ketika berada di Makkah sulit diterapkan karena lokasi Makkah dan Yerusalem yang berbeda arah.  

Saat di Madinah, bila sedang shalat menghadap ke Baitul Maqdis, Nabi Muhammad biasanya menengadah ke langit untuk menunggu perintah dari Allah. Beliau mengharapkan arah kiblat diubah ke arah Ka’bah. Beliau lebih menyukai (jika diperintah) melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah daripada ke arah  Baitul Maqdis.

Kisah perpindahan kiblat dari Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis ke Masjidil Haram atau Ka’bah diawali dengan kedatangan Nabi Muhammad beserta beberapa sahabat ke rumah Salamah untuk menenangkan Ummu Bashr binti Al-Bara yang ditinggal mati keluarganya. Ketika tiba waktunya shalat, Nabi Muhammad dan para sahabat pun melaksanakan shalat di masjid milik Bani Salamah. Saat Nabi Muhammad dan para sahabat tengah melaksanakan shalat[1]), tiba-tiba Allah menurunkan wahyu.  

 

Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 144).

 

Begitu wahyu turun, Nabi Muhammad yang sedang menjadi imam, menghentikan sementara shalatnya, lalu meneruskan dengan berpindah arah kiblatnya. Jika tadinya menghadap ke Baitul Maqdis, beliau lalu berputar haluan menjadi menghadap Masjidil Haram atau Ka’bah yang diikuti oleh para sahabat.  

Menurut Ath-Thabari, mayoritas ulama mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan bulan Sya’ban, 18 bulan sejak kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah. Namun ada yang mengatakan bahwa peristiwa tadi terjadi pada hari Senin bulan Rajab tahun kedua hijriah. Riwayat lain menyebutkan, Nabi Muhammad melakukan shalat menghadap ke Masjidil Aqsha atau Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan setelah beliau hijrah ke Madinah.

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuny, sebelum Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar memindahkan kiblatnya ke Masjidil Haram, orang-orang Yahudi yang jahat biasa berkata, “Alangkah anehnya urusan Muhammad. Dia berbeda dengan kita dalam masalah agama, namun sama dalam shalatnya dengan kiblat kita. Kalau tidak karena agama kita, tentu dia tidak tahu harus menghadap ke mana ketika shalat”. Akan tetapi ketika kiblat umat Islam berpindah, orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi berkata, “Apa yang membuat membuat mereka (muslim) berpaling dari kiblat yang dahulu mereka menghadap kepadanya?”, maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus’” (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 142).

Dengan adanya perubahan arah kiblat ini, beberapa sahabat ada yang bertanya, “Ya, Rasulullah. Bagaimana hukum mereka (sahabat-sahabat) yang telah meninggal terlebih dahulu sebelum terjadi perpindahan kiblat ini? Apakah amal mereka yang lalu diterima oleh Allah?”

Nabi Muhmmad tidak langsung menjawab pertanyaan para sahabat. Tak lama kemudian turunlah wahyu yang menjawab pertanyaan mereka.

 

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia (Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143).

 

Untuk mengenang bahwa Masjid Bani Salamah pernah menjadi saksi bisu perpindahan arah kiblat bagi umat Islam, maka mihrab yang awal tidak dihilangkan, kemudian dibuat mihrab baru. Dengan demikian, Masjid Bani Salamah memiliki dua arah kiblat, yakni yang awal menghadap Baitul Maqdis, sedang yang baru menghadap Masjidil Haram. Itulah sebabnya masjid ini dikenal dengan nama Masjid Qiblatain sampai sekarang. Artinya, masjid dengan dua kiblat.

Di dekat Masjid Qiblatain, ada sebuah sumur milik orang Yahudi bernama Raumah. Sumur ini dibeli oleh Usman bin Affan dengan harga 20.000 dirham dan kemudian diwakafkan untuk kepentingan bersuci, air minum, dan mengairi taman-taman di sekeliling masjid sampai sekarang.

Masjid Qiblatain mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1408 Hijriah atau 1987 Masehi pada masa pemerintahan Raja Fadh bin Abdul Aziz. Pada renovasi kali ini Masjid Qiblatain mengalami perluasan, dijadikan dua tingkat yang dilengkapi dengan dua menara dan dua kubah tinggi yang istimewa.

 

 

Daftar Acuan

 

 

1.   Buku

 

AA. Faisal dan Eddy Yantman. 2014. Berbagi Rezeki ke Tanah Suci, Bongkar Rahasia Bisnis Travel Haji dan Umrah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.  

 

Adiba A. Soebachman. 2013. Rahasia Keajaiban Ka’bah, Hajar Aswad, Masjidil Aqsho dan Masjid Nabawi. Bantul – Yogyakarta: Syura Media Utama.

 

Ahmad Albab. 2015. Mukjizat Makkah, Madinah & Air Zam-Zam. Yogyakarta: Semesta Hikmah.

 

Ath-Thabari. 2019. Muhammad di Makkah dan Madinah. Yogyakarta: Ircisod.  

 

Eep Khunaefi. 2011. Meraih Haji Mabrur: Panduan Manasik Haji Plus Kajaiban Kota Mekkah dan Madinah. Cibubur: PT Variapop.

 

K.H. Moenawar Chalil. 1980. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jilid II A. Cetakan ke-4. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Mohammad Anis Adnan. 2014. Ibadah, Ziarah, Plus Wisata Jeddah, Makkah, Madinah. Semarang: Syiarmedia Publishing.  

 

Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah – Al-An’am. Jilid 1. Cetakan Kedua. Terjemahan: Munirul Abidin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.  

 

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1978. Pedoman Haji. Jakarta: Bulan Bintang.  

 

Ust. Abdullah Sa’id. Tanpa Angka Tahun. Mukjizat & Keajaiban Kota Suci Makkah. Surabaya: Pustaka Giri Media Comp.

 

Ust. Labib Mz. 2009. Purnama di Bumi Madinah. Surabaya: Mitra Jaya.

 

Ust. Maftuh Ahnan Asy. 2001. Kisah Kehidupan Nabi Muhammad SAW. (Rahmatan Lil ‘Alamiin). Surabaya: Terbit Terang.

 

 

2.  Internet

 

https://news.detik.com/berita/d-5029799/sejarah-perubahan-arah-kiblat-sholat-dari-al-aqsa-ke-kakbah.



[1]) Ada yang mengatakan sedang melaksanakan shalat Duhur, tapi ada yang mengatakan sedang shalat Asar.